• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angka Partisipasi Kasar (APK)

Dalam dokumen Profil ANak Indonesia 2012 (Halaman 69-74)

PENDIDIKAN Pada hakekatnya, pembangunan yang sesungguhnya adalah menjadikan

6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK)

6.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan menurut jenjang pendidikan tanpa melihat umur. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK SD merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang sekolah di SD/sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7 – 12 tahun. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen apabila jumlah murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misal anak bersekolah di SD/sederajat berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun).

Berdasarkan Gambar 6.5 diketahui bahwa APK SD sebesar 102,58 persen, APK SMP sebesar 89,57 persen dan APK SM sebesar 64,66 persen. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah APK. Penurunan APK pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi sejalan dengan kecenderungan penurunan APS dan APM pada usia atau jenjang yang semakin tinggi.

APK SD sebesar 102,58 persen (lebih dari 100 persen) menunjukkan bahwa ada sekitar 2,58 persen anak yang bersekolah di SD/sederajat berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Dengan kata lain angka tersebut menunjukkan bahwa murid SD/ sederajat selain mencakup anak yang berusia 7 – 12 tahun, juga mencakup anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat anak yang terlambat masuk sekolah pada jenjang SD/sederajat atau sebaliknya terdapat anak yang terlalu dini untuk bersekolah SD/sederajat.

Dilihat menurut jenis kelamin terlihat bahwa pada jenjang pendidikan SD/sederajat APK laki-laki lebih tinggi dibanding APK anak perempuan (APK SD anak laki-laki sebesar 103,24 dan APK SD anak perempuan sebesar 101,87). Sebaliknya pada jenjang SMP/ sederajat dan SM/sederajat, APK anak perempuan lebih tinggi dibanding APK anak laki-laki (Gambar 6.5).

Sumber: BPS RI - Susenas 2011

APK anak di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dari daerah perdesaan, kecuali untuk APK SD dimana persentasenya lebih tinggi daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan (Gambar 6.6). Di daerah perkotaan APK SMP sebesar 92,74 persen dan APK SM sebesar 72,93 persen, sedangkan untuk daerah perdesaan APK SMP sebesar 86,66 persen dan APK SM sebesar 55,60 persen.

Sumber: BPS RI - Susenas 2011

Gambar 6.6 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak menurut Tipe Daerah, 2011 6.3 Angka Putus Sekolah

Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan terarah. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab II Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Melalui pendidikan, terutama pendidikan di sekolah, seorang anak tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang matang secara kognitif, afektif, maupun motorik. Selanjutnya, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 Bab IX Pasal 49 juga disebutkan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempat an yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang layak dan seluas-luasnya hingga menyebabkan mereka putus sekolah.

Putus sekolah didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut. Dalam upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun, putus sekolah masih merupakan persoalan tersendiri yang perlu penanganan serius dalam mencapai pendidikan untuk semua (Education for All).

Tabel 6.3 menyajikan persentase penduduk berumur 7-17 tahun yang pernah/ sedang bersekolah menurut tipe daerah, jenis kelamin dan status sekolahnya. Pada tahun

sekolah di Indonesia sebesar 2,91 persen, artinya dari setiap 1000 orang penduduk usia 7-17 tahun terdapat 29 anak yang putus sekolah. Angka ini mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu, dan sering digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. Bila dilihat menurut tipe daerah, anak putus sekolah lebih banyak terjadi di perdesaan (3,51 persen) dibandingkan di perkotaan (2,28 persen). Sementara itu, jika diamati berdasarkan jenis kelamin, putus sekolah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki (3,60 persen) dibanding anak perempuan (2,17 persen). Pola ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Tabel 6.3 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Pernah/Sedang Sekolah menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2011

Tipe Daerah/Jenis Kelamin Masih Sekolah Pernah Sekolah Total Putus Sekolah Tamat Sekolah

(1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan : Laki-laki 92,72 2,78 4,49 100,00 Perempuan 92,82 1,74 5,44 100,00 Laki-laki+Perempuan 92,77 2,28 4,95 100,00 Perdesaan : Laki-laki 88,99 4,36 6,65 100,00 Perempuan 90,55 2,57 6,88 100,00 Laki-laki+Perempuan 89,73 3,51 6,76 100,00 Perkotaan+Perdesaan : Laki-laki 90,79 3,60 5,61 100,00 Perempuan 91,66 2,17 6,17 100,00 Laki-laki+Perempuan 91,21 2,91 5,88 100,00

Sumber: Susenas Kor 2011, BPS

Lampiran Tabel 52 menunjukkan bahwa persentase anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah antar provinsi sangat bervariasi. Wilayah yang memiliki persentase anak putus sekolah tertinggi adalah Provinsi Gorontalo sebesar 9,0 persen, disusul kemudian oleh Provinsi Sulawesi Barat sebesar 7,5 persen, dan Provinsi Bangka Belitung sebesar 7,3 persen. Sebaliknya, wilayah yang memiliki persentase anak putus sekolah terendah adalah Provinsi DI Yogyakarta sebesar 0,6 persen, kemudian Provinsi Bali sebesar 1,8 persen, dan Provinsi Aceh sebesar 2,0 persen.

Salah satu upaya pemerintah dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hak setiap anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang nyaman diciptakan suatu kawasan atau kota layak untuk tempat tinggal anak atau sekarang dikenal dengan Kota Layak Anak (KLA). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP

dan PA) mengembangkan 31 indikator KLA yang dikelompokkan melalui 5 kluster. Salah satu kluster menyebutkan bahwa semua anak berhak untuk memperoleh akses pendidikan dengan indikator rinci yaitu tidak ada anak yang mengalami drop out atau putus sekolah pada semua jenjang pendidikan. Indikator ini menjadi ukuran capaian pemenuhan hak-hak anak dalam bidang pendidikan. Sejalan dengan masih adanya anak yang mengalami putus sekolah, peran aktif dari berbagai pihak (stakeholder) sangat diperlukan agar tidak ditemukan lagi adanya anak yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan.

Hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa anak putus sekolah cenderung meningkat seiring bertambahnya kelompok umur, seperti pada Tabel 6.4. Pada kelompok umur 7-12 tahun terdapat 0,67 persen anak yang putus sekolah. Selanjutnya, pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 2,21 persen dan pada kelompok umur 16-17 tahun meningkat menjadi 2,32 persen anak putus sekolah.

Tabel 6.4 Angka Putus Sekolah Penduduk menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Sekolah, 2011

Tipe Daerah/Jenis Kelamin Kelompok Umur

7 - 12 13 - 15 16 - 17 (1) (2) (3) (4) Perkotaan : Laki-laki 0,50 2,36 2,38 Perempuan 0,38 1,51 1,56 Laki-laki+Perempuan 0,45 1,95 1,97 Perdesaan : Laki-laki 1,05 3,15 3,21 Perempuan 0,66 1,75 2,46 Laki-laki+Perempuan 0,87 2,47 2,84 Perkotaan+Perdesaan : Laki-laki 0,79 2,76 2,72 Perempuan 0,53 1,63 1,92 Laki-laki+Perempuan 0,67 2,21 2,32

Sumber: Susenas Kor 2011, BPS

Dari semua kelompok umur yang berbeda, anak yang bertempat tinggal di daerah perdesaan lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak yang berada di daerah perkotaan. Bila dilihat menurut jenis kelamin, anak laki-laki cenderung lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pola yang sama terjadi baik pada kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun maupun 16-17 tahun. Jika dilihat menurut provinsi pada Lampiran Tabel 53 s.d 61, anak yang mengalami putus sekolah terdapat di semua provinsi dengan persentase yang berbeda-beda. Pada umumnya

Tabel 6.5 Angka Putus Sekolah Penduduk Berumur 7-17 Tahun menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan, 2011

Tipe Daerah/Jenis Kelamin Jenjang Pendidikan

SD/Sederajat SMP/Sederajat SM/Sederajat

(1) (2) (3) (4) Perkotaan : Laki-laki 1,41 1,05 0,33 Perempuan 0,85 0,67 0,22 Laki-laki+Perempuan 1,14 0,87 0,27 Perdesaan : Laki-laki 2,89 1,19 0,28 Perempuan 1,58 0,77 0,22 Laki-laki+Perempuan 2,27 0,99 0,25 Perkotaan+Perdesaan : Laki-laki 2,18 1,12 0,30 Perempuan 1,22 0,72 0,22 Laki-laki+Perempuan 1,72 0,93 0,26

Sumber: Susenas Kor 2011, BPS

Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun oleh pemerintah sejak tahun 1994 menunjukkan keberhasilan jika dilihat dari angka partisipasi sekolah di semua tingkatan (lihat Sub bab 6.2). Angka partisipasi murni SD saat ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 60-an persen dengan tren membaik setiap tahun. Meskipun angka partisipasi sekolah terus meningkat, namun masih terdapat sejumlah siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikannya atau putus sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa angka putus sekolah masih didominasi pada jenjang pendidikan SD/sederajat yaitu sebesar 1,72 persen, kemudian disusul jenjang SMP/sederajat sebesar 0,93 persen, dan SM/sederajat sebesar 0,26 persen (Tabel 6.5).

Bila dilihat menurut tipe daerah, anak putus sekolah yang tinggal di daerah perdesaan lebih besar persentasenya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Kondisi ini berlaku pada jenjang pendidikan SD dan SMP/sederajat, sedangkan pada jenjang SM/sederajat berlaku sebaliknya. Menurut jenis kelamin, anak laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pada jenjang SD/sederajat, angka putus sekolah anak laki-laki (2,18 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (1,22 persen). Begitu pula pada jenjang SMP/sederajat, angka putus sekolah anak laki-laki (1,12 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (0,72 persen). Pada jenjang SM/sederajat juga berlaku hal yang sama yaitu angka putus sekolah anak laki-laki (0,30 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (0,22 persen).

Dalam dokumen Profil ANak Indonesia 2012 (Halaman 69-74)

Dokumen terkait