• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang11 FIksi Volume 1 Cermin Lowres

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ruang11 FIksi Volume 1 Cermin Lowres"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG

juli 2017

Endhy Prasetyo - Christian Parreno - Hiroki Muto - M. Shamin Sharum

Avianti Armand - Laras Primasari - Tania Chumaira - Annisa Nur Ramadhani

Yusni Aziz - Savitri Sastrawan - Nazmi Anuar - Shreyank Khemalapure

FIKSI

#

(2)

edisi #11: Fiksi

(3)

R U A N G # 1 1 : F I K S I

v o l . 1 : C e r m i n

tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:

Endy Prasetyo

Christian Parreno

Hiroki Muto

M Shamin Sharum

Avianti Armand

Laras Primasari

Tania Chumaira

Annisa Nur Ramadhani

Savitri Sastrawan

Yusni Aziz

Nazmi Anuar

(4)

PEMBUKA

RUANG

Fiksi adalah cerita rekaan, penuturan subyektif tentang hasil imajinasi yang berakar dari fakta. Ia diasosiasikan dengan “ketidaknyataan” dan “kebohongan”, sementara fakta terkait dengan “kenyataan” dan “kebenaran”. Sepanjang sejarah, karya iksi terbukti mampu mendorong batas imaji ruang dan pemikiran di sebuah jaman. Seperti bagaimana Archigram mengenalkan kota yang dapat bergerak atau pemikiran utopis para Metabolis yang mendorong lahirnya Nakagin Capsule Tower di Tokyo. Edisi kesebelas RUANG ini berangkat dari pertanyaan kami tentang apa yang akan terjadi jika hubungan arsitektur dan iksi didekatkan kembali dalam diskursus arsitektur.

RUANG sangat berterima kasih atas respon positif para kontributor dari dalam dan luar negeri yang ikut mempertanyakan, membahas, atau bahkan meredeinisi kembali pertanyaan tersebut; dan menerjemahkannya dalam sebuah karya. Sebanyak sebelas dari total sembilan belas artikel akan mengisi volume 1: “Cermin”.

Endhy Prasetyo akan membuka volume “Cermin” dengan “Realitas Arsitektur Fiksi”. Ia membahas batasan realitas, arsitektur, dan iksi; serta hubungan di antara ketiganya. Selanjutnya Christian Parreno bercerita bagaimana iksi, yang dilihat sebagai sesuatu yang nyata, telah mendasari proses mendesain dan diskursus arsitektur melalui “Fiction as Truth in Architecture”. Hiroki Muto kemudian membahas apa yang iksi telah lakukan pada kota melalui “Fictional City”. Dilanjutkan oleh M. Shamin Sharum, melalui “Media Fiction / Media Futures”, yang melihat bagaimana media dewasa ini telah memberi kesempatan bagi pengguna untuk menikmati peran ksional sebagai arsitek.

Tim RUANG juga berkesempatan untuk mewawancara Avianti Armand, arsitek praktisi yang juga terkenal lewat karya-karya iksinya, dalam “Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur”. Setelah itu, Laras Primasari menyelidiki bagaimana drama dan idealisme sebuah proyek dapat saja gagal jika tidak ada dukungan politik di baliknya melalui “From Mies, For Detroit”. Sesudahnya, Tania Chumaira mengkritisi tren hunian masa kini yang sebetulnya didominasi oleh ruang virtual lewat “Distopia Hunian Kekinian”. Masih dalam konteks tempat tinggal, Annisa Nur Ramadhani memeriksa eksistensi ruang sosial dalam rumah susun melalui “Ruang Sosial dalam Rumah Susun: Fiksi(kah)?”. Yang dilanjutkan oleh pengamatan Yusni Aziz tentang workshop Alter Shelter yang menggunakan iksi untuk mengkritisi isu hunian.

Savitri Sastrawan lalu menceritakan bagaimana arsitektur telah memicu mimpi dan memorinya di “My Dream – Architecturally”. Dan sebagai penutup, Nazmi Anuar dan Shreyank Khemalapure akan mendiskusikan bagaimana karya Mies van der Rohe ditampilkan di berbagai ilm lewat “Mies at the Movie”.

Melalui edisi ini, kami mengajak pembaca untuk lupakan sejenak klien, keterbangunan, konteks ataupun tektonika; mari kita berandai-andai atas ruang dan kota.

(5)

Realita Fiksi Arsitektur Endy Prasetyo

Fiction as Truth in Architecture Christian Parreno

Fictional City Hiroki Muto

Media Fiction M Shamin Sharum

Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur Avianti Armand

From Mies, From Detroit Laras Primasari

Distopia Hunian Kekinian Tania Chumaira

Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun: Fiksi(kah)? Annisa Nur Ramadhani

Alter Shelter Yusni Aziz

My Dream - Architecturally Savitri Sastrawan

Mies at the Movies

Nazmi Anuar & Shreyank Khemalapure

ISI

vol.1: Cermin

esai

esai

esai

esai

esai essay

essay

essay

essay

essay

essay

8

20

26

32

40

52

60

66

78

88

(6)

K O N T R I B U T O R

ENDY PRASETYOLulus dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember tahun 2007 dan menjadi staff pengajar pada tahun berikutnya. Minat yang mendalam dalam arsitektur konseptual dan manifestasinya telah membawa ia memimpin studio arsitektur eksperimental dari 2014 yang menekankan pada pemikiran kritis pada arsitektur sebagai masalah konseptual. Dia menolak untuk percaya adanya batas antara konsep dan perwujudan dalam arsitektur. Saat ini ia memulai penelitian tentang pendekatan teoritis terhadap arsitektur sebagai masalah konseptual. Mendirikan ordes arsitektur adalah tindakan nyata untuk lebih jauh membaurkan batas antara akademis dan praktek dalam arsitektur.

CHRISTIAN PARRENO

is a Research Fellow and PhD candidate at the Oslo School of Architecture and Design, investigatin the relation between boredome, space, and modern architecture. His research, published in this issue, has been carried out partly at the Bartlett School of Architecture and at the University of California, Los Angeles. He holds an MA in Histories and Theories from the Architectural Association, and a degree in Architecture from Universidad San Fransisco de Quito.

EP

CP

HM

MSS

HIROKI MUTO Born in 1983, Nagano, Japan. He finished his bachelor in Department of Science and Engineering at Waseda University and then continued his Graduate School of Creative Science and Engineering at the same institution. From 2011 to 2013, he had the opportunity to continue his study at Berlage Institute, the Netherlands. Currently, he is one of the partners of theWorkshop,inc.

M SHAMIN SHARUM

(7)

TANIA CHUMAIRA

adalah peneliti dengan afiliasi Universitas Indonesia yang menaruh minat terhadap ruang, kebertubuhan, serta bagaimana era digital membuat keduanya berubah. Ia juga tertarik akan fabrikasi, analog maupun digital. Hal tersebut memotivasinya untuk melanjutkan studi di The Bartlett School of Architecture di jurusan Design for Performance and Interaction. Fabrikasi selalu membantu Tania untuk menguji hipotesanya terhadap ruang dan manusia melalui model studi 1:1.

Ia selalu percaya bahwa ruang adalah proyeksi dari manusia, sehingga segala perubahan lingkung bangun yang ada berasal dari perilaku kita sendiri.

ANNISA NUR RAMADHANI adalah mahasiswi arsitektur penggemar wacana dan isu-isu tentang permukiman dan perkotaan. Setelah menyelesaikan studi sarjana arsitekturnya di ITS pada tahun 2016 lalu, saat ini Annisa sedang mengenyam pendidikan pasca-sarjana di kampus yang sama ITS Surabaya.

ARVIANTI ARMAND

Arsitek, kurator dan penulis yang telah melahirkan berbagai karya. “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” miliknya memenangkan Cerpen Terbaik Kompas tahun 2009. Dua tahun kemudian, “Perempuan Yang Dihapus Namanya” meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Di bidang arsitektur, Rumah Kampung karyanya bersama sang suami, Terry Armand, memenangkan penghargaan IAI tahun 2008.

LARAS PRIMASARI

lulus dari Arsitektur ITB tahun 2010, lalu memulai karirnya sebagai penulis di IAAW dan ELLE Decoration Indonesia sambil berpraktik sebagai arsitek. Setelah itu Ia memutuskan untuk memperdalam ilmu real estate dan rancang kota di UNSW Australia. Saat ini Laras bekerja sebagai penulis lepas dan asisten akademik di almamaternya di Bandung. Ia sedang tertarik untuk mendalami topik hyperdensity

serta studi cross-genre antara real estate dengan morfologi kota.

AA

ANR

LP

(8)

NAZMI ANUAR runs the collaborative research and design office Normal Architecture and teaches at the School of Architecture, Building & Design, Taylor’s University, Kuala Lumpur. He believes that architecture should not be limited to the job of designing buildings but should be practiced as a discipline of knowledge and a process of cultural production. He holds a Bachelor of Architecture from UPM, Kuala Lumpur and a Masters in Architecture and Urban Design from The Berlage, Delft.

SHREYANK

KHEMALAPUREteaches Humanities and History of Architecture at L. S. Raheja School of Architecture, Mumbai since 2015. He also develops projects ranging from architectural research to documentary film making at Room for Architecture - mostly in collaboration. He graduated from The Berlage, Center for Advanced Studies in Architecture and Urban Design in 2014.

YUSNI AZIZAlumnus dari double-degree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini sedang sibuk dengan riset independen dan mengasuh blog pribadi di www.

yusniaziz.com

D.A.E. SAVITRI SASTRAWAN is a Balinese nomad, DewaAyuEka Savitri Sastrawan is an ar ts and language freelancer. She is an ar tist, a Bahasa Indonesia - English translator, and currently completing Master s in Global Ar ts at Goldsmiths, Univer sity of London. She previously studied Fine Ar t Painting at ISI Denpasar, Bali and Chelsea College of Ar t and Design, UAL, UK. Her research interest is to explore the interdisciplinar y possibilities in the ar ts and language within the global society and culture.

YA

SK

DSS

(9)

R U A N G

Editorial Board :

Ivan Kurniawan Nasution Yusni Aziz Roianisa Nurdin

Fath Nadizti Laras Primasari

web : www.membacaruang.com facebook : /ruangarsitektur

twitter : @ruangarsitektur tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com

email : [email protected]

Segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan

tertentu harus atas izin penulis.

(10)
(11)

REALITA

ARSITEKTUR

FIKSI

Apakah itu iksi, realita dan arsitektur; dan apa hubungan yang terjadi di antara ketiganya. Apa kita sebetulnya butuh arsitektur iksi? Apa gunanya untuk

keilmuan arsitektur? Kenapa eksistensinya masih saja relevan?

Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas aspek realita yang ada pada arsitektur iksi. Terbagi menjadi tiga bagian, saya akan mulai dengan mengajukan pertanyaan kritis men-genai realita, lalu berlanjut ke pem-bahasan mengenai arsitektur, dan diakhiri dengan elaborasi tentang arsitektur iksi.

[image:11.420.55.309.90.277.2]

Beberapa pembahasan yang termuat merupakan sudut pandang yang saya miliki, dalam hal ini saya lebih ber-peran sebagai pemerhati amatir akan hubungan antara iksi dan realita. Meski tidak dapat dipungkiri, sudut

Gambar kiri: Plug-in City karya Archigram. Sumber: http://megae-structuras.tumblr.com/ page/10

Endy Yudho Prasetyo

pandang tersebut sudah tertanam dan menjadi bagian dari diri saya ke-tika berperan sebagai seorang arsitek praktisi dan pengajar arsitektur.

Kita mulai dengan pembahasan perta-ma, apakah sesungguhnya realita itu?.

(12)

edisi #11: Fiksi

10

Ilustrasi akan per-bedaan pemahaman. sumber: pinterest.com,

2016

Urutan proses itu melibatkan dua elemen yang sama penting. Objek atau kejadian yang berlangsung, dan pemahaman oleh subjek pengamat. Satu elemen tersebut tidak akan be-rarti tanpa bagian yang lain.

Lalu kemudian muncul pertanyaan, dari kedua hal tersebut, manakah realita itu? Kejadian yang sedang berlangsung, atau pemahaman oleh subjek ?

Seperti ilustrasi di atas, pemaha-man oleh subjek pengamat dapat sama sekali berbeda antara subjek satu dengan yang lain. Kedua orang itu memiliki pendapat berbeda akan angka yang tergeletak di lantai ka-rena perbedaan sudut pandang. Fak-tanya, angka yang tergeletak hanya satu. Oleh karena, itu salah satu dari mereka pasti salah. Tapi, apa betul re-alita adalah sesuatu yang tunggal?

Kata ‘realita’ mengingatkan saya akan beberapa judul ilm yang mencam-pur adukan iksi-imajinasi, dan re-alita, seperti Big Fish, A Monster Call,

dan Birdman. Jalan cerita membuat

bingung banyak penonton, karena tipisnya batasan (dan tidak jarang dicampur-adukkan) antara kejadian yang sesungguhnya dengan kejadian yang iksional. Kontradiksi dan keka-cauan tersebut semakin memperkuat persepsi saya akan realita yang sebe-narnya.

Dalam A Monster Call, Conor berima-jinasi tentang monster pohon raksasa yang membantunya menerima keny-ataan bahwa ibunya sakit dan mung-kin tidak lama lagi meninggal. Sangat kontradiktif, dimana seorang anak menciptakan sebuah tokoh imajiner untuk membantunya menerima re-alita. Menariknya, tidak hanya Conor, tetapi saya sebagai penonton juga berhasil disadarkan monster itu bah-wa dunia ini tidak pernah sempurna. Bad things do happen sometimes.

Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah sosok monster rekaan terse-but hanyalah iksi yang bisa kita kesa-mpingkan, atau bagian dari realita?

Hal tersebut dapat dikorelasikan dengan istilah pseudo-emotion dan

(13)

RUANG | kreativitas tanpa batas

Atas: Monster pohon dalam ilm a Monster Call. Sumber: alisonel-dred.com, 2016

Kiri bawah: Perwakl-lan sebuah jeruk sumber: google image, 2016

1) Socrates dan Plato berkeyakinan bahwa kebenaran sesungguhnya berada pada alam Form, (The realm of Form) dimana alam tersebut adalah alam abstraksi, bukan alam isikal yang kita lihat saat ini.

2) Saya yakin bahwa Knowledge yang di-maksud oleh Socrates dan Plato, lebih dekat ke arah kata ‘pema-haman’ ketimbang kata ‘pengetahuan’. RUANG | kreativitas tanpa batas

Pemahaman realita oleh sensor pan-ca indera telah dibahas Socrates dan diteruskan muridnya, Plato. Menurut mereka, indera isik yang kita miliki pada dasarnya menghalangi kita un-tuk memahami kebenaran realita yang sesungguhnya1. Dan realita

akan lengkap ketika kita melibatkan apa yang disebut knowledge2.

Sebagai contoh, jika terdapat dua orang yang berdikusi akan kata “je-ruk”, bagaimana kita yakin bahwa mereka berdiskusi akan jeruk yang sama?

Dengan demikian, kita perlu mem-pertanyakan akan realita jeruk yang mereka diskusikan. The realm of form

(14)

edisi #11: Fiksi

12

3) Sir Nikolaus Bern-hard Leon Pevsner, seorang ahli sejarah arsitektur dan seni menjelaskan

pemaha-man akan arsitektur dalam buku yang berjudul ‘An Outline of European Architec-ture’, yang diterbitkan

pada tahun 1942.

Plato menyampaikan bahwa kita hendaknya melihat tidak dengan panca indera, namun dengan knowl-edge. Hal tersebut membawa kita pada pemahaman bahwa realita, sesungguhnya adalah apa yang kita yakini, dengan objek, dan kejadian, yang secara isik terjadi, berperan se-bagai pemicunya.

Lalu bagaimanakah dengan realita dalam arsitektur? Sebelum men-jawab pertanyaan itu, sebaiknya kita bertanya lebih dahulu tentang apa itu arsitektur.

Banyak sekali pendapat berbeda akan kata arsitektur, di samping fakta bahwa kata arsitektur tercipta dari penggabungan dari dua kata dari bahasa Yunani, “chief ” dan “builder”.

Secara literal, keduanya dapat diter-jemahkan sebagai “kepala tukang”.

Pembahasan arsitektur juga tidak bisa lepas dari konsep klasik ‘triad’ arsitektur yang dipaparkan oleh Mar-cus Vitruvius Pollio (81SM-15). Bah-wa arsitektur terdiri dari venustas (keindahan), utilitas (kegunaan), dan irmitas (kekokohan). Tidak meng-herankan jika kemudian Pevsner (1942)3 menyatakan bahwa segala

jenis naungan atau perlindungan yang memungkinkan manusia un-tuk beraktivitas di dalamnya adalah bangunan. Dan kata arsitektur ditas-bihkan pada bangunan yang dibuat dengan intensi keindahan.

Jika kita mengambil kesimpulan se-mentara bahwa arsitektur adalah sebuah objek isik berupa

bangu-nan yang memiliki intensi keindahan, maka sesungguhnya hampir mustahil membuang objek terbangun dalam pembahasan arsitektur. Tapi benarkah demikian?

(15)

RUANG | kreativitas tanpa batas

4) Skala 1:1, saya sengaja mengguna-kan kata ‘skala 1:1’ dan bukan kata ‘skala sebenarnya’ dikarena-kan skala berapapun menurut pemahaman Eisenman adalah ‘sebenarnya’.

5) Wawancara Peter Eisenman dengan Iman Ansari yang dipublikasikan pertama kali pada Hamshahri Archi-tecture di Iran pada tahun 2013.

Keterangan foto: Foto House II, Peter Eisenman. sumber: www. architectural-review. com

bangunan yang ia rancang sesung-guhnya hanyalah model isik dengan skala 1:14 tidak lebih ‘penting’ dari

maket model dengan skala berapa-pun dalam perannya sebagai media ide. Bahwa arsitektur sesungguhnya adalah hal (ide) yang tertuang di tas gambar (bukan gambar dan ker-tasnya) dan bukan pula benda yang terbangun di atas tanah5. Sehingga

pertanyaannya bukanlah ‘apakah benda itu adalah sebuah arsitektur?, namun ‘bagaimanakah arsitektur benda itu?.

Dalam wawancara bersama Iman Ansari, Eisenman mengatakan salah satu majalah Prancis tanpa sengaja

menuliskan “Model of House II” untuk foto bangunan House II miliknya. Hal itu tampaknya sangat menghibur Ei-senman karena foto tersebut secara tidak langsung memaparkan ide Ei-senman bahwa objek terbangun tidak lebih adalah sebuah maket model skala 1:1.

Arsitektur sebagai sebuah ide mung-kin sebuah gagasan yang tidak mu-dah untuk diterima. Materialitas, dan proses membangun ide itu juga tidak dapat dipisahkan dari diskursus ar-sitektur. Namun kemudian sebuah pertanyaan muncul di benak saya, Apakah seorang arsitek akan hilang ke-arsitek-an-nya jika rancangannya tidak pernah dibangun?

Hal tersebut mengingatkan saya pada seorang seniman yang juga seorang arsitek bernama Giovanni Battista Piranesi, yang selama hidupnya hanya sempat memiliki satu bangunan yang terbangun. Begitu juga dengan salah satu arsitek eksperimental Lebbeus Woods, yang juga hanya memiliki satu karya terbangun, berupa karya insta-lasi yang menempel pada bangunan yang dirancang oleh Steven Holl.

Apakah Zaha Hadid bukan seorang arsitek sebelum Vitra Fire House terbangun? Apakah Archigram juga hanya sekelompok anak muda yang banyak memiliki waktu luang?

(16)

edisi #11: Fiksi

14

6) Bernard Tschumi, Red is Not a Color, 2012

7) Pembahasan mengenai abstraksi arsitektur merupakan pembahasan lanjutan yang pernah saya paparkan dalam topik Dematerialization of Architecture, sebuah paparan singkat pada komunitas deMaya, Surabaya, pada tahun 2012 yang lalu.

bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan ilmu pengetahuan akan bentuk6.

Pen-dapat Tschumi memperkuat penda-pat Eisenman, bahwa arsitektur ada-lah hal yang abstrak, dan bukanada-lah hal yang isikal, dan materialistik.

Andrea Palladio (1508-1580) meng-habiskan sisa waktu hidupnya untuk menggambar ulang semua bangunan yang ia rancang selama hidupnya dan menuangkan pemahamannya tentang arsitektur dalam buku ber-judul “I quattro libri dell’architettura”,

atau The Four Books of Architecture. Palladio menyatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai arsitek yang mer-ancang bangunan-bangunan yang ada di dalam buku yang ia tulis, bu-kan sebagai arsitek yang merancang bangunan yang telah terbangun. Ia merasa bahwa gagasan yang ada di buku, jauh lebih murni dibanding-kan bangunan yang terbangun. Hal tersebut menurut saya menunjuk-kan keyakinannya bahwa semakin abstrak media yang digunakan untuk menunjukkan ide arsitektur, semakin murni arsitektur tersebut7.

Kita kembali ke pertanyaan semula, apakah arsitektur itu?

Dari pembahasan yang saya kemuka-kan, saya ingin memperkenalkan sudut pandang yang menunjukkan bahwa arsitektur adalah suatu hal yang ab-strak, bukan isikal dan materialistik. Hal tersebut penting untuk disadari sebelum kita membahas topik ketiga, arsitektur iksi.

Arsitektur iksi mungkin akan mudah

dikorelasikan dengan rancangan ar-sitektur yang sifatnya eksperimental, spekulatif, dengan konteks sebagai sesuatu yang imajinatif, dengan seting waktu yang tidak mengekang. Kekua-tan dari arsitektur tersebut kemudian terletak pada pemikiran dan proses eksperimen dari sang perancang, dan bisa saja tidak berorientasi kuat pada

“arsitektur iksi pada

dasarnya memiliki

esensi yang sama

dengan arsitektur

(17)

RUANG | kreativitas tanpa batas

8) Archigram didirikan pada tahun 1960an, sebuah era dimana teknologi pada masa tersebut mengalami perkem-bangan yang sangat pesat, pendaratan manusia ke Bulan yang pertama kali adalah salah satunya.

Foto tengah: Karya Instalasi Lebbeus Woods “The Lights Pavillion”. sumber: dezeen.com

Foto bawah: Media kampanye Archigram yang berbentuk majalah.

sumber: arcspace.com objek yang dihasilkan.

Sebuah arsitektur yang bermula dengan pertanyaan “Bagaimana jika?”. Pertanyaan tersebut jelas me-nandakan bahwa setting dan konteks yang menjadi dasar berpijak adalah sebuah proses imajinasi.

Jika kita amati lebih jauh, arsitektur

pada dasarnya tidak pernah lepas dari hal yang bersifat spekulatif, se-cermat apapun prediksi dan kalkulasi sang perancang. Dengan demikian, arsitektur iksi pada dasarnya memi-liki esensi yang sama dengan arsitek-tur yang non-iksi.

Firma dan studio arsitek semacam

Archigram, Super Studio, dan Leb-beus Woods adalah sekian dari ban-yak pionir yang memulai pergerakan akan arsitektur eksperimental. Meski dalam sudut pandang saya, arsitek-tur eksperimental bukanlah pergera-kan arsitektur yang mungkin bisa kita bandingkan dengan arsitektur klasik, modern, dan postmodern. Na-mun lebih kepada pergerakan untuk mengembalikan peran arsitektur se-bagai wadah dari ide dan inovasi.

Hal tersebut didukung dengan perny-ataan oleh Archigram. Mereka berkip-rah di era pesatnya perkembangan teknologi dan peradaban manusia8,

yang sayangnya menurut mereka tidak diikuti oleh perkembangan keil-muan arsitektur. Archigram lalu me-mulai ‘kampanye’ dengan menuangkan ide-ide yang pada masa itu, dan mung-kin sampai dengan sekarang, dianggap nyeleneh dalam dunia arsitektur.

(18)

edisi #11: Fiksi

16

Atas: Moving Cities, karya Ron Herron, Archigram, 1964 sumber: archigram.net

fenomenal yang dirancang Ron Her-ron di tahun 1964. Ron memapar-kan ide tentang sebuah (mungkin lebih tepatnya, beberapa) kota yang dapat berpindah layaknya sebuah kendaraan yang sangat besar.

Dalam karya tersebut Ron mem-pertanyakan kondisi statis dari se-buah kota. Fleksibilitas lokasi dari sebuah kota yang dapat berpindah diyakini memiliki keunggulan diband-ing sebuah kota yang statis. Sebagian mungkin akan berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Ron ada-lah suatu hal yang sia-sia, karena toh sampai dengan saat ini karya terse-but belum terbangun, dan kemungki-nan besar tidak akan terbangun. Per-tanyaannya, apakah betul itu adalah sesuatu yang sia-sia? Mungkin itu se-buah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, satu hal yang pasti bahwa karya tersebut mampu

men-ciptakan sebuah diskusi baru dalam dunia arsitektur.

Sebuah irma arsitektur Meksiko yang berbasis di Guadalajara, Estudio 3.14 merancang sebuah dinding raksasa berwarna merah muda keunguan yang memisahkan Amerika dengan Meksiko. Karya tersebut baru-baru ini hangat dibicarakan, karena diilhami dari pernyataan presiden Amerika terpilih, Donald Trump, yang ingin mendirikan dinding pemisah dua ne-gara tersebut.

(19)

RUANG | kreativitas tanpa batas

9)Pernyataan Lebbeus Woods dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan secara online.

Foto bawah: Dinding pemisah antara Amerika dan Meksiko, karya Estudio 3.14, 2016

program apa saja yang ada di dalam struktur tersebut. Menariknya, juga muncul diskusi yang memperkirakan biaya yang mungkin akan dihabiskan apabila dinding tersbut terbangun, dan hal tersebut menjadi pertanyaan kritis para pembayar pajak di Ameri-ka SeriAmeri-kat. Banyak pengamat dan diskusi yang menyebutkan bahwa mendirikan dinding tersebut adalah tindakan yang hampir mustahil, den-gan segala pertimbanden-gan, terutama pembiayaan, dan kemanfaatannya. Dengan demikian, apakah yang di-lakukan oleh Estudio 3.14 adalah sia-sia?

Setidaknya, karya tersebut mencip-takan diskusi baru yang telah saya sebutkan sebelumnya. Berbicara mengenai ke-‘sia-sia’-an arsitektur eksperimental, Lebbeus Woods dalam sebuah diskusi menyatakan bahwa, “dari segi ekonomi, waktu

dan sumber daya, arsitektur eksperi-mental adalah hal yang mungkin ter-lihat tidak memiliki arah yang jelas dan mungkin sia-sia9, namun dampak

yang dihasilkan, dalam hal ini diskusi, dan timbulnya pemikiran-pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam bidang arsitektur maupun bi-dang lain adalah sesuatu hal yang sangat esensial dalam perkembangan keilmuan arsitektur.

(20)

bukan-edisi #11: Fiksi

18

bukanlah pekerjaan mudah yang dengan mudah dimanipulasi, semua imajinasi dan spekulasi yang terjadi memiliki dasar yang kuat, sehingga rancangan tersebut menjadi runtut dan konsisten.

Untuk menutup tulisan ini, saya mengangkat kembali pembahasan-pembahasan sebelumnya dan men-coba untuk menarik benang merah hubungan antara ketiganya, pem-bahasan mengenai realita, serta hubungannya dengan arsitektur dan arsitektur iksi.

Dari pembahasan pertama dapat kita simpulkan bahwa realita, pada dasarnya sangat bergantung dengan persepsi pengamat, dan objek isik, ‘hanyalah’ pemicu yang menghasilkan informasi dan pemahaman. Dalam hal ini arsitektur iksi memiliki per-an yper-ang penting, dimper-ana kita perlu mempertanyakan, apakah media

arsitektur iksi yang kemungkinan be-sar adalah gambar bukanlah suatu ar-sitektur, jika pada kenyataannya gam-bar tersebut mampu menghasilkan informasi dan pemahaman terhadap pengamat. Jika kita kaitkan dengan ar-sitektur pada pembahasan kedua, di-mana keterbangunan dalam arsitektur, adalah hal yang tidak esensial, maka peran arsitektur iksi sudah seharusn-ya berada di garda depan dalam perkembangan keilmuan arsitektur. Sifat arsitektur iksi yang mampu memancing kemungkinan timbulnya diskusi dan pengetahuan baru dapat kita gali, serta sifat arsitektur iksi yang mengedepankan ide tanpa membu-tuhkan media isik berupa obyek ter-bangun merupakan instrumen yang eisien dalam mendorong keilmuan arsitektur, terutama di masa sekarang untuk menghindari kemungkinan bu-ruk yang mungkin terjadi dikarenakan posisi arsitektur yang cenderung hadir untuk melayani pasar.

Akhir kata, arsitektur iksi memang memiliki konteks dan setting yang im-ajinatif, iksional, dan mungkin dalam sudut pandang tertentu sia-sia, namun dampak yang di terima oleh penga-mat adalah sebuah realita. Sebuah re-alita arsitektur iksi.

“karya tersebut

mampu menciptakan

diskusi baru dalam

(21)

RUANG | kreativitas tanpa batas

“Sebuah arsitektur

bermula dengan

pertanyaan

“Bagaimana jika?”.

Pertanyaan tersebut

jelas menandakan

bahwa setting dan

konteks yang menjadi

dasar berpijak adalah

sebuah proses

imajinasi.”

(22)

edisi #11: Fiksi

(23)

RUANG | kreativitas tanpa batas

FICTION AS

TRUTH IN

ARCHITECTURE

When my love swears that she is made of truth, I do believe her though I know she lies, That she might think me some untutored youth,

Unlearn’d in the world’s false subtleties. Thus vainly thinking that she thinks me young, Although she knows my days are past the best,

Simply I credit her false-speaking tongue: On both sides thus is simple truth suppressed.

But wherefore says she not she is unjust? And wherefore say not I that I am old?

O, love’s best habit is in seeming trust, And age in love loves not to have years told.

Therefore I lie with her and she with me, And in our faults by lies we lattered be. (William Shakespeare, Sonnet 138)

(24)

edisi #11: Fiksi

22

Harry O. Frankfurt refers to the Sonnet 138 by William Shakespeare to describe truth as a construction of iction. 1 In the story, the intimacy of

two lovers is mediated by a tacitly agreed artiice that bases their relation-ship. While the woman feigns to believe that her companion is younger than she knows he is, the man realises that she is aware of his deceit but — exchanging sympathies — he assents to the portrayal of her as truth-ful. Their arrangement turns away from the factual to aspire to the ideal, as a lexible tale of desire, without the need of exterior approval. The possibilities of their future are thus delineated by the unveriiable limits that they have established. The illusion is operational — a condition to be assembled — as Antonio Negri declares, ‘the sole criterion of truth… is action. Truth is itself an action… a confrontation. When one acts, one goes beyond solitude because to act is to search for the truth, and truth always appears in common’. 2

If truth is action, then iction as truth has the capacity of structuring any system of interiority — the space of sentiments and reason — and

exte-“Ring” Instalation at Place Vendome, Paris, France, by Arnaud Lapierre. Copyright: Arnaud Lapierre. [1] Harry O. Frankfurt. On Truth. London: Phaidon, 2007. 87-89

(25)

RUANG | kreativitas tanpa batas

[3] For Adam Phillips, this truth is scientiic since it avoids unnec-essary desire. On Kissing, Tickling and Being Bored. London: Faber and Faber, 1993. xvii-xviii. riority — the space of the world and society. Simultaneously, it tests and

challenges the boundaries of its ield of action through the creation of the new or the obliteration of the old. These attempts of positive or negative transcendence not only expose the strengths and the vulnerabilities pos-sessed by the performing agent but also contributes to the formation of identity and the environment, as when mythical stories inspire actions and reactions. In this manner, the truth of iction turns into a methodology of design that supports and organises expression, with the aim to avoid capri-cious detours by establishing intrinsic regulations that delineate potential engagement, saving the designer from the sabotage of arbitrariness.3

In architecture, these operations manifest in the sequence of its ideation and encounter. In the irst instance, what emerges is the philosophical and ethical question of how form is ought to be conceived. Fiction serves as an instrumental and valuable truth that mobilises the parameters and inten-tions of patterns and motifs, which can serve to trace back the premises of design once it has been represented or materialised. The resulting

(26)

edisi #11: Fiksi

24

The architectural search for the ultimate iction not only problematizes the autonomy of form and its experience but also its relation to history. For instance, creating a chronological account based on the understanding of the past as truth, Anthony Vidler identiies three main typologies in the development of modern architecture. The irst goes back to the rationalist philosophy of the Enlightenment, with a natural unit of design based on the ‘primitive hut’ (1755) by Marc-Antoine Laugier. Subsequently, the second arises at the end of the nineteenth century in response to conditions of mass production and technological development, epitomized in the work of Le Corbusier. Finally, the third stands free of determined roles, enabling architectural design and urban planning to become ontological entities, as in the ‘stararchitecture’ of Zaha Hadid, OMA, and Peter Eisenman, among others.4 This classiication appears as a historical ictionalization of

architec-tural ictions, connecting nodes of the past as episodes of the discourse of the discipline — indicative rather than undisputable.

Under this light, iction in architecture turns into a dynamic truth, as a top-ological enabler that combines function and expression through various techniques of design, in intertextual coexistence with other phenomena. Analogous to the literary — like in the lovers of the Sonnet 138 — it pro-vides systematization and order, with a beginning and an end yet articulat-ing multiple and concurrent spaces and temporalities.

“Fiction as truth projects

architecture as iction”

[4] Anthony Vidler.
(27)

RUANG | kreativitas tanpa batas

“If truth is action,

then iction as truth

has the capacity of

structuring any system

of interiority — the

space of sentiments

and reason — and

exteriority — the

space of the world and

society.”

(28)
(29)

FICTIONAL

CITY

Hiroki Muto

Story

From the word “ictional city”, you might imagine some books written by Italo Calvino and Jonathan Swift, or sometimes Franz Kafka and Jorge Luis Borges. In the stage of their works, generally categorized as “Fantasy Litera-ture”, practical causal relationships and dynamics are distorted, even making readers dizzied. However, any cities as the stage of stories are originally ictional, even if those cities are named and function the same as they are in the real world, in the sense that events and human lives occurred there are ictional. And in the most of cases, readers enjoy those ictions as something independent, detached from the real urban lives.

Project

Not only cities, which are created by individual imagination and presented as the form of stories, are the ictional cities. From Le Corbusier or Russian

Left: Illustration by J.J. Grandville for the 1856 edition of “Gulliver’s Travels” by Jonathan Swift. source: hubpages.com

In our contemporary urban narratives, ictional city has been existed in many types. The next question is : how can we take into account their potential to

(30)

edisi #11: Fiksi

28

Avant-garde to radical urbanisms in 60’s (mainly characterized by Archigram and Metabolism) and even early OMA in 70’s, there have been many urban projects regarded as ictional, because of their unfeasibility and absurdity (at least for general public).

However, any projects on a city by architects, urbanists, and artists with ur-ban vision, regardless of whether they are imaginary or realistic, are started as ictional, in order to represent the collective imagination of a society. They “project” on a city as ictions social requests and desirable futures, which are not yet clearly formed, and ask its actuality to the citizens. The represented collective imagination is given back to citizens, becoming a devise to arouse more imagination.

If a story is a iction disconnected from the reality, a project is a iction con-nected with the reality. When it is actually concon-nected with the reality, or real-ized as urban development, the ictional aspect of the project inishes its role.

Database

It is not easy to differentiate reality from iction in the contemporary cities, driven by information technology and global capitalism. In a sense, a contem-porary city itself is already ictional. This ictionality is characterized especially by the lack of the immediacy and originality of the place and human body in the cities, which are illed with numerous amount of stories.

Although those stories are sometimes related with certain places, they are limitlessly rewritable on the places. And although they are sometimes con-nected with physicality, our perception stays supericial because of the sev-Rem Koolhaas, OMA,

“Exodus, or the Voluntary Prisoners of Architecture”, 1972. source: not-for-them.

(31)

RUANG | kreativitas tanpa batas

eral layers of virtual body. Therefore the stimulating experience of immediacy and originality doesn’t exist anymore, which was the essence of the reality.

The main cause of this ictionality lies on the process of how the contempo-rary city generates stories. The contem-porary city is a database which stores every information, and users gets any desirable stories by picking and combin-ing any information out of it. Regard-less of whether those stories serve purely entertainment purpose (games or communication through information technology), or help us to easily estab-lish our identity by holding differences

from others in a symbolic way (any branding strategy form fashion to urban development), the consumption of these stories is already necessary for contemporary urban lifestyle.

The stories generated from the database allow ininite simulation, resulting into the distortion of time and space in our perception. Furthermore the absence of imagination or subjectivity promotes the disappearance of im-mediacy and originality. This contemporary city with full of stories is the 3rd type of ictional city. It should not necessarily be denied to enjoy the small narratives generated by the database, in the age where the “Grand Nar-ratives” (Jean-François Lyotard) doesn’t exist anymore. However, if those stories are disconnected from our places and bodies, and exclude the pos-sibility of our subjectivity and imagination, the urbanity or urban culture that consists of those stories will end up just as a temporal commodity, which is copied and consumed all over the world.

Food Culture and 4th Fictional City

In order to create genuine culture based on place and body, it will be a good way to start from basic fundamentals for human life: food, shelter, and cloth-ing. Especially among these three, food has been deeply related with place and body, through the process of production, distribution, and consumption, and played an important role as one major aspect of urban culture. (These days, clothing has too much of symbolic feature as fashion, and shelter is also being absorbed in real estate image strategy, both losing its purity.)

(32)

edisi #11: Fiksi

30

However, the more food is regarded as fundamental for human life, it tends to be operated in a more systematic way: the rule that it should be pro-duced, processed, and distributed with the maximum suficiency based on the latest science and technology, and also should be circulated and con-sumed through the best market principle. As a result, food issue including food culture is absorbed in the contemporary ictionality: simulation of sto-ries by the database, or the condition that the whole process is compressed in a story and presented to customers without the real value of food. Then it loses the suficient power to intervene the reality as a fundamental element for human life.

What we propose now is the 4th ictional city as the miniature of the con-temporary city. This sanctuary generates stories of a city through every type of ictionality: the strong subjectivity of the irst type, the representation of collective imagination of the 2nd, and the utilization of the database of the 3rd. The story (=iction) gains the immediacy and originality by the connec-tion with place and body through the mediaconnec-tion of food. The paradox, or iction as the platform of reality bridges to the new urban culture.

What was described above is the conceptual sketch of the project “Crack of Urbanity”, which we, theWorkshop is planning now. This theoretical pro-ject takes the form of food festival and is temporary inserted in the urban space. A collective story is generated there by the interactive communica-tion based on informacommunica-tion technology, while holding the physical and cultural experience of food as the main axis. The site is planned to be in Bangkok, the global city with full of vitality and desirable nodes of several powers. Conceptual diagram

(33)

RUANG | kreativitas tanpa batas

“However, any

projects on a city by

architects, urbanists,

and artists with

urban vision,

regardless of whether

they are imaginary or

realistic, are started

as ictional, in order

to represent the

collective imagination

of a society.”

(34)
(35)

MEDIA FICTION /

MEDIA FUTURES

Muhammad Shamin bin Sahrum

Cedric Price famously scolded to a bickering husband and wife when design-ing their new house, saydesign-ing ”You don't need a new house, you need a divorce!” Which goes to show that a new building isn't always the answer. It also serves as a point of departure for architects to consider non-building solu-tions as a medium, as an agent of change. Before we delve in further, this es-say wishes to bring the reader into seeing to what extent does architectural media play a role within the contemporary society. What its future possibili-ties are. Also touching on what we previously imagined to be ictional and what may well be the future of architectural media.

Architectural media varies in medium and form and includes, but is not limited to, drawings, models, diagrams, ilms, text/writings, websites and instal-lations to name a few. With some mediums lending itself more towards the cultural production of architecture such as drawings, imagery and models. Now, let us dissect the deinition of 'architectural media'. The word 'Media', which is Latin, is the plural of 'Medium', with its nouns meaning 'vehicle',

Left : ‘Cedric Price – Wish We Were Here’, Portrait of Cedric Price. (Source: Cedric Price Estate) Media Fiction discusses how the new forms of media that empower users to

embrace ictional roles of the architect. However, paradoxically, will the ad-vancement of media that evolved from mere representation towards

(36)

edisi #11: Fiksi

34

Detail joint of a ‘Wikihouse’. (Source: WikiHouse.cc)

'method', and 'avenue'. From that, Kostantinos Papamichael1 deines

archi-tectural media as ”anything used in archiarchi-tectural practice, not only with re-spect to documents, but the equipment used for their production as well.” Here, she further states that if we were to distill it down, it can be abstracted as ”essential media”, which are images and messages. ”Images come in the form of pictures, drawings, paintings, scale models, plots, etc. While messages can contain three information elements: text, sound and gestures.” In effect, these 'mediums' function as transmitting elements for the dissemination of architecture to a wider audience. The digital sphere has further added and expanded upon the already existing forms of architectural media. Changing how we interact, organize and respond to the environment, as individuals and as communities.cted with the reality. When it is actually connected with the reality, or realized as urban development, the ictional aspect of the pro-ject inishes its role.

An example worth discussing is the growing role of open source software and now, hardware, in dissolving the traditional roles of the architect. Glob-ally we are witnessing a resurgence of maker 'communities' emerging from fabrication labs, do-it-yourself drone building groups to DIWO, do-it-with-each-other movements like Wikihouse. What the 'networked society' managed to do, is use existing architectural media and democratize it to everyone and anyone with internet access. Take the Wikihouse movement for example by London architecture irm 00:/ (pronounced, zero-zero). They took the [1] Papamichael, K.,

(37)

RUANG | kreativitas tanpa batas

same underlying principal from open source software, i.e. Wikipedia; an open source platform, and applied this to built structures. Alastair Parvin2 of 00:/

who spearheaded the project, asks the audience during a TED talk what would happen if everyone could print their own house? 30 years ago this idea of everyone 'printing' their own house would seem highly ictional.

Wikihouse enables anyone to download the house plans, have it CNC manu-factured and self-assembled. A full scale prototype was built in 2012, with im-provements subsequently made by the community. Questions of authorship arise and blur the boundaries between production and designer, professional and amateur. How will this affect the role of the professional 'architect' if everyone can build? Questions similar to this and more will force the profes-sion to think its roles differently and adapt.

Indy Johar, author and founding architect of 00:/, in their report Compendium for the Civic Economy3, underlies that an overall emerging recurrent theme in

all of the self-building communities is ”self-organization & collaborative man-agement built on user-centric and open scale-free platforms.” An opening passage of the report summarizes the current movement, ”A civic economy is emerging, one which is fundamentally both open and social. It is an econ-omy which is fusing the culture of Web 2.0 with civic purpose”. Here, the expanded role of architectural media has been pushed further, not merely as a representation, but as a platform of creating agency. The real change is in letting people from beyond the architecture/design ield to utilize mediums often associated with architectural production. It transcends its former role and becomes a tool for social construct.information, and users gets any de-sirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless of whether those stories serve purely entertainment purpose (games or communication through information technology), or help us to easily estab-lish our identity by holding differences from others in a symbolic way (any branding strategy form fashion to urban development), the consumption of these stories is already necessary for contemporary urban lifestyle.

Through the increasingly important role of the internet and the mobile de-vice, the separation between information and ourselves becomes thinner. Jeremy Hight4 in his article, A New Area for Collective Activism, explained it

brilliantly by saying ”The breadth and coverage of our realities keep ex-panding, but they are converging in our awareness of space and time”. If we talked about 'information and reality converging in our awareness of space and time' 20 years back, people would have surely thought of the ictional future that Ridley Scott envisioned through his 1982 ilm Blade Runner. ”This is augmented reality, a new and emerging level of interaction. Augmented

[3] Ahrensbach, T., Beunderman, J., and Johar, I., 2011. Compendium for the Civic Economy. 00:/ Publishers: London.

(38)

edisi #11: Fiksi

36

reality is a system of technology and visualization that allows information to be placed in the ield of vision as one moves,” explains Hight. A recent cultural phenomenon would be the Pokemon GO! craze to best describe the immense potential of augmented reality.

Our built environment, however, has not managed to evolve spatially to follow the vast improvements in digital media. A critical question raised by Shannon Mattern5, Assistant Professor at the Department of Media Studies

and Film at The New School, New York, was, ”If our media and our built spaces do not follow the same evolutionary paths, what is the relationship between these two ields of production and experience?” Mattern under-stands that there is a possible future where we could become disconnected from our physical surroundings if it continues to develop in the same way spatially. That our built environment plays an equally important role. Our spaces around us should make us more aware and require us to interact using our other tactile senses such as touch and smell. Force us to move fast and slow, and at varying speeds through the landscape. The environ-ment should be just as engaging as the media. A possible scenario as written by Martin de Waal6 in his book, The City as Interface is the ”deployment of

digital and mobile media as 'territory device': an appliance or systems that can inluence the experience of an urban area.” Essentially digital information is speciically geo-tagged onto the location, embedded with previous data such as history and past visitors to the place. A sort of urban ghost gets left behind and it is possible for visitors to continue updating the 'ghost' with new experiences. That scenario is gradually unfolding itself through digital Above: Opening title

scene from ‘Blade Runner’ (1982)

[6] Waal, M.D., 2014. The City as Interface. NAi010 Publishers: [5] Mattern, S., 2012. Media and Architec-ture. Words in Space

(39)

RUANG | kreativitas tanpa batas

‘Surveillance Camera’ by Ai Wei Wei (2010)

applications such as Uber and Airbnb that utilizes the local network to en-gage with a speciic geographical location. A convergence of the physical and digital realm in our own 'awareness of time and space'.

Despite the positivist view of cyber-utopianism; of a networked society free from legal jurisdiction and governance, the digital realm, unfortunately, does not belong to individuals only. State powers and multinationals have also been utilizing the full potential of the 'networked society'. The Big Brother

image is further fuelled by the increasing ability of technology to keep a tab on any data as long as it is recorded. Again what was considered iction as imagined by George Orwell (1949) in his dystopian novel Nineteen Eighty-Four, is now the future that we're currently inhabiting. Political artist and activist, Ai Weiwei is among those on the frontline negotiating between state powers and the freedom to voice out opinions via social media. Due to be-ing vocal with regards to the People's Republic of China's regime, Ai Weiwei has been detained multiple times to the point of not being able to leave his home country. Out of this restraining order, however, some amazing projects have emerged such as Project Moon.

(40)

edisi #11: Fiksi

38

‘Moon’ by Ai Wei Wei & Olafur Eliasson. (Source: www.moon-moonmoonmoon.com)

organizers of moon saw users evolving from leaving scribbles and doodles to ”collaborations, and clusters, and virtual versions of the Surrealist game Exquisite Corpse”. If we were to speculate on possible futures for project

Moon, collaborations could be done on the scale of the objects, installations, and buildings even. Whole databases available, not just of good ideas but of the mundane and obscure too.

Couple that with the endless possibilities of augmented and virtual reality, we would see a truly luid architectural media emerge. The ininite Library of Babel as Jorge Luis Borges could have never imagined happening.

(41)

RUANG | kreativitas tanpa batas

“Authorship

entitlement will

become secondary

next to unimportant.

The 'architect' as a

profession may cease

to exist in the

future.... In its most

extreme, we can

almost imagine the

'architect' as a

ictional role.”

(42)
(43)

RUANG | kreativitas tanpa batas

Avianti Armand:

Antara Fiksi, Kritik

dan Arsitektur

Cincin perak polosnya sesekali berkilau memantulkan lampu kafe. Dan hanya itu perhiasan yang ia pakai untuk menemani tank top abu dan rok hitam semata kakinya. Leher dan dua telinganya bersih dari segala macam aksesori.

Gelang hitam di tangan kanannya lebih mirip ikat rambut daripada logam mulia.

Untuk wawancara RUANG, ia datang dengan sederhana. Sore itu, kami yang berencana akan men-gorek latar belakangnya, malah banyak membicarakan perihal iksi dalam praktik arsitektur Indonesia. Sembari menyeruput kopi hitam, ia mulai membagi kegelisahannya. Narasi iksi sudah semakin sering disalahgunakan untuk mengangkat prestise proyek arsitektur, ujarnya. Padahal arsitektur harusnya bisa lebih membumi untuk menyelesai-kan hal-hal mendasar.

Yusni Aziz Rofianisa Nurdin

(44)

edisi #11: Fiksi

42

Avianti Armand, yang biasa dipang-gil Vivi, akhirnya menjadi sosok yang diperhitungkan di bidang arsitek-tur dan sastra. Sebelumnya hanya ada Romo Mangun yang juga terk-enal lewat novel-novelnya. Di Kopi Manyar, kami menemui Avianti sebagai narasumber utama edisi Fiksi. Setelah obrolan singkat untuk membuka pertemuan, wawancara kami mulai.

*

Roianisa (R): Bagaimana perjalanan Mbak Vivi sebagai lulusan arsitektur yang juga berpraktik sebagai arsitek, akhirnya dikenal melalui tulisan?

Avianti (A): Saya selalu tahu bahwa saya bisa menulis. Cuma keper-cayaan diri itu muncul belum lama. Saya tidak merasa menemukan suara pada saat menjadi seorang arsitek; mungkin memang harusnya saya tidak menjadi arsitek. Karena terlalu banyak yang saya kritik saat berpraktik, saya jadi sering merasa bersalah. Kemudian sekitar tahun 2007, saya mulai aktif menulis.

Sebenarnya, saya sudah cukup lama menulis artikel-artikel bertema-kan arsitektur. Tetapi lebih seperti in-house, misalnya untuk karya Andra Matin yang dimuat di Laras atau membantu merangkum kuliahnya Mas Aang (panggilan kecil Andra Matin.red). Tapi, yang benar-benar menulis serius, ya tahun 2007 itu, dan itu mulai menulis iksi.

Yusni (Y): Tapi sebagai penulis iksi yang juga arsitek, apakah Mbak Vivi ada usaha untuk mengkaitkan keduanya?

A: Sebetulnya, mereka adalah dua hal yang berbeda. Namun, saya menemukan kesamaan antara sastra dan arsitektur. Mereka sama-sama punya struktur, dan mempunyai dua muka. Satu muka untuk komunikasi, lainnya untuk ekspresi.

Prosesnya juga tidak terlalu beda. Tulisan juga membutuhkan sesua-tu yang visual. Pada saat menulis, penulis perlu menceritakan detail-detail yang meyakinkan untuk membangun sebuah cerita. Dan akan menjadi sangat kuat ka-lau dia mempunyai imajinasi visual. Seperti, misalnya, jika ingin menceri-takan seorang tokoh yang muncul, karakter orang tersebut bisa diban-gun dengan menggambarkan hal-hal visual. Sepatunya mengkilat, bajunya disetrika rapi, hingga celananya yang bergaris. Detail visual seperti itu akan memperkuat sebuah cerita, dan dalam arsitektur hal-hal seperti itu juga akan memberi dampak yang sama.

Y: Kalau begitu, apakah menuangkan imajinasi visual dalam sketsa memban-tu Mbak Vivi dalam menulis?

A: Hmm, beberapa kasus memang saya gambar, sih.

(45)

RUANG | kreativitas tanpa batas

Dihapus Namanya. Ada satu puisi yang kalimat pertaman-ya lahir dari sebuah sketsa. Jadi gambar itu betul-betul saya ter-jemahkan ke kata-kata. “Malam adalah sebuah kubus. Di dasarnya, seorang perempuan….” Karena waktu itu saya tidak sengaja meng-gambar sebuah kotak.

Y: Apakah kemudian menulis mempengaruhi Mbak Vivi dalam berarsitektur?

A: Hmm, mungkin ya. Yang jelas, dalam presentasi jadi lebih meyakinkan (ter-tawa).

Pada saat kita menulis kan ada struktur yang jelas. Dengan begitu, saat presentasi kita bisa melihat yang mana yang akan kita highlight, mana yang akan menjadi argumen penguat. Tapi dalam desain sendiri,

I don’t know.

[image:45.420.20.403.20.546.2]
(46)

edisi #11: Fiksi

44

R: Sekarang Mbak kan sudah punya empat karya. Apakah mereka ada-lah media untuk mengkomunikasikan pesan tertentu? Seperti semacam kritik atau pembelaan terhadap sesuatu?

A: Hmm... buku mana dulu? Kalau buku terakhir sebenarnya cuma kumpulan puisi, yang sifatnya impulsif. Maksudnya tidak dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, tapi panjang sekali dan sifatnya insidentil. Itu tidak ada tujuan khususnya.

R: Bagaimana dengan “Arsitektur yang Lain”?

A: Oke. Kalau itu iya.

Sebenarnya saya selalu melihat, jika kita bicara masyarakat arsitektur, seolah ada dua jalur paralel yang tidak saling ketemu. Satu adalah jalur akad-emisi, satu lagi jalur praktik. Yang lain jalan sendiri, yang satunya sok asyik sendiri. Padahal, di luar negeri, yang dirangkul dalam arsitektur sudah luas sekali. Bahkan, sejarah dan teori sudah menjadi sesuatu yang sehari-hari.

Orang awam juga dibekali hal-hal arsitektural. Jadi, masyarakat bisa mengakses isu-isu tersebut dengan mudah. Saya ingat di tahun 1999, saat AMI mau pameran di Belanda. Yang menyelenggarakan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus membahas isu perkotaan. Nah, waktu saya datang Tiga buku karya

(47)

RUANG | kreativitas tanpa batas

ke kantornya, ada bapak tua yang sedang bertanya mengenai ren-cana pembangunan jalur kereta baru. Jadi, arsitektur yang berupa bangunan, atau lingkup kota sudah menjadi diskusi sehari-hari orang awam. Semua orang adalah ahli, dan memang betul kita semua ahli! Tiap hari kita bersentuhan dengan ruang,

kok.

Cuma, di sini (Indonesia.red), sama sekali tidak ketemu. Praktisi arsitek-tur punya bahasa sendiri saat bicara, juga para akademisi. Saat saya menu-lis untuk U Magazine, saya sadar sia-pa pembaca saya, yaitu orang awam. Tapi, apakah mungkin untuk bicara konsep-konsep ruang pada mereka? Bisa, loh.

Misalnya, dapur. Bagaimana kita ber-bicara tidak hanya sebatas tata letak, ataupenggunaan material, tetapi juga sejarahnya. Atau tentang jendela. Jendela ini apa? Kenapa di rumah limasan nggak ada jendela? Kenapa arsitektur modern punya jendela? Hal-hal itu kan dibicarakan para akademisi, tapi harusnya juga dibi-carakan awam dan praktisi. Jadi, saat itu, saya justru melihat adanya peluang untuk kita bisa menarik arsitektur menjadi sesuatu yang wajar dibicarakan siapapun juga. Tanpa itu, arsitektur kita nggak akan ke mana-mana, kecuali sebatas eksplorasi bentuk. Atau sesuatu yang akhirnya dibangun berbekal iksi dan uang klien. Ya kan? Cuma dibangun dari itu. Gila. Arsitektur itu profesi yang asyik banget, kan? (tertawa)

R: Di Amerika, artikel arsitektur bahkan sudah masuk ke koran seperti New York Times. Kenapa dalam konteks Indonesia, kita masih seber-jarak itu?

A: Sebetulnya ini PR banyak orang. Banyak institusi. Bukan cuma ar-sitek atau akademisinya. PR asosiasi profesi juga, IAI. Kalau kita melihat IAI, seolah yang di depan itu arsitek-ar-sitek yang memang memiliki klien be-sar. Yang dimunculkan arsitek yang itu-itu lagi. Apakah arsitek yang berkiprah di konservasi juga akan dikedepan-kan? Atau yang berkiprah di komuni-tas? Jangan-jangan malah tidak diakui?

(48)

edisi #11: Fiksi

46

Foto tengah: Kanagawa Institue of Technology Workshop karya Junya Ishigami. Source: Archeyes.com

Y: Kalau selama ini menggunakan narasi, kemudian dalam “Buku Tentang Ruang” metodenya berbeda: puisi. Orang lain mungkin sulit mengaitkan dirinya dengan karya tersebut. Selain budaya membaca puisi kita masih kurang, juga ruang untuk interpre-tasinya bisa sangat luas. Kenapa Mbak Vivi memilih bentuk itu?

A: Hmm... Sebenarnya itu seder-hana banget. Untuk judul Buku Tentang Ruang itu sebetulnya salah satu judul puisi, yang kemudian saya pakai sebagai judul buku. Kenapa juga saya mau menggunakan itu sebagai judul buku? Karena catchy, gitu. Jadi, yaa... (tertawa)... alasannya nggak muluk-muluk, kok.

Tapi setiap puisi itu menyusun dunianya sendiri. Dia punya ruang interpretasinya sendiri. Jadi, kalau di buku ini saya menjejerkan puisi saya, saya sebetulnya mengajak pembaca masuk ke ruang interpretasi dan dunia mereka.

Y: Di buku yang sama, ada dua tokoh yang disebutkan secara eksplisit. Wong Kar Wai dan Junya Ishigami. Kenapa mereka?

A: Selain senang baca, saya juga suka nonton ilm. Dan ilm yang engga pernah gagal menurut saya itu karya Wong Kar Wai. Dia hampir tidak pernah menceritakan sesuatu secara gamblang, tapi menggunakan simbol-simbol. Misalnya, untuk menceritakan orang sedang kangen, ia menggam-barkannya dengan langit senja yang berwarna oranye.

Sebagai perbandingan, lihat saja sinetron Indonesia. Penggambarannya benar-benar literal gitu. Misalnya, mau menggambarkan anaknya kecelakaan. Bapaknya telepon ibunya, “Bu, anak kita memang, sejauh ini, yang laku

dijual adalah yang bersifat dekoratif. Kegiatan ASF (Architecture Sans Frontieres) di kampung Tongkol apa kemudian masuk majalah Laras? Tidak ada kan di majalah Dewi? Ya tentu tidak.

(49)

RUANG | kreativitas tanpa batas

kita kecelakaan!” Terus ibunya mer-espon, “Apa!? Anak kita kecelakaan!?” Terus bapaknya jawab lagi, “Iya, anak kita kecelakaan!” Mampus! (semua tertawa)

Gitu, kan? Kalo di Wong Kar Wai cuma orang angkat telepon, lalu dia dengarkan. Terus teleponnya ditaruh. Shoot mukanya sebentar, trus kam-eranya tembus jendela, tunjukkan pemandangan di luar. Kaya’ gitu, loh!

Jadi, sebenarnya tidak perlu literal. Menurut saya, hal itu tidak pernah gagal untuk mengoyak-ngoyak per-asaan... (semua tertawa)

Nah, Junya Ishigami menurut saya adalah arsitek dengan level kepekaan yang sama. Kalau kita bicara modern-isme kan mengusung “form follows

function” yang semuanya diselesaikan secara rasional.

Seperti, misalnya, KAIT (Kanaga-wa Institute of Technology Workshop). Menurut saya, itu luar biasa, semua aspek fungsionalnya dis-elesaikan dengan baik dan dengan cara yang sangat sensitif. Dia bisa saja menaruh kolomnya mengikuti sebuah

grid. Tapi, malah diatur secara acak dengan ukuran yang sekecil mungkin, dan banyak. Akhirnya itu memberi kita pengalaman yang baru. Karena ruang itu bukan “apa yang direncanakan” tapi “apa yang dialami”. Setiap kali kita bergerak, kita nggak pernah ketemu

kualitas ruang yang sama. Tapi, kita juga tahu bahwa ada rasionalitas di balik semua ini. Setiap orang punya cerita yang beda. Sama sekali tidak ada yang pasti.

Sebenarnya, saat saya datang ke bangunan itu, saya nggak tahu mengenai narasi konsepnya. Baru setelah dari sana, saya baru cari-cari ceritanya untuk kemudian dituliskan. Ya, yang diceritakan akhirnya praktis sekali, tentang bagaimana dia meren-canakan strukturnya.

Atau saat dia mendesain meja dari besi 9 milimeter dengan panjangnya 9 meter itu. Apakah dia menceritakan “saya mau menciptakan sebuah dunia yang suriil,” gitu? Tentu tidak! Dia nggak ngomong gitu. Dia cuma cerita, “Bisa

(50)

edisi #11: Fiksi

48

Tapi, jika kemudian saat kita melihat meja itu kita akan merasakan sebuah fenomena suriil, itu lebih seperti im-pact.

Merinding nggak sih lihat di atas meja itu diletakkan benda-benda ke-cil sehari-hari, yang kalau kita angkat mejanya juga ikut gemetar? Itu kan jadi bikin deg-degan (tertawa).

Y: Kalau kita berbicara konteks In-donesia, apakah sekarang banyak praktik arsitektur yang menggunakan narasi iksi tapi tidak tepat sasaran?

A: Sebenarnya bukannya tidak tepat sasaran, tapi kadang kita melihat bahwa iksi itu malah mengalihkan

arsitek dari masalah utamanya. Dan sering juga kita lihat bahwa akhirnya iksi itu merupakan justiikasi dari intensi desainnya.

Saya berharap, sebetulnya justru sebelum mulai mengarang iksi, arsitek berusaha sama kerasnya untuk mencari akar permasalahan atau problem yang sesungguhnya dari penugasan yang dia dapat.

Y: Yang dimaksud dengan mengarang iksi dalam berpraktik arsitektur itu seperti apa?

A:Basically adalah pembuatan konsep itu. Dewasa ini, kita kalau mau mel-akukan riset kan mudah sekali. Tapi, Foto bawah:

(51)

RUANG | kreativitas tanpa batas

Nah, makin kesini,

dengan adanya media,

orang kemudian

berlomba untuk

mengeksplor

dekorasi-dekorasi

tersebut. Kredonya

sekarang jadi “yang

penting tampil”.

kesimpulan seperti itu?

A: Sebetulnya kalau kita lihat sejarah kan selalu bergerak dari ekstrim ke ekstrim. Modernism, dengan kredo “form follows function” akhirnya mem-buat bangunan dipretelin dari semua ornamen dan dekorasi. Jadi dingin, dan beberapa merasa bangunan menjadi

soulless.

Kemudian akhirnya timbul semacam pemberontakan yang dilakukan Venturi dan teman-temannya. Lalu oleh Charles Jencks diberi label post-modernisme, atau sesudah modern-isme. Semua dekorasi dan iksi seo-lah dikembalikan lagi. Menjadi menu utama. Nah, makin kesini, dengan adanya media, orang kemudian berlomba untuk mengeksplor dekorasi-dekorasi tersebut. Kredonya sekarang jadi “yang penting tampil”.

Apalagi sekarang konteks tidak hanya berupa yang riil, tapi juga yang virtual. Media online cepat sekali berganti sering sekali arsitek tidak melakukan

riset yang cukup untuk melandasi desainnya. Lebih mudah mengarang cerita.

Saya sih tetap berpendapat bahwa arsitektur adalah solusi dari masalah tertentu. Jadi, masalahnya harus ditemukan dulu. Nanti dalam proses mendesainnya, tentu tidak bisa lepas dari imajinasi. Dan itu tidak salah, sepanjang imajinasi itu tidak mengalihkan kita dari masalah sesungguhnya.

Apakah nanti pendekatan iksi itu bisa menimbulkan masalah? Kita sering lihat di majalah, di media

online. Dari tampilan fotonya saja, kita sudah bisa menduga masalah yang akan timbul. Misalnya, borosnya penggunaan energi oleh AC, karena bangunannya banyak menggunakan kaca. Itu sudah terlihat. Daripada dia mengarang cerita mengenai konteks lingkungan yang stagnan, kenapa dia tidak mencoba mengatasi dahulu penggunaan energi yang hemat di rumah itu.

R: Jadi apa intensi narasi iksional itu sebenarnya untuk menciptakan bunga-bunga yang memperindah proyek?

A: Ya, bisa. Di era saat yang visual itu lebih laku dijual, ya… itu bisa sekali.

(52)

edisi #11: Fiksi

50

Nah, karena itu kalau lihat di Buku Tentang Ruang, atau puisi saya yang lain, obyek atau subyeknya adalah hal-hal yang sederhana. Peristiwa yang sehari-hari. Karena kalau kita

nggak menarik perhatian ke yang sehari-hari, akhirnya kita selalu ber-mimpi tentang hal-hal yang besar. Dan kemudian kehilangan kepekaan untuk mendeteksi masalah-masalah yang riil, itu kan yang akhirnya juga terjadi di arsitektur. Everybody wants to be a big hero. Padahal, what we need is actually an everyday hero. Dan itu gampang sekali, kok. Kita selesaikan saja masalah pagar karena itu ber-hubungan sama keamanan, tukang sampah, dan tetangga. Kita selesai-kan saja masalah tempat parkir. Atau masalah ketersediaan air; bagaimana supaya nggak membebani lingkungan. Hal-hal seperti itu, yang remeh, tapi sebetulnya masalah kita sebenarnya.

Jadi cara kita menulis, memandang dan membaca iksi itu terkait juga dengan bagaimana cara kita memandang kehidupan. Dan itu harus terus-menerus diingatkan kembali.

Everybody wants to

be a big hero. Pada

-hal, what we need is

actually an everyday

informasinya. Akhirnya kita ditan-tang untuk menarik perhatian sebisa mungkin, supaya orang tidak lupa dengan eksistensi kita. Caranya? Ya, dengan membuat iksi segila-gilanya, seheboh-hebohnya.

Y: Terakhir. Bagaimana harapan Mbak Vivi terhadap dunia penulisan iksi dalam relasinya dengan dunia arsitek-tur?

A: Nah, ini loh. Di Indonesia, orang kalau bikin cerita itu seperti kena penyakit novel-novel Rusia.

(53)

Gambar

Gambar kiri: Plug-in
gambar itu betul-betul saya ter-
Gambar kiri:

Referensi

Dokumen terkait

Efikasi diri adalah pertimbangan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk mengorganisasi dan menampilkan tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan yang

Keterandalan suatu tes merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih suatu tes, untuk itu coba anda kemukakan tentang faktor-faktor yang

Namun bedanya, istitusi ini pada masa Harun Arrasyid direbuh menjadi khizânah al-Hikmah (pusat filsafat). Serta objek penelitian pada masa Imperium Sasania

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh implementasi teknik pembelajaran berbantuan multimedia terhadap pemahaman konsep IPA ditinjau dari motivasi

Berdasarkan simpulan yang diperoleh dan adanya keterbatasan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: Bagi pemerintah kabupaten

12 adalah rumusan faktor-faktor penentu calon mahasiswa dalam memilih jurusan dan universitas, yang diharapkan dapat membantu para praktisi Humas dan marketing untuk menyusun

Nimfa instar 5 memiliki kecepatan mencari yang lebih tinggi dari pada imago namun waktu penanganan mangsa lebih tinggi sehingga jumlah hama yang dapat dimangsanya

Dapat disimpulkan bahwa modul pendeteksi arcing dalam percobaan kondisi penambahan beban hanya akan mendeteksi kondisi rangkaian switching, karena jumlah titik