• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Salah satu faktor yang mengakibatkan penurunan produksi gula adalah adanya serangan penyakit mosaik. Serangan penyakit tersebut umumnya ditemukan pada klon-klon tebu komersial dan unggul, namun infeksi terberat dijumpai pada klon PS864 yang digolongkan sebagai tanaman rentan pada penyakit tersebut. Penyakit tersebut telah menyebar di 59 kebun tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan intensitas serangan 0‒62% (http://www.litbang.deptan.go.id/).

Salah satu metode eliminasi virus adalah dengan memanfaatkan suhu tinggi untuk menekan multiplikasi patogen dan meningkatkan degradasi RNA virus (Wang dan Valkonen 2008). Metode tersebut dikenal dengan sebutan termoterapi atau hot water treatment (HWT). Pada suhu tinggi, tanaman tidak dapat bertahan hidup, sedangkan virus belum tereliminasi secara sempurna pada suhu di mana tanaman mampu beregenerasi (Damayanti et al. 2010). Oleh sebab itu, perlu dilakukan kombinasi metode tersebut dengan metode eliminasi virus lainnya seperti kemoterapi.

Kemoterapi merupakan metode eliminasi virus menggunakan bahan antiviral seperti ribavirin pada konsentrasi tertentu. Ribavirin belum mampu mengoptimalkan eliminasi potato leafroll virus (PLRV), potato virus X (PVX),

potato virus Y (PVY), dan potato virus S (PVS) tanaman kentang, namun metode tersebut efektif jika dikombinasikan dengan metode HWT pada tanaman pir (Gunaeni dan Karjadi 2011; Hu et al. 2012). Efektivitas ribavirin sangat tergantung pada konsentrasi bahan. Pada penelitian Hu et al. (2012) dan Andriani

et al. (2013), konsentrasi ribavirin pada taraf lebih dari 50 µg l-1 mengakibatkan gejala nekrosis, klorosis dan bahkan mengakibatkan kematian. Kombinasi perlakuan HWT dan bahan antiviral diharapkan tidak memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu tinggi dan bahan antiviral ribavirin terhadap pertumbuhan apeks tebu.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan September hingga November 2013 di Unit Produksi Benih Unggul Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Cimanggu, Bogor.

Eksplan yang digunakan berupa apeks tebu PS864 (subkultur ke-7-9) yang terdiri atas dome dengan 5 primordia daun (LP5). Bahan kimia yang digunakan adalah media MS, BA, IBA, dan ribavirin. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah air destilata, alkohol, spritus, dan phytagel. Alat-alat yang akan digunakan meliputi LAF, otoklaf, alat tanam seperti pinset, scalpel, bunsen, dan botol tanam.

22

Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah taraf suhu HWT (kontrol atau 25 dan perlakuan 30, 40, 50, dan 60 oC), sedangkan faktor kedua adalah taraf ribavirin (0, 15, 20 dan 25 µg l-1). Perlakuan HWT dilakukan selama 30 menit. Setiap botol terdiri atas 3 eksplan. Penelitian ini terdiri dari 80 satuan percobaan dengan 240 satuan pengamatan. Setelah HWT, eksplan ditanam pada media regenerasi yang mengandung ribavirin selama 40 hari, kemudian diregenerasikan pada media regenerasi tanpa ribavirin. Pengamatan dilakukan selama 4 minggu. Peubah yang diamati meliputi jumlah eksplan yang hidup, jumlah eksplan membentuk tunas, dan jumlah tunas yang terbentuk. Data percobaan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) menggunakan program Statistik Analysis Software (SAS versi 9). Nilai rata-rata dihitung dan dibandingkan menggunakan uji selang berganda duncan (DMRT) pada taraf 5% (P<0.05).

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara taraf suhu dan konsentrasi ribavirin. Pada penelitian ini, daya hidup dan tumbuh apeks relatif stabil hingga suhu 40 oC (>90%). Apeks masih dapat bertahan hidup pasca- perlakuan suhu 50 oC (5%), sedangkan pada suhu 60 oC apeks mengalami kematian (Tabel 1). Hidup dan tumbuhnya apeks sangat dipengaruhi oleh suhu HWT dari pada konsentrasi ribavirin. Suhu tinggi mempengaruhi integritas membran sel dan proses fisiologis sehingga apeks tidak mampu bertahan hidup (Al-Whaibi 2011). Hal serupa terjadi pada tanaman nilam di mana suhu 55-60 oC memiliki daya regenerasi yang rendah dan bahkan mengakibatkan kematian (Noveriza et al. 2012). Sebaliknya, efisiensi ribavirin tergantung pada konsentrasi bahan kimia, target virus dan tanaman inang (Hu et al. 2012).

Tabel 1. Pengaruh kombinasi perlakuan HWT dan ribavirin terhadap daya hidup dan daya tumbuh apeks tebu PS864, 5 MST

Perlakuan Daya hidup (%)

Daya tumbuh (%)

Jumlah tunas per eksplan Pada media ribavirin Pada media regenerasi Suhu (oC) 25 98.15 a 98.15 a 10.00 21.58 30 100.00 a 100.00 a 8.33 16.94 40 95.83 a 96.08 a 10.33 22.06 50 5.00 b 5.00 b 6.25 14.50 60 0.00 b 0.00 b - - Ribavirin (µg l-1) 0 56.52 54.55 8.50 18.03 15 55.07 55.07 8.17 18.70 20 58.33 58.33 11.17 23.91 25 57.97 59.72 8.33 18.79

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.

23 Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hingga ribavirin pada taraf tertinggi (25 µg l-1), apeks dapat bermultiplikasi tanpa diiringi dengan pembentukan kalus dan akar. Daya hidup dan daya tumbuh apeks tidak berbeda dengan perlakuan kontrolnya, yaitu berkisar antara 55−58%.

Jumlah tunas juga tidak berbeda nyata pada berbagai perlakuan suhu dan konsentrasi ribavirin. Apeks dapat bermultiplikasi normal pada media yang mengandung ribavirin maupun pada media regenerasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa HWT hingga suhu tertinggi (50 oC) atau ribavirin hingga taraf tertinggi (25µg l-1) tidak mempengaruhi multiplikasi tunas (Gambar 16). Hal tersebut berbeda pada penelitian Robert et al. (1998), perlakuan suhu tinggi tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh, namun sangat berpengaruh terhadap multiplikasi tunas bawang merah. Mullin et al. (1974) juga menyatakan bahwa perlakuan HWT dapat meningkatkan kecepatan tumbuh meristem stroberi dibandingkan dengan kontrolnya.

Pada penelitian ini, teramati nekrosis pada biakan dari perlakuan ribavirin 20 (1.67%) dan 25 µg l-1 (2.67%), ditandai dengan mencoklat dan tidak terbentuknya daun secara sempurna, biakan menghitam dan mudah hancur seperti arang, bahkan beberapa biakan tidak mampu membentuk anakan baru (Gambar 15). Beberapa biakan lainnya masih dapat tumbuh dan membentuk anakan normal.

Gambar 15. Nekrosis dari biakan tebu PS864 yang berasal dari apeks pasca- perlakuan ribavirin (A) 20 µg l-1 dan (B) 25 µg l-1 dan suhu HWT 25 oC. Panah hitam menunjukkan biakan yang mengalami nekrosis Efek nekrosis sangat tergantung pada dosis bahan kimia yang diberikan, namun tidak mempengaruhi daya hidup dan biakan dapat kembali tumbuh normal setelah melewati masa inkubasi kemoterapi (Hu et al. 2012; Andriani et al. 2013). Hu et al. (2012) menyatakan bahwa ribavirin lebih dari 50 µg l-1 dapat mengakibatkan klorosis, nekrosis, dan bahkan kematian pada tanaman pir secara

in vitro. Pada penelitian ini, HWT pada suhu 50 oC atau ribavirin 25 µg l-1 merupakan perlakuan yang terbaik, sebab biakan mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dengan normal.

Simpulan

Apeks mampu bertahan hidup setelah diberi perlakuan suhu 50 oC (5%) atau ribavirin 25 µg l-1 (57.97%). Apeks dapat bermultiplikasi normal pada media yang

24

mengandung ribavirin maupun media regenerasi. Nekrosis yang diakibatkan oleh ribavirin 20 dan 25 µg l-1 cukup rendah (1.67% dan 2.67%) dan biakan masih dapat tumbuh kembali membentuk anakan normal. Dengan demikian, HWT pada suhu 50 oC atau ribavirin 25 µg l-1 merupakan perlakuan yang optimal.

Gambar 16. Pertumbuhan apeks tebu PS864 yang diberi perlakuan HWT dan ribavirin, 5 MST: suhu (A) 25, (B) 30, (C) 40, (D) 50 dan (E) 60 oC dengan ribavirin (1) 0, (2) 15, (3) 20, dan (4) 25 µg l-1

26

4

OPTIMASI PERLAKUAN AIR PANAS DAN BAHAN

Dokumen terkait