• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ukiran motif Kerawang Gayo dalam dimensi arkeologi

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 75-81)

Nenggih Susilowati

III. Ukiran motif Kerawang Gayo dalam dimensi arkeologi

Di dalam mengamati motif-motif ukiran sebagai karya seni kriya kayu, kiranya dapat merujuk pada seni lukis karena keduanya merupakan bagian dari seni rupa. Namun keduanya tidak dapat dibandingkan secara langsung, mengingat terdapat perbedaan di dalam penuangan ekspresi senimannya. Pada seni lukis cenderung menonjolkan ekspresi senimannya, sedangkan seni kriya lebih mengutamakan ketrampilan tangan dibandingkan ekspresi. Seni lukis dan seni kriya merupakan hasil karya seni yang telah lama dibuat manusia, bahkan sejak masa prasejarah. Seni lukis prasejarah diketahui melalui lukisan dinding gua/ceruk dan dinding batu karang atau yang dikenal dengan seni cadas (rock art) pada situs-situs mesolitik. Demikian juga dengan seni kriya awal ditengarai telah muncul pada masa prasejarah melalui temuan artefaktual berupa cangkang moluska berlubang yang difungsikan sebagai perhiasan di situs-situs itu. Tidak jarang pada situs yang sama terutama pada bagian yang mendekati permukaan, ditemukan fragmen tembikar yang mengindikasikan adanya seni kriya yang lain. Terutama pada situs-situs neolitik temuan fragmen tembikar semakin padat, bahkan tembikar hiasnya telah menggunakan motif yang bervariasi. Hasil seni kriya yang menggunakan bahan logam juga turut mewarnai perjalanan seni kriya masa prasejarah di Nusantara, melalui temuan nekara, moko, kapak perunggu, maupun bejana perunggu yang diperkirakan sebagai peralatan upacara. Peralatan tersebut juga dihiasi dengan beragam motif.

Situs-situs yang menggambarkan perjalanan seni lukis prasejarah di Nusantara, antara lain Pangkajene dan Maros, Sulawesi Selatan; Pulau Muna, Sulawesi Tenggara; Pulau Seram, Maluku Tengah; Kepulauan Kei; Kokas (Teluk Berau), Teluk Saireri, dan Danau Sentani, Papua (Kosasih,1982:70; Soejono, ed.,1993:165). Motif yang dilukis cukup beragam meliputi geometris, flora, fauna, manusia serta benda-benda langit dan buatan manusia (senjata, perahu, rumah). Banyak pendapat muncul berkaitan dengan penelitian pada lukisan dinding

gua/ceruk dan dinding batu karang di situs-situs tersebut. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa lukisan-lukisan itu kerap menampilkan potret kehidupan manusia pendukungnya, antara lain berburu, bercocok tanam, upacara ritual, dan bahkan dapat menjadi petunjuk proses migrasi mereka ke tempat lain, baik antarpulau maupun antarbenua (Kosasih,2001:162). Hal ini menggambarkan bahwa lukisan yang dibuat merupakan bentuk penuangan pengalaman visual pelukisnya terhadap lingkungan sekitarnya. Chaloupka (1984 dalam Tanudirjo,2008:16) menyebutnya sebagai gambar-gambar biasa (casual paintings) untuk mengabadikan pengalaman pembuatnya.

Di sisi lain lukisan itu selain menggambarkan pengetahuan akan seni, juga menggambarkan adanya perilaku religi seperti konsepsi kontak-magis (Kosasih,1987:18). Namun ada yang menyebutkan bahwa lukisan yang dihasilkan sebagai curahan rasa iseng ataupan rasa takut (Howell,1982 dalam Driwantoro,1990:374). Ada juga yang menyebutnya sebagai media komunikasi (Jochim,1983 dalam Tanudirjo,2008:16), dan sebagai ungkapan ‘seni untuk seni’ (Bahn dan Vertut,1988 dalam Tanudirjo,2008:16). Dengan demikian faktor subyektivitas turut mewarnai lukisan yang dihasilkan.

Berbagai pendapat di atas dapat dibandingkan dengan hasil penelaahan terhadap karya seni lukis pada masa kini. Disebutkan bahwa para pelukis umumnya lebih suka mengonsentrasikan diri pada pengalaman visualnya, pada garis dan warna yang ada di alam atau modelnya, apalagi mereka yang berkarya abstrak. Tema yang ditampilkan merupakan gambaran lingkungan sekitar dan kehidupan rakyat. Akan tetapi juga ada pelukis yang karyanya merupakan pernyataan dirinya, perasaan yang dialami, pikiran, ide-ide, pengalaman hidup, serta cita rasanya (Soedarso,2000:84--89).

Perbandingan antara karya seni lukis yang diciptakan di masa lalu dengan masa kini itu menghasilkan pemahaman, bahwa suatu karya seni selain berfungsi sebagai media visualisasi terhadap aktivitas maupun lingkungan sekitar, di dalamnya juga terkandung nilai-nilai yang menggambarkan pengetahuan, pengalaman, ide-ide, maupun religi senimannya. Pemahaman tersebut kiranya dapat diterapkan dalam menelaah karya seni kriya seperti ukiran motif kerawang Gayo. Motif-motif yang dituangkan sebagai ukiran pada sebuah bangunan tidak hanya sekedar dekorasi yang mengandung nilai estetika, tetapi juga mengandung nilai-nilai lain yang kemungkinan berkaitan dengan kehidupan seniman, pemilik bangunan, maupun masyarakat sekitarnya.

Secara umum ukiran pada bangunan monumental di Tanah Gayo menampilkan motif-motif antara lain flora, fauna, dan geometris. Beberapa motif dikenal dengan nama-nama tertentu dalam bahasa setempat. Seperti emum berangkat (awan berarak), pucuk ni tuwis (pucuk rebung), ulen-ulen (bulan-bulan), mutik (putik), puter tali (jalinan tali), bunge ulen-ulen (bunga

bulan), bunge ni terpuk (bunga kuncung), bunge ni pertik (bunga papaya), bunge lao (bunga matahari), bunge kemang (bunga yang sedang kembang), bur/baur (gunung), bintang bulan

(bintang dan bulan), nege (naga), iken/gule (ikan) dan mata ni itik (mata itik) (Ibrahim dan Pinan,2003:233). Motif-motif yang ditampilkan serta penamaannya merupakan visualisasi lingkungan alam sekitarnya secara umum. Seperti lahan yang subur sehingga dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman, kemudian penggambaran langit melalui bentuk awan, bulan, dan bintang, serta gunung-gunung yang mengitari. Keberadaan tempat yang berair seperti sungai dan danau tidak digambarkan secara eksplisit, namun melalui motif ikan menjelaskan adanya tempat tersebut. Secara kontekstual, kondisi yang digambarkan dalam ukiran selaras dengan lingkungan alam tempat bangunan monumental itu berada.

Secara umum lingkungan alam pada masa itu tidak berbeda dengan masa kini. Lingkungannya memiliki topografis perbukitan dan pegunungan di jajaran pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 200--2.600 meter dpl. (BPS,2005:3). Tanah vulkanik yang cukup subur ada di seputar gunung-gunung, antara lain sekitar Burni Bies, Burni Telong, dan Bur Kul. Batas selatan dan barat tanah vulkanik ini ada di aliran Wih ni Pesangan. Di bagian tengahnya terletak Danau Lut Tawar (Melalatoa,2003:14). Lingkungan alam yang demikian sangat memengaruhi masyarakat dalam bermatapencaharian.

Mengenai matapencaharian masyarakat Gayo pada umumnya ketika itu, secara tidak langsung juga tergambarkan melalui flora dan fauna yang digunakan dalam motif kerawang Gayo. Motif flora berupa sulur-suluran, motif pohon, dan jenis-jenis bunga seperti pucuk ni tuwis, mutik, bunge ulen-ulen, bunge ni terpuk, bunge ni pertik, bunge lao, bunge kemang

merupakan jenis flora yang sengaja ditanam di kebun/halaman sekitar rumah, sehingga dapat dikaitkan dengan kegiatan pertanian/perkebunan. Kemudian motif ikan (iken/gule) merupakan fauna yang hidup di Danau Lut Tawar dan Sungai Pesangan, menggambarkan kegiatan perikanan atau mencari ikan. Kegiatan tersebut dimungkinkan karena berbagai jenis ikan hidup di dalam danau itu misalnya, depik (Rosbora leptosoma), eyes (Rosbora argyrotaenia), kawan (Puntius tawarensis), dll. (Melalatoa,2003:16). Selanjutnya melalui motif yang dikenal dengan mata ni itik (mata itik) dan ayam jantan menggambarkan adanya kegiatan peternakan karena fauna itu biasa dipelihara oleh masyarakat di sekitar permukiman.

Interpretasi terhadap motif-motif yang digunakan pada ukiran tersebut dapat dikaitkan konteks waktu pendirian bangunannya, yaitu antara akhir abad ke- 19 hingga awal abad ke- 20. Pada masa itu sebagian besar masyarakatnya hidup dengan matapencaharian di bidang pertanian/perkebunan, perikanan, dan peternakan. Bidang-bidang itu juga pernah disebutkan oleh Hurgronje (1903) dalam catatan tentang kehidupan masyarakat Gayo masa itu. Di

bidang religi masyarakat Gayo pada masa itu telah beragama Islam. Keberadaan motif fauna pada rumah Jeludin Raja Baluntara cukup menarik perhatian, meskipun sebagian dapat dikaitkan dengan matapencaharian masyarakatnya. Di dalam syariat Islam penggambaran makhluk bernyawa cukup dilarang, karena dikhawatirkan mengarah pada perbuatan syirik. Keberadaan motif fauna pada bangunan tersebut merupakan pengecualian.

Digunakannya motif fauna seperti motif nege (naga) dan ayam jantan pada bangunan rumah itu cukup menarik, mengingat kedua motif itu sering digunakan oleh bangsa asing. Diperkirakan kedua motif itu merupakan unsur asing yang telah diadaptasi ke dalam motif

kerawang Gayo. Motif naga umum digunakan oleh bangsa Cina, misalnya pada keramik, kuburan Cina/bong, dan kelentengnya. Naga merupakan binatang mitologi, para kaisar menghubungkan diri mereka dengan naga. Naga juga merupakan simbol kebahagiaan dan keberuntungan (Koestoro dkk.,2001:38--39). Selanjutnya motif ayam jantan (jago) sering digunakan oleh bangsa Belanda, antara lain sebagai penunjuk arah tiupan angin (windwijzer) yang diletakkan pada bagian puncak atap sebuah bangunan. Salah satunya terdapat di Gereja GPIB Bethel di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau yang dibangun sekitar tahun 1883 (Koestoro dkk.,2004:27). Ayam jantan merupakan lambang kemenangan, dan jauh sebelum itu- sejak zaman Yunani kuna- memang digunakan sebagai lambang kecerdasan dan keberanian (Koestoro dkk.,2004:44). Nilai simbolik yang dimiliki kedua fauna itu kemungkinan menjadi penyebab dipilihnya kedua motif tersebut sebagai motif ukiran yang menghiasi rumah Jeludin Raja Baluntara, mengingat pemiliknya merupakan salah satu bangsawan di Tanah Gayo yang memiliki kedudukan cukup tinggi pada masanya. Selain dipengaruhi oleh unsur subyektivitas seperti pengetahuan maupun pengalaman si seniman, pemilihan kedua motif itu juga merupakan upaya seniman dalam mengekspresikan kedudukan yang dimiliki oleh pemilik rumah tersebut.

Selanjutnya dikaitkan dengan konteks waktu pendirian bangunan tersebut yaitu sekitar awal abad ke- 20, seiring dengan waktu kedatangan bangsa Cina dan Belanda ke daerah itu. Dengan demikian masuknya unsur asing pada motif kerawang Gayo kemungkinan bersamaan dengan kedatangan mereka. Kedatangan kedua bangsa itu ke Tanah Gayo diketahui melalui data sejarah dan tinggalan arkeologisnya. Masuknya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Gayo pada tahun 1904, membawa dampak tersendiri bagi perkembangan kota dan daerah sekitarnya. Apalagi setelah Belanda membuka jalan antara pesisir Aceh Utara di Kota Bireuen dengan Gayo di Aceh Tengah yang selesai pada tahun 1911. Orang-orang yang diperkerjakan sebagai buruh pembuatan jalan itu sebagian besar adalah orang-orang Cina. Akhirnya sebagian dari orang-orang Cina ini menetap di Tanah Gayo dan muncullah kampung Cina (kampung Cine) di pinggiran kota Takengon waktu itu

(Melalatoa,2003:52). Kehadiran Belanda juga ditandai antara lain dengan pembukaan beberapa perkebunan di Tanah Gayo. Salah satunya adalah perkebunan kopi yang dibuka pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen (Mukhlis,1983:92--94 dalam Melalatoa,2003:51). Data arkeologis yang melengkapi sejarah kehadiran kedua bangsa itu di masa lalu, antara lain makam-makam Cina/Bong yang terdapat di sekitar Kota Takengon yaitu di Desa/Kampung Blangkolak, Kecamatan Bebesen serta bangunan pada masa kolonial Belanda di Kota Takengon, Kecamatan Lut Tawar dan sisa bangunan pabrik pengeringan kopi di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara.

Secara umum di dalam motif kerawang Gayo, bentuk-bentuk geometris dan flora lebih mendominasi dibandingkan dengan fauna. Hal ini sangat berhubungan dengan religi seniman maupun masyarakat Gayo ketika itu yang telah beragama Islam. Keselarasan antara ajaran agama dengan pemanfaatan motif, tampaknya sangat diperhatikan oleh si seniman sehingga tidak terlalu bertentangan dengan religinya. Terutama di dalam pemanfaatan motif ukiran pada bangunan yang diperuntukan sebagai tempat ibadah, yaitu masjid. Ketentuan yang melarang penggambaran makhluk yang bernyawa seperti manusia dan fauna diterapkan sepenuhnya pada bangunan masjid, seperti Masjid Baiturrahim yang terletak di Desa Toweren, Kecamatan Lut Tawar. Motif yang digunakan pada bangunan maupun sisa bangunan tersebut hanya motif geometris dan motif flora. Kedua motif itu memiliki perjalanan sejarah yang cukup tua di Nusantara, mengingat keduanya telah digunakan bahkan sejak masa prasejarah.

Motif geometris telah digunakan sebagai objek lukisan dinding gua/batu cadas di situs-situs mesolitik. Selanjutnya motif tersebut masih terus digunakan ketika manusia sudah mengembangkan seni kriya seperti pembuatan tembikar hias masa neolitik dan pembuatan benda-benda perunggu pada masa logam/perundagian. Situs-situs neolitik di Nusantara dengan temuan fragmen tembikar hias antara lain Situs Minanga Sipakko (Kalumpang, Sulawesi Barat) dengan pertanggalan 3.600 tahun yang lalu hingga 2.500 tahun yang lalu (Heekeren,1972; Simanjuntak dkk. ed.,2007), serta situs Melolo (Sumba Timur) dan situs Lewoleba (Flores Timur) (Atmosudiro,1994). Adapun benda-benda perunggu yang menandai masa logam di Nusantara diketahui melalui temuan seperti bejana perunggu dari Makassar (Sulawesi Selatan), Kerinci (Sumatera Selatan), Pulau Madura, serta nekara-nekara perunggu dari Semarang, Babakan (Jawa), Pulau Sangeang, dan kapak perunggu dari Pulau Roti (Kempers,1959). Motif geometris yang umum digunakan pada kedua seni kriya itu antara lain garis-garis berjajar dalam berbagai posisi (horisontal, vertikal, atau miring), garis-garis saling berpotongan membentuk pola jala, lingkaran kecil maupun besar, tumpal, dan pilin. Sebagian dari motif geometris tersebut memiliki kemiripan dengan yang digunakan di dalam

kerawang Gayo, antara lain ulen-ulen (lingkaran), bur/baur (tumpal), puter tali (pilin), dan garis-garis. Khusus untuk motif pilin yang digunakan pada benda-benda perunggu tersebut terdapat sedikit perbedaan di dalam penyusunannya, yaitu saling terkait di bagian bawahnya, bukan pada bagian atas seperti pada motif puter tali.

Di Tanah Gayo belum banyak dijumpai artefak prasejarah yang menggunakan motif geometris tersebut. Sementara melalui temuan tembikar hias di ceruk-ceruk Loyang Mendali, Desa Mendali, Kecamatan Bebesen, motif-motif yang dijumpai antara lain garis-garis, pola jala, dan lingkaran kecil. Motif geometris itu umum digunakan pada tembikar hias di situs-situs neolitik daerah lain di Nusantara. Dengan demikian perbandingan dengan artefak prasejarah yang berasal dari daerah lain dapat melengkapi data yang ada, sehingga dapat menjelaskan adanya kemungkinan motif geometris di dalam kerawang Gayo mempunyai akar di masa prasejarah, dan dapat dikatakan sebagai unsur lokal.

Kemudian mengenai motif flora (sulur-suluran, bunga-bunga, dan pohon) pada kerawang Gayo diperkirakan juga memiliki akar di masa lalu, mengingat motif tersebut cukup marak menghiasi candi-candi dan biaro-biaro yang didirikan pada masa klasik atau masa Hindu-Buddha di Nusantara. Bahkan bentuk sulur-suluran sederhana diketahui juga telah ada sejak masa prasejarah berdasarkan temuan tembikar neolitik di Situs Minanga Sipakko, Kalumpang, Sulawesi Barat (Simanjuntak dkk. ed.,2007:56). Motif flora pada candi atau biaro biasanya dipahatkan bersama dengan motif lain seperti fauna dan manusia dalam panel relief yang menggambarkan suatu adegan, serta digunakan sebagai motif kain yang dipahatkan pada arca-arcanya. Bentuk sulur-suluran atau emum berangkat dan bentuk pohon antara lain terdapat pada panel-panel relief di Candi Jago, Candi Penataran, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Mendut (Kempers,1989). Motif bunga-bungaan juga kerap digunakan pada kain yang dipahatkan pada arca di sekitar candi atau biaro, antara lain pada arca-arca di Biaro Bahal dan Biaro Sipamutung, Padang Lawas, Sumatera utara.

Motif flora dan motif geometris selanjutnya digunakan pada masa penyebaran agama Islam ke Nusantara. Di antaranya dapat dilihat melalui nisan-nisan pada makam-makam Islam yang terdapat di Aceh dan daerah lainnya, bahkan hingga ke Malaysia. Di beberapa daerah bentuk-bentuk nisan itu dikenal dengan sebutan Batu Aceh. Di Tanah Gayo juga dijumpai nisan-nisan sejenis yaitu pada makam-makam di Kompleks Makam Reje Linge di Buntul Pekubun, Desa Linge, Kecamatan Linge.

Perbandingan antara ukiran kayu motif kerawang Gayo di Tanah Gayo dengan motif ukiran kayu di daerah sekitarnya, sebagian memiliki kesamaan bentuk dengan penamaan yang sedikit berbeda. Antara lain motif sulur-suluran yang disebut emum berangkat (awan

berarak), oleh orang Karo dikenal dengan sebutan embun sikawiten (awan yang saling berkait), orang Aceh menyebutnya awan-awan dan oleh orang Melayu disebut awan larat. Motif tumpal yang disebut bur/baur (gunung) oleh orang Karo disebut dengan ipen-ipen (gigi-gigi). Motif flora seperti pucuk ni tuwis (pucuk rebung) oleh orang Melayu disebut pucuk rebung, dan orang Aceh menyebutnya bungong pucuk rebung. Sedangkan motif puter tali

(jalinan tali) oleh orang Melayu disebut semut beriring dan orang Aceh menyebutnya puta talõë dua (pilinan dua utas tali). Pada rumah adat Aceh di Pidie motif jalinan tali yang digunakan adalah puta talõë lhee (pilinan tiga utas tali) (Leigh,1989:63, gb.18). Motif naga juga digunakan sebagai ukiran oleh orang Melayu, hanya bentuk dan posisinya agak berbeda dengan nege yang terdapat pada rumah Jeludin Raja Baluntara. Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa antara masyarakat di Tanah Gayo dengan masyarakat lain di daerah sekitarnya pernah terjalin hubungan sehingga menghasilkan budaya material yang memiliki kemiripan satu sama lain. Hubungan antar masyarakat itu dapat disebabkan melalui kontak-kontak perdagangan atau migrasi.

Salah satu suku yang disebut pernah melakukan migrasi ke Tanah Gayo adalah Batak Karo. Hal ini dikaitkan dengan lima belah yang terdapat di Tanah Gayo, diantaranya sama dengan yang terdapat dalam kelompok Batak Karo, seperti Linge, Munte, Cebero, Tebe, dan Melala, sehingga sering disebutkan bahwa mereka keturunan Batak. Asal usul nama-nama itu dituangkan ke dalam kisah yang dikenal di Tanah Gayo yaitu tentang Batak due puluh tujuh. Menurut orang Gayo, belah Linge, Munte, Cebero berasal dari marga Lingga, Munte, dan Cibero yang dibawa oleh Batak Karo yang berimigrasi ke Tanah Gayo. Disebutkan juga bahwa Reje Linge, salah seorang reje ternama di Tanah Gayo yang memerintah di daerah aliran Sungai Jemer, berasal dari keturunan Batak Karo. Demikian juga terdapat hubungan antara Reje Linge di Tanah Gayo dengan Sibayak Lingga di Tanah Karo (Hurgronje,1903:39). Lebih jauh Hurgronje (1903:38) menjelaskan bahwa nama-nama tersebut tidak seluruhnya sama dengan nama-nama marga ternama yang ada di Tanah Karo, dan salah satunya sama dengan nama kelompok Batak lain seperti Tebe = Toba atau Teba. Melala merupakan salah satu anak marga di Tanah Karo, kemudian Lingga dan Munte merupakan marga dalam kampung utama di Tanah Karo.

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 75-81)