• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Penyakit mosaik pada tebu mulai menyebar di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan intensitas serangan 0‒62%. Tebu dengan klon PS864 merupakan salah satu klon tebu yang rentan dan dominan terserang penyakit tersebut. Penularannya dapat terjadi secara mekanis atau 100% terbawa benih (http://www.litbang.deptan.go.id/).

Kultur meristem merupakan salah satu metode eliminasi virus yang umum digunakan. Meristem merupakan jaringan embrionik yang aktif membelah untuk menghasilkan sel-sel baru (Campbell et al. 2006; Levetin dan McMahon 2008). Sel meristem umumnya bebas dari virus dan parasit obligat lainnya karena sel tersebut tidak memiliki plasmodesmata, perkembangan selnya cepat, dan terjadi persaingan penggunaan nukleotida antara sel meristematik dengan virus, serta adanya zat inhibitor (Bittner et al. 1989). Namun keefektifan metode kultur meristem tersebut sangat dipengaruhi oleh ukuran meristem yang digunakan. Menurut Ramgareeb et al. (2010), meristem dengan ukuran kurang dari 1 mm merupakan ukuran yang optimal untuk mendapatkan tanaman yang bebas virus, namun memiliki daya tumbuh yang rendah. Oleh sebab itu, kultur meristem dengan ukuran lebih dari 1 mm banyak dikombinasikan dengan metode eliminasi virus lainnya seperti hot water treatment (HWT) atau menggunakan bahan antiviral (kemoterapi).

Perlakuan HWT merupakan metode eliminasi virus dengan memanfaatkan suhu tinggi untuk menekan aktivitas virus (Wang dan Valkonen 2008). Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan thermo-shock sehingga menghambat pertumbuhan. Kemoterapi merupakan metode eliminasi virus dengan menggunakan bahan antiviral, seperti ribavirin. Menurut Hu et al. (2012), ribavirin pada taraf tertentu dapat mengakibatkan klorosis, nekrosis dan kematian jaringan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan optimasi metode terlebih dahulu untuk mengetahui pengaruh kombinasi kedua metode tersebut terhadap pertumbuhan meristem tebu.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2013 di Unit Produksi Benih Unggul Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Cimanggu, Bogor.

Eksplan yang digunakan adalah tunas ex vitro dengan diameter batang sekitar 1.5 cm. Bahan kimia yang digunakan adalah media MS, BA, IBA, dan ribavirin. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bakterisida, fungisida, NaOCl (natrium hipoklorit), air destilata, alkohol, spritus, dan phytagel. Alat-alat yang akan digunakan meliputi LAF, otoklaf, alat tanam seperti pinset, scalpel, bunsen, dan botol tanam.

27 Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 ulangan. Setiap botol terdiri atas 3 eksplan. Penelitian ini terdiri dari 32 satuan percobaan dengan 96 satuan pengamatan. Faktor pertama adalah perlakuan HWT dan faktor kedua adalah perlakuan ribavirin. Tunas pucuk diperlakukan dengan HWT terlebih dahulu pada suhu 25 (kontrol) dan 50 oC selama 30 menit. Meristem diisolasi di bawah mikroskop dan ditanam pada media regenerasi yang mengandung ribavirin (0, 15, 20 dan 25 mg l-1) selama 40 hari. Selanjutnya, eksplan ditanam pada media regenerasi. Pengamatan dilakukan selama 8 minggu dengan peubah yang diamati meliputi jumlah eksplan yang hidup, jumlah eksplan membentuk tunas, dan jumlah tunas yang terbentuk. Data percobaan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) menggunakan program

Statistik Analysis Software (SAS versi 9). Nilai rata-rata dihitung dan dibandingkan menggunakan uji selang berganda duncan (DMRT) pada taraf 5% (P<0.05).

Hasil dan Pembahasan

Meristem sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan satu minggu pasca- perlakuan. Meristem yang hidup ditandai dengan warna krem dan berangsur- angsur menjadi hijau, sedangkan yang mati ditandai dengan perubahan warna menjadi coklat dan mengering. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa daya hidup, daya tumbuh, dan jumlah tunas tidak dipengaruhi oleh taraf suhu maupun ribavirin (Tabel 2). Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata antar perlakuan disebabkan oleh tingginya keragaman eksplan (meristem). Tingginya keragaman tersebut diduga dipengaruhi oleh adanya pelukaan mekanik pada saat isolasi dan ukuran meristem.

Tabel 2. Pengaruh HWT dan ribavirin terhadap pertumbuhan meristem tebu PS864, 8 MST

Perlakuan Daya hidup (%)

Daya Tumbuh (%)

Jumlah tunas per eksplan Pada media ribavirin Pada media regenerasi Suhu (oC) 25 68.75 60.42 1.00 1.83 50 55.00 50.00 1.00 1.33 Ribavirin (µg l-1) 0 67.50 66.67 1.00 1.67 15 83.75 79.17 1.00 2.00 20 55.00 37.50 0.67 2.33 25 41.25 37.50 1.00 1.00

Keterangan : tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT 5%.

Ukuran meristem tidak hanya mempengaruhi efektivitas eliminasi virus tetapi juga daya hidup eksplan. Pada ukuran kurang dari 1 mm, meristem memiliki tingkat potensi eliminasi virus yang tinggi namun memiliki daya hidup yang sangat rendah (Wang dan Valkonen 2008; Ramgareeb et al. 2010). Ali et al.

28

terbaik untuk mikropropagasi tebu. Dalam penelitian Alam et al. (2010), meristem tidak dapat hidup pada ukuran kurang dari 0.3 mm meskipun telah diberikan beberapa jenis dan kombinasi zat pengatur tumbuh.

Gambar 17. Pencoklatan yang berpengaruh terhadap daya tumbuh meristem tebu PS864: (A) kondisi meristem pada saat 4 MST, (B) media di sekitar meristem tercemari quinon sehingga meristem mati pada saat 8 MST Akumulasi senyawa fenolik berupa quinon yang terlalu tinggi juga diduga sebagai faktor penghambat pertumbuhan dan kematian pada meristem (Gambar 17). Sel yang terluka akan mengaktifkan enzim oksidase sehingga senyawa fenol teroksidasi dan mengakibatkan pencoklatan pada jaringan (Hutami 2008). Menurut Cheong et al. (2012) senyawa fenolik bersifat toksik dan menyebabkan kematian pada meristem tebu, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan subkultur setiap dua minggu. Selain subkultur, penggunaan arang aktif,

polyvinylpirrolidone (PVP), polyvinylpolypirrolidone (PVPP), sodium diethyl dithiocarbamate (DIECA) dan 1,4-dithio-DL-threitol (DTT) juga dapat mengatasi pencoklatan. Senyawa-senyawa tersebut dapat menyerap dan mengurangi senyawa fenol, memodifikasi potensial redoks, dan menghambat aktivitas enzim fenolase (George dan Sherrington 1984; Hutami 2008). Penampilan biakan tebu pasca-perlakuan HWT dan ribavirin secara umum dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Penampilan biakan tebu PS864 yang dihasilkan dari meristem yang diberi perlakuan HWT dan ribavirin: (1) 25 dan (2) 50oC, ribavirin (A) 0, (B) 15, (C) 20, dan (D) 25 µg l-1, 8 MST

29 Keragaman eksplan (meristem) menunjukkan bahwa meode tersebut tidak aplikatif dibandingkan dengan kultur apeks. Namun demikian, metode tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan. Pada penelitian ini, meristem masih dapat hidup, tumbuh, dan tidak terjadi nekrosis hingga perlakuan suhu 50 ˚C atau ribavirin 25 µg l-1. Oleh sebab itu, peningkatan konsentrasi ribavirin lebih dari 25 µg l-1 masih mungkin untuk diterapkan.

Simpulan

Kombinasi perlakuan HWT dan ribavirin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya hidup, daya tumbuh, dan jumlah tunas meristem. Meristem mampu tumbuh pada suhu 50˚C (55%) atau ribavirin pada taraf 25 µg l-1 (41.25%). Secara teknik, kultur meristem cukup sulit dan mengakibatkan akumulasi senyawa fenol yang tinggi.

30

5

OPTIMASI PEMBEKUAN JARINGAN APEKS TEBU

Pendahuluan

Tebu merupakan bahan utama penghasil gula. Tebu memiliki beragam manfaat sehingga kebutuhannya sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, perkiraan konsumsi gula di rumah tangga sebesar 1.68 juta ton (Ditjenbun 2014b), namun diduga konsumsi gula nasional akan meningkat pada tahun 2014 mencapai 3.10 juta ton (http://ditjenbun.pertanian.go.id/). Oleh sebab itu, pemerintah berupaya meningkatan produksi gula dengan berbagai cara. Namun hal tersebut mengalami beberapa kendala antara lain pengolahan tanah, bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit.

Penyakit mosaik merupakan salah satu faktor yang menurunkan rendemen gula. Rendemen gula dapat turun 30‒40% akibat terhambatnya pertumbuhan batang (Bailey 2004). Penyakit tersebut tersebar di Sumatra dan Jawa dengan kejadian bervariasi antara 30‒67% tergantung pada lokasi. Penyakit tersebut dapat menginfeksi beberapa spesies tanaman dari famili Gramineae secara mekanis atau 100% terbawa benih (http://www.litbang.deptan.go.id/). Penyakit tersebut dapat diatasi dengan berbagai metode eliminasi virus. Salah satu metode eliminasi virus terbaru dan efektif adalah metode pembekuan jaringan (Wang dan Valkonen 2008).

Metode pembekuan jaringan dapat mengeliminasi patogen dengan tingkat keberhasilan yang tinggi sehingga dikenal sebagai teknik krioterapi (Wang dan Valkonen 2008). Pembekuan jaringan atau yang juga dikenal dengan nama kriopreservasi merupakan metode penyimpanan plasma nutfah pada suhu ekstrim rendah atau dengan menggunakan nitrogen cair (-196 oC) (Kartha 1985). Pada kondisi tersebut, sel, jaringan, atau organ bahan tanam yang disimpan tidak melakukan aktivitas metabolik dengan viabilitas yang tetap terjaga sehingga bahan tanaman dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, tanpa harus dilakukan subkultur berulang-ulang (Widyastuti 2000; Roostika dan Mariska 2003). Sel yang hidup merupakan sel yang bersifat meristematik dan telah terbukti efektif dalam mengeliminasi virus cucumber mosaic virus (CMV) dan banana streak virus (BSV) pada tanaman pisang (Helliot et al. 2002; Wang dan Valkonen 2008). Pada beberapa penelitian, metode krioterapi menyebabkan kemampuan daya hidup eksplan yang rendah seperti pada pisang (12─72%), pepaya (68%), purwoceng (40%), dan ruspberry (20─38%) (Panis et al 1996; Wang et al. 2005; Roostika et al 2007; Wang et al. 2008). Oleh sebab itu, optimasi metode pembekuan jaringan tersebut perlu dilakukan pada tebu.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan September─Desember 2013 di Unit Produksi Benih Unggul Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Cimanggu, Bogor.

Eksplan berupa apeks tebu PS864 yang berukuran sekitar 0.3 mm. Bahan kimia yang digunakan adalah MS, BA, IBA, gliserol, etilen glikol, DMSO,

31 sukrosa dan nitrogen cair. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah air destilata, alkohol, spritus, dan phytagel. Alat-alat yang akan digunakan meliputi LAF, otoklaf, alat tanam seperti pinset, scalpel, bunsen, termometer, termos dan botol tanam.

Percobaan dilakukan dengan menerapkan teknik vitrifikasi. Percobaan ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap optimasi perlakuan dehidrasi jaringan. Pada tahap ini, digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 5 eksplan. Dehidrasi jaringan dilakukan dengan merendam eksplan ke dalam larutan PVS2 (gliserol 30% + etilen glikol 15% + DMSO 15% dalam media MS yang mengandung sukrosa 0.4 M) selama 0 (tanpa perendaman PVS2), 10, 20, 30, dan 40 menit.

Pada tahap kedua, percobaan merupakan optimasi perlakuan pembekuan jaringan yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah perlakuan prakultur sedangkan faktor kedua adalah perlakuan loading. Eksplan diprakultur pada media MS padat dengan sukrosa 0, 0.1, 0.3, dan 0.5 M selama 5 hari. Selanjutnya, eksplan di-loading dengan larutan LS (gliserol 2 M dalam media MS yang mengandung sukrosa 0.4 M) selama 0, 10, 20, dan 30 menit. Setelah loading, eksplan didehidrasi pada perlakuan terbaik pada tahap sebelumnya. Eksplan kemudian dibekukan dalam nitrogen cair minimal selama 1 jam. Pelelehan dilakukan dengan menggunakan air hangat (40oC) dan dilakukan deloading dalam media MS dengan penambahan sukrosa 1.2 M selama 30 menit. Selanjutnya, eksplan ditanam pada media regenerasi yang semisolid. Peubah yang diamati meliputi jumlah eksplan yang hidup, jumlah eksplan membentuk tunas, dan jumlah tunas yang terbentuk. Data percobaan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) menggunakan program Statistik Analysis Software (SAS versi 9). Nilai rata-rata dihitung dan dibandingkan menggunakan uji selang berganda duncan (DMRT) pada taraf 5% (P<0.05).

Hasil dan Pembahasan Optimasi Perlakuan Dehidrasi Jaringan

Apeks yang berpotensi hidup akan berwarna coklat, mengalami elongasi dan berangsur-angsur berwarna hijau, sedangkan biakan yang mati diawali dengan pudarnya warna hijau dan akhirnya memutih. Pada penelitian ini, analisis ragam menunjukkan bahwa durasi dehidrasi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap daya hidup, daya tumbuh, dan jumlah tunas. Walaupun semakin lama durasi dehidrasi daya hidup dan daya tumbuh apeks cenderung semakin rendah (Tabel 3).

Kondisi sel yang mengalami dehidrasi merupakan kondisi sel yang diharapkan mampu melindungi jaringan tanaman dari pengaruh negatif selama pembekuan. Krioprotektan dapat memelihara keutuhan membran sel dengan cara mendehidrasi jaringan (Roostika et al. 2007). Perendaman dalam krioprotektan yang terlalu lama akan mengakibatkan dehidrasi jaringan yang berlebihan karena cairan sel yang dikeluarkan semakin banyak sehingga mengakibatkan plasmolisis yang berlebih dan bersifat irreversible. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan perubahan pH, dan peningkatan konsentrasi zat elektrolit. Jika jaringan kurang mengalami dehidrasi maka akan mengakibatkan pembentukan kristal es baik intraseluler maupun ekstraseluler akibat kandungan air yang tinggi pada jaringan.

32

Kristal es dapat mengakibatkan pelukaan pada sel (Roostika dan Mariska 2003; Roostika et al. 2007). Oleh sebab itu, durasi dehidrasi terlama dengan daya hidup dan daya tumbuh lebih dari 70% diasumsikan sebagai perlakuan optimum untuk dehidrasi jaringan.

Tabel 3. Pengaruh durasi dehidrasi jaringan dengan PVS2 terhadap pertumbuhan apeks tebu PS864, 4 MST Durasi Dehidrasi (menit) Daya hidup (%) Daya tumbuh (%) Jumlah tunas per eksplan 0 95.0 87.5 6.72 10 86.7 86.7 7.84 20 84.0 84.0 8.54 30 74.0 72.0 5.53 40 65.0 65.0 6.91

Keterangan : tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT 5% Pada penelitian ini, durasi dehidrasi 30 menit merupakan perlakuan dehidrasi yang terbaik. Daya hidup dan daya tumbuh apeks masing-masing sebesar 74 dan 72% dengan jumlah tunas yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrolnya. Meskipun tinggi tanaman lebih rendah (pada perlakuan durasi 30 menit) dibandingkan dengan perlakuan kontrolnya (durasi 0 menit) pada 4 MST (data tidak ditampilkan), tunas dapat tumbuh normal dan tidak berbeda dengan kontrol pada 5 MST (Gambar 19).

Gambar 19. Pengaruh lama perendaman dalam PVS2 terhadap regenerasi apeks tebu PS864: (A) 0, (B) 10, (C) 20, (D) 30, dan (E) 40 menit pada periode inkubasi (1) 4 dan (2) 5 MST.

Optimasi Perlakuan Pembekuan Jaringan

Peningkatan molaritas sukrosa pada perlakuan prakultur berpengaruh terhadap perubahan warna biakan dan elongasi tunas. Selama 5 hari masa prakultur, konsentrasi sukrosa tertinggi (0.5 M) mengakibatkan pencoklatan, yaitu sebesar 68.3% dan persentase elongasi hanya mencapai 18.3% (Gambar 20). Tindakan prakultur dimaksudkan untuk meningkatkan toleransi bahan tanaman terhadap dehidrasi jaringan, meningkatkan fleksibilitas membran dan menjaga

33 struktur integritas membran sel sehingga tidak terjadi plasmolisis yang

irreversible (Panis et al. 1996; Roostika dan Mariska 2003; Roostika et al. 2007).

Gambar 20. Pengaruh molaritas sukrosa pada tahap prakultur terhadap elongasi tunas dan pencoklatan jaringan apeks tebu PS864.

Menurut Roostika et al. (2007), prakultur dapat mengakibatkan penurunan volume vakuola sel dengan cara redistribusi vakuola sentral yang lebih besar menjadi lebih kecil sehingga mencegah terjadinya injury (luka yang serius). Pada penelitian ini, peningkatan taraf sukrosa (hingga 0.5 M) menyebabkan tingginya pencoklatan dan menurunkan elongasi tunas (Gambar 21). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Panis et al. (1996), di mana kandungan sukrosa yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan jaringan, menurunnya daya hidup tanaman, bahkan dapat mengakibatkan pencoklatan pada jaringan. Roostika et al. (2007) juga menambahkan bahwa tingginya molaritas sukrosa mengakibatkan sel mengalami plasmolisis. Oleh sebab itu, apeks yang di prakultur pada sukrosa 0.5 M pada penelitian ini tidak digunakan pada tahap selanjutnya.

Pasca-pembekuan jaringan, perlakuan prakultur lebih besar pengaruhnya terhadap daya hidup apeks dibandingkan dengan perlakuan pemuatan. Perlakuan prakultur terbaik adalah sukrosa 0.3 M (20‒40%) (Tabel 4). Meskipun apeks mengalami pencoklatan yang parah sebelum pembekuan jaringan, eksplan bertahan hidup pasca-pembekuan. Sukrosa 0.3 M diduga mampu meningkatkan fleksibilitas membran dan menyebabkan serapan nutrisi yang cukup sebelum dehidrasi dan pembekuan jaringan. Menurut Scocchi et al. (2004) sukrosa memainkan peran penting terhadap ketahanan jaringan terhadap pembekuan dalam nitrogen cair. Pada penelitiannya, Melia azedarach L. tidak dapat bertahan hidup pasca-pembekuan tanpa perlakuan prakultur dengan sukrosa 0.5–1 M. Roostika dan Mariska (2003) juga menyatakan bahwa pra-perlakuan dapat meningkatkan toleransi bahan tanaman terhadap dehidrasi dengan mengakumulasi zat terlarut, reduksi isotonik, perubahan struktural seperti reduksi volume vakuola, dan perubahan struktur membran dasar.

34

Gambar 21. Penampilan biakan tebu PS864 setelah perlakuan prakultur dengan sukrosa: (A) 0, (B) 0.1, (C) 0.3, dan (D) 0.5 M.

Perlakuan pemuatan juga berperan dalam menentukan keberhasilan pembekuan jaringan, di mana sel diadaptasikan sebelum memasuki tahapan dehidrasi dalam larutan krioprotektan dengan molaritas yang lebih tinggi (Roostika et al. 2008). Montero et al. (2008) menyatakan bahwa konsentrasi gliserol dan sukrosa mempengaruhi viabilitas embrio somatik tebu pasca- pembekuan. Pada penelitiannya, viabilitas optimal diperoleh dari perlakuan perendaman LS pada konsentrasi 1.5 M gliserol dan 0.3 M sukrosa selama 30–40 menit. Pada penelitian ini, apeks mampu bertahan hidup pasca-perlakuan LS selama 0, 10, dan 30 menit (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh perlakuan prakultur dan pemuatan dalam larutan LS terhadap pertumbuhan setelah pembekuan jaringan apeks tebu PS864 dalam nitrogen cair yang didehidrasi dengan PVS2 selama 30 menit, 5 MST Prakultur (M) Pemuatan LS (menit) Daya hidup (%) Daya regenerasi (%) Jumlah tunas per eksplan 0 0 0 0 - 10 0 0 - 20 0 0 - 30 20 20 4 0.1 0 0 0 - 10 0 0 - 20 0 0 - 30 0 0 - 0.3 0 20 20 1 10 40 40 3 20 0 0 - 30 20 20 1

35 Hingga 5 MST pasca-pembekuan, jumlah tunas yang terbentuk sebesar 1–4 tunas per eksplan (Tabel 4; Gambar 22). Adanya perbedaan jumlah tunas diduga dipengaruhi oleh keragaman apeks terhadap kecepatan pemulihan (recovery) pasca-pelelehan. Menurut Roostika et al. (2008) pemulihan yang lama pasca-pembekuan jaringan dapat disebabkan oleh tingkat stres dehidrasi yang tinggi pada biakan. Meskipun jumlah tunas yang dihasilkan sedikit, metode krioterapi juga sangat efektif dalam mengeliminasi virus beberapa tanaman seperti pisang (Helliot et al. 2002) dan kentang (Wang et al. 2006). Krioterapi memanfaatkan perbedaan anatomi dan fisiologi jaringan meristematik dengan jaringan lainnya. Sel meristem memiliki ukuran yang lebih kecil dengan vakuola yang kecil, serta rasio nukleus-sitoplasma yang tinggi, sehingga memiliki daya hidup sel yang lebih tinggi ketika direndam dalam nitrogen cair (Wang dan Valkonen 2008). Sel meristem umumnya bebas dari virus dan parasit obligat lainnya karena sel tersebut tidak memiliki plasmodesmata, perkembangan selnya cepat, dan terjadi persaingan penggunaan nukleotida antara sel meristematik dengan virus, serta adanya zat inhibitor (Bittner et al. 1989).

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan prakultur 0.3 M dengan lama perendaman LS selama 10 menit memberikan persentase daya hidup dan daya tumbuh tertinggi (40%) (Tabel 4). Meskipun keberhasilannya tergolong rendah, penerapan teknik vitrifikasi pada apeks memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan embrio somatik pada penelitian Montero et al. (2008) (eksplan bertahan hidup). Menurut Roostika dan Mariska (2003), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kriopreservasi pada tanaman, antara lain kecepatan pembekuan, jenis dan konsentrasi krioprotektan, suhu akhir pembekuan, serta tipe eksplan dan keadaan fisiologis bahan yang akan disimpan.

Simpulan

Pembekuan Jaringan secara vitrifikasi berpeluang diterapkan pada tanaman tebu. Durasi dehidrasi yang terbaik adalah selama 30 menit (74%). Kombinasi perlakuan prakultur dengan sukrosa 0.3 M selama 5 hari dan loading dengan larutan LS selama 10 menit merupakan perlakuan yang terbaik untuk pembekuan jaringan apeks tebu PS864. Teknik tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang masih rendah dengan daya regenerasi 40% dan jumlah tunas 1–4 tunas per eksplan pada 5 MST.

36

Gambar 22. Penampilan biakan tebu PS864 pasca-pembekuan jaringan: sukrosa (1) 0, (2) 0.1, (3) 0.3 M dan durasi pemuatan (A) 0, (B) 10, (C) 20, (D) 30 menit. Tanda lingkaran kuning merupakan apeks yang mulai beregenerasi pasca-pembekuan jaringan.

37

6

PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini mencakup optimasi perlakuan air panas, bahan antiviral, dan pembekuan jaringan apeks dan meristem tebu. Penggunaan eksplan berupa apeks memudahkan pekerjaan secara teknis dan memiliki kemampuan daya hidup dan multiplikasi tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan meristem. Ukuran ekplan sangat mempengaruhi daya hidup tanaman, di mana keikutsertaan primordia daun dapat meningkatkan daya hidup dan tumbuh meristem (El Far dan Ashoub 2009). Ukuran eksplan 3.0 mm merupakan ukuran terbaik untuk mikropropagasi tebu (Ali et al. 2008), sedangkan meristem dengan ukuran kurang dari 1 mm memiliki daya hidup yang sangat rendah (Ramgareeb et al. 2010). Kultur meristem membutuhkan alat yang lebih spesifik dan teknik isolasinya tidak mudah sehingga kurang efisien. Selain itu, kandungan senyawa fenolik berupa quinon yang tinggi mengakibatkan meristem mengalami pencoklatan dan tidak dapat bertahan hidup. Sel yang terluka akan mengalami stres sehingga mengaktifkan enzim polifenol oksidase. Hal tersebut mengakibatkan teroksidasinya senyawa fenol dan mengakibatkan pencoklatan pada jaringan (Hutami 2008). Menurut George dan Sherrington (1984) dan Hutami (2008) pencoklatan yang diakibatkan oleh fenol dapat diatasi dengan subkultur atau menggunakan arang aktif, polyvinylpirrolidone (PVP), polyvinylpolypirrolidone

(PVPP), sodium diethyl dithiocarbamate (DIECA) dan 1,4-dithio-DL-threitol

(DTT).

Berdasarkan uji analisis ragam, tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan suhu dan ribavirin, baik pada apeks maupun meristem tebu. Namun demikian, daya hidup sangat dipengaruhi oleh perlakuan suhu. Suhu tinggi dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologis, sehingga berpengaruh terhadap daya hidup tanaman (Al-Whaibi 2011). Perlakuan HWT hanya berpengaruh sesaat setelah biakan diberi perlakuan. Apeks dan meristem mampu tumbuh dan bermultiplikasi normal setelah ditanam pada media regenerasi. Demikian juga dengan kemoterapi, taraf ribavirin yang tertinggi (25 µg l-1) juga tidak memberikan efek yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Efektivitas ribavirin tergantung pada konsentrasi bahan kimia, target virus dan tanaman inangnya (Hu

et al. 2012). Hu et al. (2012) menyatakan bahwa ribavirin lebih dari 50 µg l-1 dapat mengakibatkan klorosis, nekrosis, dan bahkan kematian pada tanaman pir secara in vitro. Pada penelitian ini, suhu 50 oC dan ribavirin 25 µg l-1 dapat diaplikasikan pada apeks maupun meristem tebu.

Gambar 23 menunjukkan perbandingan keempat metode terhadap pertumbuhan tanaman. Perlakuan HWT sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan tidak menimbulkan nekrosis, namun diduga akan lebih efektif manfaatnya untuk eliminasi virus jika diaplikasikan bersamaan dengan bahan antiviral berupa ribavirin. Perlakuan HWT dan bahan antiviral pada apeks juga lebih efektif secara teknis dan memiliki kecepatan multiplikasi yang lebih tinggi pasca-perlakuan dibandingkan dengan meristem. Perlakuan HWT dan bahan antiviral pada meristem tidak disarankan mengingat sulitnya secara teknis dan tingginya akumulasi senyawa fenol. Sebaliknya, metode pembekuan jaringan merupakan metode yang direkomendasikan.

38

Gambar 23. Perbandingan perlakuan HWT, ribavirin, dan pembekuan jaringan terhadap pertumbuhan tebu PS864

Pembekuan jaringan memberikan manfaat berdasarkan perbedaan sifat fisiologi dan anatomi antar sel meristem dengan sel pada jaringan lainnya. Sel yang hidup pasca-pembekuan jaringan adalah sel yang terletak pada bagian meristem, yaitu sel yang memiliki rasio nukleus-sitoplasma yang tinggi dengan ukuran vakuola yang kecil. Kondisi sel yang demikian mengakibatkan sel tanaman bertahan hidup karena tidak terjadinya injury yang diakibatkan oleh dehidrasi dan pembekuan jaringan (Wang dan Valkonen 2008). Sel meristem umumnya bebas dari virus karena tidak memiliki plasmodesmata, perkembangan selnya cepat, dan terjadi persaingan penggunaan nukleotida antara sel meristematik dengan virus, serta adanya zat inhibitor (Bittner et al. 1989). Selain itu, pembekuan jaringan juga dapat mengeliminasi parasit obligat lainnya sepertinya fitoplasma, bakteri dan cendawan (Yin et al. 2011). Meskipun jumlah tunas dan persentase daya hidup yang kecil pada metode tersebut, namun eksplan tebu memiliki kemampuan multiplikasi yang sangat tinggi bahkan dapat mencapai 20 tunas per eksplan pada 5 MST (data tidak ditampilkan). Metode tersebut telah terbukti efektif mengeliminasi virus pada tanaman pisang (Helliot et al. 2002), kentang (Wang et al. 2006), dan raspberry (Wang et al. 2008).

39

7

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

HWT secara tidak langsung dengan saringan merupakan perlakuan terbaik untuk mengurangi efek thermo-shock pada jaringan apeks. Apeks mampu hidup

Dokumen terkait