• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Studi Jenis Zat Pengatur Tumbuh untuk Meningkatkan Keserempakan Mekar Bunga Betina.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

I. A Studi Jenis Zat Pengatur Tumbuh untuk Meningkatkan Keserempakan Mekar Bunga Betina.

I.A. Studi Jenis Zat Pengatur Tumbuh untuk Meningkatkan Keserempakan Mekar Bunga Betina.

Analisis ragam (Lampiran 3-11) dan hasil rekapitulasi analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa aplikasi zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh nyata pada jumlah bunga betina, jumlah bunga jantan, periode mekar bunga betina, rasio bunga jantan terhadap bunga betina, rata-rata mekar bunga betina per hari, persentase pembentukan buah dan bobot kering kecambah normal, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan kecepatan tumbuh.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam aplikasi pengaruh zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap beberapa peubah pembungaan dan mutu fisiologi benih

Peubah Zat Pengatur

tumbuh

Koefisien keragaman (%) - Pembungaan:

Jumlah bunga betina ** 4.31

Jumlah bunga jantan ** 4.89

Rasio bunga jantan terhadap bunga betina * 10.15

Periode mekar bunga betina * 2.50

Rata-rata mekar bunga betina/hari * 1.75

Persentase pembentukan buah * 5.16

- Mutu fisiologis benih:

Daya berkecambah tn 2.21

Kecepatan Tumbuh tn 4.41

Bobot Kering Kecambah Normal ** 10.53

Keterangan: tn= berbeda tidak nyata, **= sangat berbeda nyata

Jumlah bunga betina yang terbanyak terdapat pada perlakuan BAP 50 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan BAP lainnya, etephon 10 ppm dan kontrol. Jumlah bunga betina terendah terdapat pada perlakuan etephon 90 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan etephon lainnya dan kontrol. Bunga jantan yang terbanyak terdapat pada perlakuan BAP 30 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan BAP 35 ppm, BAP 40 ppm, BAP 50 ppm, etephon 10 ppm, etephon 30 ppm dan kontrol. Jumlah bunga jantan paling sedikit terdapat pada perlakuan

etephon 70 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan etephon 50 ppm dan etephon 90 ppm. Rasio bunga jantan terhadap bunga betina yang tertinggi terdapat pada perlakuan etephon 30 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan BAP, etephon 10 ppm, etephon 90 ppm dan kontrol. Nilai rasio bunga jantan betina yang terendah terdapat pada perlakuan etephon 70 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan etephon 10 ppm, etephon 50 ppm, etephon 90 ppm dan BAP 45 ppm (Tabel 2).

Periode mekar bunga betina paling lama terdapat pada perlakuan BAP 30 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan BAP, etephon 10 ppm dan etephon 30 ppm. Periode mekar bunga paling pendek terdapat pada perlakuan etephon 90 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan etephon, BAP 35 ppm, BAP 45 ppm dan kontrol. Rata-rata mekar bunga betina per hari tertinggi terdapat pada perlakuan BAP 35 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan BAP, etephon 10 ppm, etephon 30 ppm dan kontrol. Rata-rata mekar bunga betina paling rendah terdapat pada perlakuan etephon 90 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan etephon, BAP 30 ppm, BAP 45 ppm dan kontrol. Persentase pembentukan buah tertinggi terdapat pada perlakuan BAP 35 dan BAP 50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan etephon 70 ppm tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap beberapa peubah pembungaan jarak pagar

Keterangan: Angka-angka pada kolom diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%

∑ Bf: jumlah bunga betina, ∑ Bm: jumlah bunga jantan , RBm:Bf: Rasio bunga jantan terhadap bunga betina , PMB: periode mekar

bunga betina, Bf mekar/hari: bunga betina mekar per hari, PBh: persentase pembentukan buah. Perlakuan (ppm) Rata-rata ∑ Bf ∑ Bm RBm:Bf PMB (hari) Bf mekar/hari PBh (%)

Kontrol 4.5 abcd 127.3 ab 27:1 a 1.8 bcd 2.0 abc 83 ab

BAP 30 8.5 ab 180.8 a 22:1 a 4.5 a 2.1 abc 95 a

BAP 35 7.6 ab 112.6 ab 18:1 ab 2.6 abcd 2.9 a 100 a

BAP 40 8.0 ab 132.0 ab 18:1 ab 3.3 abc 2.3 ab 98 a

BAP 45 6.6 abc 95.7 b 14:1 abc 2.6 abcd 2.2 abc 83 ab

BAP 50 9.2 a 136.0 ab 19:1 ab 3.7 ab 2.6 a 100 a

Etephon 10 6.4 abcd 109.8 ab 10:1 abc 3.2 abcd 1.5 abc 66 ab Etephon 30 3.8 bcd 129.4 ab 32:1 a 2.3 abcd 1.4 abc 75 ab Etephon 50 3.3 cd 74.7 bc 5:1 bc 1.9 bcd 0.9 bc 48 ab Etephon 70 2.5 d 27.3 c 4:1 c 1.7 cd 0.9 bc 33 b Etephon 90 1.0 d 26.2 c 11:1 abc 1.0 d 0.7 c 50 ab

2

Rendahnya bunga betina yang terbentuk pada perlakuan etephon 30, 50, 70 dan 90 ppm menyebabkan biji yang terbentuk juga sedikit sehingga tidak mencukupi untuk dilakukan uji mutu fisiologis benih terhadap perlakuan- perlakuan tersebut. Oleh karena itu, uji daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan bobot kering kecambah normal hanya dilakukan pada kontrol, semua konsentrasi BAP dan etephon konsentrasi 10 ppm (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap mutu fisiologis benih jarak pagar

Keterangan: Angka-angka pada kolom diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%

DB: daya berkecambah, KCT: kecepatan tumbuh, BKKN: bobot kering kecambah

normal

Penyemprotan BAP sampai dengan 50 ppm dan etephon 10 ppm tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan kecepatan tumbuh tetapi berpengaruh nyata pada bobot kering kecambah normal. Bobot kering kecambah normal tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan etephon 10 ppm tetapi berbeda nyata dengan semua perlakuan BAP. Bobot kering kecambah normal pada semua perlakuan BAP tidak berbeda nyata (Tabel 3).

Malai bunga yang diaplikasikan dengan BAP memiliki percabangan yang lebih banyak dibandingkan dengan malai bunga yang diaplikasi dengan etephon maupun kontrol (Gambar 2).

Gambar 2 Malai tanaman jarak pagar: (A) tanpa aplikasi, (B) aplikasi BAP, (C) aplikasi etephon Perlakuan (ppm) DB (%) KCT(%/etmal) BKKN (g) Kontrol 97.3 11.1 0.3 a BAP 30 100.0 10.9 0.2 b BAP 35 98.7 10.7 0.2 b BAP 40 100.0 11.7 0.2 b BAP 45 98.7 10.5 0.2 b BAP 50 100.0 11.1 0.2 b Etephon 10 100.0 10.9 0.3 a

Secara visual kondisi malai setelah 5 hari aplikasi menunjukkan perbedaan antara perlakuan BAP (Gambar 3) dengan perlakuan etephon (Gambar 4). Malai yang diaplikasi dengan BAP telah membentuk percabangan sedangkan malai yang diaplikasi etephon belum membentuk percabangan bahkan pada konsentrasi 70 dan 90 ppm malai menjadi kering. Malai yang diaplikasi dengan BAP (Gambar 5) pada 12 hari setelah aplikasi, secara umum sudah memiliki percabangan yang banyak dan membentuk kuncup sedangkan malai yang diaplikasi etephon memiliki percabangan sedikit dan cabang pada malai yang kering kembali ke pertumbuhan vegetatif (Gambar 6).

Gambar 3 Kondisi malai 5 hari setelah aplikasi BAP pada konsentrasi: (A) 30 ppm, (B) 35 ppm, (C) 40 ppm, (D) 45 ppm, (E) 50 ppm

Gambar 4 Kondisi malai 5 hari setelah aplikasi etephon pada konsentrasi: (A) 10 ppm,(B) 30 ppm, (C) 50 ppm, (D) 70 ppm, (E) 90 ppm

Gambar 5 Kondisi malai 12 hari setelah aplikasi BAP pada konsentrasi: (A) 30 ppm, (B) 35 ppm, (C) 40 ppm, (D) 45 ppm, (E) 50 ppm

Gambar 6 Kondisi malai 12 hari setelah aplikasi etephon pada konsentrasi: (A) 10 ppm,(B) 30 ppm, (C) 50 ppm, (D) 70 ppm, (E) 90 ppm

I.B. Aplikasi BAP untuk Meningkatkan Keserempakan Mekar Bunga

Dokumen terkait