• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Profil Anak Indonesia Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Profil Anak Indonesia Latar Belakang"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 Ayat 1 juga menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010, pada 2012 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245,4 juta jiwa, dan sekitar 33,4 persen diantaranya adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinvestasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak. Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di masa mendatang. Mereka adalah kelompok yang perlu disiapkan untuk kelangsungan bangsa dan negara di masa depan.

Perwujudan anak-anak sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anak-anak dan hak-hak yang dimilikinya sehingga anak-anak bebas berinteraksi dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Sesuai dengan isi UU No.23 Tahun 2002 Pasal 4 tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi ini merupakan instrumen Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling

1

1

(2)

2

komprehensif. CRC terdiri dari 54 pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia khususnya bagi anak-anak yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai kebijakan untuk anak juga telah dibuat oleh pemerintah diantaranya adalah Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang didalamnya mencakup empat program besar yaitu bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak dan penanggulangan HIV/AIDS.

Salah satu aspek penting untuk melihat kualitas anak adalah dari sisi pendidikan. Hasil Susenas 2012 menunjukkan bahwa anak usia 5-17 tahun yang berstatus sekolah sebesar 81,53 persen. Pada kelompok usia tersebut terdapat 6,32 persen yang tidak bersekolah lagi dan yang belum pernah sekolah sebesar 12,15 persen. Meskipun persentase anak usia sekolah yang masih bersekolah cukup tinggi, namun kualitas dari anak tersebut juga harus ditingkatkan demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas bagi bangsa dan negara di masa mendatang. Hal ini dikarenakan masih adanya permasalahan terbatasnya akses pendidikan berkualitas bagi anak, terutama bagi anak keluarga miskin dan di masyarakat terpencil. Dampaknya dapat terlihat dari semakin meningkatnya kasus-kasus kekerasan, jumlah anak yang bermasalah dengan hukum, eksploitasi (termasuk trafficking), dan diskriminasi terhadap anak.

Dilihat dari sisi kesehatan, angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2012 sebesar 32 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 32 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup. Indikator lainnya adalah status gizi anak, dimana berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi Balita Kurang Gizi (BKG) pada tahun 2010 adalah sebesar 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang.

Secara sosial, masalah anak diantaranya adalah diskriminasi, kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran anak. Hasil Survei Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (2006) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) menunjukkan sebesar 3 persen anak-anak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi tempat

(3)

3

anak mendapatkan tindak kekerasan. Maraknya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga atau lingkungan umum menunjukkan masih minimnya perlindungan terhadap anak. Hal ini menunjukkan pula masih jauhnya lingkungan yang ramah dan aman bagi anak.

Di samping itu, perlindungan anak dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi masih belum optimal. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah anak bekerja yang relatif masih tinggi. Hasil Survei Pekerja Anak (SPA) yang merupakan kerjasama antara BPS dan ILO (International Labour Organization) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja. Sedangkan berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2012, terdapat 3,6 juta anak berumur 10-17 tahun pada 33 provinsi di Indonesia yang bekerja.

Disisi lain belum terpenuhinya hak sipil anak, dimana anak yang memiliki akte kelahiran baru sekitar 72 persen (Susenas 2012), 27 persen lainnya tidak mempunyai akte kelahiran. Hal ini mencerminkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya dan masih lemahnya sistem pendataan atau registrasi kelahiran. Tidak dimilikinya akta kelahiran menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan adanya data profil anak sebagai gambaran keadaan anak-anak di Indonesia secara menyeluruh diberbagai bidang. Oleh karena itu KPP&PA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik melakukan suatu kajian analisis deskriptif mengenai situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia. Penyusunan profil dalam jangka pendek menjadi sangat penting untuk disusun dan dikembangkan sebagai basis data dan masukan dalam upaya pemenuhan hak-hak anak.

1.2 Tujuan

Publikasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi anak-anak Indonesia yang diamati dari aspek lingkungan keluarga, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak baik terhadap masalah sosial, hukum, kekerasan, anak bekerja dan anak cacat.

(4)

4

1.3 Sumber Data

Publikasi ini menggunakan berbagai macam sumber data, dari hasil survei dan sensus sebagai berikut:

a. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 b. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012 c. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012

d. Sensus Penduduk 2010 dan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010

e. Lembaga Pemasyarakatan Republik Indonesia f. Bareskrim Mabes POLRI

1.4 Sistematika Penyajian

Secara sistematis publikasi ini disajikan dalam tujuh bab. Pemilihan bab dalam penyusunan Profil Anak disesuaikan dengan lima kluster hak anak pada Konvensi Hak Anak (KHA) yakni: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus. Pengelompokan tentang isi KHA ke dalamlima kluster oleh Komisi Hak Anak PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta mempermudah dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Dalam setiap kluster telah ditentukan indikator rinci, meskipun demikian karena keterbatasan data, tidak semua indikator tersebut disajikan dalam publikasi ini.

Bab pertama menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang penyusunan publikasi, tujuan, sumber data, serta sistematika publikasi. Bab ke-dua menyajikan tentang Struktur Penduduk 0-17 tahun. Bab ke-tiga menyajikan tentang Hak Sipil dan Kebebasan. Bab ke-empat tentang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Bab lima Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Bab ke-enam Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Seni budaya, sedangkan Bab ke-tujuh Perlindungan Khusus yang berisi tentang Perkembangan Perlindungan Anak di Indonesia, Implementasi Penanganan Perlindungan Anak, Perlindungan Khusus, Anak Bermasalah Hukum, Penyandang Disabilitas Anak, dan Profil Anak yang Bekerja.

(5)

5

STRUKTUR PENDUDUK USIA 0 -17 TAHUN

2.1 Jumlah dan Rasio Jenis Kelamin

Karakteristik usia secara jelas mendefinisikan perbedaan yang memisahkan antara anak dari orang dewasa. Anak yang dimaksud dalam publikasi ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 yaitu seseorang yang belum berusia 18 tahun. Anak merupakan karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Dari sudut pandang anak sebagai aset, anak merupakan salah satu modal sumber daya manusia, jika dipenuhi semua kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Pemenuhan kebutuhan ini akan membentuk anak tumbuh menjadi manusia berkualitas. Sebaliknya jika kebutuhan anak tidak terpenuhi, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas hidup anak atau sebagian dari mereka akan menimbulkan masalah bagi keluarga, masyarakat, maupun negara.

Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta jiwa, yang terdiri dari 119,6 juta laki-laki dan 118,0 juta perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 82,0 juta orang atau sekitar 33,4 persen diantaranya adalah penduduk berumur di bawah 18 tahun.

Tabel 2.1 Penduduk Indonesia Tahun 2012 (000)

Kelompok Umur

Laki-laki Perempuan Laki-laki dan

Perempuan Rasio Jenis Kelamin Jumlah (000) % Jumlah (000) % Jumlah (000) % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 0-17 42.012 34 ,1 40.071 32 ,8 82.083 33 ,4 104 ,8 18+ 81.319 65 ,9 82.023 67 ,2 163.342 66 ,6 99 ,1 Jumlah 123.331 100,0 122.094 100,0 245.425 100,0 101 ,0

Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Berdasarkan Hasil SP2010

2

2

(6)

6

Pada tahun 2012 penduduk Indonesia berumur 0-17 tahun mencapai 82,1 juta (Tabel 2.1) atau sebesar 33,4 persen dari keseluruhan penduduk. Apabila dilihat dari sudut pandang ketergantungan maka sepertiga dari penduduk Indonesia masih membutuhkan perlindungan baik oleh keluarga, masyarakat, ataupun negara.

Kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk anak terlihat masih cukup besar misalnya dibidang kesehatan dan pendidikan. Masih sangat dibutuhkan peran serta orang tua untuk akses kepada pelayanan kesehatan agar mengurangi angka kesakitan dan angka kematian pada bayi, balita, dan anak. Anak baik bayi maupun balita membutuhkan layanan kesehatan yang baik, sehingga mereka bisa melewati tahun-tahun kritis di awal kehidupannya dimana kesehatannya sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Usaha pemerintah meningkatkan kesehatan anak melalui layanan imunisasi, pemberian vitamin, dan makanan tambahan berperan penting dalam menurunkan kematian bayi dan meningkatkan kualitas kesehatannya.

Dibidang pendidikan juga tidak kalah pentingnya dimana pendidikan merupakan sarana untuk membentuk generasi yang berkualitas. Penyediaan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah mutlak diperlukan disamping pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Dalam hal ini perlu menjadikan pendidikan anak sebagai investasi untuk hari depan anak dan orangtua.

Pada Tabel 2.1 tampak bahwa RJK kelompok umur 0-17 tahun sebesar 104,8, yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012 penduduk berumur 0-17 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Sedangkan pada kelompok umur yang lebih tua, RJK sebesar 99,1 yang artinya proporsi penduduk laki-laki berkurang. Secara alami ini berkaitan dengan angka harapan hidup laki-laki yang memang lebih rendah daripada perempuan.

Walaupun laki-laki tercatat lebih banyak daripada perempuan, dalam mendukung kesetaraan gender maka baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang setara dalam berbagai aspek seperti untuk memperoleh pendidikan atau layanan kesehatan yang baik.

(7)

7

2.2 Tren Penduduk 0-17 Tahun

Dalam periode 2011-2016 yang diperlihatkan oleh Tabel 2.2 diproyeksikan akan terjadi kenaikan jumlah penduduk 0-17 tahun dalam periode lima tahun ke depan, namun pada penduduk kelompok umur 15-17 tahun memiliki pola yang sedikit acak, dimana terjadi peningkatan pada tahun tertentu dan terjadi penurunan ditahun berikutnya. Perbedaan tren antar kelompok umur ini di masa akan datang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan merencanakan program-program yang tepat agar perubahan komposisi penduduk 0-17 tahun ini tidak menjadi penghambat jalannya pembangunan.

Tabel 2.2 Proyeksi Penduduk Indonesia Umur 0-17 Tahun, 2011-2016 (000) Kelompok Umur Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 2016 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 0-4 23.681 23.853 23.994 24.087 24.066 23.960 5-9 22.632 22.767 22.932 23.110 23.330 23.559 10-14 22.230 22.281 22.310 22.360 22.462 22.577 15-17 13.086 13.182 13.262 13.292 13.286 13.315 Jumlah 81.630 82.083 82.498 82.848 83.144 83.412

(8)
(9)

9

HAK SIPIL DAN KEBEBASAN

Kepemilikan akte kelahiran juga merupakan salah satu bukti telah terpenuhinya hak memiliki identitas sebagai anak. Pasal 9 konvensi PBB mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Laporan ini menghimbau agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak dan merupakan tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara. Konvensi itu diratifikasi oleh indonesia pada tahun 1990.

Akte kelahiran merupakan hasil pencatatan terhadap peristiwa kelahiran seseorang di wilayah suatu negara. Sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaanya. Ketika tidak ada bukti diri, dikemudian hari aka nada kemungkinan penyalahgunaan identitas yang akan menimbulkan permasalahan. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak, seperti anak menjadi korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja ataupun kekerasan.

Akta kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan negara atas status keperdataan seseorang. Indonesia termasuk salah satu negara yang cakupan pencatatan kelahirannya kurang baik. Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota.

3

3

(10)

10

Gambar 3.1 Penduduk 0-17 Tahun Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Bukti dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menunjukkan masih rendahnya kepemilikan akte kelahiran untuk anak 0-17 tahun. Susenas 2012 mencatat hanya sebesar 53 persen dari penduduk 0-17 tahun yang memiliki akte kelahiran dapat menunjukkannya, sedang 19 persen mengaku memiliki akte kelahiran namun tidak dapat menunjukkannya. Penduduk usia 0-17 tahun yang tidak memiliki akte kelahiran menurut Susenas 2012 adalah sebesar 27 persen, dan sebesar 1 persen responden yang ditanya tentang akte kelahiran anaknya menyatakan tidak tahu tentang akte kelahiran. Rendahnya kepemilikan akte menunjukkan kepedulian tentang hak anak oleh orang tua dan pemerintah perlu ditingkatkan.

Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan, dan diskriminasi. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua, memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak.

Realitanya keinginan sebagian penduduk untuk memiliki akta kelahiran seringkali mendapatkan hambatan karena biaya pembuatannya yang mahal, persyaratannya banyak, prosesnya yang panjang, dan butuh waktu lama, atau hambatan yang sifatnya menyangkut keturunan seseorang. Mencermati

(11)

11

permasalahan dalam pencatatan kelahiran tersebut, maka persoalan yang lebih mendasar yaitu pengetahuan orang tua dan keluarga akan pentingnya akte kelahiran perlu ditingkatkan. Oleh karena itu akte kelahiran juga perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan masyarakat. Tanggung jawab ini diemban oleh pemerintah pusat maupun daerah karena di dalam akte kelahiran terdapat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945, serta Undang-Undang No. 23/2002 yang berkaitan keperdataan seseorang berupa hak identitas dan kewarganegaraan.

Gambar 3.2 Persentase Penduduk 0-17 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Alasan orang tua yang anaknya tidak memiliki akte kelahiran 42 persen diantaranya adalah karena biaya yang mahal. Alasan jarak yang jauh disebutkan oleh responden sebesar 6 persen. Jarak yang menjadi kendala bagi orang tua untuk mengurus dan memperoleh akte kelahiran, menunjukkan bahwa akses pelayanan pemerintah kepada masyarakat masih menjadi kendala di beberapa provinsi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah jawaban tidak tahu. Sebesar 11 persen mengaku tidak tahu cara mengurus akte kelahiran, dan 4 persen mengaku tidak tahu bahwa kelahiran harus dicacat, hal ini memperlihatkan pengetahuan yang kurang pada masyarakat tentang akte kelahiran. Bagi pemerintah sangat perlu memperkenalkan hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dalam pemenuhan hak anak.

(12)
(13)

13

LINGKUNGAN KELUARGA DAN

PENGASUHAN ALTERNATIF

Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karenanya seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang baik dan benar. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia berawal dari kehidupan prenatal, terutama sejak awal kehamilan. Faktor kunci terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang sangat menentukan masa depannya adalah suatu periode emas. Periode emas anak tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga.

Lingkungan keluarga merupakan tempat untuk mengembangkan kepribadian yang utuh dan serasi bagi anak. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah Konvensi Hak-hak Anak yaitu bahwa anak, demi pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, harus tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih, dan pengertian.

4.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Dalam tumbuh kembangnya, anak memiliki masa-masa emas atau yang sering disebut dengan golden age yaitu usia dini. Di usia tersebut, anak akan dengan mudah meniru apa yang ada di sekitarnya. Oleh karenanya, anak harus mendapatkan pendidikan yang baik pada usia tersebut.

Pendidikan usia dini atau yang lebih sering dikenal dengan istilah PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan

(14)

14

selanjutnya. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pada jalur formal, PAUD berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat, sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselengggarakan oleh lingkungan.

Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) setiap tahunnya mengumpulkan data tentang PAUD. Dari data Susenas kita dapat mengetahui angka partisipasi PAUD dan jenis PAUD yang diikuti oleh anak-anak di Indonesia. Tabel 4.1 menyajikan persentase anak usia 0-6 tahun yang sedang mengikuti PAUD menurut tipe daerah, jenis kelamin, dan kelompok umur. Persentase anak yang sedang mengikuti PAUD dibagi atas beberapa kelompok umur, yaitu 0-2 tahun, 3-4 tahun, 5-6 tahun, 3-6 tahun, dan 0-6 tahun.

Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur, 2012

Tipe Daerah Kelompok Umur (Tahun)

Jenis Kelamin 0 - 2 3 - 4 5 - 6 3 - 6 0 - 6

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Perkotaan:

Laki-laki 1,01 19,63 41,30 30,25 18,39

Perempuan 1,35 22,77 41,13 31,60 19,17

Laki-laki dan Perempuan 1,18 21,16 41,22 30,90 18,77 Perdesaan:

Laki-laki 0,90 14,21 28,93 21,46 13,00

Perempuan 0,96 15,68 30,53 23,04 13,96

Laki-laki dan Perempuan 0,93 14,93 29,71 22,23 13,47 Perkotaan dan Pedesaan

Laki-laki 0,95 16,89 35,02 25,80 15,65

Perempuan 1,15 19,20 35,65 27,23 16,51

Laki-laki dan Perempuan 1,05 18,02 35,33 26,50 16,07

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Tabel di atas memberikan gambaran tentang partisipasi PAUD anak usia 0-6 tahun di Indonesia. Angka partisipasi PAUD di Indonesia sebesar 10-6,07 dan tidak

(15)

15

terlalu berbeda antara angka partisipasi PAUD laki-laki (15,65) dan perempuan (16,51). Angka partisipasi PAUD di daerah perkotaan (18,77) lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi PAUD di daerah perdesaan (13,47). Kelompok umur 5-6 tahun merupakan kelompok umur dengan angka partisipasi paling tinggi, karena di usia ini banyak anak yang mengikuti taman kanak-kanak.

Pelaksanaan pendidikan anak usia dini di Indonesia sudah tersebar, walaupun persebarannya belum merata di seluruh provinsi. Hal ini terlihat dari angka partisipasi PAUD per provinsi yang berfluktuasi, seperti yang terlihat di Lampiran 1. Provinsi dengan angka partisipasi PAUD tertinggi adalah DI Yogyakarta yaitu sebesar 38,11 persen. Sedangkan provinsi dengan angka partisipasi PAUD terkecil adalah Provinsi Papua yaitu sebesar 4,21 persen.

Gambar 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jenis-jenis PAUD meliputi TK, RA, Kelompok Bermain, dan Taman Penitipan Anak. Dalam Susenas, jenis PAUD dikelompokkan menjadi lima yaitu TK/BA/RA, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD terintegrasi BKB (Bina Keluarga Balita)/Posyandu, dan satuan PAUD sejenis lainnya (PAUD-TAAM (Taman Asuh Anak Muslim), PAUD-PAK (Pendidikan Anak Kristen), PAUD-BIA (Bina Iman Anak Katolik), TKQ (Taman Kanak-kanak Al Qur’an), dan PAUD lembaga lainnya).

(16)
(17)

17

Tabel 4.2 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD, 2012

Tipe Daerah/ Jenis PAUD TK/RA/ RB Kelompok Bermain Taman Penitipan Anak Pos PAUD/ PAUD Terintegrasi BKB/ Posyandu Satuan PAUD Sejenis Lainnya Jenis Kelamin (1) (2) (3) (4) (5) (6) Perkotaan: Laki-laki 70,21 2,91 1,91 10,33 14,64 Perempuan 68,49 3,43 1,28 11,19 15,61

Laki-laki dan Perempuan 69,37 3,16 1,60 10,75 15,11

Perdesaan:

Laki-laki 65,07 1,43 0,69 13,73 19,09

Perempuan 62,78 2,26 0,59 15,51 18,86

Laki-laki dan Perempuan 63,94 1,84 0,64 14,60 18,98

Perkotaan dan Perdesaan:

Laki-laki 68,00 2,27 1,38 11,79 16,56

Perempuan 65,99 2,92 0,98 13,08 17,04

Laki-laki dan Perempuan 67,01 2,58 1,19 12,42 16,79 Sumber : Diolahdari Susenas 2012, BPS

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa TK/RA/BA merupakan jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak-anak yaitu sebesar 67,01 persen. Jenis PAUD yang paling sedikit diikuti adalah taman penitipan anak yaitu sebesar 1,19 persen. Dari semua jenis PAUD yang ada, angka partisipasi PAUD anak-anak laki-laki dan perempuan relatif kecil perbedaannya.

4.2 Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama

Anak dan keluarga merupakan dua hal yang memiliki hubungan erat, dimana lingkungan keluarga merupakan salah satu lingkungan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Kerangka konseptual yang dikemukakan oleh UNICEF kemudian dikembangkan oleh Engle,et.al. menekankan bahwa ada tiga komponen yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, yaitu makanan, kesehatan, dan asuhan. Dikemukakan lebih lanjut oleh Engle,et.al., bahwa pola asuh anak meliputi 6 hal, yaitu :

(18)

18

1.

Perhatian/dukungan ibu terhadap anak

2.

Pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak

3.

Rangsangan psikososial pada anak

4.

Persiapan dan penyimpanan makanan

5.

Praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan

6.

Perawatan anak dalam keadaan sakit seperti mencari pelayanan kesehatan. Dari pola asuh yang disebutkan di atas, perhatian/dukungan ibu terhadap anak menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan karena ibulah yang nantinya akan mendidik dan mengasuh anak mereka, meski selayaknya pendidikan dan pengasuhan dilakukan oleh kedua orang tua. Perhatian dan dukungan orang tua terhadap anak akan menjadi optimal jika kedua orang tua tinggal bersama dengan anak-anaknya.

Pada bahasan anak dan keluarga yang tinggal bersama ini, akan diulas tentang anak yang tinggal dengan bapak kandung, anak yang tinggal dengan ibu kandung, anak yang tinggal dengan bapak/ibu kandung, dan anak yang tinggal dengan keluarga lain. Data yang digunakan adalah data SUSENAS Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012.

4.2.1 Anak yang Tinggal dengan Bapak Kandung

PAUD pada jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga sejatinya didapat dari bapak dan ibunya. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan dari kedua orang tua kandungnya. Pada sub bab ini, diulas mengenai anak yang tinggal dengan bapak kandungnya.

Gambar 4.2 Persentase Anak yang Tinggal dengan Bapak Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

(19)

19

Pada Tabel Lampiran A-4.2 tercatat ada sekitar 2,34 persen anak-anak di Indonesia yang tinggal hanya bersama bapak kandungnya, ini bukan berarti hanya berdua saja dengan bapak kandungnya, karena kondisi ini memungkinkan bagi beberapa anak yang tinggal dengan salah satu dari orang tua kandung, dalam hal ini adalah bapak saja. Pada Grafik 4.2 digambarkan bahwa ada sekitar 2,35 persen anak laki-laki yang tinggal dengan bapak kandung, sedangkan anak perempuan sebesar 2,33 persen.

Anak yang tinggal dengan hanya dengan bapak kandung bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Misalnya karena adanya perceraian antara bapak dan ibu, baik perceraian karena meninggalnya ibu kandung maupun perceraian karena akibat adanya perselisihan antara bapak dan ibu. Ibu yang bekerja di tempat yang sangat jauh, sehingga tidak memungkinkan anak dan ibu bertemu setiap hari. Atau bisa saja karena ibu kandung sedang bermasalah dengan hukum dan juga sebab

lainnya. Fase-fase pertumbuhan anak tentunya membutuhkan perlakuan yang

berbeda. Misalnya balita, akan lebih membutuhkan kehadiran seorang ibu kandung daripada bapak kandung. Khususnya bayi yang masih membutuhkan ASI, akan sangat membutuhkan kehadiran ibu kandung daripada bapak kandung. Meskipun peran pengasuhan sebenarnya bisa saling melengkapi. Anak yang tinggal dengan bapak kandung cenderung memiliki waktu kebersamaan dengan bapak lebih sedikit, karena kewajiban bapak untuk bekerja juga akan menyebabkan berkurangnya peran pengasuhan. Tentu saja ini merupakan hal yang sangat kompleks, mengasuh anak merupakan suatu proses yang sangat penting. Sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik bagi orang-orang terdekat dalam membangun interaksi dengan anak. Bila seorang bapak menjadi orang tua tunggal, tanggung jawabnya tidak hanya dalam hal mencari nafkah, melainkan juga harus menjadi Ibu bagi anak-anaknya.

Pengasuhan anak laki-laki dan perempuan remaja tentu saja juga berbeda, seorang anak perempuan berusia remaja yang hanya mempunyai orang tua laki-laki akan mengalami kesulitan pada saat mengalami masa menstruasi misalnya, karena tidak ada tempat bertanya bagi mereka. Sehingga peran keluarga lainnya teramat diperlukan pada masa-masa ini.

(20)

20

4.2.2 Anak yang Tinggal dengan Ibu Kandung

Sama halnya dengan anak yang tinggal dengan bapak kandung. Anak yang tinggal dengan salah satu orang tua kandung, yaitu ibu kandung saja juga akan mengalami ketimpangan dalam hal pengasuhan. Ibu kandung yang menjadi orang tua tunggal bertanggung jawab atas kelangsungan kesejahteraan anak-anaknya. Pendidikan, sandang, pangan dan papan yang harus disediakan untuk anak-anaknya menyebabkan ibu tersebut harus bekerja.

Pada sub bahasan kali ini akan diulas anak yang tinggal dengan ibu kandung. Persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung di Indonesia sebesar 6,33 persen, hampir tiga kali lipat dibandingkan persentase anak yang tinggal dengan bapak kandungnya. Hal ini mungkin disebabkan cukup banyak bapak yang bekerja di luar kota, sehingga banyak anak yang hanya tinggal dengan ibu kandungnya saja.

Gambar 4.3 Persentase Anak yang Tinggal dengan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS

Oleh karena itu, identifikasi terhadap kebutuhan anak-anak yang tinggal hanya dengan ibu kandung harus dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga terkait. Sehingga anak-anak tersebut dapat terhindar dari masalah-masalah yang timbul akibat tidak lengkapnya orang tua yang akan berpengaruh terhadap masa depannya. Anak dengan orang tua tunggal, dalam hal ini adalah ibu, khususnya yang berasal dari keluarga miskin, besar kemungkinannya akan putus sekolah, kekurangan gizi, dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak lainnya. Sehingga pemerintah perlu membuat peta masalah yang efektif guna mengatasi hal ini.

(21)

21

4.2.3 Anak yang Tinggal dengan Bapak dan Ibu Kandung

Idealnya seorang anak tinggal dengan bapak dan ibu kandungnya, agar anak mendapat pengasuhan dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Secara nasional, anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandungnya sebesar 86,32 persen. Sementara itu, anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandung di daerah perkotaan (87,06 persen) sedikit lebih tinggi daripada anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandung di daerah perdesaan (85,61 persen) seperti dilihat pada Tabel Lampiran A-4.2.

Gambar 4.4 Persentase Anak yang Tinggal dengan Bapak dan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber : Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS

Lengkapnya orang tua bagi anak merupakan hal penting. Walaupun bukan merupakan jaminan bahwa anak-anak dengan orang tua lengkap akan mendapatkan hak-haknya. Namun, setidaknya seorang anak akan mendapatkan fungsi perlindungan dari kedua orang tua secara lebih memadai dan lebih lengkap. Fungsi pencari nafkah akan dipenuhi oleh seorang bapak yang akan membantu anak mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik, sedangkan fungsi ibu sebagai pengelola dan pendidik dalam rumah tangga juga akan didapatkan oleh anak. Sehingga peran bapak dan ibu secara bersama-sama sangat dibutuhkan oleh seorang anak. Keduanya akan menjadi komplementer satu dengan lainnya.

(22)

22

4.2.4 Anak yang Tinggal dengan Keluarga Lain

Anak yang tinggal dengan keluarga lain adalah anak yang tidak tinggal dengan bapak dan ibu kandungnya, atau tinggal dengan keluarga lain. Ketika seorang anak tinggal dengan keluarga lain, maka pendidikan dan pengasuhannya sudah tidak lagi ada dalam pengawasan orang tua kandungnya.

Gambar 4.5 Persentase Anak yang Tinggal dengan Keluarga Lain Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS

Persentase anak yang tinggal dengan keluarga lain di Indonesia sebesar 13,68 persen, dimana anak yang tinggal dengan keluarga lain di daerah perkotaan (12,94 persen) sedikit lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan keluarga lain di daerah perdesaan (14,39 persen). Sementara itu dilihat dari Gambar 4.5, persentase anak perempuan yang tinggal dengan keluarga lain (14,11 persen) tidak berbeda secara signifikan dengan anak laki-laki yang tinggal dengan keluarga lain (13,27 persen).

Anak merupakan amanah sekaligus tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada tiap orang tua. Namun ada suatu kondisi yang menyebabkan seorang anak ada dalam pengasuhan anggota keluarga yang lain. Misalnya kedua orang tua bekerja di tempat lain, atau sedang menempuh pendidikan di tempat lain, atau kedua orang tua sudah meninggal (yatim piatu), atau kemungkinan

(23)

23

paling buruk, misalnya kedua orang tua sedang bermasalah dengan hukum. Ini menyebabkan anak harus dititipkan kepada anggota keluarga yang lain. Tentu saja tiap kasus memerlukan berbagai jenis perlakuan yang berbeda. Anak-anak yang tidak tinggal dengan kedua orang-tuanya cenderung lebih rentan terpapar tindakan kriminal dari orang-orang terdekat. Belum lagi masalah psikologis yang akan dihadapi oleh seorang anak akibat ketiadaan kedua orang tua. Sehingga anak yang tinggal dengan selain kedua orangtua kandung jelas membutuhkan perhatian lebih, agar terjamin pemenuhan kebutuhan dan hak-hak nya sebagai warga negara yang juga dilindungi oleh undang-undang, khususnya UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1. Sehingga pemerintah punya tanggung jawab besar dalam mengupayakan kesejahteraan anak-anak, khususnya anak-anak yang tidak tinggal dengan kedua orang tuanya dengan memperhatikan berbagai macam penyebabnya.

4.3 Perkawinan Usia Dini

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun. Karena, sebuah perkawinan sejatinya dilakukan pada saat laki-laki dan perempuan sudah cukup matang sehingga kedua belah pihak siap secara fisik, mental maupun psikis untuk membina rumah tangga. Akan tetapi, tidak jarang dijumpai anak-anak berstatus kawin/cerai.

Seiring dengan waktu, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1 butir 3 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak-anak. Dari Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dianjurkan adalah usia minimal 18 tahun. Pada publikasi ini, yang dimaksud dengan perkawinan usia dini mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak adalah anak-anak usia di bawah 18 tahun yang sudah menikah, anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai, baik cerai hidup maupun cerai mati.

Pada Tabel Lampiran A-4.3 terlihat bahwa 1,67 persen anak perempuan usia 10-17 tahun di Indonesia telah melakukan perkawinan. Dan jika diperhatikan menurut tipe daerah, proporsi anak perempuan usia 10-17 tahun yang melakukan

(24)

24

perkawinan di daerah perkotaan yaitu 0,88 persen, sedangkan di perdesaan hampir tiga kali lipatnya yaitu mencapai 2,40 persen. Hal ini diduga disebabkan berbagai faktor, diantaranya ekonomi, sosial dan budaya. Alasan ekonomi mungkin dianggap sebagai solusi paling cepat dan mudah bagi orang tua atas beban anak yang tentu saja akan digantikan oleh suami setelah seorang perempuan menikah. Atau justru, setelah menikah seorang anak perempuan diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga. Yang menjadi alasan sosial misalnya masih adanya sebagian masyarakat di Indonesia yang menganggap bahwa semakin cepat menikah adalah suatu hal yang baik bagi seorang perempuan. Sedangkan dari segi budaya, diduga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya daerah-daerah terpencil, menikah di usia sangat muda adalah hal yang sudah sangat umum dilakukan, sehingga bukan dianggap hal yang tabu meskipun telah dilarang oleh undang-undang.

Sosialisasi akan pentingnya melakukan perkawinan pada usia yang tepat perlu dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga, masyarakat juga harus dikomunikasikan tentang pentingnya mengatur usia perkawinan. Bagi perempuan, menikah di usia yang tepat akan mengurangi resiko kematian ibu dan bayi. Karena melahirkan pada usia sangat muda akan sangat beresiko terhadap kematian. Dalam jangka panjang, ini juga akan menurunkan angka fertilitas dengan cara memperpendek rentang masa reproduksi perempuan melalui penundaan usia perkawinan.

Gambar 4.6 Persentase Anak Perempuan Usia10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa 98,33 persen anak perempuan usia 10-17 tahun belum kawin, 1,59 persen berstatus kawin dan 0,07 persen berstatus cerai.

(25)

25

Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi kementerian dan lembaga terkait, anak yang berstatus kawin akan tercabut sebagian haknya sebagai anak, diantaranya adalah hak atas pendidikan. Karena sebagaimana kita tahu, pada pendidikan dasar dan menengah formal mensyaratkan anak harus berstatus belum kawin.

Gambar 4.7 Persentase Anak Perempuan Usia 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Cerai Menurut Umur Kawin Pertama, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Labih rinci lagi, pada Grafik 4.7, dari 1,67 persen anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai di Indonesia, sebesar 38,86 persen kawin di usia 15 tahun ke bawah, sebesar 37,72 persen kawin di usia 16 tahun, dan sebesar 23,43 persen kawin di usia 17 tahun. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana usia perkawinan yang diijinkan untuk perempuan adalah 16 tahun, maka masih cukup banyak anak yang menikah di usia kurang dari 16 tahun.

Melihat fenomena perkawinan pada usia yang sangat muda bagi perempuan, tentunya hal ini tidak terlepas dari peran orang tua, seorang anak kecil kemungkinan sudah mempunyai kesadaran atas dirinya dapat memutuskan kapan dia ingin menikah jika tidak ada campur tangan orang tua atau orang yang terdekat dengan dirinya. Sehingga untuk mengurangi fenomena pernikahan dini ini dapat dilakukan dengan cara memberikan edukasi kepada para orang tua, khususnya yang memiliki anak perempuan agar dapat menunda usia perkawinan hingga anak perempuannya telah mencapai usia yang cukup matang untuk kawin.

(26)

26

KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN

Kesejahteraan merupakan hal atau keadaan sejahtera, aman, selamat, dan tenteram. Kesejahteraan meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu indikator yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan adalah status kesehatan masyarakat. Semakin baik kesehatan masyarakat, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya.

5.1 Penolong Kelahiran

Penolong kelahiran merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses kelahiran. Penolong kelahiran merupakan salah satu bagian dari pelayanan antenatal care. Peningkatan pelayanan antenatal merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer.

Penolong kelahiran didefinisikan sebagai orang yang biasa memeriksa wanita hamil atau memberikan pertolongan selama persalinan dan masa nifas. Penolong kelahiran dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah mereka yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis kandungan, bidan dan lain-lain, sedangkan bukan tenaga kesehatan misalnya dukun terlatih maupun dukun tidak terlatih.

Seringkali seorang ibu yang akan melahirkan ditolong lebih dari satu orang penolong kelahiran. Misalnya seorang ibu pada awal persalinannya ditolong oleh dukun, karena terjadi masalah maka harus dibawa ke bidan. Dalam kasus tersebut, ada dua penolong kelahiran dimana penolong kelahiran pertama adalah dukun, sedangkan penolong kelahiran terakhir adalah bidan. Pada bab ini akan diulas mengenai penolong kelahiran terakhir.

(27)

27

Gambar 5.1 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa penolong kelahiran terakhir paling banyak adalah bidan baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Di daerah perkotaan, penolong kelahiran yang banyak dipilih oleh masyarakat setelah bidan adalah dokter. Sementara itu, penolong kelahiran terakhir yang banyak dipilih oleh masyarakat perdesaan setelah bidan adalah dukun. Masih tingginya persentase balita yang kelahirannya ditolong oleh dukun di daerah perdesaan mungkin disebabkan oleh faktor budaya dan sarana prasarana kesehatan yang kurang memadai. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan maupun tersedianya sarana dan prasarana kesehatan di daerah perdesaan.

5.2 Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita

Periode neonatal atau 28 hari setelah kelahiran adalah masa paling rawan bagi seorang anak. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, 60 persen kematian bayi terjadi pada saat bayi berumur 0 bulan. Dan 80 persen kematian anak terjadi pada anak berumur 1-11 bulan. Sehingga, upaya menurunkan kematian neonatal adalah suatu hal yang sangat penting untuk digalakkan. Karena proporsi kematian neonatal dan bayi justru meningkat masing-masing sekitar 3,5 dan 3,3 persen dari periode sebelumnya (SDKI 2007). Tren menunjukkan bahwa angka kematian balita dan bayi pada tahun 2012 menurun

(28)

28

dibanding tahun 2007, sedangkan kematian neonatal tidak terlihat perubahannya (Grafik 5.2). Namun fakta yang menunjukkan bahwa peningkatan proporsi kematian neonatal dan kematian bayi terhadap angka kematian balita jelas akan menjadi arah dalam menentukan kebijakan guna menurunkan kematian neonatal yang secara signifikan akan menurunkan angka kematian balita secara lebih cepat.

Berita baiknya adalah bahwa angka kematian balita di Indonesia sudah jauh menurun dalam dua dekade terakhir, Pada SDKI 2012, angka kematian bayi tercatat sebanyak 40 tiap 1.000 bayi lahir hidup atau turun hampir 60 persen (58,7 persen) dari tahun 1991 yang tercatat sebesar 97 kematian per 1000 kelahiran. Sementara penurunan angka kematian balita terlihat sangat signifikan dalam periode tersebut, tidak demikian halnya dengan angka kematian neonatal yang tidak menunjukkan perubahan berarti, khususnya dalam lima belas tahun terakhir (Lihat Grafik 5.2 ), dimana angka kematian neonatal hanya turun dari 22 pada 1995 menjadi 19 per 1000 kelahiran. Bahkan pada dua periode SDKI yang terakhir (2007 dan 2012), angka kematian neonatal tidak berubah yaitu 19 per seribu kelahiran hidup. Disini terlihat bahwa penurunan angka kematian neonatal berjalan lebih lambat dari angka kematian bayi dan balita.

Grafik 5.2 Angka Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita, Per 1000 Kelahiran Hidup 1991-2012

Sumber: SDKI 2012

Dalam buku ‘Levels & Trends in Child Mortality Report 2013’ yang disusun oleh UNICEF, WHO, Bank Dunia dan PBB, dijelaskan bahwa pola penurunan angka kematian bayi dan kematian neonatal di semua negara yang mengadopsi poin-poin MDG’s adalah sama. Dimana penurunan kematian bayi jauh lebih cepat daripada

(29)

29

angka kematian neonatal. Tren tersebut diperkirakan akan terus terjadi sejalan dengan terus menurunnya angka kematian balita.

Kematian neonatal diakibatkan oleh berbagai macam penyakit dan kondisi-kondisi yang umumnya sudah dapat dicegah dengan berbagai macam jenis perawatan yang terbukti efektif dan murah. Secara global, kematian neonatal disebabkan oleh sepsis dan meningitis, pneumonia, atau diare. Penyakit-penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan menerapkan pencegahan dan perawatan yang sederhana. Penyebab kematian neonatal lainnya adalah komplikasi pada saat menjelang kelahiran.

Program yang terencana dengan baik yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait akan dapat membantu meningkatkan perawatan bagi ibu dan bayi di seluruh daerah. Tentu saja, program-program tersebut juga harus dijalankan bersamaan dengan program pencegahan yang terkait dengan ibu dan bayi. Misalnya, kunjungan postneonatal akan menjadi sarana efektif untuk mempromosikan kebiasaan hidup sehat seperti kebiasaan menyusui dengan ASI dan penerapan pola hidup bersih bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Kemudian juga penanganan terhadap penyakit menular seperti pneumonia, diare dan malaria. Perawatan kelahiran dapat memberikan tiga keuntungan, yaitu buat ibu, bayi dan anak-anak di kemudian hari. Dengan menerapkan berbagai metode yang sederhana tersebut, diharapkan dapat membantu mengurangi angka kematian bayi.

5.3 Air Susu Ibu (ASI)

Air susu ibu atau yang sering kita sebut dengan istilah ASI merupakan susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bagi bayi yang belum dapat mencerna makanan padat. Bayi yang disusui dengan ASI akan mendapatkan gizi terbaik yang tidak tergantikan bahkan oleh susu formula yang terbaik sekalipun. Hal ini dikarenakan, ASI mengandung banyak immunoglobulin A (IgA) yang baik untuk pertahanan tubuh dalam melawan penyakit.

Seharusnya seorang bayi yang baru lahir mendapatkan ASI untuk kekebalan tubuh dan kesehatannya. WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat jika bayi diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Akan tetapi belum semua ibu tahu pentingnya ASI untuk bayi, oleh karenanya perlu

(30)

30

dilakukan sosialisasi pentingnya ASI untuk menghasilkan generasi penerus yang cerdas dan sehat.

Gambar 5.3 memperlihatkan sebanyak 94,70 persen balita di Indonesia pernah diberi ASI, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap balita laki-laki (94,29 persen) maupun perempuan (95,13 persen) yang pernah diberi ASI. Sementara itu persentase balita di daerah perdesaan yang pernah diberi ASI (96,15 persen) sedikit lebih tinggi dibandingkan balita di daerah perkotaan (93,20 persen).

Gambar 5.3 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Rata-rata lama pemberian ASI di Indonesia (Gambar 5.4) adalah 15,85 bulan atau sekitar 16 bulan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pemberian ASI balita laki-laki (15,80 bulan) dan perempuan (15,91 bulan). Juga tidak ada perbedaan yang signifikan antara balita di daerah perkotaan dan perdesaan. Data tersebut mengindikasikan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian ASI sudah cukup baik.

(31)

31

Gambar 5.4 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Akan tetapi jika dilihat lebih jauh lagi mengenai ASI yang diberikan kepada balita, apakah ASI yang diberikan hanya ASI saja atau dengan makanan tambahan maka pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan masih harus ditingkatkan. Rata-rata lama pemberian ASI saja adalah sekitar 4 bulan, baik di derah perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu, rata-rata lama pemberian ASI dengan makanan tambahan sekitar 12 bulan (Gambar 5.5).

Gambar 5.5 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah, 2012

(32)

32

Dari Gambar 5.6 dapat dilihat persentase balita umur 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih. Hal ini mengggambarkan balita yang diberi ASI eksklusif. Persentase balita 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih sebesar 44,76 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, balita usia 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih di daerah perkotaan (46,20 persen) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (43,39 persen). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat di daerah perkotaan akan pentingnya ASI eksklusif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.

Gambar 5.6 Persentase Balita Berumur 2-4 Tahun yang Diberi ASI Saja Selama 6 Bulan Lebih Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS 5.4 Imunisasi

Salah satu investasi kesehatan yang tidak kalah pentingnya adalah imunisasi. Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang berbahaya. Sesuai dengan pedoman WHO, anak dinyatakan telah diimunisasi lengkap bila telah mendapatkan satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak (BPS, 2007).

Dengan imunisasi, anak akan terhindar dari penyakit berbahaya, sehingga anak dapat beraktifitas, bermain, dan belajar tanpa harus terganggu oleh masalah kesehatan. Akan tetapi, masih banyak masalah di Indonesia sehubungan dengan

(33)

33

pemberian imunisasi, seperti orang tua yang kurang memahami pentingnya imunisasi, mitos yang salah tentang imunisasi, budaya, hingga terlambatnya jadwal imunisasi. Karena sejatinya, balita diberikan imunisasi secara lengkap dan tepat waktu, maka seluruh imunisasi harus diberikan secara lengkap sebelum anak berumur 1 tahun.

Gambar 5.7 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Dari Gambar 5.7 di atas dapat dilihat bahwa persentase balita yang pernah diberi imunisasi sebesar 95,10 persen. Yang dimaksud dengan pernah diimunisasi adalah jika seorang balita pernah mendapat imunisasi minimal satu kali apapun jenis imunisasinya. Jika dilihat menurut jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persentase balita laki-laki (95,04 persen) dan perempuan (95,16 persen) yang pernah diimunisasi. Hal ini mengindikasikan sudah banyak balita yang mendapat imunisasi. Sementara itu, untuk persentase balita yang pernah diimunisasi di daerah perkotaan sebesar 96,79 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yaitu sebesar 93,46 persen. Lebih banyaknya balita yang diimunisasi di daerah perkotaan dibandingkan di perdesaan perlu mendapat perhatian pemerintah, terutama sarana kesehatan yang kurang memadai di perdesaan.

(34)

34

Gambar 5.8 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Imunisasi dan Jenis Kelamin, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Balita yang pernah diimunisasi di Indonesia relatif cukup banyak, namun harus dilihat jenis imunisasinya. Dari Gambar 5.8 dapat dilihat bahwa balita yang pernah diimunisasi BCG, DPT, dan Polio relatif cukup tinggi, di atas 90 persen. Sementara itu persentase balita yang pernah diimunisasi campak cukup rendah yaitu 78,02 persen. Hal ini dikarenakan, imunisasi campak diberikan pada saat usia bayi 9 bulan.

Gambar 5.9 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan 70,62 70,25 70,43 69,95 69,61 69,78 70,29 69,94 70,12

(35)

35

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Selain melihat jenis imunisasinya, perlu dikaji lebih jauh mengenai pemberian imunisasi lengkap. Karena dengan imunisasi lengkap, sistem imun dalam diri anak sudah tercipta dengan baik. Meskipun sudah banyak balita yang diberi imunisasi, namun baru 70,12 persen balita yang diberi imunisasi lengkap. Imunisasi lengkap ditanyakan kepada balita berumur 1-4 tahun, dengan asumsi bahwa saat usia balita satu tahun sudah mendapat imunisasi lengkap denganditandai pemberian imunisasi campak di umur 9 bulan.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara balita laki-laki (70,43 persen) dan balita perempuan (69,78 persen) dalam pemberian imunisasi lengkap. Begitu pula menurut daerah tempat tinggal, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap balita di daerah perkotaan (70,29 persen) dan balita di perdesaan (69,94 persen) yang sudah diimunisasi lengkap.

5.5 Keluhan Kesehatan

Tingkat kesejahteraan suatu negara dapat dilihat dari tingkat kesehatannya. Salah satu indikator yang dapat menggambarkan tingkat kesehatan adalah angka kesakitan atau sering disebut juga dengan angka morbiditas. Keluhan kesehatan didefinisikan sebagai gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk kecelakaan, atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit jika mengalami keluhan kesehatan dan terganggu aktivitas sehari-harinya.

Gambar 5.10 Persentase Anak yang Sakit Selama Sebulan Terakhir Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012

(36)

36

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa angka kesakitan anak Indonesia adalah 27,61 persen. Angka kesakitan anak di daerah perkotaan sebesar 28,44 persen dan angka kesakitan di daerah perdesaan sebesar 26,84 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka kesakitan anak laki-laki (27,56 persen) dan anak perempuan (27,68 persen).

Gambar 5.11 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Selama Sebulan Terakhir Menurut Jenis Keluhan Terbesar dan Jenis Kelamin, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Dalam Susenas, jenis keluhan kesehatan dirinci menjadi panas, batuk, pilek, asma/napas sesak/cepat, diare/buang air, sakit kepala berulang, sakit gigi, dan lainnya. Dalam publikasi ini, jenis keluhan kesehatan dibagi dalam empat kelompok yaitu panas, batuk, pilek, dan lainnya (keluhan kesehatan selain panas, batuk, dan pilek). Lebih dari separuh balita di Indonesia mengalami panas (54,04 persen), batuk (59,41 persen), dan pilek (61,38 persen). Ketiga keluhan kesehatan ini sering dialami balita, karena balita masih sangat rentan terhadap penyakit. Sementara itu persentase balita yang mengalami keluhan kesehatan lainnya sebesar 6,55 persen (Gambar 5.11).

Banyak cara yang dilakukan orang ketika dirinya sakit, dari mengobati sendiri, berobat ke dokter dan lain sebagainya. Mengobati sendiri adalah cara yang banyak dilakukan orang ketika mengalami sakit, sebelum berobat ke fasilitas kesehatan. Adapun cara mengobati sendiri bermacam-macam. Dalam Susenas,

(37)

37

cara mengobati sendiri dibedakan menjadi tiga yaitu minum obat/pengobatan modern, minum obat/pengobatan tradisional, dan lainnya.

Gambar 5.12 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Mengobati Sendiri Selama Sebulan Terakhir Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Pada Gambar 5.12, sebanyak 62,56 persen anak yang sakit mengobati sendiri sakitnya. Jika dilihat menurut tipe daerahnya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara anak di daerah perkotaan yang sakit dan mengobati sendiri (63,65 persen) dan anak di daerah perdesaan yang sakit dan mengobati sendiri (61,48 persen). Sementara itu dari Gambar 5.13 dapat dilihat bahwa 92,85 persen anak yang mengobati sendiri menggunakan obat modern, 20,37 persen menggunakan obat tradisional, dan 3,66 persen pengobatan lainnya.

Gambar 5.13 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012

(38)

38

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS 5.6 Akses ke Pelayanan Kesehatan

Tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor dilihatdari sisi masyarakat, sarana dan prasarana kesehatan. Jumlah fasilitas kesehatan menjadi salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan. Yang tak kalah pentingnya adalah akses ke pelayanan kesehatan. Walaupun jumlahnya pelayanan kesehatan memadai namun bila sulit dijangkau maka fungsinya sebagai tempat pelayanan kesehatan menjadi kurang optimal.

Tabel 5.1 Persentase Anak yang Berobat Jalan menurutJenis Fasilitas Kesehatan dan Tipe Daerah, 2012

Fasilitas Kesehatan Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan

(1) (2) (3) (4)

Rumah Sakit Pemerintah 4,57 2,42 3,51

Rumah Sakit Swasta 5,82 1,35 3,62

Praktek Dokter/Poliklinik 37,97 15,78 27,02

Puskesmas/Pustu 34,90 39,56 37,20

Praktek Tenaga Kesehatan 21,55 43,46 32,36

Praktek PengobatanTradisional 1,59 1,96 1,77

Dukun Bersalin 0,75 0,39 0,57

Lainnya 1,91 1,94 1,93

(39)

39

Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa fasilitas kesehatan yang paling digunakan balita yang sakit untuk berobat jalan adalah puskesmas (37,20 persen), danpraktek tenaga kesehatan (32,36persen). Yang perlu menjadi perhatian adalah masih ada anak yang berobat jalan ke praktek pengobatan tradisional (1,77 persen), dukun bersalin (0,57 persen), dan lainnya (1,93 persen).

5.7 Tingkat Kunjungan ke Fasilitas Kesehatan

Tingkat kunjungan merupakan banyaknya kunjungan pasien ke salah satu fasilitas kesehatan dibandingkan dengan jumlah kunjungan ke seluruh fasilitas kesehatan. Indikator tingkat kunjungan ke fasilitas kesehatan dapat digunakan untuk melihat fasilitas kesehatan yang paling banyak dikunjungi. Dari Gambar 5.14 dapat dilihat bahwa tingkat kunjungan tertinggi adalah ke puskesmas/pustu yaitu sebesar 34,07 persen. Sementara tingkat kunjungan terendah adalah ke dukun bersalin (0,75 persen).

Gambar 5.14 Tingkat Kunjungan Anak ke Fasilitas Kesehatan, 2012

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Di Indonesia, masih ditemui anak-anak yang berobat ke bukan tenaga kesehatan. Tingkat kunjungan ke bukan tenaga kesehatan sebesar 5,02 persen, dimana 2,04 persen ke praktek pengobatan tradisional (batra), 0,75 persen ke dukun bersalin, dan 2,23 persen tingkat kunjungan ke fasilitas kesehatan lainnya. Sementara jika dilihat sebarannya menurut provinsi (Tabel A-5.20 Lampiran), dua provinsi dengan tingkat kunjungan ke bukan tenaga kesehatan tertinggi adalah

(40)

40

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (26,60 persen), dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (11,83 persen).

Menurunkan tingkat kunjungan kesehatan ke bukan tenaga kesehatan merupakan salah satu target pemerintah di bidang kesehatan. Dengan semakin berkurangnya anak yang berobat ke bukan fasilitas kesehatan, semakin berkurang juga resiko kematian anak. Hal ini sejalan dengan tujuan ke empat dari Millenium Development Goals yaitu menurunkan angka kematian anak.

(41)

41

PENDIDIKAN, PEMANFAATAN WAKTU LUANG, DAN

KEGIATAN SENI BUDAYA

Anak-anak merupakan aset (obyek) dari komunitas sosial sehingga investasi dalam bentuk perlindungan, pengakuan, dan pemajuan akan hak-haknya akan kembali pada penguatan struktur produktivitas dan integrasi sosial dimasa yang akan datang. Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental sehingga keberadaannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun berdasarkan manfaat dan arti penting pendidikan bagi anak dalam korelasinya sebagai mahkluk individu dan sosial.

Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan (Deny Slamet Pribadi, 2007) menyatakan bahwa pendidikan merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan ekonomi sosial, budaya, dan politik dalam usaha peningkatan taraf hidup manusia dalam proses pembangunan berdasarkan peran aktif serta kebebasan. Selanjutnya, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menekankan arti penting hak atas pendidikan sebagai kendaraan utama untuk meningkatkan dan memberdayakan anak-anak dari kemiskinan, sarana untuk berpartisipasi secara aktif dan total dalam pembangunan komunitas sosialnya. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) juga dinyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28). UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, karenanya setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender.

Undang Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Melalui UU tersebut, Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.

6

(42)

42

Sesuai dengan Undang Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Sesuai dengan definisi anak tersebut, penulisan analisis pendidikan anak menggunakan umur 5-17 tahun.

Selain mengikuti pendidikan, anak-anak diharapkan memiliki waktu untuk beristirahat dan dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk melakukan berbagai kegiatan seni, budaya, olahraga dan aktivitas lainnya. Dalam bab ini dibahas mengenai pemanfaatan waktu luang oleh anak khususnya dalam mengakses media serta partisipasi anak dalam kegiatan olahraga, kursus, dan kesenian.

6.1 Partisipasi Sekolah

Partisipasi sekolah merupakan indikator yang digunakan untuk melihat akses masyarakat terhadap pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Partisipasi sekolah penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu tidak/belum pernah sekolah, masih bersekolah, dan tidak bersekolah lagi. Seseorang dengan status masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan formal maupun pendidikan non formal.

Tabel 6.1 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Partisipasi Sekolah, 2012

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Formal dan Nonformal

Jumlah Tidak/Belum Sekolah Masih Sekolah Tidak Sekolah lagi (1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan Laki-laki 12,34 82,39 5,27 100,00 Perempuan 11,50 83,44 5,06 100,00

Laki-laki dan Perempuan 11,93 82,90 5,17 100,00

Perdesaan

Laki-laki 12,49 79,49 8,02 100,00

Perempuan 12,22 81,11 6,68 100,00

Laki-laki dan Perempuan 12,36 80,27 7,37 100,00

Perkotaan dan Perdesaan

Laki-laki 12,42 80,87 6,71 100,00

Perempuan 11,87 82,23 5,90 100,00

(43)

43

Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS

Tabel 6.1 menyajikan persentase anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin serta partisipasi sekolah. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012, persentase anak berumur 5-17 tahun yang masih bersekolah sekitar 81,53 persen. Sementara itu anak yang belum/tidak pernah bersekolah sebesar 12,15 persen dan sisanya, yaitu sebesar 6,32 persen tidak bersekolah lagi.

Berdasarkan tipe daerah, persentase anak umur 5-17 tahun yang masih bersekolah di perkotaan (82,90 persen) lebih tinggi dibanding di perdesaan (80,27 persen). Hal sebaliknya terjadi untuk persentase anak umur 5-17 tahun yang tidak bersekolah lagi. Persentase anak umur 5-17 tahun di perkotaan yang tidak bersekolah lagi lebih rendah dinadingkan dengan anak di perdesaan (5,17 persen berbanding 7,37 persen). Kemudahan akses untuk memperoleh pendidikan di perkotaan yang lebih baik, serta ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di perkotaan yang lebih lengkap dan lebih memadai dibandingkan dengan di perdesaan diduga menjadi penyebab adanya perbedaan antara persentase anak yang bersekolah di perkotaan dibanding di perdesaan.

Selain daerah tempat tinggal, akses terhadap pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah lebih rendah daripada anak laki-laki. Susenas 2012 mencatat bahwa persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 11,87 persen, sedangkan untuk laki-laki sebesar 12,42 persen. Keadaan yang serupa ditemukan baik di perkotaan maupun perdesaan.

Faktor lain yang memengaruhi akses penduduk pada pendidikan antara lain adalah umur. Semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin rendah tingkat partisipasi sekolahnya. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa persentase anak yang masih sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun (kelompok usia SD/sederajat) tercatat sebesar 97,95 persen. Pada kelompok umur 13–15 tahun (kelompok usia SMP/sederajat) persentase anak yang masih sekolah sebesar 89,66 persen dan pada kelompok umur 16–17 tahun (kelompok usia SM/sederajat) sebesar 71,34 persen.

Meskipun usia minimal yang direkomendasikan untuk bersekolah adalah 7 tahun, namun hasil Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6 tahun yang saat ini bersekolah (27,05 persen). Sementara itu pada kelompok umur yang direkomendasikan untuk mengenyam pendidikan (7-17 tahun), terlihat bahwa sebesar 91,46 persen anak pada kelompok umur 7-17 masih

Gambar

Gambar 4.1    Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD   Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Gambar 4.7  Persentase Anak Perempuan Usia 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan   Cerai Menurut Umur Kawin Pertama, 2012
Grafik 5.2 Angka Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita, Per 1000 Kelahiran Hidup 1991-2012
Gambar 5.5    Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan  dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah, 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di sisi lain, anak usia 4 tahun 6 bulan—6 tahun telah menguasai distribusi kontoid bahasa Indonesia sama dengan distribusi bunyi standar tuturan bahasa

Untuk mengembangkan potensi tenaga dalam dan daya prana yang telah berhasil anda bangkitkan, untuk han-han selanjutnya anda harus melatih olah pernafasan tiap 2 atau 3 kali

Tugas dan tanggung jawab perawat pelaksana bagian interne Rumah Sakit “X” antara lain, memberikan obat dengan takaran yang tepat sesuai dengan arahan dokter bagi para

Metode situasional, dimana materi diangkat dari anak yang sedang menunjukan gambar bangun datar, kemudian guru mengadakan percakapan dengan siswa mengenai bangun datar persegi

Secara morfotektonik daratan dan perairan Indonesia yang dikenal dengan nama Busur Sunda-Banda didominasi oleh sistem parit laut dalam dan busur luar/ prisma akresi yang membentang

Model teoritis awal komunikasi dari 60 hanya melihat proses komunikasi sebagai pertukaran pesan dari pengirim ke penerima dengan banyak pentingnya diberikan kepada pengirim

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.arya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... 1 BAB I PENDAHULUAN

pada hari ini dapat menghadiri acara peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2012 yang dirangkaikan dengan pencanangan Tahun Badak Internasional 2012.. Sebagaimana kita