• Tidak ada hasil yang ditemukan

a,SHUT

51AK

STUDI KASUS KEBIJAKAN KELAPA SAWIT K2

-

I (Kemiskinan,Keb odohan,dan Infrastruktur) DI RIAU 2006-2011

Oleh:

Khairul Anwar

1

ABSTRAK

Penelitian ini bertolak dari hasil penelitian selama tiga tahun mengenai model sinergisitas formulasi kebijakan dengan mengambil kasus pengeloaan konflik kebijakan perkebunan kelapa sawit di Riau tahun 2006-2011. Tujuan penelitian adalah mengaplikasikan model dan strategi formulasi kebijakan yang digali melalui kasus kebijakan sawit K2I.Metode yang digunakan adalah dengan cara mengidentifikasi ;(1)para aktor kebijakan dan masyarakat yang terlibat : (2) membuat modul formulasi kebijakan yang bersisikan kewenangan dan tugas dan fungsi para aktor, kepentingannya, preferensi politiknya;(3) membuat sktesa,modul dan animasi sebagai medium inetraksi dalam aplikasi. Model ini terdiri dari tiga tahapan,yaitu isu, masalah, dan legitimasi dengan unsur-unsurnya adalah; para aktor (kelompok), kepentingan, basis sosial, sumberdaya. Selanjutnya,penerapan model dan strategi ini mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal yang mewarnai konteks penerapan model sinergi kelompok dalam masyarakat. Hasil studi menunjukkan bahwa ada banyak aktor yang berupaya menanamkan pengaruh dalam proses kebijakan dan dalam penerapannya faktor kebijakan pusat dan Daerah serta faktor posisi aktor lokal, sumberdaya,pengatahuan sosial,basis sosial turut mempengaruhi roses penerapan model sinergi kelompok di tengfah masyarakat.

Key words; plularitas kelompok,pengatahuan sosial,basis istitusional,dan sumberdaya

Pendahuluan

Persoalan besar di Indonesia termasuk Riau sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah semakin maraknya konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) terutama perkebunan kelapa sawit. Studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa konflik ini tidak hanya melibatkan pemerintah (Daerah), perusahaan, masyarakat lokal, tetapi sudah melibatkan dunia internasional, mengakibatkan kerugian sosial dan ancaman terhadap legitimasi pemerintah. Secara faktual konflik itu terlihat antara lain dari friksi antara gubernur dan wakil gubernur Riau, 2005 (Riau Tribune, 20:2005),konflik masyarakat dengan kelompok internasional misalnya green feace,dan konflik masyarakat Pulau Padang Kabupaten Meranti (Riau Pos;21 Desember:2012).

1 Adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip-Universitas Riau,2010. Penulis adalah Doktor Ilmu Politk memfokuskan diri pada bidang kajian-kajian Ekonomi-Politik Lokal

semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pola dan arah interaksi konflik aktor yang semakin dinamik dan vertikal,arena dan jaringan yang beragam, fakta ini berkaitan dengan formulasi kebijakan publik mengenai perkebunan kelapa sawit. Penelitian yang sudah dilakukan dalam dua tahun, menemukan model deskriptif sinergi formulasi kebijakan desentralisasi dengan mengambil contoh pengeloaan konflik kebijakan perkebunan kelapa sawit di Riau tahun 2005-2010. Tahun Pertama, studi ini mengidentifikasi: (1) Siapa saja aktor yang terlibat konflik kebijakan; (2) Apa saja tujuan dan kepentingannnya;(3) Bagaiamana para aktor berkoalisi; dan apa sumberdayanya. Kemudian dalam penelitian tahun ke dua dianalisis; (1) Pola dan arah interaksi para aktor lokal dan bagaimana cara aktor mencapai kepentingan; (2) Apa preferensi politik para aktor dalam memilih kebijakan; dan basis institusonalnya. Penelitian tahun kedua ini bertujuan mengaplikasikan Model sinergisitas dan strategi formulasi kebijakan disentralisasi dalam kaitan pengelolaan konflik kebijakan perkebunan kelapa sawit di Riau. Studi ini dilakukan tetap berdasarkan asumsi bahwa kebijakan publik adalah akibat dari pergulatan politik. Sebab pergulatan politik akan menghasilkan siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana seperti yang ditulis oleh Lasswell (1936).

Metode yang digunakan ;(1) membuat modul yang berisikan kewenangan,tugas dan pokok (tupoksi) dan posisi masing-masing aktor (baik aktor pemerintah-non pemerintah). Modul sinergisitas formulasi kebijakan ini dimaksudkan sebagai medium untuk memudahkan aplikasi model terutama dalam pengelolaan konflik yang berbasiskan kebijakan antara masyarakat, pemerintah dan swasta yang akhir-akhir ini intensitasnya semakin meningkat di Indonesia seperti

demikian, dibutuhkan model pengelolaan konflik yang mengakar yang dapat merubah kelemahan menjadi potensi kekuatan pemersatu bangsa di tengah-tengah fakta pluralisme dan keterbatasan sumberdaya negara.

Latar Belakang model

.

Seperti yang terjadi dewasa ini di Indonesia, demikian dalam masyarakat politik Riau, sejarah perpolitikan elit umumnya diwarnai pergulatan kepentingan terutama yang berkaitan sumber daya alam (SDA) lokal. Riau yang kaya SDA tetapi hasilnya lebih banyak dimanfaatkan oleh Pusat. Kondisi ini membuat masyarakat kecewa. Kekecewaan itu memuncak kembali masa diterapkannya kebijakan otonomi daerah (O TDA) dan puncaknya ketika dirumuskan dan diterapkannya kebijakan kelapa sawit K2I..

Sejak tingkat wacana, kebijakan perkebunan sudah menimbulkan perdebatan panjang di Riau. Pergulatan tidak hanya terjadi antara pemerintah dan aktor nonpemerintah, akan tetapi friksi juga terjadi dengan aktor internasional. misalnya perusahaan multi nasinal (MNC). Aktor ini berkepentingan atas prospek pasar tingkat domistik dan dunia seperti yang dikampanyekan Pemerintah Pusat. kebutuhan akan biofuel yang semakin tinggi.

Selain itu, dukungan terhadap kebijakan Sawit disampaikan pula oleh Ketua Komiisi-B DPRD-Riau. Namun, hingga tahun 2008 kebijakan perkebunan kelapa sawit K2I ini belum juga terealisasi. Dalam kondisi demikian, justru yang muncul reaksi keras dari para pemimpin politik atau aktor masyarakat Riau. Sebelum O TDA yang melakukan aksi terbatas hanya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Birokrasi Daerah. Setelah O TDA, aktor lokal yang melakukan aksi semakin beragam. Tokoh-tokoh yang semula tidak bisa mengungkapkan

sejumlah aktor dari kelompok-kelompok (LSM) Lembaga Swadaya Masyarakat, gerakan massa, dan kelompok lainnya seperti Riau Merdeka.

Disharmonis kebijakan publik ini telah memunculkan fenomena ekonomi-politik lokal yang menarik untuk diamati lebih dalam. Dan inilah yang mendorong penulis untuk mempelajari formulasi sinergi kebijakan desentralisasi. Untuk mengkajinya ditelaahlah proses pergulatan politik lokal kaitan dengan isu kebijakan perkebunan kelapa sawit di Riau. Dengan tuntunan literatur ekonomi-politik, yang dikembangkan oleh Jeffry A. Frieden, analisis ini berusaha mengidentifikasi siapa aktor, tujuan dan kepentingannya masing-masing, menggambarkan preferensi aktor mengenai kebijakan, mendeskripsikan bagaimana aktor melakukan konsolidasi internal dengan memanfaatkan sumberdaya ekonomi dan politik, dan menguraikan interaksi dan koalisi aktor dengan lembaga-lembaga informal lainnya. Seperti yang diungkapkan (Frieden,2000: 31-37) :

"M

odern political economy as used here has four component parts: defining

the actors and their goals, specifying actors policy preferences, determining