• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angklung, fungsi dan perkembangannya di Tanah Sunda

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 39-42)

Deni Sutrisna

III. Angklung, fungsi dan perkembangannya di Tanah Sunda

Di Tanah Sunda diperkirakan angklung sudah dikenal sejak sekitar awal abad ke- 11 M. Tidak menutup kemungkinan bahwa angklung juga telah ada di tanah Sunda pada masa itu, mengingat adanya hubungan antara kerajaan di Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah) dengan kerajaan Sunda (Jawa Barat). Hubungan tersebut salah satunya terlihat pada Prasasti Sanghiyang Tapak atau Prasasti Bantarmuncang yang ditemukan di daerah Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Menurut Richadiana kartakusuma pertulisan dalam prasasti itu dituliskan dengan aksara "menonjol keluar" (basrelief) seperti aksara yang ditemukan pada beberapa prasasti masa Kadiri, yakni aksara Kwadrat. Pembawa budayanya adalah Airlanggga (menantu Dharmmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa), sehingga bahasanya banyak dipengaruhi kosakata Jawa Kuno masa pemerintahan Dharmawangsa Tguh (http://groups.yahoo.com/group/kisunda/message/19214). Selanjutnya angklung terus berkembang hingga pada masa Kerajaan Pakuan Pajajaran sekitar abad ke- 16. Disebutkan bahwa pada masa itu digunakan sebagai penggugah semangat (para prajurit) dalam

Satu set angklung yang dimainkan oleh satu orang (http://ms.wikipedia.org)

pertempuran. Fungsi angklung sebagai penggugah semangat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan Kolonial Belanda.

Di sisi lain alat musik angklung juga dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam upacara-upacara tradisional yang berkaitan dengan pertanian. Salah satu jenisnya adalah Angklung Gubrag yang masih dimanfaatkan sejak lebih dari 400 tahun lampau, kini dikenal di daerah Jasinga, Bogor (Kurnia,2003). Kemunculan angklung di Tanah Sunda berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur (http://bandungkab.go.id). Terciptanya alat musik itu berkaitan dengan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari pertanian dengan padi sebagai makanan pokoknya.

Berawal dari perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma, terciptalah syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Dewi Sri, serta upaya tolak bala (nyinglar) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Selanjutnya lagu-lagu tersebut disertai pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang dikenal sekarang sebagai angklung (http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung). Pada awalnya itu dibawakan dalam tangga nada pentatonis (terdiri dari 5 nada pokok: da mi na ti la) dan dimainkan dengan melodi yang berulang.

Di samping itu dalam permainan angklung tradisional tersebut, disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis dengan pola dan aturan-aturan tertentu, sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan pada waktu mengarak padi ke lumbung (bahasa Sunda:

ngampih pare, nginebkeun). Juga pada saat-saat mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dipersembahkan permainan angklung, selain itu juga dimainkan alat musik calung. Calung adalah alat musik bambu lain yang pernah disebut dalam prasasti Bwahan Wingkangranu berupa lempengan tembaga pada lembar IIIa (Atmodjo,1985:17,47). Pada permainan angklung yang berkaitan dengan upacara panen, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran. Perkembangan selanjutnya permainan angklung juga diiringi alat musik tradisional lain seperti gong, kendang, dan terompet.

Alat musik angklung mencapai hampir semua daerah di bagian barat Jawa, dan digunakan untuk memperkaya peraturan adat tradisional di Banten, Baduy (daerah Kanekes), Sukabumi, Cirebon, dan lain-lain. Dalam pementasan, angklung dimainkan dengan kesenian tradisional Sunda dan budaya lainnya yang dikenal kemudian sebagai Degung Angklung,

yang dimainkan sebagai pengiring musik tarian tradisional atau permainan-permainan tradisional.

Di masa Pemerintahan Kolonial Belanda popularitas angklung pernah menurun, karena hanya di mainkan oleh anak-anak dan digunakan untuk ngamen. Pada tahun 1938, seorang guru HIS pada zaman kolonial Belanda, Daeng Soetigna berupaya mengangkat kembali citra angklung tersebut, dimulai di daerah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (Winitasasmita & Budiaman,1978:13). Upaya itu dilakukan dengan memodernisasi pengaturan nada angklung ke dalam skala nada dari yang pentatonis menjadi nada yang diatonis/tujuh tangga nada pokok (do re mi fa sol la si). Perubahan tersebut memberi dampak positif sehingga angklung menjadi populer dan dimainkan pada event nasional maupun internasional hingga kini.

Sejak kemunculannya hingga masa kini alat musik angklung telah mengalami perkembangan, tidak hanya tangga nada tetapi juga fungsi dan peranannya. Di kalangan masyarakat pada mulanya angklung dibuat berkaitan dengan ritus padi yaitu mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan para petani untuk memuja Dewi Sri (dewi padi), serta mengiringi upacara-upacara tradisional berkaitan dengan pertanian maupun religi. Upacara-upacara tradisional itu sebagian masih dilaksanakan hingga kini, sehingga angklung sebagai alat musik pengiring masih tetap digunakan bersama alat musik tradisional yang lain dalam kegiatan tersebut. Di kalangan kerajaan tercatat bahwa alat musik angklung merupakan alat musik untuk menyambut kedatangan seorang raja, kemudian sebagai penggugah semangat prajurit menuju medan pertempuran.

Ketika nada-nada angklung telah diubah oleh Daeng Soetigna menjadi diatonis, alat musik ini semakin populer dan dikenal luas oleh masyarakat di Nusantara. Kemudian setelah kemerdekaan RI pada masa Presiden Soekarno alat musik ini sering dipagelarkan pada

event nasional maupun internasional (Lombard,2000:240--241). Bermula pada tahun 1955 Presiden Sukarno meminta Daeng Soetigna membuat konser angklung kreasinya dalam acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Sejak itulah angklung diatonis

ciptaan Daeng Soetigna mendunia sehingga dipelajari oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia antara lain Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Korea, dan Malaysia (http://www.kasundaan.org). Dengan demikian alat musik angklung diakui sebagai salah satu budaya daerah yang menjadi bagian dari budaya nasional. Sebagai salah satu alat musik tradisional, dalam perkembangannya angklung juga berkolaborasi dengan alat musik lainnya, seperti alat musik modern maupun alat musik tradisional lainnya. Winitasasmita & Budiaman (1978) menyebutkan bahwa angklung pernah dimainkan bersama alat musik tradisional lain dalam kesenian Reog Ponorogo, Jawa Timur.

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 39-42)