• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2. Antiplatelet

Platelet diproduksi oleh megakariosit sumsum tulang belakang (Liesner, R.J and Machin, S.J 2003). Fungsi platelet diregulasi oleh substansi-substansi yang dibagi menjadi tiga kategori. Kelompok yang pertama zat-zat yang berada

diluar platelet yang berinteraksi dengan reseptor membran platelet seperti katekolamin, kolagen, thrombin dan prostasiklin. Sedangkan kategori yang kedua terdiri dari zat-zat yang berada di dalam platelet yang berinteraksi dengan reseptor membran seperti adenosine diphosphate (ADP), prostaglandin D2, prostaglandin E2 dan serotonin. Dan kelompok ketiga yaitu zat-zat yang berada di dalam platelet dan berinteraksi dengan platelet yaitu prostaglandin endoperoksida dan tromboxane A2 (TXA2)

Gambar 1. Fungsi Platelet

, ion kalsium (Katzung, 2003).

Dikutip dari : Liesner, R.J and Machin, S.J. 2003. Platelet Disorders. In : Provan, D. ABC of Clinical Haematology second edition. BMJ Books, Spain. P.35-39

Obat antiplatelet telah direkomendasikan untuk pengobatan stroke dan transient ischemic attack untuk mengurangi resiko stroke berulang dan kejadian vaskular lainnya. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan pemberian obat antiplatelet sebagai pilihan dapat digunakan aspirin, clopidogrel, dipyridamole

pertama digunakan untuk mencegah stroke. Akan tetapi dua dekade terakhir beberapa jenis obat antiplatelet lainnya dan kombinasi antara obat antiplatelet telah dievaluasi untuk digunakan dalam memperbaiki keefektifan dan keamanan dari penggunaan aspirin (O’Donnel dkk, 2008).

Beberapa percobaan penelitian telah dilakukan untuk menilai efikasi dari pengobatan dengan antiplatelet, terutama penggunaan aspirin untuk mencegah kejadian vaskular. The Antiplatelet Trialists Collaboration (APTC) termasuk dalam meta-analisis untuk menentukan efek dari obat antiplatelet dengan berbagai jenis obat antiplatelet pada populasi dengan resiko vaskular. Berdasarkan 17 percobaan penelitian ditemukan pengobatan dengan antiplatelet mengurangi kejadian stroke, infark miokard dan kematian akibat gangguan vaskular (Sacco dkk, 2000).

2.1 ASPIRIN

2.1.1. Kimia

Aspirin merupakan prototipe dari prostaglandin tromboxane A2 yang

memproduksi arakhidonat sehingga mengakibatkan perubahan bentuk dari platelet untuk mengeluarkan granul dan melakukan agregasi (Katzung, 2003).

2.1.2. Farmakokinetik

Aspirin diabsorbsi sebanyak 100 % dengan bioavailabilitasnya 68 %. Waktu paruh aspirin selama 15 menit dan dieliminasi di ginjal bergantung pada pH. Ikatan protein plasma 50-80 %, makin tinggi dosis, makin rendah ikatan protein plasma (Sigit, J.I, 2003).

2.1.3. Cara Kerja

Aspirin menghambat sintesis tromboxane A2 (TXA2) di dalam trombosit

dan prostacyclin (PGI2

Gambar 2. Cara Kerja Obat Antiplatelet

) di pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut (Katzung, 2003), (Blann, A.D dkk, 2003), (Dewoto, 2007). Dikarenakan platelet tidak dapat melakukan regenerasi terhadap siklo-oksigenase, efek daripada aspirin sepanjang jangka hidup dari platelet (secara umum selama 10 hari) (Katzung, 2003), (Blann, A.D dkk , 2003).

Dikutip dari : Blann, A.D.; Landray, M.J.; Lip, G.Y.H. 2003. An of overwiew of antithrombotic therapy. In : Lip,G.Y.H, Blann, A.D. ABC of Antithrombotic Therapy. BMJ Publishing Groups. Spain. P.10-13

2.1.4. Penggunaan dan Dosis Terapeutik

Aspirin merupakan satu-satunya obat antiplatelet yang diberikan pada stroke iskemik akut dan direkomendasikan untuk diberikan segera dengan dosis 160-325 mg per hari (Lip, G.Y.H dkk, 2003). Sedangkan Food and Drug Administration (FDA) menyetujui pemberian aspirin 325 mg per hari untuk profilaksis primer infark miokard (Katzung, 2003). Dosis yang digunakan pada beberapa percobaan klinis bervariasi, dimulai dari dosis kurang dari 50 mg sampai >1200 mg per hari (Blann, A.D dkk, 2003).

Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2, sebagai

akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. Dosis yang lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan) juga menjadi kurang efektif karena selain menghambat TXA2

2.1.5. Efek Samping

juga menghambat pembentukan prostasiklin (Dewoto, 2007).

Efek samping dari penggunaan aspirin adalah rasa tidak enak di perut, mual dan perdarahan saluran cerna, ruam kulit, purpura dan alopesia (Blann, A.D dkk, 2003), (Dewoto, 2007).

2.1.6. Kontraindikasi

Kontraindikasi pemberian aspirin dibagi menjadi dua yaitu absolut pada kondisi ulkus gastrointestinal yang aktif, hipersensitivitas dan trombositopenia. Sedangkan yang relatif yaitu adanya riwayat ulkus atau dispepsia, penyakit dengan perdarahan dan pemberian warfarin (Blann, A.D dkk, 2003).

2.2. CILOSTAZOL 2.2.1. Kimia

Cilostazol merupakan 6-[4-(1-cyclohexyl-1H-tetrazol-5-yl)butoxy]-3, 4- dihydro-2-(1H)-quinolinone dapat meningkatkan siklik AMP intraselular dengan menghambat hidrolisis phospodiesterase tipe IIII (Lee dkk, 2003).

2.2.2. Farmakokinetik

Cilostazol secara cepat diabsorbsi dan mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu 2,4 jam setelah pemberian secara oral. Dan kebanyakan cilostazol berikatan dengan protein 95-98%, yang paling utama adalah albumin.

Berdasarkan studi in vitro pada sitokrom P450, cilostazol di metabolisme di hati melalui sitokrom P450. (Yoo dkk, 2010).

2.2.3. Cara Kerja

Cilostazol menghambat phospodiesterase 3, meningkatkan konsentrasi cAMP dan akibatnya adalah menghambat agregasi platelet. Obat ini juga memiliki efek vasodilator yang menghambat proliferasi otot polos vaskular dan melindungi dinding vaskular serta endothelium (Shinohara dkk, 2010). Dan yang terbaru cilostazol juga menghambat lipopolisakarida yang dapat menginduksi apoptosis pada sel endothelium. Berdasarkan hasil observasi cilostazol memiliki efek neuroproteksi ( Lee dkk, 2003

2.2.4. Penggunaan Dosis dan Terapeutik

Pemberian cilostazol yang direkomendasikan adalah 100 mg sebanyak dua kali sehari atau 50 mg sebanyak dua kali sehari. Pasien biasanya respon selama dua atau empat minggu setelah pemberian terapi (Lee dkk, 2003) (Katzung, 2003).

2.2.5. Efek Samping

Efek samping yang muncul adalah nyeri kepala, dizzines dan takikardia (Furie, 2010).

2.2.6. Kontraindikasi

Pada kondisi gagal jantung, kelainan hemostasis atau pasien yang mengalami perdarahan seperti perdarahan lambung dan perdarahan intrakranial (Lee dkk , 2003).

2.3. CLOPIDOGREL 2.3.1. Kimia

Clopidogrel merupakan turunan dari derivat thienopyridine yang menghambat agregasi platelet (Katzung, 2003).

2.3.2. Farmakokinetik

Clopidogrel dengan waktu paruh obat selama 8 jam dan biasanya dieliminasi melalui feses atau ginjal (Sigit, J.I, 2003).

2.3.3. Cara Kerja

Clopidogrel secara kompetitif dan ireversibel menghambat adenosine diphospate (ADP) P2Y12 reseptor. Adenosine diphosphate yang berikatan dengan PY1 reseptor menginduksi perubahan ukuran platelet dan kelemahan serta agregasi platelet yang sementara (Nguyen, 2005). Tidak seperti aspirin obat ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme prostaglandin (Katzung, 2003).

Gambar 3. Cara Kerja Clopidogrel

2.3.4. Penggunaan Dosis dan Terapeutik

Pada beberapa percobaan dilaporkan efikasi penggunaan clopidogrel dalam pencegahan transient ischemic attack, stroke dan unstable angina pectoris. Efek antithrombotik dari clopidogrel tergantung kepada dosis, didalam 5 jam setelah pemberian secara oral dosis awal clopidogrel 300 mg, aktivitas platelet sebanyak 80% dapat dihambat. Dosis 75 mg merupakan maintenance dose , dimana dapat mencapai inhibisi platelet maksimum. Durasi efek antiplatelet 7-10 hari (Katzung, 2003).

2.3.5. Efek Samping

Memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan ticlopidine yaitu supresi sumsum tulang belakang yaitu neutropenia (Katzung, 2003) (Blann, A.D. dkk, 2003) dan thrombotic thrombocytopenia purpura pada beberapa kasus (Katzung, 2003).

2.3.6. Kontraindikasi

Clopidogrel kontraindikasi diberikan pada gangguan hati berat, kecenderungan perdarahan dan pada wanita hamil (Sigit, J.I, 2003).

3. OUTCOME STROKE

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairment, disabilitas dan handicaps. WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan,2000) :

1. Impairment adalah suatu kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis atau fungsi atau struktur anatomis.

2. Disabilitas adalah setiap keterbatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu aktivitas dengan cara atau dalam rentang yang dianggap normal untuk orang sehat.

3. Handicap adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat impairment atau disabilitas tersebut, yang membatasi perannya sebagai manusia normal.

Penelitian klinis tentang stroke secara rutin menggunakan mortalitas sebagai outcome, namun terdapat outcome lainnya yang penting untuk investigasi klinis dan relevan dengan pasien, mencakup perubahan fungsi tubuh dan disabilitas. Sejumlah instrumen untuk menilai fungsi dan disabilitas telah dikembangkan. Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke (Weimar dkk, 2002).

Modified Rankin Scale mengukur tingkat ketergantungan, baik mental maupun adaptasi fisik yang digabungkan dengan defisit neurologis. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/ketidakmampuan yang berat (Weimar dkk,2002).

National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) digunakan untuk menilai impairment, yang terdiri dari 12 pertanyaan—tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa, disartria dan inatensi.

Skala ini telah banyak digunakan pada berbagai penelitian tentang terapi stroke akut dan merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. (Meyer dkk,2002; Schlegel dkk,2003).

Skor ini tidak hanya membantu untuk mengukur derajat defisit neurologis,namun juga untuk memfasilitasi komunikasi antara penyedia layanan kesehatan, mengidentifikasi kemungkinan lokasi oklusi pembuluh darah, menyediakan prognosis awal, dan membantu mengidentifikasi eligibilitas pasien untuk berbagai intervensi dan potensial komplikasi. (Adams dkk, 2007). Penilaian retrospektif untuk menilai keparahan stroke dengan NIHSS menunjukkan bahwa skor ini reliable dan tidak bias bahkan jika elemen pemeriksaan fisik ada yang hilang dari rekam medis pasien (Williams dkk, 2000)

4. KERANGKA TEORI STROKE ISKEMIK AKUT ATHEROSKLEROSIS ASPIRIN CILOSTAZOL CLOPIDOGREL Diener, 2006 : Aterotrombosis memicu oklusi lokal dan embolisme di daerah distal. Dengan manifestasi klinis yang dapat dilihat pada stroke iskemik

Shinohara dkk, 2010 : Platelet memiliki peran sangat penting dalam patogenesis aterotrombosis dan berdasarkan hasil randomized trials dan meta-analisis menunjukkan adanya efikasi dari terapi antiplatelet dalam pengobatan stroke iskemik

Wilterdink dkk, 2001 : • Stroke iskemik akut, pemberian aspirin bermanfaat mengurangi mikroagregasi dari platelet dan thromboxane A2 • perbedaan signifikan skor NIHSS dan SME antara pasien menggunakan aspirin dengan tidak menggunakan aspirin Shinohara dkk, 2010 : Cilostazol menghambat phospodiesterase 3, meningkatkan konsentrasi cAMP dan efek vasodilator

Lee dkk, 2011 : Cilostazol tidak lebih rendah outcome fungsionalnya dibandingkan dengan aspirin

Caprie Steering Committee, 1996 :

Clopidogrel dapat mencegah terjadinya trombosis menghambat aktvasi daripada platelet melalui adenosine diphosphate

Hankey dkk, 2010 : Penambahan clopidogrel dan aspirin tidak menunjukkan secara signifikan perubahan outcome fungsional

5. Kerangka Konsep

STROKE ISKEMIK

AKUT

CILOSTAZOL

Dokumen terkait