• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh untuk Menyerempakkan Masak Buah Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

II. Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh untuk Menyerempakkan Masak Buah Jarak Pagar

Fase akumulasi cadangan makanan tercapai apabila secara morfologi struktur embrio telah terbentuk, yang umumnya ditandai dengan peningkatan bobot kering biji. Sedgley dan Griffin (1989) bahwa pada tanaman yang dipanen bijinya, penyemprotan hormon etephon untuk menyerempakkan pemasakan harus dilakukan setelah biji mencapai fase akumulasi cadangan makan agar perkembangan biji tidak terganggu. Perkembangan buah pada penelitian ini mulai dapat diamati sejak 3 HSA, tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Utomo (2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa embrio mulai terlihat jelas pada biji dan dapat dibedakan dengan endosperm saat 28 HSA. Hal tersebut memberi indikasi bahwa struktur biji sudah mulai terbentuk sempurna. Santoso (2009) menyatakan bahwa biji jarak pagar mulai berkembang 20 HSA.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bobot kering embrio-endosperm mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada saat 40 dan 45 HSA (0.3 g) jika dibandingkan dengan bobot kering embrio-endosperm saat 35 hari setelah antesis (0.1 g) dan 30 hari setelah antesis (0,05 g) (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa masak fisiologis pada benih akan segera tercapai dan juga didukung oleh peningkatan ukuran dan bobot biji. Menurut Mugnisjah (2007) ukuran benih maksimum tercapai sebelum masak fisiologis tercapai dan bobot benih terus meningkat hingga maksimum pada saat masak fisiologis.

Perkembangan ukuran buah dan perubahan pada warna biji pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Utomo (2008). Sampai dengan umur 35 HSA, ukuran buah satu dengan lainnya masih belum seragam dan setelah 40 HSA, ukuran buah sudah relatif seragam. Saat 35 HSA biji masih berwarna putih dengan endocarp yang masih lunak, sedangkan pada 40 HSA biji mulai hitam dan endocarp mulai keras (Gambar 9).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa periode masak buah secara alami (dari hijau tua menjadi kuning) pada saat curah hujan tinggi membutuhkan waktu 5-12 hari (Gambar 12), sedangkan pada saat curah hujan rendah, waktu yang dibutuhkan lebih cepat yaitu 3-6 hari (Gambar 14). Aplikasi etephon mempersingkat periode pemasakan menjadi 3-7 hari (Gambar 12) pada saat curah hujan tinggi dan 3-4 hari (Gambar 14) pada saat curah hujan rendah.

Pemendekan periode tersebut diduga karena laju respirasi yang meningkat akibat dari aplikasi etephon pada buah. Pantastico (1989) menyatakan bahwa ada beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap laju respirasi diantaranya adalah etilen dan suhu. Winarno (2002) menyatakan bahwa perubahan laju respirasi mempengaruhi perubahan fisik dan kimia buah. Hasil penelitian Syska (2006) menunjukkan bahwa penambahan etilen pada pematangan buatan buah pepaya berpengaruh nyata dalam mempercepat laju respirasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyerempakan masak buah yang dilakukan pada curah hujan tinggi (tahap I) menyebabkan pemendekan periode pemasakan, sedangkan apabila dilakukan pada curah hujan rendah (tahap II) pemendekan periode pemasakan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Oleh karena itu penggunaan etephon untuk menyerempakkan masak buah efektif hanya dilakukan pada curah hujan tinggi. Hasil penelitian Santoso (2009) menunjukkan bahwa perkembangan kapsul pada pembuahan yang terjadi di musim kemarau memerlukan waktu yang lebih pendek jika dibandingkan dengan musim penghujan.

Kondisi iklim terutama curah hujan dan suhu menyebabkan perbedaan periode pemasakan buah jarak pagar pada aplikasi tahap I dengan tahap II. Aplikasi tahap I dilakukan saat curah hujan rata-rata lebih tinggi (19.7 mm/hari) dibandingkan pada tahap II (0.5 mm/hari) sedangkan suhu pada tahap I lebih

rendah (26.7oC) dibandingkan tahap II (27.8oC). Kondisi suhu yang tinggi menyebabkan proses respirasi berjalan lebih cepat sehingga proses pematangan buah juga lebih cepat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buah jarak pagar berumur 45 HSA (Gambar 16-19) dan 40 HSA (Gambar 21-24) yang mendapatkan aplikasi etephon mengalami perubahan warna dari hijau menjadi kuning lebih cepat dan serempak jika dibandingkan dengan kontrol (Gambar 15 dan 20). Muchtadi (1992) menyatakan bahwa perubahan warna buah selama proses pematangan dari warna hijau menjadi kuning, orange atau merah disebabkan oleh degradasi klorofil sehingga kandungan klorofil menjadi rendah dan muncul warna dari pigmen lainnya. Utama (2009) menyatakan bahwa pada jaringan hijau, etilen memacu degradasi klorofil, sehingga diduga perubahan warna dari hijau menjadi kuning lebih cepat dan serempak pada penelitian ini karena terjadinya degradasi klorofil akibat pemberian etephon yang mengandung etilen.

Ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi etephon yang diberikan dan semakin muda umur buah yang diaplikasi etephon maka kadar minyak yang dihasilkan semakin rendah. Tahap I, konsentrasi etephon di atas 400 ppm yang diaplikasikan pada buah berumur 40 HSA mempunyai kadar minyak yang rendah (berkisar rata-rata 18.1-21.6%) jika dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi dan waktu aplikasi lainnya (berkisar rata-rata 25.3-30.7%) (Gambar 13). Rendahnya kadar minyak tersebut karena aplikasi etephon dengan konsentrasi tinggi menyebabkan proses pemasakan lebih cepat sedangkan cadangan makanan di dalam benih belum terbentuk sempurna sehingga mempengaruhi kadar minyak yang dihasilkan.

Secara umum terlihat bahwa kadar minyak pada tahap I (rata-rata berkisar 18.2-30.7%) (Gambar 13) lebih rendah dibandingkan dengan kadar minyak pada tahap II (rata-rata berkisar 28.5-33%) (Gambar 25 dan Tabel 16). Hal ini berkaitan dengan kondisi cuaca selama periode masak buah, yaitu curah hujan yang tinggi untuk tahap I dan curah hujan yang rendah untuk tahap II. Hasil penelitian Santoso (2009) menunjukkan bahwa jarak pagar yang tumbuh dan berkembang pada daerah kering akan menghasilkan biji dengan kandungan minyak yang lebih tinggi dibanding biji dari tanaman yang tumbuh di daerah basah.

Konsentrasi etephon yang diaplikasikan pada tahap I maupun tahap II tidak berpengaruh terhadap ukuran buah (diameter dan panjang). Diameter buah pada aplikasi tahap I berkisar rata-rata 2.5-2.6 cm (Tabel 10) sedangkan pada aplikasi tahap II rata-rata 2.7 cm (Gambar 25). Panjang buah pada aplikasi tahap I berkisar rata-rata 2.7-2.8 cm (Tabel 10) sedangkan pada tahap II berkisar rata-rata 2.9-3.0 cm (Gambar 25). Gosh dan Singh (2008) melaporkan bahwa jarak pagar yang dibudidayakan di daerah India rata-rata diameter buahnya 20.12 mm dan panjang buahnya 24.11 mm. Santoso (2009) juga melaporkan bahwa jarak pagar yang dibudidayakan di daerah Nusa Tenggara Barat mempunyai diameter buah 2.9 cm dan panjang buah (kapsul) 3.0 cm untuk ekotipe Bima. Bervariasinya ukuran buah tersebut diduga karena kondisi iklim dan cuaca yang berbeda saat perkembangan buah di masing- masing tempat budidaya.

Konsentrasi etephon yang diaplikasikan pada tahap I dan tahap II juga tidak mempengaruhi ukuran biji (diameter dan panjang). Pada tahap I diameter biji berkisar rata-rata 1.1-1.2 cm (Tabel 10) sedangkan pada tahap II rata-rata 1.2 cm (Gambar 25). Panjang biji pada tahap I berkisar rata-rata 1.8-2.0 cm (Tabel 10) sedangkan pada tahap II rata-rata 2.0 cm (Gambar 25). Panjang biji pada penelitian ini tidak jauh beda dengan panjang biji yang diperoleh pada penelitian Santoso (2009) pada ekotipe Bima yaitu 1.8 cm.

Konsentrasi etephon tidak mempengaruhi mutu benih (daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan bobot kering kecambah normal) yang dihasilkan pada aplikasi tahap II, tetapi pada aplikasi tahap I, konsentrasi etephon berpengaruh nyata pada bobot kering kecambah normal. Perlakuan kontrol mempunyai bobot kering kecambah tertinggi (0.3 g) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 11). Rendahnya bobot kering kecambah pada buah yang mendapatkan aplikasi etephon diduga karena konsentrasi etephon yang digunakan masih tinggi sehingga mempercepat pemasakan buah padahal penimbunan cadangan makanan pada biji belum optimal.

Daya berkecambah (viabilitas) yang dihasilkan pada penelitian ini cukup tinggi yaitu rata-rata di atas 90% (Tabel 11,13,15 dan 17). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Adikarsih dan Hartono (2007) yang melaporkan bahwa buah jarak pagar yang dipanen pada umur 50 hari setelah antesis

menunjukkan nilai viabilitas (86%) tidak berbeda nyata dengan viabilitas pada umur 45 hari setelah antesis yaitu mencapai nilai viabilitas 78,7%. Kecepatan tumbuh yang dihasilkan pada penelitian ini juga lebih tinggi (berkisar rata-rata diatas 11%) jika dibandingkan dengan penelitian Utomo (2008) yang hanya 2.15% pada tingkat pemasakan 42 HSA, 4.51% pada tingkat pemasakan 47 HSA, 7.07% pada tingkat pemasakan 52 HSA, tetapi tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Lestari (2010) yang melaporkan bahwa kecepatan tumbuh dari buah jarak pagar yang berwarna kuning adalah sebesar 11.45%.

Menurut Sutopo (2004) benih yang dipanen sebelum tingkat masak fisiologisnya tercapai mempunyai viabilitas rendah, bahkan tidak bisa berkecambah. Adikarsih dan Hartono (2007) telah membuktikan hal tersebut pada biji jarak pagar klon NTB, dimana buah yang dipanen pada umur 35 hari setelah antesis mempunyai viabilitas dan vigor nol. Diduga hal tersebut terjadi karena benih belum mempunyai cadangan makanan cukup dan pembentukan embrio belum sempurna. Hasil penelitian ini, karena buah yang diaplikasikan dengan etephon dilakukan saat telah mencapai akumulasi cadangan makanan yang optimum, maka tidak menurunkan viabilitas dan vigor dari benih yang dihasilkan.

Waktu aplikasi etephon pada penelitian tahap I maupun tahap II menunjukkan bahwa umumnya aplikasi pada umur 45 HSA memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan umur 40 HSA. Hal tersebut terjadi karena saat umur 45 HSA pengisian biji sudah optimum yang dapat dibuktikan dengan hasil percobaan pengamatan perkembangan biji jarak pagar yang menunjukkan bahwa bobot kering endosperm-embrio pada umur 45 HSA lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur 40 HSA. Selain itu, proses akumulasi cadangan makanan yang terjadi pada buah berumur 45 HSA lebih lama jika dibandingkan dengan buah berumur 40 HSA.

Dokumen terkait