Cincin perak polosnya sesekali berkilau memantulkan lampu kafe. Dan hanya itu perhiasan yang ia pakai untuk menemani tank top abu dan rok hitam semata kakinya. Leher dan dua telinganya bersih dari segala macam aksesori.
Gelang hitam di tangan kanannya lebih mirip ikat rambut daripada logam mulia.
Untuk wawancara RUANG, ia datang dengan sederhana. Sore itu, kami yang berencana akan men-gorek latar belakangnya, malah banyak membicarakan perihal iksi dalam praktik arsitektur Indonesia. Sembari menyeruput kopi hitam, ia mulai membagi kegelisahannya. Narasi iksi sudah semakin sering disalahgunakan untuk mengangkat prestise proyek arsitektur, ujarnya. Padahal arsitektur harusnya bisa lebih membumi untuk menyelesai-kan hal-hal mendasar.
Yusni Aziz Rofianisa Nurdin
Ia sendiri sangat mencintai narasi iksi. Di sela kesibukannya praktik seba-gai arsitek dan kurator, ia juga rutin meluangkan waktu untuk menuangkan imajinasinya. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian miliknya memenangkan Cerpen Terbaik Kompas tahun 2009. Dua tahun kemudian, Perempuan yang Diha-pus Namanya meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Di bidang arsitektur, Rumah Kampung karyanya bersama sang suami, Terry Armand, memenangkan penghargaan IAI tahun 2008.
edisi #11: Fiksi
42
Avianti Armand, yang biasa dipang-gil Vivi, akhirnya menjadi sosok yang diperhitungkan di bidang arsitek-tur dan sastra. Sebelumnya hanya ada Romo Mangun yang juga terk-enal lewat novel-novelnya. Di Kopi Manyar, kami menemui Avianti sebagai narasumber utama edisi Fiksi. Setelah obrolan singkat untuk membuka pertemuan, wawancara kami mulai.
*
Roianisa (R): Bagaimana perjalanan Mbak Vivi sebagai lulusan arsitektur yang juga berpraktik sebagai arsitek, akhirnya dikenal melalui tulisan?
Avianti (A): Saya selalu tahu bahwa saya bisa menulis. Cuma keper-cayaan diri itu muncul belum lama. Saya tidak merasa menemukan suara pada saat menjadi seorang arsitek; mungkin memang harusnya saya tidak menjadi arsitek. Karena terlalu banyak yang saya kritik saat berpraktik, saya jadi sering merasa bersalah. Kemudian sekitar tahun 2007, saya mulai aktif menulis. Sebenarnya, saya sudah cukup lama menulis artikel-artikel bertema-kan arsitektur. Tetapi lebih seperti in-house, misalnya untuk karya Andra Matin yang dimuat di Laras atau membantu merangkum kuliahnya Mas Aang (panggilan kecil Andra Matin.red). Tapi, yang benar-benar menulis serius, ya tahun 2007 itu, dan itu mulai menulis iksi.
Yusni (Y): Tapi sebagai penulis iksi yang juga arsitek, apakah Mbak Vivi ada usaha untuk mengkaitkan keduanya?
A: Sebetulnya, mereka adalah dua hal yang berbeda. Namun, saya menemukan kesamaan antara sastra dan arsitektur. Mereka sama-sama punya struktur, dan mempunyai dua muka. Satu muka untuk komunikasi, lainnya untuk ekspresi.
Prosesnya juga tidak terlalu beda. Tulisan juga membutuhkan sesua-tu yang visual. Pada saat menulis, penulis perlu menceritakan detail-detail yang meyakinkan untuk membangun sebuah cerita. Dan akan menjadi sangat kuat ka-lau dia mempunyai imajinasi visual. Seperti, misalnya, jika ingin menceri-takan seorang tokoh yang muncul, karakter orang tersebut bisa diban-gun dengan menggambarkan hal-hal visual. Sepatunya mengkilat, bajunya disetrika rapi, hingga celananya yang bergaris. Detail visual seperti itu akan memperkuat sebuah cerita, dan dalam arsitektur hal-hal seperti itu juga akan memberi dampak yang sama.
Y: Kalau begitu, apakah menuangkan imajinasi visual dalam sketsa memban-tu Mbak Vivi dalam menulis?
A: Hmm, beberapa kasus memang saya gambar, sih.
RUANG | kreativitas tanpa batas
Dihapus Namanya. Ada satu puisi yang kalimat pertaman-ya lahir dari sebuah sketsa. Jadi gambar itu betul-betul saya ter-jemahkan ke kata-kata. “Malam adalah sebuah kubus. Di dasarnya, seorang perempuan….” Karena waktu itu saya tidak sengaja meng-gambar sebuah kotak.
Y: Apakah kemudian menulis mempengaruhi Mbak Vivi dalam berarsitektur?
A: Hmm, mungkin ya. Yang jelas, dalam presentasi jadi lebih meyakinkan (ter-tawa).
Pada saat kita menulis kan ada struktur yang jelas. Dengan begitu, saat presentasi kita bisa melihat yang mana yang akan kita highlight, mana yang akan menjadi argumen penguat. Tapi dalam desain sendiri, I don’t know.
Foto: Avianti Armand ©Ruang
edisi #11: Fiksi
44
R: Sekarang Mbak kan sudah punya empat karya. Apakah mereka ada-lah media untuk mengkomunikasikan pesan tertentu? Seperti semacam kritik atau pembelaan terhadap sesuatu?
A: Hmm... buku mana dulu? Kalau buku terakhir sebenarnya cuma kumpulan puisi, yang sifatnya impulsif. Maksudnya tidak dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, tapi panjang sekali dan sifatnya insidentil. Itu tidak ada tujuan khususnya.
R: Bagaimana dengan “Arsitektur yang Lain”?
A: Oke. Kalau itu iya.
Sebenarnya saya selalu melihat, jika kita bicara masyarakat arsitektur, seolah ada dua jalur paralel yang tidak saling ketemu. Satu adalah jalur akad-emisi, satu lagi jalur praktik. Yang lain jalan sendiri, yang satunya sok asyik sendiri. Padahal, di luar negeri, yang dirangkul dalam arsitektur sudah luas sekali. Bahkan, sejarah dan teori sudah menjadi sesuatu yang sehari-hari. Orang awam juga dibekali hal-hal arsitektural. Jadi, masyarakat bisa mengakses isu-isu tersebut dengan mudah. Saya ingat di tahun 1999, saat AMI mau pameran di Belanda. Yang menyelenggarakan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus membahas isu perkotaan. Nah, waktu saya datang Tiga buku karya
Avianti Armand. Sumber: Goodreads. com & Dailysylvia.com
RUANG | kreativitas tanpa batas
ke kantornya, ada bapak tua yang sedang bertanya mengenai ren-cana pembangunan jalur kereta baru. Jadi, arsitektur yang berupa bangunan, atau lingkup kota sudah menjadi diskusi sehari-hari orang awam. Semua orang adalah ahli, dan memang betul kita semua ahli! Tiap hari kita bersentuhan dengan ruang, kok.
Cuma, di sini (Indonesia.red), sama sekali tidak ketemu. Praktisi arsitek-tur punya bahasa sendiri saat bicara, juga para akademisi. Saat saya menu-lis untuk U Magazine, saya sadar sia-pa pembaca saya, yaitu orang awam. Tapi, apakah mungkin untuk bicara konsep-konsep ruang pada mereka? Bisa, loh.
Misalnya, dapur. Bagaimana kita ber-bicara tidak hanya sebatas tata letak, ataupenggunaan material, tetapi juga sejarahnya. Atau tentang jendela. Jendela ini apa? Kenapa di rumah limasan nggak ada jendela? Kenapa arsitektur modern punya jendela? Hal-hal itu kan dibicarakan para akademisi, tapi harusnya juga dibi-carakan awam dan praktisi. Jadi, saat itu, saya justru melihat adanya peluang untuk kita bisa menarik arsitektur menjadi sesuatu yang wajar dibicarakan siapapun juga. Tanpa itu, arsitektur kita nggak akan ke mana-mana, kecuali sebatas eksplorasi bentuk. Atau sesuatu yang akhirnya dibangun berbekal iksi dan uang klien. Ya kan? Cuma dibangun dari itu. Gila. Arsitektur itu profesi yang asyik banget, kan? (tertawa)
R: Di Amerika, artikel arsitektur bahkan sudah masuk ke koran seperti New York Times. Kenapa dalam konteks Indonesia, kita masih seber-jarak itu?
A: Sebetulnya ini PR banyak orang. Banyak institusi. Bukan cuma ar-sitek atau akademisinya. PR asosiasi profesi juga, IAI. Kalau kita melihat IAI, seolah yang di depan itu arsitek-ar-sitek yang memang memiliki klien be-sar. Yang dimunculkan arsitek yang itu-itu lagi. Apakah arsitek yang berkiprah di konservasi juga akan dikedepan-kan? Atau yang berkiprah di komuni-tas? Jangan-jangan malah tidak diakui? Tapi, itu satu hal ya, hal lain mengenai media. Media arsitektur
edisi #11: Fiksi
46
Foto tengah: Kanagawa Institue of Technology Workshop karya Junya Ishigami. Source: Archeyes.com
Y: Kalau selama ini menggunakan narasi, kemudian dalam “Buku Tentang Ruang” metodenya berbeda: puisi. Orang lain mungkin sulit mengaitkan dirinya dengan karya tersebut. Selain budaya membaca puisi kita masih kurang, juga ruang untuk interpre-tasinya bisa sangat luas. Kenapa Mbak Vivi memilih bentuk itu?
A: Hmm... Sebenarnya itu seder-hana banget. Untuk judul Buku Tentang Ruang itu sebetulnya salah satu judul puisi, yang kemudian saya pakai sebagai judul buku. Kenapa juga saya mau menggunakan itu sebagai judul buku? Karena catchy, gitu. Jadi, yaa... (tertawa)... alasannya nggak muluk-muluk, kok.
Tapi setiap puisi itu menyusun dunianya sendiri. Dia punya ruang interpretasinya sendiri. Jadi, kalau di buku ini saya menjejerkan puisi saya, saya sebetulnya mengajak pembaca masuk ke ruang interpretasi dan dunia mereka.
Y: Di buku yang sama, ada dua tokoh yang disebutkan secara eksplisit. Wong Kar Wai dan Junya Ishigami. Kenapa mereka?
A: Selain senang baca, saya juga suka nonton ilm. Dan ilm yang engga pernah gagal menurut saya itu karya Wong Kar Wai. Dia hampir tidak pernah menceritakan sesuatu secara gamblang, tapi menggunakan simbol-simbol. Misalnya, untuk menceritakan orang sedang kangen, ia menggam-barkannya dengan langit senja yang berwarna oranye.
Sebagai perbandingan, lihat saja sinetron Indonesia. Penggambarannya benar-benar literal gitu. Misalnya, mau menggambarkan anaknya kecelakaan. Bapaknya telepon ibunya, “Bu, anak kita memang, sejauh ini, yang laku
dijual adalah yang bersifat dekoratif. Kegiatan ASF (Architecture Sans Frontieres) di kampung Tongkol apa kemudian masuk majalah Laras? Tidak ada kan di majalah Dewi? Ya tentu tidak.
Kalau dilihat memo tahunan-IAI tahun kemarin itu sebetulnya sudah langkah yang bagus. Kegiatan konservasi sudah mulai dikedepankan, begitu juga yang bernuansa komuni-tas. Tapi, itu juga masih butuh langkah
RUANG | kreativitas tanpa batas
kita kecelakaan!” Terus ibunya mer-espon, “Apa!? Anak kita kecelakaan!?” Terus bapaknya jawab lagi, “Iya, anak kita kecelakaan!” Mampus! (semua tertawa)
Gitu, kan? Kalo di Wong Kar Wai cuma orang angkat telepon, lalu dia dengarkan. Terus teleponnya ditaruh. Shoot mukanya sebentar, trus kam-eranya tembus jendela, tunjukkan pemandangan di luar. Kaya’ gitu, loh! Jadi, sebenarnya tidak perlu literal. Menurut saya, hal itu tidak pernah gagal untuk mengoyak-ngoyak per-asaan... (semua tertawa)
Nah, Junya Ishigami menurut saya adalah arsitek dengan level kepekaan yang sama. Kalau kita bicara modern-isme kan mengusung “form follows
function” yang semuanya diselesaikan secara rasional.
Seperti, misalnya, KAIT (Kanaga-wa Institute of Technology Workshop). Menurut saya, itu luar biasa, semua aspek fungsionalnya dis-elesaikan dengan baik dan dengan cara yang sangat sensitif. Dia bisa saja menaruh kolomnya mengikuti sebuah grid. Tapi, malah diatur secara acak dengan ukuran yang sekecil mungkin, dan banyak. Akhirnya itu memberi kita pengalaman yang baru. Karena ruang itu bukan “apa yang direncanakan” tapi “apa yang dialami”. Setiap kali kita bergerak, kita nggak pernah ketemu kualitas ruang yang sama. Tapi, kita juga tahu bahwa ada rasionalitas di balik semua ini. Setiap orang punya cerita yang beda. Sama sekali tidak ada yang pasti.
Sebenarnya, saat saya datang ke bangunan itu, saya nggak tahu mengenai narasi konsepnya. Baru setelah dari sana, saya baru cari-cari ceritanya untuk kemudian dituliskan. Ya, yang diceritakan akhirnya praktis sekali, tentang bagaimana dia meren-canakan strukturnya.
Atau saat dia mendesain meja dari besi 9 milimeter dengan panjangnya 9 meter itu. Apakah dia menceritakan “saya mau menciptakan sebuah dunia yang suriil,” gitu? Tentu tidak! Dia nggak ngomong gitu. Dia cuma cerita, “Bisa nggak sih, saya bikin meja panjangnya 9 meter, tebelnya 9 mili?” Tujuan-nya haTujuan-nya mau tes titik ekstrim dari sebuah material. Itu doang, iya kan?
edisi #11: Fiksi
48
Tapi, jika kemudian saat kita melihat meja itu kita akan merasakan sebuah fenomena suriil, itu lebih seperti im-pact.
Merinding nggak sih lihat di atas meja itu diletakkan benda-benda ke-cil sehari-hari, yang kalau kita angkat mejanya juga ikut gemetar? Itu kan jadi bikin deg-degan (tertawa).
Y: Kalau kita berbicara konteks In-donesia, apakah sekarang banyak praktik arsitektur yang menggunakan narasi iksi tapi tidak tepat sasaran?
A: Sebenarnya bukannya tidak tepat sasaran, tapi kadang kita melihat bahwa iksi itu malah mengalihkan
arsitek dari masalah utamanya. Dan sering juga kita lihat bahwa akhirnya iksi itu merupakan justiikasi dari intensi desainnya.
Saya berharap, sebetulnya justru sebelum mulai mengarang iksi, arsitek berusaha sama kerasnya untuk mencari akar permasalahan atau problem yang sesungguhnya dari penugasan yang dia dapat.
Y: Yang dimaksud dengan mengarang iksi dalam berpraktik arsitektur itu seperti apa?
A: Basically adalah pembuatan konsep itu. Dewasa ini, kita kalau mau mel-akukan riset kan mudah sekali. Tapi, Foto bawah:
Menguatnya peran media online arsitektur semakin menyuburkan narasi iksi sebagai strategi penarik perhatian. Source: archdaily.com
RUANG | kreativitas tanpa batas