• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Setelah pendalaman tentang kinerja/performance dan perilaku/behaviour

SDM aparatur kehutanan di bidang perijinan, mengikuti kerangka teori SSBP (dimodifikasi, dimulai dari kinerja/performance, perilaku/behaviour, struktur, situasi15), selanjutnya struktur dalam kerangka teori SSBP tersebut diterjemahkan sebagai alternatif-alternatif kelembagaan dimana para pemangku kepentingan dapat memilih untuk menyusun berbagai hal dalam sebuah sistem (Schmid 2004). Pada pemaknaan awal, Kiser dan Ostrom (1982) dalam Schmid (1987) menguraikan struktur sumber daya mencakup: (1) boundary - kondisi masuk dan keluarnya untuk berpartisipasi; (2) scope - menyediakan aksi dan outcome dari interaksi; (3) distribusi authority antar posisi; (4) agregat keputusan bersama; (5) aturan prosedural hubungan keputusan bersama; (6) aturan informasi; dan (7) aturan sanksi dan imbalan (reward and punishment). Karakteristik pelayanan jasa perizinan kehutanan yang diselenggarakan oleh lembaga publik, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, yang diselenggarakan oleh birokrat pemerintah/SDM aparatur kehutanan juga merupakan bagian dari struktur.

Struktur di dalam penelitian ini merujuk pada definisi struktur menurut Scott (2008) dimana struktur yang dimaksud menggambarkan peraturan perundangan yang melingkupi, norma/nilai-nilai yang hidup dalam institusi, dan budaya kognitif/pembelajar yang berlaku di dalam sistem tersebut. Aturan dalam hal ini adalah seperangkat pengertian yang dipahami secara bersama tentang apa yang harus, tidak boleh maupun boleh dilakukan seseorang atau kelompok dimana aturan tersebut dianggap dapat ditegakkan dan dipantau pelaksanaannya oleh agen atau organisasi tertentu yang memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi pada setiap pelanggar aturan (Ostrom 2006). Struktur dan perilaku (behavior) SDM kehutanan di dalam konteks penelitian ini juga dapat mencakup iklim kerja, motivasi, kepemimpinan, etos kerja, komunikasi interpersonal, kecerdasan emosional, kemampuan manajemen, manajemen sistem informasi, inovasi, penilaian/kompensasi, konsep diri dan budaya organisasi, disiplin kerja, sikap terhadap tugas, pengetahuan administrasi dan supervisi, pengetahuan evaluasi bimbingan dan konseling. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengetahui dan menganalisis kelembagaan dan kebijakan pengembangan SDM Kehutanan dengan mengetahui dan menganalisis struktur dan kinerja SDM Kehutanan saat ini dan kondisi yang diharapkan, terutama yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik, dalam hal ini adalah SDM di bidang perizinan pemanfaatan hutan, pelepasan kawasan hutan, dan pinjam pakai kawasan hutan.

Pendalaman tentang kondisi SDM secara individu maupun kolektif di dalam organisasi yang diinginkan dari sisi eksternal lainnya adalah tentang organisasi pembelajar/learning organization (Senge 1990) yaitu bahwa organisasi

15

Modifikasi teori SSBP dimungkinkan pada tingkat teknis urutan penulisan yang dimulai dari pendalaman tentang perilaku, kemudian kinerja, struktur dan situasi karena sifat penelitian kualitatif yang deduktif induktif atau sebaliknya (Irawan 2007)

pembelajar memiliki lima karakteristik utama yang dikenal dengan lima disiplin yang diharapkan dapat mewujudkan organisasi bisnis menjadi organisasi yang inovatif, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning,

dan system thinking (Gambar 15). Personal mastery diartikan sebagai dorongan untuk terus menerus belajar bagaimana menciptakan masa depan yang hanya bisa terwujud bila individu-individu di dalam organisasi mau dan mampu untuk terus belajar dan membuat dirinya sebagai master/ahli di bidang ilmunya.

System Thinking

Shared vision Personal Mastery

Mental Models Team Learning

Gambar 15. Komponen-Komponen Organisasi Pembelajar (Senge, 1990)

Dari berbagai penelitian menguatkan teori kelembagaan bahwa struktur bersama-sama dengan situasi, keduanya mempengaruhi perilaku SDM yang selanjutnya berpengaruh pada kinerja SDM, sebagaimana diteorikan oleh Schmid (2004) dengan analisis SSBP sebagaimana diuraikan di awal. Selanjutnya struktur dan perilaku (behavior) di dalam konteks pengembangan SDM aparatur kehutanan juga mencakup iklim kerja, motivasi, kepemimpinan, etos kerja, komunikasi interpersonal, kecerdasan emosional, kemampuan manajemen, manajemen system informasi, inovasi, penilaian/kompensasi, konsep diri dan budaya organisasi, disiplin kerja, sikap terhadap tugas, pengetahuan administrasi dan supervisi, pengetahuan evaluasi bimbingan dan konseling yang secara kuantitatif dibuktikan berpengaruh positif pada kinerja SDM.

Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengetahui dan menganalisis kelembagaan dan kebijakan pengembangan SDM Kehutanan dengan mengetahui dan menganalisis struktur dan kinerja SDM Kehutanan saat ini dan kondisi yang diharapkan, terutama yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik (dalam hal ini adalah SDM di bidang perizinan pemanfaatan hutan, pelepasan kawasan hutan, dan pinjam pakai kawasan hutan).

Metode Penelitian

Untuk mendalami struktur, pada penelitian ini digunakan pendekatan analisis isi (content analysis) peraturan perundangan yang berhubungan dengan kebijakan pengembangan SDM aparatur kehutanan dan konsep organisasi pembelajar untuk mendalami nilai-nilai dan budaya kognitif para pemangku kepentingan dalam

kebijakan pengembangan SDM Kehutanan. Pendalaman tentang organisasi pembelajar/learning organization (Senge 1990) menjelaskan bahwa organisasi pembelajar memiliki lima karakteristik utama yang dikenal dengan lima disiplin yang diharapkan dapat mewujudkan organisasi bisnis menjadi organisasi yang inovatif, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning,

dan system thinking. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan metode survey menggunakan kuesioner terstruktur (Lampiran 8), sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan observasi mendalam, wawancara dengan narasumber kunci dengan teknik snowball, studi dokumen, dan kemudian membangun analisis dan sintesis atas berbagai data dan informasi yang didapat. Teknik pengumpulan data dengan snowball diawali dengan menemukenali narasumber kunci dan kemudian mengembangkan wawancara mengikuti masukan narasumber kunci tersebut. Pendalaman dianggap selesai apabila telah terjadi kejenuhan informasi dari narasumber kunci yang ditandai dengan pengulangan/repetisi informasi yang sama pada saat dilakukan wawancara lanjutan pada narasumber kunci yang sama (divalidasi).

Beberapa peraturan perundangan yang terkait langsung maupun tidak laangsung dengan kebijakan pengembangan SDM aparatur kehutanan yang relevan yang ditelaah di dalam penelitian ini (analisis isi) antara lain adalah:

1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian 2. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

3. Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan UU Pokok-Pokok Kepegawaian

4. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

5. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K).

6. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) 7. Peraturan Pemerintah nomor 96 tahun 2012 tentang Pelayanan Publik

8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2010 tentang Litbang dan Diklat Kehutanan

9. Peraturan pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS

10.Peraturan Pemerintah No 97 th 2014 tentang Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu

11.Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

12.Permenpan 38 th 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik

13.Peraturan Menteri Kehutanan No. 7 tahun 2004 tentang empat kriteria utama SDM aparatur kehutanan

14.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 76 tahun 2006 tentang Pola Karier PNS Departemen Kehutanan

15.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 2 tahun 2009 tentang Pola Diklat PNS Departemen Kehutanan

16.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 40 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan

17.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 33 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 40 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan

18.Permen LH dan Kehutanan Nomor 18 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian LH dan Kehutanan

19.Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 01 tahun 2007 tentang Sembilan nilai dasar rimbawan: jujur, tanggugjawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan professional.

Hasil dan Pembahasan

Organisasi dan individu pembelajar bagi SDM kehutanan

Tabel 24 menyajikan informasi tentang kapasitas kelembagaan di beberapa unit organisasi di Kementerian Kehutanan dan Propinsi Kalimantan Timur berdasarkan konsep organisasi pembelajar (Senge 1990). Personal mastery

diartikan sebagai dorongan untuk terus menerus belajar bagaimana menciptakan masa depan yang hanya bisa terwujud bila individu-individu di dalam organisasi mau dan mampu untuk terus belajar dan membuat dirinya sebagai master/ahli di bidang ilmunya (Senge 1990). Dari keenam unit organisasi yang diteliti (Ditjen Planologi, Ditjen BUK, Dishut Kaltim, Distamen Kaltim, BPPHP Samarinda, dan BPKH Samarinda) diperoleh data bahwa keenamnya memperoleh nilai di atas rata-rata (skala 0–10) sehingga dapat dikatakan bahwa baik secara organisasi maupun individu yang berkohesi di dalam organisasi tersebut tampak berupaya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai kompleksitas tuntutan pekerjaan yang dihadapi. Hal ini tentu sejalan dengan tuntutan dan perkembangan yang ada bahwa sebuah organisasi perlu terus menerus meningkatkan kapabilitasnya. Menarik diperhatikan adalah bahwa organisasi di tingkat pusat (Kementerian Kehutanan) bersama UPT-UPT-nya di daerah memiliki nilai

personal mastery lebih tinggi dibandingkan dengan dinas kehutanan dan dinas pertambangan dan energi di Propinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, keragaman entitas dan tingkat pengetahuan para pihak yang dilayani dan tuntutan penguasaan teknis pekerjaan membuat unit organisasi pusat lebih terdorong meningkatkan kemampuan diri. Hal ini berbeda dengan di daerah dimana lingkungan kerja yang dihadapi secara dominan hanya terlingkupi di daerah propinsi dengan keberagaman para pihak yang cenderung tidak terlalu heterogen. Faktor lain adalah dorongan internal SDM di daerah yang tidak terlalu kuat dibandingkan institusi pusat dalam rangka meningkatkan personal mastery.

Tabel 24. Kapasitas Kelembagaan di Beberapa Unit Organisasi Kementerian Kehutanan dan Provinsi Kalimantan Timur Berdasarkan Konsep Organisasi Pembelajar (Senge 1990)

Unit Personal mastery Mental model System thinking Team pembelajar Visi bersam Struktur yang mendukung Budaya organisasi pembelajar Kepemimpinan yg melayani Ditjen Planologi 6,082 6,044 6,202 4,902 5,342 5,454 4,036 5,092 Ditjen BUK 6,384 6,434 6,328 5,767 5,006 5,378 4,452 5,998 Dishut Kaltim 5,788 5,946 5,984 4,592 4,840 5,168 4,146 4,348 Distamen Kaltim 5,596 5,690 5,584 4,216 4,692 4,856 4,346 4,430 BPPHP Smd 6,030 6,176 5,834 4,486 4,962 5,126 4,434 4,612 BPKH Smd 5,942 5,606 5,660 4,396 4,636 4,698 4,094 4,208 Catatan: Rentang 0 - 10

Senge (1990) mendefinisikan mental models sebagai proses mental yang harus dimiliki bersama oleh seluruh anggota organisasi dengan belajar nilai-nilai yang sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan organisasi dan membuang nilai-nilai yang tidak relevan serta menghambat. Keenam unit organisasi yang diteliti memiliki nilai terkait mental models hanya sedikit di atas rata-rata. Di Kementerian Kehutanan, nilai-nilai yang dibangun bersifat top down dan dilegalkan dengan surat edaran Menteri Kehutanan. Nilai-nilai dimaksud dikenal dengan sembilan nilai dasar rimbawan, yaitu jujur, tanggung jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan professional. Kementerian Kehutanan menerbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 01 tahun 2007 terkait dengan sembilan nilai dasar rimbawan. Sementara nilai-nilai organisasi sebenarnya adalah kohesi dari nilai-nilai individu yang saling berinteraksi di dalam organisasi. Nilai-nilai organisasi terbangun melalui proses yang cukup pandang dalam rangka membangun kesepakatan nilai-nilai yang diyakini bersama. Menggunakan cara berpikir kelembagaan dimana struktur merupakan kombinasi dari aturan main, norma/nilai-nilai, dan keyakinan/belief, lemahnya nilai-nilai

alami yang dimiliki unit organisasi berpengaruh pada kokohnya pondasi ‗roh kelembagaan‘ yang dimiliki organisasi tersebut (Kartodihardjo 2010).

Shared vision dimaknai sebagai visi bersama yang menjadi arahan dan sekaligus memicu semangat dan komitmen untuk selalu belajar bersama, yang membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan antara visi pribadi dengan visi organisasi karena visi ini bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh pimpinan organisasi secara normatif (Senge 1990). Pada aspek ini memang perlu digali dan diteliti lebih mendalam lagi apakah visi unit organisasi memang terbangun dari kolektivitas visi pribadi yang disepakati bersama atau merupakan sesuai yang

given‘ dan bersifat legal formal dan normatif. Beberapa nilai-nilai yang diberikan dan di-SK-kan di Kementerian Kehutanan adalah sembilan nilai dasar rimbawan yang mencakup jujur, tanggung jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan professional16. Pada bagian lain Kementerian Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor 7 tahun 2004 yang mencakup

16

Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 01 tahun 2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan

empat kriteria utama SDM kehutanan: integritas moral, profesionalisme,

leadership, dan team work17. Dari hasil penelitian, keseluruhan nilai unit organisasi pusat dan daerah semua bernilai kurang dari 2,50 (kecuali ditjen BUK 2,503) dari rentang skala 0–5, dapat dimaknai bahwa nilai-nilai visi bersama yang diturunkan secara formal kurang/tidak terimplementasi dengan baik dan tidak dimaknai sebagai visi bersama di tingkat SDM di bawahnya (dalam hal ini SDM perijinan kehutanan).

Team learning adalah membangun pengetahuan dari pembelajaran setiap individu yang kemudian dibagi kepada anggota organisasi lainnya sehingga menjadi pengetahuan tim dimana para anggota kelompok memiliki rasa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya dalam bertindak sesuai dengan rencana bersama (Senge 1990). Kemampuan untuk bertindak merupakan prasyarat dalam menciptakan nilai tambah bagi organisasi sehingga dibutuhkan kemampuan berkomunikasi dan berkoordinasi secara benar dan tepat serta kemampuan untuk membangun ikatan emosional, semangat untuk berdialog, keterampilan bekerjasama secara tim, kemampuan belajar dan beradaptasi, serta upaya untuk meningkatkan partisipasi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan fakta bahwa unit-unit organisasi di tingkat pusat dan UPT-UPT-nya memiliki nilai team learning yang lebih tinggi dibanding unit penelitian di tingkat propinsi. Hal ini memberikan makna bahwa kesadaran dan motivasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pembelajaran di tingkat pusat cenderung meningkat mengimbangi beban tugas dan variasi permasalahan yang dihadapi untuk diselesaikan. Makna lainnya adalah bahwa kompleksitas urusan di daerah lebih sederhana dibanding di tingkat pusat sehingga membutuhkan team learning yang lebih ringkas. Kondisi ini relevan dengan penelitian UNDP (2014) bahwa indeks tata kelola kepemerintahan (good forestry governance) di bidang kehutanan di pusat cenderung lebih baik dibanding di daerah (propinsi dan kabupaten/kota).

System thinking mempersyaratkan adanya keterkaitan dan saling ketergantungan diantara seluruh fungsi-fungsi organisasi supaya semua elemen organisasi bekerja dalam satu kesatuan dalam suatu sistem dan dibutuhkan keterampilan berpikir terintegrasi dan tuntas, berpikir komprehensif, serta membangun organisasi yang adaptif untuk membangun disiplin belajar sistemik. Dengan kata lain, system thinking mencerminkan tingkat koordinasi dan integrasi bagian-bagian di dalam unit organisasi untuk berfikir secara sistem keseluruhan, bukan tersegmentasi dan mengedepankan ego sektoralnya. Data penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan komponen lainnya di dalam organisasi pembelajar, unit-unit organisasi di tingkat pusat dan daerah memeroleh skor sistem thinking yang lebih baik. Hal ini bermakna bahwa di dalam pelayanan perijinan kehutanan di tingkat pusat dan daerah, SDM kehutanan terbiasa bekerja terkoneksi dan memiliki keterkaitan satu sama lain yang saling mempengaruhi sebagaimana mekanisme pemberian perijinan yang memang melibatkan berbagai bagian di kementerian maupun di tingkat propinsi. SOP di dalam peraturan perizinan mendorong SDM untuk berkoordinasi dan menjaga ketergantungan dimulai proses seleksi dokumen persyaratan, analisis, dan pengambilan keputusan atas perizinan yang diberikan.

17

Merupakan empat kriteria yang dipersyaratkan bagi PNS Kementerian kehutanan untuk melanjutkan tugas belajar pada jenjang S2 dan S3.

Gambar 16. Kapasitas Kelembagaan SDM Aparatur Kehutanan Berdasarkan Konsep Organisasi Pembelajar

Dari Gambar 16 diketahui bahwa personal mastery, mental models, system thinking bernilai relatif tinggi menunjukkan bahwa pengembangan SDM Kehutanan lebih didominasi pengembangan yang dilakukan secara mandiri oleh individu, misalnya melakukan aplikasi beasiswa kepada sponsor dalam rangka peningkatan pendidikan formal dan kegiatan training peningkatan kompetensi yang dilakukan secara mandiri. Pada sisi lain, komponen-komponen organisasi pembelajar yaitu: tim pembelajar, struktur yang mendukung, budaya pembelajar adalah merupakan instrumen kolektif dan hasil penelitian menunjukkan skor yang rendah. Hal ini terjadi karena kesemuanya terkait dengan struktur yang tertutup, terbatas dan rendahnya kohesi sosial di antara para pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengembangan SDM aparatur kehutanan di tingkat pusat. Hasil selengkapnya tentang penilaian variabel dan indikator untuk organisasi pembelajar pada SDM aparatur kehutanan disajikan pada Lampiran 9.

Sintesis penelitian yang disajikan adalah bahwa terdapat kecenderungan rendahnya aspek-aspek personal mastery, mental model, system thinking, team pembelajar, shared vision, struktur yang mendukung, budaya organisasi pembelajar, dan kepemimpinan yang melayani pada SDM Kehutanan yang bekerja di unit-unit yang diteliti baik di tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini sejalan dengan penilaian kinerja SDM tersebut menurut pihak eksternal (asosiasi kehutanan, akademisi kehutanan, praktisi kehutanan) dan menurut pengguna layanan perizinan.

Di sisi lain, pada pencermatan atas peraturan perundangan yang mempengaruhi kinerja pegawai pada pelayanan publik, sebenarnya di tingkat nasional telah memberikan batasan-batasan yang memungkinkan pekerjaan pelayanan publik dilakukan dengan baik.

Analisis Isi (Content Analysis) Regulasi

Beberapa temuan berdasarkan analisis isi peraturan antara lain adalah bahwa di tingkat Undang-Undang, fungsi-fungsi manajerial yang tercantum di dalam pasal-pasal terkait pokok-pokok kepegawaian dan ASN (UU No. 8 tahun 1974, UU No. 43 tahun 1999 dan UU No. 5 tahun 2014) pada dasarnya sudah semakin disempurnakan. Pada perencanaan SDM aparatur semakin detail sasaran yang hendak dicapai yaitu SDM aparatur yang maju dan sejahtera dengan mengedepankan asas kepastian hukum melalui pola karier dan pola diklat yang jelas dan transparan serta akuntabel, profesionalitas, keterpaduan, netralitas, pendelegasian, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, keterbukaan, non- diskriminasi, keadilan, dan kesetaraan. Hal ini tertulis jelas di tingkat UU, namun pada penelusuran berikutnya tidak terlalu dimunculkan di dalam PP, Permenpan maupun Permen LH dan Kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa pembahasan dan visi yang jauh ke depan tentang SDM aparatur masih dalam tataran wacana dan tidak mengandung aturan-aturan detail yang jelas dan implementatif di tingkat pelaksana. Pada indikator pengorganisasian, pemeliharaan dan pembinaan, telah terjadi pemisahan tugas dan fungsi yang tercermin di dalam lembaga-lembaga : KemenPAN dan RB, LAN, BKN, dan lembaga baru KASN. Fungsi integrasi, koordinasi, dan pengawasan akan berfungsinya tugas masing-masing lembaga menjadi hal kritis yang perlu mendapatkan pengawasan secara melekat dari berbagai komponen seperti masyarakat, LSM/NGO, akademisi, dan praktisi sebagai pengguna jasa pelayanan publik lembaga-lembaga tersebut.

Pada indikator pengarahan organisasi, prinsip-prinsip SDM aparatur di tingkat UU juga disebutkan dengan jelas mencakup nilai-nilai dasar, kode etik, komitmen, integritas moral, tanggung jawab pada pelayanan publik, kompetensi, kualifikasi akademik, jaminan perlindungan hukum, dan profesionalitas jabatan. Namun hal ini juga mengandung konsekuensi perlunya pendetailan pada level PP dan peraturan menteri. Tantangan lainnya adalah apabila terjadi penerjemahan yang cukup di tingkat operasional di kementerian, nilai-nilai yang dikembangkan

bersifat ‗terlembaga formal‘ yang dibakukan dengan aturan formal dan kurang

mencerminkan nilai-nilai riil yang berlaku dan tercermin pada keseharian pegawai di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Meskipun hal ini di tingkat peraturan menteri sudah mulai diberikan panduan bagaimana membangun budaya kerja, misalnya dengan Permenpan 39 tahun 2012 tentang pedoman pengembangan budaya kerja. Di Kementerian LH dan Kehutanan pada tahun 2015 sedang melakukan survey nilai-nilai budaya kerja tersebut.

Temuan lainnya adalah terjadinya ketidaksinkronan dalam penterjemahan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di level kementerian. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya peraturan internal kementerian yang mendukung UU 23 tahun 1999, yang mengharuskan setiap pegawai untuk mengerjakan tugas dan fungsinya secara bersih dan bebas KKN. Dalam penelitian juga tidak ditemukan konvensi (aturan tak tertulis yang terimplementasi dalam keseharian kegiatan pegawai) tentang nilai-nilai/norma yang tepat di lingkup kementerian kehutanan. Yang muncul adalah surat edaran tentang nilai dasar rimbawan, dimana terjadi formalisasi nilai-nilai yang lebih bersifat top down, bukan nilai-nilai nyata yang berkembang di antara para pegawai/aparatur

kehutanan. Temuan lain adalah bahwa variabel-variabel seperti iklim kerja, motivasi, kepemimpinan, etos kerja, komunikasi interpersonal, kecerdasan emosional, kemampuan manajemen, manajemen sistem informasi, inovasi, penilaian/kompensasi, konsep diri dan budaya organisasi, disiplin kerja, sikap terhadap tugas, pengetahuan administrasi dan supervisi, pengetahuan evaluasi bimbingan dan konseling tidak terdukung secara eksplisit pada berbagai peraturan-peraturan pendukung perencanaan dan pengembangan SDM aparatur kehutanan.

Di tingkat PP, disebutkan di dalam PP Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS bahwa penilaian mencakup sasaran kerja dan perilaku kerja PNS yang mencakup aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, dan kepemimpinan (ps 12 sd 14). Di Kementerian Kehutanan, peraturan yang terkait adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. 7 tahun 2004 tentang empat kriteria utama SDM aparatur kehutanan (profesionalisme, integritas moral, kepemimpinan, dan kemampuan kerjasama tim) dan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 01 tahun 2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan: jujur, tanggugjawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan professional. Di dalam implementasinya, pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh bagian internal dari organisasi sehingga suhit didapatkan hasil yang optimal. Berdasarkan hasil wawancara, hal ini ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya apabila unsur pengawasan dilakukan oleh lembaga independen sebagai mitra kementerian.

Terkait dengan pengorganisasian SDM aparatur di Kementerian LH dan Kehutanan, PP Nomor 16 tahun 2015 tentang Kementerian KH dan Kehutanan Ps 7 ayat c menyebutkan bahwa sekretariat jenderal melakukan pembinaan dan dukungan administrasi kepegawaian, sedangkan pengembangan SDM difokuskan di BP2SDM, mencakup pengembangan penyuluhan dan SDM aparatur dan masyarakat. Konstruksi regulasi ini tidak terterjemahkan dengan baik pada peraturan menteri di bawahnya yaitu Permen LH dan Kehutanan Nomor 18 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian LH dan Kehutanan pada pasal 9 sd pasal 27 yang mengatur tentang biro kepegawaian yang tetap memiliki bagian perencanaan dan pengembangan pegawai, dimana hal ini dapat menimbulkan tumpang tinding pembagian tugas dan fungsi dengan Pusat