• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana

VII. POTENSI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR JAWA BARAT

7.3.2. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana

Hasil diskursus dengan para pakar menetapkan bahwa bencana alam yang berpotensi terjadi di Kabupaten Indramayu terdiri dari sepuluh sub elemen yaitu Gempa bumi, tsunami, abrasi, gelombang badai pasang, angin kencang/puting beliung, gerakan tanah jenis longsor/keruntuhan (land slide), banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi. Walaupun dari sudut pandang geologi, pesisir Indramayu diyakini tidak akan mengalami Gempa bumi dangkal yang akan mengakibatkan dampak kolateral tsunami, studi potensi bencana alam dalam penelitian ini tetap akan memasukan Gempa bumi dan tsunami sebagai sub elemen potensi bencana alam. Analisis ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 40.

Gambar 40. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu

Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu dapat di lihat pada Gambar 41. Gelombang badai pasang menempati posisi pada sektor IV dan level 5, yang menunjukan mempunyai potensi yang sangat besar terjadi di Kabupaten Indramayu dengan tingkat ketergantungan terhadap potensi lainnya sangat rendah. Semakin kecil level sub elemen bencana, akan semakin kecil dampak risiko bencananya. Adapun matriks driver power-dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Gambar 42. Kondisi tersebut disebabkan kejadian gelombang

badai pasang tidak terlalu dipengaruhi oleh sub elemen lainnya, melainkan karena posisi pantai di Kabupaten Indramayu sangat landai sehingga sangat rentan terhadap bahaya gelombang badai pasang. Selain itu gelombang badai pasang dipengaruhi oleh adanya pergantian musim sehingga cukup memberikan pengaruh terhadap pergerakan massa air seperti arus.

Gambar 41. Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu

Gambar 42. Matriks Driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu

Pada musim barat pergerakan arus umumnya menuju ke arah timur atau arus timur dengan kecepatan berkisar antara 3 -14 mil per hari. Musim timur arus bergerak sebaliknya yaitu menuju arah barat dengan kecepatan berkisar antara 1 - 13 mil per hari. Musim peralihan I (bulan Maret sampai bulan Mei) dan peralihan II (bulan September sampai bulan November) kecepatan arus laut masing-masing adalah 1 mil per jam dan 6 mil per jam (Latief, 2008).

Berdasarkan analisis ISM yang telah dilakukan, akhirnya dapat ditentukan bahwa dari sepuluh jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu, yang berpotensi paling merusak adalah gelombang badai pasang sebagai elemen kunci. Selanjutnya diikuti oleh banjir dan abrasi, serta jenis bencana lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 43.

Gambar 43. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten. Indramayu

7.3.3. Kabupaten Ciamis

7.3.3.1. Angin Kencang/Puting Beliung

Puradimadja (2007) menyebutkan bahwa musim Timur yang berlangsung pada periode Juni sampai September sangat berpotensi membangkitkan angin kencang/puting beliung dengan kecepatan maksimum yang merusak. Sebagaimana yang terjadi pada musim timur pada hari Rabu 28 September 2007 pukul 16.30 telah menerjang Ciamis yang mengakibatkan puluhan rumah rusak

Level 1

Level 5 Level 4

GELOMBANG BADAI PASANG BANJIR PUTING BELIUNG ABRASI INTRUSI AIR LAUT GERAKAN TANAH JENIS AMBLESAN EROSI AKRESI Level 2 Level 3 Elemen Kunci GEMPABUMI TSUNAMI

dan puluhan pohon besar tumbang. Angin tersebut terus menuju Tasikmalaya dan merusak puluhan rumah lainnya (Ridha, 2007).

7.3.3.2. Gelombang Badai Pasang

Gelombang merupakan faktor fisik dominan di perairan Pantai Selatan (pansela) Jawa Barat, karena sebagian besar perairan ini mempunyai tinggi gelombang cukup besar di perairan lepas pantai yaitu antara 2-5 m, sehingga menghambat budidaya perikanan dan berpotensi menimbulkan bahaya bagi wisata pesisir. Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari jenis gelombang swell (gelombang rambat), wind waves

(gelombang angin) dan gelombang tinggi yang terjadi akibat super posisi swell dan wind wave (Latief, 2008). Selain akibat superposisi tersebut, fenomena gelombang badai pasang dapat terjadi sewaktu-waktu pada lokasi tertentu karena badai atau tiupan angin yang sangat kencang pada saat pasang di lautan (fenomena meteorologi) sering terjadi melanda pansela Ciamis (Hadi, 2008).

7.3.3.3. Abrasi

Panjang garis pantai (shoreline) pesisir selatan provinsi Jawa Barat membentang dari kabupaten Ciamis sampai dengan kabupaten Sukabumi dengan panjang pantai sekitar 355 km. Pengikisan gisik atau abrasi yang telah berlangsung selama 15 tahun terakhir telah meningkat antara kurun waktu 2001 sekitar 30,05 ha/tahun dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 35,35 ha/tahun Pengikisan pantai ini dijumpai di bagian Barat Pangandaran sepanjang 1 km (Puradimadja, 2007).

7.3.3.4. Erosi

Erosi yang dijumpai di lokasi penelitian adalah erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang mengerosi material hasil pelapukan. Jenis erosi lainnya adalah erosi sungai umumnya terjadi pada sungai-sungai besar yang mengalir di daerah timur Pesisir Selatan Jawa Barat. Erosi ini umumnya secara alami terjadi pada sungai dengan morfologi tua dan salah satu cirinya adalah erosi mendatar (melebar) serta terjadi proses pendangkalan. Erosi yang terjadi mengancam tebing sungai dan tanggul-tanggul yang dibuat, terutama pada alur sungai yang membelok (kelokan sungai). Selain secara alami, aktivitas manusia dapat pula mempercepat proses erosi tersebut. Aktivitas yang dapat mempercepat proses ini adalah pertambangan/penggalian bahan

bangunan (pasir, kerikil, batukali). Aktivitas ini mempercepat arus sungai dan proses sedimentasi dengan cepat sehingga menambah laju erosi. Dalam beberapa kasus aktivitas ini membahayakan keberadaan infrastruktur yang berada di sungai seperti jembatan dan tanggul-tanggul.

7.3.3.5. Gerakan Tanah

Salah satu jenis gerakan tanah yaitu longsor/keruntuhan tanah (land slide) kerap terjadi di Ciamis yang merupakan daerah dengan pegunungan terjal. Keruntuhan tanah ini sering terjadi akibat faktor alam (seperti curah hujan yang tinggi) dan kegiatan manusia yang bersifat destruktif. Ada beberapa faktor penyebab tingginya potensi keruntuhan tanah di Jawa Barat (Puradimaja, 2007):

• Banyaknya batuan dari endapan gunung api seperti lava dengan tanah penutup yang tebal dan subur dimana air sering menumpang di atasnya, tanah jenis ini terdapat di Ciamis Selatan.

• Antara September-Maret/April ditandai oleh curah hujan yang relatif tinggi yakni rata-rata 220-650 mm/bulan dan hujan harian pernah mencapai 92 mm/hari. Kejadian tanah runtuh umumnya berlangsung pada musim hujan dan puncaknya pada Oktober-Januari yang dimulai dengan hujan lebih dari dua hari berturut-turut dengan curah hujan harian berkisar antara 46-76 mm;

• Tata lahan di lereng atas, banyak ditanami jenis tanaman berakar kurang kuat seperti lahan basah (sawah) dan perladangan. Hal ini menyebabkan tanah menjadi jenuh air sehingga sangat potensial terjadinya keruntuhan.

7.3.3.6. Gempa bumi

Perihal gempa bumi telah dijelaskan terdahulu merujuk kepada Hilman (2008). Indonesia dan sekitarnya merupakan daerah yang memiliki konvergensi lempeng yang sangat rumit, dimana terdiri dari subduksi, collision, back-arc thrusting, back-arc and opening faults. Berdasarkan kondisi tersebut apabila ditinjau dari sudut pandang geofisik, hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu daerah yang paling aktif di dunia (Latief, 2008), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 38.

Tidak kurang dari 460 gempa bumi dengan magnitudo M > 4.0 terjadi setiap tahunnya (Hilman, 2008). Banyak diantara gempa bumi besar tersebut yang menimbulkan kerusakan serta jumlah korban sangat besar (Latief, 2008). Banyak diantara gempa bumi dangkal yang besar yang terjadi di bawah laut membangkitkan tsunami berkekuatan besar. Dalam Gambar 44, tampak

bahwa Indonesia berada pada kawasan rawan gempa bumi, hal ini ditunjukkan dengan titik-titik merah sebagai catatan kejadian gempa bumi dengan kedalaman yang relatif dangkal, selain itu juga kawasan Indonesia dipenuhi oleh titik hijau untuk gempa bumi kedalaman sedang serta titik biru untuk gempa bumi dengan sumber gempa pada kedalaman yang relatif dalam.

Gambar 44. Tektonik lempeng Asia Tenggara termasuk Indonesia Sumber : Hall,1997 dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007.

Gambar 45. Plot Gempa bumi yang terjadi di Indonesia dari 1960-2000 Sumber : Triyoso dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007

Dari sudut pandang geologi, Indonesia ditempatkan sebagai kawasan yang rawan bencana alam yang disebabkan oleh pergerakan dari lempeng-lempeng bumi yang dikenal sebagai subduksi (subduction). Pergerakan ini diantaranya ada yang menujam dan dapat membangkitkan aktivitas vulkanik sehingga secara keseluruhan dapat menyebabkan rangkaian bencana alam gempa bumi, gunung merapi bahkan tsunami (Puradimaja, 2007).

Gambar 46. Proses penunjaman lempeng (subduction) Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007

7.3.3.7. Tsunami

Tsunami adalah gelombang laut dengan periode panjang berupa gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Gangguan impulsif itu bisa berupa Gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsor/keruntuhan (land slide) di dasar laut. Bencana tsunami yang terjadi di Ciamis mengakibatkan terjadinya kerusakan besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Jenis sarana dan tingkat kerusakan di Ciamis akibat tsunami

No. Jenis sarana Tingkat kerusakan Keterangan Ringan Berat/hancur

1. Rumah 703 703

2. Sekolah 1 2

3. Hotel/penginapan - 346

4. Perahu - 229 unit

5. Alat tangkap ikan - 947

6. Jalan 8.500 m2 11.700 m2

7. Jembatan 1 unit 5 unit

8. Sarana ibadah 3 12 9. Puskemas - 1 10. Kantor pemerintah - 41 11. Sawah - 110 ha Hancur 12. Kebun - 27 ha Hancur 13. Pantai wisata Pangandaran - Rusak berat

Gambar 47. Pembangkitan tsunami oleh Gempa bumi tektonik dasar laut Sumber : Latief (2008) Pusat Kajian Tsunami ITB

Gambar 48. Zona pembangkitan tsunami berdasarkan aktivitas seismik Sumber : Latief (2008) Pusat Kajian Tsunami ITB

7.3.3.8. Banjir

Di daerah barat pesisir Selatan Jawa Barat daerah banjir hanya dijumpai disekitar sungai-sungai utama dan terjadi pada saat musim hujan. Kondisi yang terjadi adalah debit air sungai melebihi volume maksimum kapasitas alur sungai. Biasanya banjir yang terjadi tidak berlangsung lama karena air cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah dan laut. Hal yang harus diwaspadai adalah adanya banjir bandang akibat perubahan lahan di daerah hulu. berdasarkan peta prakiraan daerah potensi rawan banjir November-Desember, untuk wilayah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007, yang terbilang tinggi tingkat potensi banjirnya adalah daerah Bogor dan Ciamis. Memasuki Desember mendatang, daerah potensi rawan banjir yang termasuk tingkat potensi tinggi antara lain

Ciamis dan Indramayu. Besarnya sedimentasi pada aliran sungai utama mengakibatkan pendangkalan di daerah muara. Akibatnya semua aliran pada anak sungai yang menginduk pada sungai utama tersebut ikut tertahan dan melimpah ke daerah sekitarnya (Puradimaja, 2007).

7.3.3.9. Akresi

Perihal akresi telah dijelaskan terdahulu merujuk kepada Puradimaja (2007). Majunya garis pantai (shoreline) terjadi akibat pendangkalan di muara sungai, misalnya yang terjadi di Segara Anakan dan Teluk Tangkisan, Ciamis. Pendangkalan ini disebabkan oleh tingginya kandungan material yang tersedimentasi. Material ini terdiri dari endapan aluvial dan aluvial pasiran yang berasal dari hasil erosi di bagian hulu. Selain dari tingginya material sedimentasi, rendahnya gradien sungai serta melemahnya arus sungai di daerah muara mengakibatkan terjadinya banjir sungai. Pendangkalan yang terjadi karena adanya banjir rutin dengan frekuensi yang cukup tinggi menghasilkan endapan limpah banjir setiap tahunnya dan berkembangnya muara sungai yang cukup jauh kearah laut.

7.3.3.10. Intrusi Air Laut

Daerah pesisir Selatan secara umum masih merupakan daerah dengan tingkat kependudukan dan industri yang rendah, kecuali pada beberapa lokasi tertentu. Hal ini mengakibatkan pengambilan air tanah belum seintensif daerah pesisir pantai utara Jawa Barat, sehingga intrusi air laut secara umum relatif belum terjadi. Kualitas air di muara yang bersifat payau merupakan kualitas alami air tanah daerah tersebut, mengingat daerah tersebut merupakan daerah pasang surut dan ketersediaan air tanah sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Luasan pantai di sepanjang pesisir ini yang cenderung sempit, maka penggunaan air tanah di sepanjang pesisir harus benar-benar diperhatikan untuk menghindari fenomena ini terjadi.

7.3.4. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Alam

Dokumen terkait