• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.8 Uji Sitotoksik

Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan

xxxii

makanan, pestisida dan digunakan juga untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor (Freshney, 2000).

Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan dapat digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur sel primer manusia serta dapat memberikan informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia serta uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung. Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ target memberikan informasi tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle, et al., 2000).

2.8.1 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik, 2011).

Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsik, 2011).

Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan

spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

% viabilitas =absorbansi sampel

absorbansi kontrol x 100%

2.9 Antikanker

Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan kanker dan penghambatan kanker. Upaya pencegahan kanker disebut kemopreventif. Senyawa kemopreventif dibagi menjadi dua kategori yaitu blocking agent dan

suppressing agent. Blocking agent adalah mencegah karsinogen mencapai target

aksinya, baik melalui penghambatan aktivasi metabolisme atau menghambat interaksi dengan target makromolekul seperti DNA, RNA atau protein.

Suppressing agent adalah menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah

terinisiasi pada tahap promosi atau progresi (Meiyanto, dkk., 2008).

Menurut Sharma (2000), kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu primer, sekunder dan tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya sel kanker sejak tahap premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada tahap awal malignan adalah kemopreventif sekunder sedangkan kemopreventif tersier adalah usaha untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi setelah terapi untuk malignan primer. Upaya penyembuhan (kuratif) kanker antara lain adalah:

a. Kemoterapi: terapi ini menggunakan obat-obatan misalnya saja golongan siklofosfamid, doksorubisin, methotreksat dan 5-flurourasil. Pada dasarnya kinerja obat-obatan tersebut sama yaitu menghambat proliferasi sel sehingga

sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa diberikan secara tunggal (satu macam obat saja) atau kombinasi, dengan harapan bahwa sel-sel yang resisten terhadap obat tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga bisa diperoleh hasil yang lebih baik. Dampaknya pada pasien biasanya rambut rontok, selera makan menurun, rasa lemah dan letih (Sharma, 2000). b. Terapi hormon: terapi ini digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan

dengan hormon misalnya kanker payudara (berkaitan dengan hormon estrogen) pada wanita dan kanker prostat (berkaitan dengan hormon androgen) pada pria. Terapi hormon pada dasarnya berusaha menghambat sintesis steroid sehingga sel tidak dapat membelah. Terapi ini membawa dampak negatif bila diaplikasikan pada wanita yang masih dalam usia subur karena dapat menghambat siklus menstruasi (Sharma, 2000).

c. Radioterapi: terapi ini menggunakan sinar X dengan dosis tertentu sehingga dapat merusak DNA dan memaksa sel untuk berapoptosis. Efek negatif yang ditimbulkan hampir sama dengan kemoterapi (Mulyadi, 1997).

2.9.1 Doksorubisin dan resistensinya pada kanker payudara

Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960 (Singal dan Iliskovic, 1998).

Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA

melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA. Doksorubisin telah digunakan pada beberapa pengobatan jenis tumor seperti kanker payudara, esophagus, osteosarkoma, Kaposi’s sarkoma, sarkoma jaringan lunak, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal maupun kombinasi dengan beberapa agen antitumor lainnya. Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004).

Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya reversibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah

cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Singal dan Iliskovic, 1998).

Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005).

Permasalahan yang sering timbul dalam terapi kanker terutama kanker payudara menggunakan doksorubisin adalah resistensi obat dan menjadi penyebab

kegagalan terapi kanker payudara (Mechetner, et al., 1998). Resistensi ini diperantarai oleh berbagai mekanisme antara lain mutasi pada target obat, kegagalan inisiasi apoptosis dan pengeluaran obat oleh protein transporter pada membran sel. Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp menjadi salah satu sebab utama resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998).

Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel kanker. Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker terhadap doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006).

2.9.2 Terapi Kombinasi

Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi (ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Terapi kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris. Namun demikian, sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah metastasis. Selain itu, berbagai permasalahan seperti resistensi obat dan timbulnya toksisitas yang tinggi pada jaringan normal oleh beberapa agen kemoterapi menjadi semakin sulit menemukan terapi kanker payudara yang efektif. Hal tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara (Tyagi, et al., 2004).

Pemanfaatan senyawa alam yang non toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan

agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat sehingga tingkat keamanan pasien semakin tinggi.

Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).

Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50

Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis dengan IK. Analisis IK menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.

) dari masing-masing obat ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif. Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif atau antagonis diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di bawah, pada atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).

I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)

I adalah indeks kombinasi. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC

2

50 terhadap pertumbuhan sel kanker payudara. (D)1 dan (D)2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama atau lebih dari 1 mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif atau antagonis (Zhao, et al., 2004; Reynolds, et al., 2005).

Dokumen terkait