• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi model "sinergi kel omp ok" terkait dengan cara aktor mencapai kepentingan terkait kebijakan perkebunaan kelapa sawit memanfaatkan arena p

SIAK I. Sedangkan penanaman sudah dimulai sejak awal Tahun 2004 hingga saat sekarang masih berlangsung. Dari sekitar 725 Ha Calon lahan tersebut terdapat ±

F. Sumbe r Daya

2. Aplikasi model "sinergi kel omp ok" terkait dengan cara aktor mencapai kepentingan terkait kebijakan perkebunaan kelapa sawit memanfaatkan arena p

olitik, ekonomi, s osial, dan budaya serta menggunakan jaringan di tingkat lokal maupun nasi onal. Sejak kebijakan perkebunan kelapa sawit diterapkan di Riau tahun 1980, kebijakan ini mendapat dukungan sekaligus penolakan. Seperti yang sudah duraikan di bab IV dukungan datang dari misalnya Birokrasi Pusat dan Daerah dan PTPN II. Dukungan PTP.II diberikan melalui jaringan PERKAPEN. Sebagai perusahaan negara , PTPN II mendukung kebijakan ekonomi perkebunan yang ditempuh oleh gubernur. Karena kelomp ok ini mempunyai kepentingan untuk memperoleh pasar dan menambah basis dukungan PERKAPEN di Riau. Institusi ini dapat mengendalikan seluruh karyawan dan buruh PTPN di Riau. Karena PERKAPEN satu-satunya wadah bagi karyawan dan buruh perkebunan yang diakui pemerintah pada waktu itu.

3. Preferensi para aktor dalam memilih kebijakan perkebunan ikut menentukan apalikasi model "sinergi kelomp ok". Pertimbangan keuntungan individual jangka pendek. Nalar ekonomi-p olitik studi ini terletak pada ketika para pemain lokal dan nasi onal berdebat memilih p ola perkebunan kelapa sawit yang akan diterapkan di Riau. Sebelum 1999, perdebatan aktor memang tidak terjadi di tingkat lokal. Karena Pusat lebih dominan, aktor lokal hanya perpanjangan tangan Jakarta. Sesudah 1999, tumbuh keleluasaan aktor l okal dalam membuat pilihan-pilihan kebijakan perkebunan. Bagaimana perubahan politik lokal di Riau mengenai isu kebijakan perkebunan kelapa sawit berlangsung sehingga pada akhirnya para kelomp ok lokal mendapat akses kepembuatan kebijakan perkebunan kelapa sawit diuraikan berikut ini.

Sesuai data yang dapat dihimpun, selama peri ode 1980-1988 ada tiga p ola perkebunan yang diterapkan sebagai kebijakan Pusat di daerah. Keempat kebijakan itu,yaitu; Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN), dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Setelah OTDA di Riau, muncul program K2I dan p ola kemitraan Pemda dan masyarakat. Akan tetapi kebijakan yang pertama diterapkan p ola PIR-Bun di Tandun-Kampar. Kebijakan ini didukung kalangan birokrasi lokal misalnya Disbun, Dishut dan tokoh masyarakat l okal misalnya Wan Ghalib, Baharuddin. Pertimbangan pilihan para aktor l okal ini adalah berupaya mengejar dana APBN dalam mengembangkan perkebunan di satu sisi. Disisi lain para aktor ini mengejar kesempatan untuk membuka akses wilayah yang teris olasi dan mengembangkan p ola PR.

4. Ide dasar mengapa model "sinergi kelomp ok" diterapkan adalah dalam perp olitikan lokal yang pluralistik, se olah- olah para elit l okal bergerak sendiri-sendiri. Pada hal, hasil akhir proses kebijakan perkebunaan kelapa sawit ditentukan oleh keberhasilan membangun koalisi dan negosiasi dengan kelomp okkelomp ok informal lainnya. Inilah yang menjelaskan bagaimana kebijakan ekonomi perkebunan kelapa sawit itu penuh pergulatan dan mengapa kel omp ok birokrasi pemerintahan dapat memenangkan persaingan untuk tetap menerapkan kebijakan perkebunan kelapa sawit di Riau

2. Rekomendasi:

Paling tidak ada empat hal yang menarik dari hasil studi ini yang dapat dijadikan rekomendasi dalam penerapan model. Pertama, perubahan p olitik lokal di Riau mengenai isu kebijakan perkebunan kelapa sawit menghasilkan pergulatan p olitik antar kelomp ok yang berlangsung dalam situasi konflik. Proses ini pada awalnya dipicu oleh penerapan kebijakan perkebunan pusat yang ekspl oitatif di daerah karena adanya desakan ekonomi sebagai akibat meros otnya devisa negara pada masa krisis ekonomi. Dalam kondisi demikian, sejak OTDA muncul persaingan antar kepala daerah, pengusaha perkebunan (besar), dan p olitisi partai memakai berbagai arena memanfaatkan isu perkebunan sebagai isu p olitik lokal. Dalam perjalanannya, intensitas pergulatan p olitik itu semakin dinamik dengan tampilnya LSM, para kelomp ok adat, pemimpin partai, kelomp ok kepentingan berbasis etnik di Riau.

Kedua, sebagian besar pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Riau berbentuk perusahaan (PBS/PBN), bukan plasma. Kondisi ini sekaligus menjadi

karakteristik sifat p olitik lokal di Riau. Hal yang menarik dijadikan pelajaran adalah meskipun berkali-kali terjadi pergantian rezim kepemimpinan l okal, kelomp ok perkebunan besar tetap bertahan di Riau. Kelomp ok ini hampir tidak dapat disentuh oleh rezim yang baru, bahkan justru rezim yang ada berusaha memanfaatkan kapitalisasi PBS/PBN perkebunan.

Ketiga, Di era otonomi daerah, perubahan p olitik lokal di Riau di ditandai dengan munculnya kelomp ok yang menjadikan nilai-nilai tradisi onal sebagai basis pijakan materiil dalam mempertahankan dan memperbesar kekuasaan lokal. Dalam format p olitik lokal seperti itu, secara institusi onal para elit lokal cenderung mendukung sepenuhnya jalannya pemerintahan daerah, relatif tidak ada kontrol budaya terhadap sikap elit p olitik, bahkan kel omp ok ini memberikan legitimasi s osial melalui pemberian gelar-gelar tradisi onal. Dalam kondisi demikian, model sinergi dan strategi perp olitikan lokal kaitan kebijakan perkebunan kelapa sawit diwarnai oleh p olitisasi nilai tradisi onal demi mencapai tujuan-tujuan dan kepentingan p olitik para kel omp ok di Riau.

Keempat, Secara rasi onal kebijakan publik berkaitan perkebunan kelapa sawit yang dibuat dan diterapkan di daerah dapat memberikan manfaat ekonomi-p olitik seekonomi-perti yang diharaekonomi-pkan oleh Pemda dan masyarakat Riau. Namun, ketika kebijakan perkebunan diterapkan hasilnya ada kelompok yang menerima, menolak, dan menerima dengan sejumlah syarat. Untuk menghadapi problematika itu Pemda dan DPRD tampaknya menempuh kebijakan tambal sulam (komplementer). Kebijakan ini dibuat dalam situasi masing-masing kelomp ok yang bersaing memperjuangkan kepentingan yang berbenturan, dengan basis

dukungan yang beragam, dan perbedaan sumber daya p olitik yang dimiliki. Pengalaman ini menginspirasikan studi ini mengusulkan hip otesis sebagai berikut: Perubahan p olitik lokal di Riau mengenai isu kebijakan kelapa sawit ditentukan oleh pergulatan antar kelomp ok birokrat, pengusaha, p olitisi yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya yang berbenturan dan kemenangan dalam persaingan itu ditentukan oleh keberhasilannya membangun koalisi, negosiasi dengan kelomp ok-kelomp ok informal lainnya.

3.

Implikasi:

a. Berdasarkan beberapa pelajaran dari mempelajari sinergi dan strategi p olitik kebijakan era desentralisasi di Riau dalam kaitan isu kebijakan perkebunan kelapa sawit seperti yang diuraikan diatas. Proses ini memunculkan implikasi sifat p olitik lokal intensitasnya semakin dinamik di Riau - bersifat multi kelomp ok dan multi arena. Persaingan p olitik antar kelomp ok yang berbasis birokrasi ini terjadi dalam kondisi p olitik l okal di masa transisi sejak 1999. Arah perkembangan p olitik lokal yang seperti itu ternyata menghasilkan strategi kebijakan-kebijakan publik yang bersifat komplementer (tambal sulam).

b. Krisis ekonomi dewasa ini telah memaksa negara menggali sumbersumber devisa baru. Strategi ini memberi implkasi pada sifat hubungan sinergi p olitik yang simbi osis antara aktor pusat, Birokrat, Pemilik perkebunan besar, dan para elit lokal sedemikian rupa dalam memproduksi kebijakan-kebijakan ekonomi-p olitik lokal. Tetapi para aktor itu gagal

memberi nilai tambah dalam membangun hubungan partisipasi berdasarkan akuntabilitas p olitik.