• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angka Partisipasi Kasar (APK)

PENDIDIKAN, PEMANFAATAN WAKTU LUANG, DAN KEGIATAN SENI BUDAYA

6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Kasar (APK)

6.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan menurut jenjang pendidikan tanpa melihat umur. APK SD merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang sekolah di SD/sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7 – 12 tahun. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen apabila jumlah murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misal anak yang bersekolah di jenjang SD/sederajat berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun).

Berdasarkan Susenas 2012 yang disajikan dalam Gambar 6.5 dapat diketahui bahwa APK SD/sederajat sebesar 104,30 persen, APK SMP/sederajat sebesar 89,38 persen, dan APK SM/sederajat sebesar 68,22 persen. Penurunan APK pada jenjang

49

pendidikan yang semakin tinggi sejalan dengan kecenderungan penurunan APS dan APM pada usia atau jenjang yang semakin tinggi.

Nilai APK SD/sederajat sebesar 104,30 persen menunjukkan bahwa dari keseluruhan siswa yang bersekolah pada jenjang SD/sederajat di tahun 2012, ada sekitar 4,30 persen anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang masih sekolah di SD/sederajat selain mencakup anak yang berusia 7 – 12 tahun, juga mencakup anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Dengan kata lain terdapat anak yang terlambat masuk sekolah atau tinggal kelas pada jenjang SD/sederajat atau sebaliknya terdapat anak yang terlalu dini untuk bersekolah SD/sederajat.

Gambar 6.5 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Menurut Jenis Kelamin, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Pada jenjang pendidikan SD/sederajat, APK laki-laki lebih tinggi dibanding APK anak perempuan (APK SD/sederajat anak laki-laki sebesar 104,51 persen dan APK SD/sederajat anak perempuan sebesar 104,07 persen). Keadaan yang berkebalikan terlihat pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/sederajat dan SM/sederajat), dimana APK anak perempuan lebih tinggi dibanding APK anak laki-laki (Gambar 6.5).

Sementara itu, apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal tampak bahwa APK anak di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dari daerah perdesaan, kecuali untuk APK SD/sederajat. Di perdesaan, APK SD sebesar 105,19 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 103,29 persen (Gambar 6.6). APK SMP/sederajat di daerah perkotaan sebesar 92,02 persen dan APK SM/sederajat

50

sebesar 76,09 persen. Sedangkan APK SMP/sederajat di perdesaan sebesar 87,02 persen dan APK SM/sederajat sebesar 59,78 persen.

Gambar 6.6 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Menurut Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

6.3 Angka Buta Huruf

Buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Kemampuan membaca sangat penting untuk pemeliharaan dan pengembangan kehidupan suatu masyarakat. Dalam dunia pendidikan, kegiatan membaca dapat dipandang sebagai jantungnya pendidikan. Melalui kegiatan membaca, setiap orang dapat mengikuti perkembangan baru yang terjadi dalam kehidupan. Menurut Harjasujana (Mumuh, 2003), jika dikaitkan dengan program pendidikan di sekolah, membaca memegang peranan yang sangat penting. Kemampuan membaca merupakan faktor utama penentu prestasi belajar.

Di dunia internasional salah satu aspek penentu tingkat pembangunan suatu bangsa diukur dari tingkat keaksaraan penduduknya. Begitu pentingnya tingkat keaksaraan, sehingga penuntasan buta aksara menjadi suatu yang sangat diperlukan. Penuntasan buta aksara merupakan suatu investasi sumber daya manusia yang mempengaruhi berbagai aspek-aspek lain seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. WHO menekankan bahwa penuntasan buta aksara harus menjadi bagian terintegrasi dalam reformasi ekonomi. Kebutaaksaraan dapat menimbulkan efek negatif terhadap generasi kedua, dikarenakan ibu yang

51

buta aksara cenderung tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan anaknya pada usia dini yang merupakan masa emas (golden

age), sehingga mempengaruhi perkembangan kesehatan, emosi, sosial, dan

intelektualnya (Kusnadi, 2005).

Negara Indonesia telah melakukan kegiatan Pemberantasan Buta Aksara (PBA) melalui kurun waktu dan proses yang sangat panjang. Kegiatan PBA diawali sejak perang kemerdekaan, dimana para gerilyawan yang sudah dapat membaca, menulis, dan berhitung secara aktif mengajari rekannya yang belum dapat membaca dan menulis. Keseriusan Pemerintah juga terlihat dengan dikeluarkannya Inpres RI No. 5 Tahun 2006 tentang Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Berbagai program yang telah dilaksanakan dalam pemberantasan buta aksara diantaranya adalah kursus A-B-C, Program Pemberantasan Buta Huruf Fungsional, Kejar Paket A, dan Program Keaksaraan Fungsional (KF).

Program Keaksaraan Fungsional (KF) ini dimaksudkan untuk memberantas kebutaaksaraan dengan fokus kegiatan melalui diskusi, membaca, menulis, berhitung dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan keseharian. Bentuk penghargaan atas mereka yang mengikuti kegiatan keaksaraan dan dinyatakan lulus, pemerintah memberikan sertifikat “SUKMA” (Surat Keterangan Melek Aksara) yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mengikuti program Paket A setara SD/MI. Selain itu, guna melayani kebutuhan membaca di kalangan masyarakat pemerintah menyediakan program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diharapkan dapat ikut memberantas buta huruf dan meningkatkan minat baca masyarakat.

Kondisi keaksaraan anak di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 6.3. Tabel tersebut menyajikan angka buta huruf anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin dan kelompok umur usia sekolah hasil Susenas 2012. Angka buta huruf (ABH) anak berumur 5-17 tahun masih tinggi yaitu sebesar 10,60 persen. Tingginya ABH anak tersebut disebabkan karena tingginya angka buta huruf pada kelompok usia 5-6 tahun yaitu sebesar 62,72 persen. Besarnya angka buta huruf pada anak kelompok umur 5-6 tahun dapat dipahami karena sebagian besar anak pada kelompok umur tersebut pada umumnya belum duduk di bangku sekolah.

52

Tabel 6.3 Angka Buta Huruf Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Usia Sekolah, 2012

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Kelompok Usia Sekolah

5-6 7-12 13-15 16-17 5-17

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Perkotaan

Laki-laki 59,61 0,65 0,37 0,24 9,95

Perempuan 57,37 0,55 0,31 0,16 9,18

Laki-laki dan Perempuan 58,54 0,60 0,34 0,20 9,57 Perdesaan

Laki-laki 67,91 2,28 1,27 1,16 11,77

Perempuan 65,43 1,81 1,10 1,20 11,31

Laki-laki dan Perempuan 66,70 2,05 1,19 1,18 11,54 Perkotaan dan Perdesaan

Laki-laki 63,82 1,52 0,85 0,69 10,90

Perempuan 61,54 1,21 0,72 0,66 10,28

Laki-laki dan Perempuan 62,72 1,37 0,79 0,67 10,60

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Pada anak kelompok usia diatasnya (7-17 tahun), ABH menurun seiring dengan meningkatnya usia sekolah. ABH anak kelompok umur 7-12 tahun tercatat sebesar 1,37 persen. Pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 0,79 persen dan kelompok umur 16-17 tahun sebesar 0,67 persen. Terlihat adanya perbedaan ABH yang cukup signifikan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Pada setiap kelompok umur, angka buta huruf anak di perdesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak di perkotaan. Sementara itu apabila dilihat menurut jenis kelamin, ABH anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan ABH anak perempuan. Pola ini berlaku pada semua kelompok umur.

6.4 Putus Sekolah

Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan terarah. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab II Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Melalui pendidikan, terutama pendidikan di sekolah, seorang anak tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang matang secara kognitif, afektif, maupun motorik.

53

Selanjutnya, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 Bab IX Pasal 49 juga disebutkan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempat-an ykesempat-ang seluas-luasnya kepada kesempat-anak untuk memperoleh pendidikkesempat-an. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang layak dan seluas-luasnya hingga menyebabkan mereka putus sekolah.

Dokumen terkait