Tania Chumaira
Kita dan Ruang
Salah satu episode serial Big Bang Theory membuat saya berpikir bahwa cara kita menempati ruang dan tempat sudah banyak berubah karena perkem-bangan media dan teknologi informasi. Di salah satu episodenya, Sheldon, si karakter utama, memilih untuk merasakan pengalaman ruang hutan melalui Oculus Rift (perangkat virtual reality).
Meskipun pengalaman yang disampaikan hanya sebatas visualisasi dan suara-suara alam buatan melalui speaker komputer, Sheldon, tetap bergerak seolah dirinya berada di hutan dengan menggerakan badan dan tangannya. Bahkan ketika dia melihat kupu-kupu, dia menjulurkan jemarinya seolah mendekati kupu-kupu yang sebenarnya hanyalah sekumpulan data.
Episode tersebut membuat saya berpikir bahwa cara kita menempati dan menikmati ruang dan tempat telah banyak berubah. Perlahan, kita bermigrasi ke ruang virtual yang tersusun oleh data.
Left: Pengalaman ruang di hutan bua-tan (Sumber: Netlix, kompilasi penulis) Perkembangan teknologi informasi dan media telah mengubah persepsi dan
cara kita berinteraksi dengan ruang. Saat ini kita sudah mulai menghuni ruang virtual, dan relasi tersebut semakin dalam. Jika demikian, apa yang akan terjadi
edisi #11: Fiksi
62
Seringkali kita tidak benar-benar merasakan pengalaman irst-hand lagi dalam konteks ruang dan tempat. Lebih jauh lagi, kita seakan bisa membawa ruang eksterior ke dalam ruang interior melalui pengalaman Virtual Reality terse-but.
Meyrowitz (1985) dalam bukunya yang berjudul No Sense of Place mem-berikan introduksi yang belum apa -apa sudah membuat saya berhenti sejenak dan berpikir keras. Pada bukunya Meyrowitz memberikan sebuah contoh bagaimana perkembangan media dan teknologi informasi telah mengubah cara kita menempati ruang dan tempat sekaligus bagaimana kita mempersepsikannya.
Contoh yang pertama berupa peristiwa penembakan salah satu Presiden Amerika yang ditembak di sebuah acara publik yang mana warganya men-yaksikannya entah itu secara langsung maupun di televisi. Ternyata mereka yang menyaksikan di televisi tetap saja memiliki reaksi yang sama dengan mereka yang menyaksikan secara langsung. Karena, menurut Meyrowitz, tel-evisi memberikan pengalaman pertama (irst hand) kepada penontonnya. Yaitu berupa ruang yang terbentuk dari kombinasi pengalaman visual, dan audio di lokasi kejadian. Terlepas ruang tempat masyarakat menonton le-wat televisi sama sekali berbeda dengan tempat kejadian langsung. Lagi-lagi perkembangan media dan teknologi informasi mampu membuat kita mera-sakan pengalaman ruang publik di dalam ruang yang lebih privat semisal living room di mana biasanya kita menyaksikan televisi.
Contoh yang kedua diambil dari kejadian sehari-hari di rumah ketika orang tua di tahun 1980-an seringkali memberikan hukuman anaknya dengan tidak memperbolehkan mereka keluar kamar atau keluar rumah. Meyrowitz men-gatakan bahwa saat media dan teknologi informasi belum mumpuni, huku-man mengisolasi anak di dalam kamar berimbas signiikan. Dalam artian anak menjadi terisolasi dengan apa yang terjadi di luar kamarnya, terisolasi dari berbagai informasi dan dunia sosialnya. Anak menjadi jera karena dengan dihukum, kebutuhannya untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan bersosialisasi akan diputus.
Namun, dengan adanya teknologi, hukuman seperti itu tidak lagi memberikan pengalaman isolasi bagi anak. Di cyber-age seperti sekarang ini, sekalipun seorang anak mendapat hukuman untuk tinggal di kamarnya saja, dia tetap mampu berkomunikasi dengan temannya melalui pesan singkat atau telepon. Saya pun berpikiran bahwa saya tidak akan merasa terisolir dengan sanksi seperti itu. Telepon genggam saya tetap bisa membuat saya berkomunikasi dengan teman saya, dengan dunia sosial saya.
Sehingga, barangkali, tidak ada ruang yang benar-benar publik dan tidak ada ruang yang benar-benar privat.
RUANG | kreativitas tanpa batas
Matsuda (2010) mengungkapkan lebih lanjut bahwa saat ini terjadi dislokasi dalam ruang privat dan publik di mana keduanya saling mengekspansi. Sese-orang di kendaraan umum (ruang publik) bisa dengan mudahnya mengganti moda ruang menjadi ruang privat hanya dengan mengenakan headsetnya. Mendengarkan lagu pilihan sambil menatap layar ponsel yang familiar baginya membuat dia merasakan pengalaman ruang tertentu yang personal tanpa harus terpengaruh dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.
Begitu pula sebaliknya, ruang privat pun terekspansi oleh ruang publik. Adan-ya akses dari dunia luar di dalam ruang privat entah itu internet dan media elektronik membuat kita tidak benar-benar berada di ruang privat (Spigel, 2005). Kita bisa mengambil contoh ketika kita melakukan tele-conference via Skype untuk berdiskusi soal pekerjaan di ruang kamar di malam hari. Di wak-tu di mana biasanya kita beristirahat di rumah, tekologi masih menjangkau kita dan menariknya ke ruang publik bersama dengan kolega yang lainnya. Ruang privat-publik, ruang eksterior-interior, ruang isik-virtual; teknologi sep-erti menghapus batas antara ruang-ruang tersebut. Lebih jauh lagi, teknologi mengubah perilaku kita dalam menempati dan mempersepsikan ruang.
Menghuni Data
Perkembangan teknologi khususnya di bidang telekomunikasi kerap menjadi bagian dari keseharian kita. Ponsel, koneksi internet, dan aplikasi memberi-kan makna yang lebih dari sekadar penghubung. Mereka yang tersusun atas material nyata dan data membentuk ruang lain di luar ruang isik yang kita tempati.
Ada sebuah argumen yang menarik bahwa perangkat elektronik kecil saat ini dinilai sebagai sebuah rumah atau hunian (Caldwell, 2000). Benda-benda tersebut memiliki aspek domestik karena wujudnya yang bisa dipersonalisasi maupun diinjeksi kepribadian. Kita menginjeksi benda-benda tersebut sesuai dengan kepribadian kita. Kita mengatur bagaimana tampilannya, penyusunan data di dalamnya, dan bagaimana benda-benda tersebut tampak di mata kita atau orang lain. Barangkali sama seperti mendekor sebuah ruang hanya saja dengan pendekatan yang berbeda, utilisasi data.
Tanpa sadar tampilan antarmuka dan juga laman sosial media nampak sep-erti sebuah fasad. Sebuah elemen arsitektural yang kita bagi kepada publik. Kita mendekorasinya, membuatnya tematik, semua disesuaikan dengan cita rasa estetika empunya. Laman dibuat sedemikian rupa mereleksikan siapa pemiliknya.
Lebih jauh lagi, ruang tersebut, yang sejatinya hanyalah kumpulan data men-jadi sebuah ruang yang sangat nyaman untuk dihuni. Kita menghabiskan ban-yak waktu di sana dan berbicara dengan teman atau keluarga melalui media tersebut.
edisi #11: Fiksi
64
Sebuah proyek yang dibuat oleh Pew Internet dan American Life bahkan mengatakan bahwa dalam periode tahun 1985-2004 jumlah teman dekat (atau katakanlah sahabat) yang dimiliki oleh responden berkurang dari tiga orang ke dua orang. Dan tiga puluh persen orang-orang yang sangat gemar menggunakan Facebook cenderung tidak mengenal tetangganya.
Morin (2013) yang merupakan CEO dari sosial media Path kerap menguta-rakan bahwa Indonesia merupakan pengguna terbesar sosial media tersebut dengan persentase sekitar lima puluh persen. Tidak hanya Path, Indonesia pun cukup dominan di jejaring sosial lain seperti Facebook (Novianto, 2013). Teknologi dan internet tidak hanya menghapuskan batas antara ruang privat dan publik atau juga membuat interaksi yang terjadi antar individu berpindah ke ruang virtual.
Igauan
Barangkali secara perlahan kita bermigrasi ke ruang virtual yang tersusun atas sekumpulan data. Kita beranjak untuk menghuni data, berinteraksi mela-lui data, dan juga beraktiitas menggunakan data. Pikiran dan jiwa kita sejauh ketikan jari mampu mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan du-nia tanpa harus badan kita bersusah payah bergerak. Kita menghuni data tersebut.
Hal ini membuat saya berpikir tentang distopia dari teknologi, internet, dan rekan-rekannya. Apakah nanti peran ruang isik mampu tergantikan dengan ruang virtual yang tersusun atas data? Apakah nanti kecanggihan represen-tasi data mampu benar-benar menggantikan semua pengalaman irst-hand penginderaan?
Ketika “Model K” Adder diciptakan sebagai purwarupa komputer yang per-tama kali, tidak terbayangkan perpindahan data bisa menjadi secepat dan sepraktis sekarang. Tanpa kabel. Barangkali seiring dengan terjadinya perkem-bangan teknologi, representasi sempurna akan sebuah data pun bisa semakin mumpuni. Bisa jadi tidak hanya representasi audio dan visual saja yang bisa disajikan.
Dan ketika keterikatan kita terhadap ruang virtual tersebut semakin dalam, apa yang akan terjadi dengan kita dan ruang isik? Apakah manusia tidak akan bertegur sapa lagi dan semakin sibuk dengan laman media sosialnya? Apakah diskusi keluarga akan terjalan melalui grup sebuah aplikasi? Apakah nilai se-orang teman terlihat dari seberapa banyak kita mengunggah foto bersama di sebuah media sosial?
RUANG | kreativitas tanpa batas