• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS GENDER PADA PENDIDIKAN ANAK USIA SEKOLAH DI SUMATERA BARAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS GENDER PADA PENDIDIKAN ANAK USIA SEKOLAH DI SUMATERA BARAT."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Ketua komisi pembimbing : prof. Dr. Sofyardi, SE, MA

Dr. Nasri Bachtiar, SE, MS

Jl. Dr.

Sutomo No 52 B Padang

ABSTRACT

This Research is aimed to analysis influences of demografi, economic, and social of household to children school enrollment ratio based of gender in West Sumatra, 2006. The researched that used Susenas raw data applied descriptive and logistic regression methode. The result of research showed that school enrollment ratio of girl better than boy. School Enrollment ratio of boy age 5-6 year influenced by mother education, but girl by sex of headhousehold. For boy age 7-15 and 16-18 year influenced by sex and headhousehold education, mother education, industrial origin of headhousehold, and poverty level. Meanwhile girl age 7-15, 16-18, 19-24 years by education of headhousehold and mother, and poverty level. For boy age 19-24 year, sex and headhousehold education, mother education, poverty level and sibling different sex.

(2)

1. Pendahuluan

Tingkat kualitas sumber daya manusia SDM) suatu bangsa pada hakekatnya ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Pendidikan yang baik dan berkualitas akan melahirkan individu yang baik dan berkualitas pula. Sebaliknya apabila pendidikan yang diperoleh tidak baik dan berkualitas, maka hal ini akan berdampak terhadap kualitas SDM yang dibangun. Dengan demikian pendidikan mempunyai andil besar terhadap kemajuan sosial ekonomi suatu bangsa.

Sebagian besar ekonom sepakat bahwa sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi bangsa yang bersangkutan. Salah satu usaha dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan pendidikan. Namun demikian masih ditemui adanya kesenjangan antara pendidikan yang didapatkan oleh seorang perempuan dibanding dengan laki-laki.

Kesetaraan perempuan dan laki-laki telah menjadi pembicaraan hangat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Pengalaman di banyak tempat di dunia memperlihatkan bahwa perempuan telah mengalami diskriminasi hanya karena perbedaan jenis kelamin dan perbedaan secara sosial (gender). Todaro (2000) menyatakan bahwa kesempatan untuk mengecap pendidikan bagi wanita muda (remaja dan usia sekolah) sangat ketinggalan. Di 66 dari 108 negara berkembang, jumlah anak perempuan yang duduk di di bangku sekolah dasar dan menengah selalu lebih kecil, setidak-tidaknya 10 persen daripada jumlah anak laki-laki. Kesenjangan antar gender (educational gender gap) makin mencolok di negara-negara miskin. Oleh karena itu pada tahun 1979 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui konferensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

(3)

pendidikan perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini bisa dibuktikan dari data yang ada seperti tingkat buta huruf yang lebih tinggi pada perempuan, rata-rata lama sekolah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dan kesenjangan biasanya makin terlihat pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Sumatera Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir masih menunjukan bahwa rasio penduduk perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Sensus Penduduk tahun 2000 mencatat dari 4.241.605 jiwa penduduk Sumatera Barat 2.163.033 jiwa adalah perempuan dan 2.078.572 jiwa adalah laki-laki. Namun pada kelompok umur muda jumlah penduduk laki-laki ternyata lebih banyak dibanding penduduk perempuan.

Data Susenas tahun 2002 memperlihatkan bahwa rata-rata lama sekolah perempuan di Sumatera Barat lebih rendah dari laki-laki (laki-laki 8,2 tahun dan perempuan 7,7 tahun). Selanjutnya pada tahun 2005 penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah jumlahnya lebih besar dari laki-laki (laki-laki 28,74 persen dan perempuan 31,36 persen), demikian juga persentase perempuan yang buta huruf juga lebih besar dari laki-laki (laki-laki 2,41 persen dan perempuan 4,82 persen).

Tingkat pendidikan yang dibuktikan dengan ijazah yang dimiliki menunjukan kondisi sumber daya manusia yang ada pada saat ini. Sedangkan kondisi sumber daya manusia di masa datang ditentukan oleh tingkat partisipasi sekolah penduduk suatu tempat. Dalam hal partisipasi sekolah ternyata kondisi di Sumatera Barat memperlihatkan hal yang sebaliknya. Pada tahun 2005 tingkat partisipasi sekolah anak laki-laki ternyata lebih rendah dari perempuan. Hasil Survei sosial ekonomi tahun 2005 memperlihatkan bahwa angka partisipasi sekolah anak laki-laki adalah 66,74 persen sedangkan angka partisipasi sekolah anak perempuan lebih tinggi, yakni 69,13 persen (BPS, 2005)

2. Metodologi Penelitian

Studi ini menggunakan data sekunder yaitu data tape atau raw data

(4)

Pusat Satistik (BPS). Data yang digunakan adalah data anak laki-laki dan perempuan usia 5-24 tahun, jenis kelamin kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, tingkat pendidikan ibu, lapangan usaha kepala rumahtangga, keberadaan saudara beda jenis kelamin usia 5-24 tahun dan tingkat kemiskinan.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 13.0. SPSS merupakan paket program aplikasi untuk mengolah dan menganalisis data statistik.

Analisis pertama yang dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian adalah dengan menggunakan analisis deskriptif. Dalam penelitian ini akan dicoba menggambarkan hubungan antara pendidikan anak laki-laki dan perempuan usia 5-24 tahun dengan kondisi demografi, ekonomi dan sosial rumahtangga. Analisis deskriptif dengan tabulasi silang adalah metode analisis yang paling sederhana tetapi memiliki daya menerangkan cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antara variabel yang berubah-ubah. Dalam analisis tabulasi silang digunakan analisis deskriptif kuantitatif dan distribusi persentase pada sel-sel dalam tabel. Dari analisis deskriptif kuantitatif didapatkan angka mutlak, sedangkan distribusi persentase merupakan dasar untuk menyimpulkan hubungan antara variabel yang diteliti. Cara penghitungan persentase amat menentukan keakuratan interpretasi.

(5)

Dalam penelitian ini yang merupakan variabel terikat adalah tingkat partisipasi sekolah menurut jenis kelamin yang terdiri dari kelompok usia 5-6 tahun, 7-15 tahun, 16-18 tahun dan 19-24 tahun. Sedangkan variabel bebas adalah jenis kelamin kepala rumahtangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, tingkat pendidikan ibu, lapangan usaha kepala rumahtangga, keberadaan saudara beda jenis kelamin usia 5-24 tahun, dan tingkat kemiskinan.

Untuk menganalisis bagaimana prilaku rumah tangga terhadap pendidikan anak usia sekolah berdasarkan gender, maka model logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Zi = ln Pi = Bo+B1X1+ ... +B9X9 + € 1 - Pi

dimana : Pi = Odds Ratio 1 - Pi

Sedangkan model peluang regresi logistik (Agung, 2001) adalah :

π (x) = exp (Bo+B1X1+ ... +B9X9

1 + exp(Bo+B1X1+ ... +B9X9)

dimana π (x) adalah peluang terjadinya Y = 1

Untuk melihat bagaimana keterkaitan antara model dengan data yang ada dilakukan uji secara bersama-sama dan secara parsial. Secara bersama atau uji seluruh model digunakan uji G dengan statistik uji yang digunakan adalah (Nachrowi dan Usman, 2002) :

G = -2 ln likelihood (model B)] likelihood (model A)]

Sedangkan uji signifikan untuk tiap-tiap parameter digunakan uji Wald

Wj = Bj 2 ; j = 0,1,2, ....,p SE (Bj)

Interpretasi koefisien-koefisien dalam model regresi logistik dilakukan dalam bentuk odds ratio (perbandingan resiko) atau dalam adjusted probability

(6)

adalah ratio dari odds untuk x = 1 terhadap x = 0. Odds ratio ini menyatakan tingkat resiko pengaruh observasi dengan x = 1 yaitu berapa kali lipat jika dibandingkan dengan observasi x = 0. Untuk variabel bebas yang bersifat kontinyu, koefisien B untuk kasus tersebut menunjukkan perubahan dalam log odds untuk setiap perubahan satu unit dalam variabel x. Ajusted probabilitas merupakan probabilitas terjadinya suatu peristiwa y = 1 dengan karakteristik yang telah diketahui.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Analisis Deskriptif

Hasil pengolahan data mendapatkan bahwa di propinsi Sumatera Barat terdapat anak usia 5-24 tahun berjumlah 1.598.237 orang. Secara keseluruhan pada usia tersebut anak laki-laki lebih banyak dibanding anak perempuan, yakni dengan perbandingan 52,3 dengan 47,7 atau dengan jumlah 836.318 berbanding 761.919 orang.

Tabel 1. Banyaknya anak usia 5-24 tahun di Sumatera Barat menurut jenis kelamin, kelompok umur, dan partisipasi sekolah, 2006

Jenis Kela- Partisipasi Sekolah

min/Kelom-pok Umur Belum Sekolah Sekolah Tidak Sekolah Lagi Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen

Laki-laki

5-6 th 64 327 72.96 23 716 26.90 128 0.15 88 171 10.54

7-15 th 4 763 1.06 421 406 93.86 22 826 5.08 448 995 53.69

16-18 th 195 0.16 73 855 60.45 48 116 39.39 122 166 14.61

19-24 1 067 0.60 24 227 13.69 151 692 85.71 176 986 21.16

Jumlah 70 352 8.41 543 204 64.95 222 762 26.64 836 318 100.00

Perempuan

5-6 th 65 353 70.35 27 546 29.65 - - 92 899 12.19

7-15 th 3 432 0.85 388 692 95.93 13 041 3.22 405 165 53.18

16-18 th 515 0.44 80 152 67.99 37 220 31.57 117 887 15.47

19-24 711 0.49 29 731 20.37 115 526 79.14 145 968 19.16

Jumlah 70 011 9.19 526 121 69.05 165 787 21.76 761 919 100.00

(7)

Jumlah 140 363 8.78 1 069 325 66.91 388 549 24.31 1 598 237 100.00

Sumber : Diolah dari raw data Susenas 2006

Berdasarkan partisipasi sekolah, pada tahun 2006 banyaknya anak yang masih sekolah adalah sebanyak 1.069.325 orang. Jumlah ini merupakan 66,91 persen dari keseluruhan anak usia 5-24 tahun. Sementara itu 24,31 persen atau sebanyak 388.549 orang anak tidak sekolah lagi. Sisanya sebesar 8,78 persen atau 140.363 orang belum bersekolah. Sebagian besar dari anak yang belum sekolah ini berada pada kelompok umur 5-6 tahun.

Kecuali pada kelompok umur 5-6 tahun, makin meningkat kelompok umur, maka persentase anak masih sekolah makin berkurang. Sebaliknya anak yang tidak bersekolah lagi makin meningkat dengan meningkatnya kelompok usia. Selain jumlahnya paling banyak, kelompok usia 7-15 tahun juga merupakan kelompok yang paling tinggi persentase anak masih sekolahnya.

Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, angka partisipasi sekolah anak laki-laki lebih rendah dibanding anak perempuan. Pada tahun 2006 anak laki yang masih sekolah adalah sebesar 64,95 persen, dan yang belum sekolah dan tidak sekolah lagi adalah 8,41 persen dan 26,64 persen. Persentase masih sekolah terbesar didapatkan pada kelompok umur 7-15 tahun yang mencapai 93.86 persen. Sedangkan pada kelompok usia pendidikan tinggi, yakni usia 19-24 tahun angka partisipasi sekolah kurang menggembirakan, baik dari segi jumlah maupun secara persentase, yakni yang masih sekolah hanya 13,69 persen (24.227 orang)

(8)

Anak perempuan usia 7-15 tahun di Sumatera Barat telah mencapai tingkat partisipasi sekolah sebesar 95,93 persen.

Keberadaan saudara beda jenis kelamin (sibling) di suatu rumahtangga bisa merupakan suatu penyebab terhalangnya seorang anak untuk melanjutkan sekolahnya. Pada masyarakat matrilineal seperti di Sumatera Barat kehadiran anak perempuan dianggap lebih penting dibanding anak laki-laki karena dalam rumahtangga di Sumatera Barat anak perempuan dianggap sebagai penerus keturunan. Namun dari hasil penelitian mendapatkan anak laki-laki yang mempunyai saudara perempuan usia 5-24 tahun mempunyai tingkat partisipasi sekolah tidak jauh beda dengan yang tidak mempunyai saudara perempuan. Demikian juga anak perempuan yang punya saudara laki-laki usia 5-24 tahun menunjukan angka partisipasi sekolah yang lebih tinggi dibanding yang tidak punya saudara laki-laki.

Anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga laki-laki memperlihatkan partisipasi sekolah yang lebih baik dibanding apabila kepala rumahtangganya perempuan. Penelitian mendapatkan bahwa anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga perempuan dan masih sekolah tidak mencapai setengah, yaitu sekitar 48,08 persen. Sementara itu sisanya 46,93 persen tidak sekolah lagi dan 4,99 persen belum sekolah. Sedangkan anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga laki-laki sekitar 67,06 persen masih sekolah, dan yang tidak sekolah lagi sebesar 24,03 persen, sementara itu yang belum sekolah sebanyak 8,91 persen.

(9)

Partisipasi sekolah anak usia 5-24 tahun berdasarkan pendidikan kepala rumahtangga menunjukan bahwa persentase anak masih sekolah akan lebih baik apabila kepala rumahtangganya mempunyai pendidikan yang lebih tinggi. Secara umum partisipasi sekolah anak, anak laki-laki maupun perempuan tidak terlalu beda apabila kepala rumahtangganya berpendidikan lainnya atau SLTA ke atas. Persentase anak laki-laki masih sekolah sedikit lebih tinggi dibanding anak perempuan. Namun apabila kepala rumahtangga berpendidikan SLTP ke bawah, maka persentase anak perempuan masih sekolah lebih baik dibanding anak laki-laki.

Kondisi yang hampir sama ditemui pada partisipasi sekolah anak berdasarkan pendidikan tertinggi ibu. Partisipasi sekolah anak akan lebih baik jika mempunyai ibu yang lebih berpendidikan. Anak laki-laki dan perempuan yang mempunyai ibu berpendidikan SLTA ke atas secara persentase memperlihatkan partisipasi sekolah yang hampir sama. Keadaan ini akan berbeda apabila ibunya berpendidikan SLTP atau lebih rendah, dimana kondisi partisipasi sekolah anak perempuan lebih baik dibanding anak laki-laki.

Lapangan usaha kepala rumahtangga yang dibagi atas dua kelompok, yaitu pertanian dan lainnya (non pertanian) mempengaruhi partisipasi sekolah anak usia 5-24 tahun. Anak yang mempunyai kepala rumahtangga yang bekerja di sektor selain pertanian menunjukan kondisi partisipasi sekolah yang lebih baik dibanding anak yang kepala rumahtangganya bekerja di sektor pertanian. Demikian juga untuk yang tidak bersekolah lagi lebih banyak terdapat pada anak yang kepala rumahtangganya bekerja di sektor pertanian.

(10)

memiliki kondisi partisipasi sekolah yang kurang baik dibanding yang tidak miskin, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Sementara itu anak perempuan miskin memiliki partisipasi sekolah lebih baik dibanding anak laki-laki miskin. Bila dibandingkan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, partisipasi sekolah di perkotaan lebih baik dibanding di pedesaan, baik pada kelompok miskin ataupun tidak miskin.

3.2. Analisa Regresi Logistik

a. Kelompok Umur 5-6 Tahun

Pada kelompok anak laki-laki usia 5-6 tahun didapatkan variabel yang signifikan pada α = 5 persen hanya ada satu, yakni variabel pendidikan ibu. Kelompok anak laki-laki yang memiliki ibu berpendidikan SLTP atau lebih rendah memiliki peluang bersekolah lebih kecil dibanding dengan kelompok anak laki-laki yang memiliki ibu yang berpendidikan lebih tinggi.

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah Usia 5-6 tahun

No Variabel Laki-Laki Perempuan

1 Jenis kelamin Kepala Rumahtangga 0,086** 0,048*

2 Pendidikan Kepala Rumahtangga 0,291 0,193

3 Pendidikan Ibu 0,050* 0,066**

4 Lapangan Usaha Kepala Rumahtangga 0,100** 0,189

5 Keberadaan saudara beda jenis Kelamin 0,589 0,142

6 Tingkat Kemiskinan 0,055** 0,175

(11)

kepala rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian lebih kecil dibanding anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga yang bekerja di sektor lainnya. Sedangkan variabel tingkat kemiskinan memperlihatkan peluang kelompok anak laki-laki yang termasuk miskin bersekolah adalah lebih rendah dibanding kelompok yang tidak miskin

Pada anak laki-laki kelompok umur 5-6 hanya ada dua variabel yang tidak signifikan pada taraf α = 5 persen ataupun 10 persen, yaitu variabel pendidikan kepala rumahtangga dan keberadaan saudara perempuan usia 5-24 tahun. Menurut Nachrowi (2002), variabel yang tidak signifikan berdasarkan uji Wald ini lebih baik tidak dikeluarkan dari model. Apabila terdapat koefisien yang tidak signifikan lebih baik dikatakan bahwa rasionya tidak signifikan. Hal ini karena pada dasarnya model logistik dalam membandingkan proporsi suatu kelompok dengan kelompok lain dengan mempertimbangkan satu atas beberapa faktor lain.

Hasil uji Wald atau uji variabel secara parsial pada kelompok anak perempuan usia 5-6 tahun mendapatkan pada taraf α = 5 persen hanya ada satu variabel yang signifikan, yaitu variabel jenis kelamin kepala rumahtangga. Peluang anak perempuan yang mempunyai kepala rumahtangga berjenis kelamin perempuan bersekolah adalah lebih tinggi dibanding anak perempuan yang mempunyai kepala rumahtangga berjenis kelamin laki-laki.

Pada taraf α = 10 persen juga hanya terdapat satu variabel yang signifikan, yaitu variabel pendidikan ibu. Peluang anak perempuan yang memiliki ibu berpendidikan SLTP atau lebih rendah untuk bersekolah adalah lebih kecil dibanding anak perempuan yang memiliki ibu yang berpendidikan lebih tinggi. Variabel lain yang tidak signifikan baik pada taraf α = 5 persen atau 10 persen adalah pendidikan dan lapangan usaha kepala rumahtangga, keberadaan saudara laki-laki, dan tingkat kemiskinan.

(12)

Setelah diuji secara parsial dengan uji Wald didapatkan variabel bebas yang mempengaruhi partisipasi sekolah anak laki-laki pada kelompok usia 7-15 tahun secara signifikan pada taraf α = 5 persen adalah jenis kelamin, pendidikan dan lapangan usaha kepala rumahtangga, serta pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan. Sementara itu satu-satunya variabel yang tidak signifikan adalah variabel keberadaan saudara perempuan. Peluang anak laki-laki usia 7-15 tahun untuk bersekolah apabila mempunyai kepala rumahtangga berjenis kelamin perempuan adalah lebih kecil dibanding anak laki-laki pada usia yang sama yang memiliki kepala rumahtangga berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah Usia 7-15 tahun

No Variabel Laki-laki Perempuan

1 Jenis kelamin Kepala Rumahtangga 0,000* 0,053**

2 Pendidikan Kepala Rumahtangga 0,000* 0,019*

3 Pendidikan Ibu 0,000* 0,001*

4 Lapangan Usaha Kepala Rumahtangga 0,004* 0,086**

5 Keberadaan saudara beda jenis Kelamin 0,279 0,773

6 Tingkat Kemiskinan 0,000* 0,000*

(13)

bekerja di sektor selain pertanian. Sementara itu kemiskinan menyebabkan peluang bersekolah menjadi semakin kecil.

Selanjutnya uji Wald mendapatkan variabel bebas yang mempengaruhi partisipasi sekolah anak perempuan pada kelompok usia 7-15 tahun secara signifikan pada taraf α = 5 persen adalah pendidikan kepala rumahtangga, pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan. Sementara itu pada taraf α = 10 persen, terdapat dua variabel yang signifikan, yaitu variabel jenis kelamin dan lapangan usaha kepala rumahtangga.

Peluang anak perempuan usia 7-15 tahun yang mempunyai kepala rumahtangga yang berpendidikan SLTP atau lebih rendah untuk bersekolah adalah lebih rendah dibanding yang mempunyai kepala rumahtangga yang berpendidikan lebih tinggi. Pada kelompok anak perempuan yang memiliki ibu yang berpendidikan SLTP atau lebih rendah akan mempunyai peluang sekolah yang lebih kecil lagi. Peluang bersekolah anak perempuan usia 7-15 tahun yang miskin juga lebih rendah daripada anak perempuan yang tidak miskin.

Pada kelompok anak perempuan usia 7-15 ini ditemui dua variabel yang signifikan pada taraf α = 10 persen. Variabel itu adalah jenis kelamin dan lapangan usaha kepala rumahtangga. Kedua variabel ini memberikan peluang bersekolah yang lebih kecil kepada kelompok anak yang diamati. Sedangkan variabel lapangan usaha menunjukan bahwa anak perempuan usia 7-15 tahun yang mempunyai kepala rumahtangga bekerja di sektor pertanian akan memiliki peluang bersekolah lebih kecil dibanding yang bekerja di sektor lainnya.

c. Kelompok Umur 16-18 tahun

(14)

kelompok yang diamati memiliki peluang bersekolah lebih kecil daripada kelompok pembanding.

Tabel 4. Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah Usia 16-18 tahun

No Variabel Laki-laki Perempuan

1 Jenis kelamin Kepala Rumahtangga 0,005* 0,446

2 Pendidikan Kepala Rumahtangga 0,000* 0,025*

3 Pendidikan Ibu 0,000* 0,004*

4 Lapangan Usaha Kepala Rumahtangga 0,003* 0,184

5 Keberadaan saudara beda jenis Kelamin 0,812 0,271

6 Tingkat Kemiskinan 0,000* 0,004*

Jenis kelamin kepala rumahtangga menentukan peluang bersekolah anak laki-laki usia 16-18 tahun. Hal ini dibuktikan bahwa anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga perempuan memiliki peluang bersekolah sebesar lebih rendah dibanding apabila kepala rumahtangganya laki-laki.Demikian juga pendidikan kepala rumahtangga dan ibu yang rendah menyebabkan peluang anak laki-laki bersekolah juga rendah. Hal ini terlihat apabila kepala rumahtangga dan ibu hanya berpendidikan SLTP atau lebih rendah, maka peluang bersekolahnya hanya sekitar 0.42 kali dibanding yang mempunyai kepala rumahtangga dan ibu yang lebih berpendidikan.

Dari variabel lapangan usaha didapat pengertian bahwa anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian akan mempunyai kemungkinan bersekolah lebih kecil dibanding dengan kelompok anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga yang bekerja di sektor non pertanian. Lebih kecilnya peluang untuk bersekolah di sektor pertanian ini diduga karena anak laki-laki ikut bekerja membantu orangtuanya di lahan pertaniannya.

(15)

miskin. Menurut Elfindri (2001), masalah ekonomi memang merupakan faktor yang menyebabkan anak tidak sekolah.

Pendidikan kepala rumahtangga dan ibu berpengaruh nyata terhadap peluang anak perempuan usia 16-18 tahun untuk bersekolah. Pendidikan kepala rumahtangga dan ibu yang rendah menyebabkan peluang bersekolah anak perempuan menjadi kecil. Pada variabel pendidikan ibu peluang bersekolah anak perempuan menjadi lebih rendah lagi jika anak perempuan itu mempunyai ibu yang berpendidikan SLTP atau lebih rendah yakni 0.491 kali dibanding jika mempunyai ibu yang lebih berpendidikan. Sementara pada variabel tingkat kemiskinan memperlihatkan faktor kemiskinan memperkecil peluang anak untuk bersekolah.

d. Kelompok Umur 19-24 tahun

Kelompok umur 19-24 tahun merupakan kelompok usia pada saat seseorang berada pada tingkat pendidikan tinggi. Pada variabel jenis kelamin kepala rumahtangga didapat parameter sebesar -0.587. Hal ini berarti, kelompok anak laki-laki yang mempunyai kepala rumahtangga perempuan akan memiliki kemungkinan bersekolah lebih rendah dibanding seandainya kepala rumahtangga-nya laki-laki.

Demikian juga apabila kepala rumahtangga mempunyai pendidikan yang rendah (SLTP atau lebih rendah), maka kemungkinan anak laki-laki bersekolah akan lebih kecil dibanding apabila kepala rumahtangga berpendidikan yang lebih tinggi. Peluang bersekolah anak laki-laki bersekolah apabila mempunyai kepala rumahtangga berpendidikan SLTP atau lebih rendah hanya sekitar sepertiga dibanding apabila mempunyai kepala rumahtangga yang lebih tinggi tingkat pendidikannya.

(16)

pendidikan kepala rumahtangga. Hasil pengolahan data pada kelompok anak laki-laki usia 19-24 tahun ternyata memperlihatkan bahwa keberadaan saudara beda jenis kelamin usia sekolah tahun bukan merupakan penghalang untuk dapat bersekolah. Peluang bersekolah anak laki-laki akan lebih besar jika mempunyai saudara perempuan. Namun faktor kemiskinan merupakan penghambat bersekolah anak laki-laki usia 19-24 tahun.

Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah Usia 19-24 tahun

Selanjutnya hasil uji secara parsial dengan menggunakan uji Wald pada kelompok anak perempuan usia 19-24 tahun mendapatkan ada tiga variabel yang signifikan pada α = 5 persen Variabel-variabel itu adalah pendidikan kepala rumahtangga, pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan. Sedangkan yang tidak signifikan pada α = 5 persen adalah jenis kelamin dan lapangan usaha kepala rumahtangga, dan keberadaan saudara laki-laki usia 5-24 tahun. bahkan pada kelompok anak perempuan ini peluang itu sangat kecil sekali.

4. Penutup

(17)

1. Partisipasi sekolah anak perempuan lebih baik daripada anak laki-laki pada semua kelompok usia. Keberadaan saudara beda jenis kelamin ternyata tidak menjadi penghalang seorang anak untuk sekolah. Sementara itu partisipasi sekolah anak laki-laki dan perempuan hampir sama jika pendidikan kepala rumahtangga atau ibu adalah SLTA ke atas. Partisipasi sekolah anak yang mempunyai kepala rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian atau termasuk miskin akan lebih rendah dibanding jika kepala rumahtangganya bekerja di sektor non pertanian atau termasuk tidak miskin. Hasil di atas sesuai dengan penelitian di beberapa negara yang menyatakan bahwa putus sekolah disebabkan karena kemiskinan dan rendahnya pendidikan orangtua (Gomez,1984; Lloyd dan Blank, 1996 dalam Elfindri, 2001)

2. Faktor yang mempengaruhi partisipasi sekolah anak adalah a. Kelompok umur 5-6 tahun

Pada kelompok anak laki-laki dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Sedangkan pada kelompok anak perempuan dipengaruhi jenis kelamin kepala rumahtangga.

b. Kelompok umur 7-15 dan 16-18 tahun

Partisipasi sekolah anak laki-laki dipengaruhi oleh jenis kelamin kepala rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga, pendidikan ibu, lapangan usaha kepala rumahtangga, dan tingkat kemiskinan. Sedangkan pada kelompok anak perempuan terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan, yaitu variabel pendidikan kepala rumahtangga, pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan.

c. Kelompok umur 19-24 tahun

(18)

keberadaan saudara beda jenis kelamin untuk anak laki-laki signifikan, dimana anak laki-laki yang mempunyai saudara perempuan akan lebih baik peluang sekolahnya dibanding jika tidak mempunyai saudara perempuan

Berdasarkan kesimpulan diketahui yang merupakan permasalahan pada partisipasi sekolah anak berdasarkan gender adalah peluang bersekolah yang lebih kecil pada anak laki, dimana faktor yang mempengaruhinya lebih banyak dibanding pada anak perempuan. Faktor yang mempengaruhi peluang sekolah anak laki-laki adalah jenis kelamin, pendidikan, dan lapangan usaha kepala rumahtangga, serta pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan. Sedangkan pada anak perempuan ditentukan oleh faktor pendidikan kepala rumahtangga dan ibu, serta tingkat kemiskinan.

Diantara faktor-faktor diatas yang merupakan faktor yang bisa dibenahi oleh pemerintah daerah adalah faktor lapangan usaha dan tingkat kemiskinan. Dari hasil penelitian didapatkan anak laki-laki akan lebih rendah tingkat partisipasi sekolahnya apabila termasuk kelompok anak miskin atau mempunyai kepala rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian.

Untuk mengatasi hal tersebut dan mencegah agar ketimpangan pendidikan antar gender ini tidak bertambah lebar dan makin meningkatnya kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, maka perlu usaha pemerintah melakukan pembenahan di sektor pertanian. Pembenahan ini akan mempengaruhi pada tingkat kemiskinan, dimana antara sektor pertanian dengan kemiskinan mempunyai hubungan yang erat karena sebagian besar dari penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.

(19)

dalam memperoleh kredit bank/lembaga keuangan lainnya, pemberian dana bergulir, pengaturan kepemilikan tanah (land reform), dan sebagainya.

Sedangkan secara khusus usaha yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah pemberian bantuan bersyarat. Misalnya dengan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) yang ditujukan untuk penduduk miskin, terutama yang bekerja di sektor pertanian dan mempunyai anak usia sekolah. Syarat BLT ini adalah anak dari keluarga penerima bantuan ini harus tetap sekolah, baik anak laki-laki ataupun anak perempuan.

Usaha khusus lainnya adalah perhatian yang lebih spesifik pada anak yang termasuk miskin dan atau kepala rumahtangganya bekerja di sektor pertanian. Ini dapat dilakukan dengan keringanan dalam biaya sekolah, seperti biaya pendaftaran dan ujian. Untuk siswa berprestasi dari kelompok ini juga dapat diberi insentif dengan pemberian beasiswa atau bantuan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. Penduduk Sumatera Barat Hasil Sensus Penduduk tahun 2000. Badan Pusat Statistik. Jakarta

BPS. Statistik Gender Bidang Pendidikan tahun 2000 – 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Di Down Load dari internet

BPS. 2006. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat. Padang

BPS. 2006. Indikator Kesejahteraan Rakyat. 2005. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat. Padang

BPS. 2006. Sumatera Barat dalam Angka 2005/2006. Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Bappeda Sumatera Barat. Padang.

BPS. 2007. Tingkat Kemiskinan Propinsi Sumatera Barat tahun 2007. Berita Resmi Statistik No 26/08/13/Th. X, 1 Agustus 2007. BPS Provinsi Sumatera Barat. Padang

Elfindri Phd. 2001. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Penerbit Universitas Andalas. Padang

(20)

Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. 2003. Didown load dari internet.

Nachrowi, Nachrowi Jalal dan Usman, Hardius. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri. PT BajaGrafindo Persada. Jakarta.

Subri, Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi Edisi Ke Lima. Bumi Aksara. Jakarta

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmah dan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan artikel ini. Artikel yang berjudul ”Analisis Gender pada Pendidikan Anak Usia Sekolah di Sumatera Barat” ini adalah ringkasan dari hasil penelitian penulis dengan judul yang sama.

Selama dalam penelitian telah banyak bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada :

1. Kepala Pusbindiklatren Bappenas di Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan 2. Kepala Pusdiklat Badan Pusat Statistik di Jakarta dan Kepala Badan

(21)

3. Bapak Prof. Dr. Hazli Nurdin, M.Sc selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Andalas

4. Bapak Dr. Nasri Bachtiar, SE, MS selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Universitas Andalas sekaligus sebagai anggota komisi pembimbing

5. Bapak Prof. Dr. Sofyardi, SE, MA selaku ketua komisi pembimbing 6. Bapak Prof. Dr. Firwan Tan, SE, M.Ec DEA dan Bapak Fery

Andrianus, SE, M.Si selaku koordinator dan anggota pelaksana Program Studi Perencanaan Pembangunan Tailormade Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

7. Dosen Pengajar pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

8. Teman-teman di Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat yang telah banyak membantu penulis selama penelitian dan penyusunan tesis

9. Rekan-rekan senasib dan sepenanggungan, mahasiswa tailormade angkatan III tahun akademik 2006/2007 Program Studi Perencanaan Pembangunan Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

10. Staf sekretariat akademik Program Studi Perencanaan Pembangunan Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

11. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis mengakui artikel ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu masukan berupa saran dan kritik sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penelitian ini.

Padang, Desember 2007

(22)

BIODATA

1. NAMA : IR. H E L L Y A N, M.Si 2. JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

3. NOMOR BUKU POKOK (BP) : 06 206 102

4. TEMPAT / TGL LAHIR : PADANG / 26 JUNI 1968

5. LULUS S1 (SEBELUMNYA) : FAKULTAS PERTANIAN UNAND 6. PROGRAM STUDI : PERENCANAAN PEMBANGUNAN 7. SPONSOR : BAPPENAS

8. JUDUL TESIS : ANALISIS GENDER PADA DIKAN ANAK USIA SEKOLAH DI

SUMATERA BARAT

(23)

-12. ISTRI / SUAMI : DRS. SUHARMAN 13. ANAK : 1. IZZATUL ISMA

Gambar

Tabel 1.  Banyaknya anak usia 5-24 tahun di Sumatera Barat menurut jeniskelamin, kelompok umur, dan partisipasi sekolah, 2006
Tabel 2.   Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang MempengaruhiTingkat Partisipasi Sekolah Usia 5-6 tahun
Tabel 4.   Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang MempengaruhiTingkat Partisipasi Sekolah Usia 16-18 tahun
Tabel 5.   Hasil Analisis Regresi Pendugaan Faktor-faktor yang MempengaruhiTingkat Partisipasi Sekolah Usia 19-24 tahun

Referensi

Dokumen terkait

Metode situasional, dimana materi diangkat dari anak yang sedang menunjukan gambar bangun datar, kemudian guru mengadakan percakapan dengan siswa mengenai bangun datar persegi

Secara morfotektonik daratan dan perairan Indonesia yang dikenal dengan nama Busur Sunda-Banda didominasi oleh sistem parit laut dalam dan busur luar/ prisma akresi yang membentang

Model teoritis awal komunikasi dari 60 hanya melihat proses komunikasi sebagai pertukaran pesan dari pengirim ke penerima dengan banyak pentingnya diberikan kepada pengirim

Sistem pengelolaan lingkungan sempadan sungai dapat dimulai dengan pembuatan sistem sanitasi yang baik pada permukiman disepanjang sungai, pembuatan sistem pengolahan

Adanya pengaruh variabel-variabel dimensi kualitas pelayanan yang terdiri dari variabel berwujud tangible, keandalan reliability, daya tanggap responsiveness, kepastian

SPESIFIKASI TEKNIS PENDUKUNG RUANG MONITORING DAN DOKUMENTASI LOKASI : LEMBAGA SANDI NEGARA -

Tampak yang ikut berdikusi diantaranya; Oswar Mungkasa (Kepala Biro Perencanaan & Penggaran, Kementrian Perumahan), Alfred Nakatsuma (Director Enviroments Program

menghidupkan perekomiannya. Perlu dibangun titik-titik suar karena titik koordinat yang baru. Untuk dimaklumi bahwa kondisi eksisting 3 pulau terluar yang ada di Riau,