5.3. Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang
5.3.3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah
khsusus terdapat ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di dalam UU tersebut, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
5.3.3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah
Pesisir
5.3.3.1. Penentuan Kaidah Dasar (Rule Base)
Untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir khususnya di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, dapat dilihat dari tujuh parameter hasil diskursus normative dialogik dengan pakar terkait (Lampiran 2) yang meliputi :
Parameter 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir Parameter 2. Ketersediaan prasara dan sarana pesisir
Parameter 3. Pembangunan industri berbasis wilayah pesisir
Parameter 4. Proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD Parameter 5. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime)
Parameter 6. Program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing
Parameter 7. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana.
Berdasarkan akuisi pengetahuan (knowledge acquisition) pakar tersebut, ketujuh parameter tersebut disarankan dikelompokan kedalam tiga kelompok besar yang memiliki kesamaan yaitu (i) kelompok pertama adalah optimalisasi pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD (Parameter 1, 2, 3, dan 4) (Preuss, 2006), (ii) kelompok kedua adalah peran Pemerintah yang meliputi Rejim penguasaan pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (Marine Protected Area) dan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR (Parameter 5 dan 6) (Tobey and Torell, 2006), (iii) kelompok ketiga adalah pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana (Parameter 7) (Wind dan Kock, 2002). Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman terhadap knowledge yang di transfer oleh pakar dalam KBMS. Selanjutnya berdasarkan diskursus dengan para pakar (2008), tiga kelompok parameter tersebut dengan menggunakan rumus permutasi yaitu penggabungan beberapa objek dari suatu grup dengan memperhatikan urutan. Rumus tersebut yaitu (n r
)
(Wikipedia, 2008), dimana n adalah jumlah kelompok parameter (tiga kelompok parameter) dan r adalah jumlah yang harus dipilih dalam urutan permutasi (dalam hal ini tiga urutan permutasi adalah tinggi, sedang, dan rendah). Berdasarkan hal tersebut maka akan terbentuk 27 urutan permutasi. Namun berdasarkan hasil diskursus dengan pakar, hanya 24 rule base (teknik berbasis kaidah-kaidah) yang sesuai dan memadai untuk menjadi dasar evaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat.5.3.3.2. Aplikasi Metode KBMS dalam Evaluasi Implementasi
Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Provinsi Jawa
Barat
Hasil penjajakan pendapat dengan pakar dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan pesisir di Kabupaten Indramayu seperti pada Gambar 23terlihat bahwa praktisi memberikan penilaian optimalisasi pelaksanaan tata ruang dalam penyediaan prasarana dan sarana berbasis industri pesisir serta proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD ‘sedang’, rejim penguasaan pemerintah di pesisir mengutamakan program pemberdayaan masyarakat ‘sedang’, dan pengembangan sektor pariwisata dengan nilai ‘rendah’.
Gambar 23. Manajemen dialog pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu
Berdasarkan hasil analisis pendapat praktisi melalui Manajemen Dialog dalam KBMS tersebut dapat disimpulkan temuan sebagai berikut:
1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir, ketersediaan prasara dan sarana pesisir, pembangunan industri berbasis wilayah pesisir,
dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’.
Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi yang berkembang terkonsentrasi di wilayah pantura sejak 1970-an telah mengabaikan perencanaan tata ruang wilayah pesisir sehingga mengakibatkan konversi hutan mangrove menjadi kolam tambak dan kegiatan permukiman lainnya serta menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan pesisir pantura. Pencemaran pesisir dan laju
abrasi yang tinggi (nomor dua setelah pesisir NAD) (Setyawan, 2007) serta jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penanganan selama sepuluh tahun terakhir (Prasetya, 2006) menunjukkan kompleksitas tekanan yang terjadi terhadap wilayah pesisir pantura.
2. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime) dan program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing dinilai ‘sedang’.
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang sering mengabaikan kepentingan masyarakat pesisir seperti kasus pengerukan pasir sekitar 3 juta m3 dari Pulau Gosong seluas 20 ha untuk kepentingan pembangunan instalasi kilang minyak Balongan seluas 250 ha hektar dengan mengabaikan kegiatan tradisional kultural masyarakat setempat yang memanfaatkan Pulau Gosong untuk berlabuh dan menangkap ikan termasuk dampak gelombang pasang. Selain itu kompensasi pemerintah yang kurang wajar terhadap masyarakat pesisir seperti program CSR yang secara resmi baru ditandatangani pada tahun 2007 antara Pertamina Unit IV dengan masyarakat wilayah pesisir dengan jumlah yang relatif kecil (Pemerintah Kabupaten Indramayu, 2007). Sesungguhnya CSR dapat dilakukan lebih intensif oleh Pertamina Unit IV Balongan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan aparat pesisir Indramayu yang melibatkan perguruan tinggi lokal (Universitas Wiralodra) dan LSM untuk menjadi pendamping masyarakat. Diharapkan melalui CSR akan terbuka arus informasi dan akses kepada pasar serta sumber pendanaan, sehingga selain akan dapat meningkatan kemampuan ekonomi masyarakat pesisir juga akan meningkatkan kepedulian masyarakat dan aparat terhadap kelestarian ekosistem pesisir Indramayu.
3. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana dinilai ‘rendah’.
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam penanganan pencemaran akibat kebocoran pipa SBM yang dalam sepuluh tahun terakhir sudah terjadi delapan kali pencemaran dan menggenangi pesisir sepanjang 15 km sangat kurang memadai (Uliyah, 2008). Akibatnya mengganggu pengembangan sektor perikanan karena pendapatan nelayan merosot dan semakin terpuruknya sektor pariwisata dengan pantainya yang sebelumnya sudah rusak akibat abrasi. Untuk Kabupaten Ciamis, hasil analisis pendapat pakar
dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir mendapatkan temuan (Gambar 24) sebagai berikut :
Gambar 24. Manajemen dialog pendapat pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis
1. Optimalisasi penataan ruang pesisir, penyediaan prasarana dan sarana pesisir, pembangunan industri berbasis pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’.
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah kurang terintegrasi yang berdampak terhadap kegiatan antarsektor sebagaimana dijelaskan berikut ini (Puradimaja, 2007) :
• Rencana tata ruang daerah belum terintegrasi dengan kawasan pesisir
• Penegakan hukum yang masih lemah dalam mengatasi penyimpangan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
• Kurangnya kuantitas dan kualitas prasarana jalan penghubung ke dan dari
jalur tengah dan utara
• Pelabuhan nusantara di Pelabuhan Ratu sedang masa transisi menuju ke pelabuhan samudra
• Belum terdapat pelabuhan udara yang siap secara operasional
2. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime) dan program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing dinilai ‘sedang’, Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam pengendalian penguasaan atas lahan di Pesisir Ciamis dinilai kurang memadai. Sebagai contoh,
dikuasainya kawasan antara semenanjung cagar alam dengan daratan di belakangnya oleh swasta. Kawasan tersebut merupakan pertemuan antara pantai barat dan pantai timur yang memiliki lansekap indah dan strategis dalam upaya penanggulangan bencana. Pada waktu tsunami melanda pantai Pangandaran, kawasan ini tergenang oleh air ± 2 meter sehingga menyulitkan gerakan penyelamatan diri.
Oleh karena di Ciamis tidak ada perusahaan besar seperti Pertamina di pesisir Indramayu, maka upaya meningkatkan ketahanan ekonomi setiapsektor hendaknya dilakukan dengan sharing kepentingan diantara stakeholder (para pemangku kepentingan) wilayah pesisir. Karena bagaimanapun juga, seluruh manfaat pesisir memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana konsep
bioregion yang bisa mencapai ribuan hingga ratus ribuan hektar, tetapi bisa juga tidak lebih dari luas daerah tangkapan air atau seluas satu provinsi (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).
3. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana dinilai ‘tinggi’.
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah melalui Perda No.1 tahun 2004 tentang Renstra Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pengembangan wilayah. Perencanaan tata ruang telah menekankan kepada jalur selatan, dimana Ciamis sebagai primadona Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi. Secara internal pengembangan sektor kepariwisataan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan secara eksternal diharapkan mampu menjadi sektor utama yang memberikan dampak menyebar pada wilayah sekitarnya demi menciptakan pemerataan wilayah.