• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angklung, kreativitas seni yang harus dilestarikan

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 42-45)

Deni Sutrisna

IV. Angklung, kreativitas seni yang harus dilestarikan

Beberapa waktu lalu alat musik angklung pernah diklaim oleh pihak Malaysia dan dipasarkan lewat dunia perpelancongannya sebagai Music Bamboo Malay. Klaim tersebut tentunya merugikan Indonesia karena dianggap sebagai pengekor, sehingga akan meminggirkan posisi angklung di pergaulan antarbangsa. Padahal melalui data sejarah dan data arkeologis menjelaskan bahwa alat musik tersebut telah lama berkembang di Nusantara, khususnya Jawa bahkan sejak abad ke- 9 M. Melalui prasasti Bebetin A1 berangka tahun 818 Saka (896 M), digambarkan bahwa pemain angklung bambu (pabunjing) merupakan profesi penting sehingga dikenai pajak berkaitan dengan upacara keagamaan pada bangunan suci. Melalui prasasti itu juga tergambar bahwa angklung merupakan salah satu alat musik pengiring dalam upacara keagamaan masa itu. Dalam perkembangannya alat musik angklung tidak hanya digunakan pada upacara-upacara keagamaan tetapi juga pada event penting di kerajaan seperti menyambut kedatangan Raja Hayam Wuruk (abad ke- 14).

Alat musik angklung diperkirakan telah berkembang di Jawa Barat sekitar abad ke- 11 hingga masa-masa kerajaan Pakuan Pajajaran (sekitar abad ke- 16). Di Tanah Sunda angklung tidak hanya populer di kalangan kerajaan tetapi juga di masyarakat. Kepopuleran angklung di Tanah Sunda didukung oleh pemanfaatannya sebagai alat musik pengiring dalam kegiatan pertanian maupun upacara-upacara tradisional yang menyertainya. Kemudian tahun 1938 di tangan para seniman pengaturan nada-nada angklung semakin dimodernisasi, sehingga alat musik tradisional ini juga dapat dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu yang modern. Selanjutnya angklung menjadi alat musik yang cukup dikenal di Nusantara, digunakan pada

event-event nasional maupun internasional, sehingga angklung dipelajari oleh berbagai bangsa. Bahkan sebelumnya pada tahun 1908 alat musik ini telah masuk ke Thailand oleh musisi Luang Pradit Phairoh, salah seorang anggota rombongan Pangeran Bhanubhandu dari Thailand yang berkunjung ke Pulau Jawa. Sejak saat itu, angklung berkembang di Thailand sehingga memiliki bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan sistem musik di Thailand

(

http://pr.qiandra.net.id). Selanjutnya ketika sudah memasuki masa kemerdekaan RI, misi-misi kebudayaan Indonesia sering dikirim ke mancanegara terutama negara-negara di Asia Tenggara.

Uraian di atas menggambarkan bahwa angklung merupakan warisan budaya asli Indonesia. Kemunculannya sejak berabad-abad yang lalu, serta fungsi dan peranan di masyarakat maupun pemerintahan masa itu, menjelaskan bahwa angklung merupakan salah satu hasil kreativitas masyarakat Indonesia. Angklung sebagai alat musik tradisional merupakan sumberdaya budaya yang perlu dilestarikan. Di dalam pelestariannya perlu melibatkan partisipasi masyarakat, mengingat sumberdaya budaya itu merupakan “milik” masyarakat.

Pelestariannya tidak hanya menyangkut fisik saja, tetapi juga kepedulian terhadap kebermaknaan sosial (sosial significance) dari sumberdaya budaya itu (Prasodjo,2004). Angklung tidak hanya sebagai alat musik tradisional yang mengalami perkembangan dari masa ke masa, tetapi lebih dari itu angklung telah menjadi bagian dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia terutama masyarakat Sunda. Sangat wajar bila hasil kreativitas masyarakat itu kemudian diberi hak paten dengan cara mendaftarkannya kepada lembaga/instansi yang berwenang dan lembaga dunia (UNESCO).

V. Penutup

Angklung merupakan salah satu alat musik tradisional yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Berbagai hal tentang alat musik angklung tertuang dalam pertulisan pada naskah-naskah kuna maupun prasasti. Sebagai alat musik, angklung memiliki kekhasan antara lain, berbahan bambu sehingga mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, mudah dimainkan oleh berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga dewasa, dan bunyi yang dihasilkan sangat khas. Kekhasan tersebut menyebabkan angklung semakin populer dari waktu ke waktu. Alat musik ini juga memiliki keragaman fungsi dan peranan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat maupun pemerintahan dari masa ke masa. Seiring perubahan jaman dan kebutuhan sebagai alat musik, angklung juga mengalami perkembangan terutama pada tangga nadanya, yaitu dari tangga nada pentatonis (tradisional) ke tangga nada diatonis

(modern). Perkembangan itu merupakan hasil kreativitas seniman sehingga angklung dapat disejajarkan dengan alat musik lainnya yang lebih modern. Sebagai hasil kreativitas sekaligus warisan budaya nasional sudah sepantasnya angklung dilestarikan dan dilindungi.

Kepustakaan

Adriati, Ira, 2004. Perahu Sunda, Kajian Hiasan Pada Perahu Nelayan di Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

Atmodjo, Soekarto K., 1985. Data Perundagian di Dalam Prasasti Kuno, makalah dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi IAAI Komisariat Yogyakarta. Jakarta: Puslit Arkenas

Aziz, Fadhila Arifin, 2001. Pemanfaatan Bambu dan Relevansinya Dengan Nilai-nilai Budaya di Masa

Lampau dalam EHPA, Mencermati Nilai Budaya Masa Lalu Dalam Menatap Masa

Depan. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta

Ferdinandus, Pieter Eduard Johannes, 1999. Alat-alat Musik Masa Jawa Kuna (Abad IX-XV Masehi): Sebuah Kajian Mengenai Bentuk dan Fungsi Ansambel, Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Kempers, A.J.Bernet, 1989. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J. van der Peet Koentjaraningrat, 1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Kurnia, Ganjar, 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat

Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya,Batas-batas Pembaratan, Bagian I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Natapradja, Iwan, 2003. Sekar Gending. Bandung: PT Karya Cipta Lestari

Prasodjo, Tjahyono, 2004. Arkeologi Publik, makalah dalam Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar. Mojokerto: Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala, Kementerian Budpar

Sukirnanto, Slamet, 2000. Peran Kreativitas Sebagai Pemersatu Bangsa dalam Merekatkan Kembali Bangsa yang Retak. Jakarta: Ditjenbud

Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka

Winitasasmita, Mohd. Hidayat & Budiaman, 1978. Angklung, Petunjuk Praktis. Jakarta: PN Balai Pustaka http://akibalangantrang.blogspot.com/2008/09 http://beta.pikiran-rakyat.com http://pr.qiandra.net.id http://groups.yahoo.com/group/kisunda/message/19214 http://ms.wikipedia.org/wiki/Angklung http://wrm-Indonesia.org http://www.forumbebas.com http://www.kasundaan.org

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 42-45)