• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Paris Agreement dan Perdagangan Minyak Bumi Arab Saudi-

3.2. NDC Arab Saudi dan Tiongkok

Penjelasan mengenai adanya kenaikan tren dari volume perdagangan minyak bumi antara kedua negara dapat dijelaskan melalui analisis NDC kedua negara pada

Paris Agreement. Tercatat di dalam NDC-nya, Arab Saudi menjabarkan bahwa

mereka akan mendasari strategi pencapaian NDC yang dibuat melalui dua Skenario, dengan fokus terhadap Skenario 1 (UNFCCC, 2016). Pada Skenario 1 yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya dituliskan bahwa Arab Saudi akan menggunakan pemasukan dari ekspor minyak bumi mereka untuk membangun berbagai industri yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti jasa keuangan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya sebagai upaya diversifikasi ekonomi agar tidak bergantung terhadap pendapat dari ekspor minyak bumi. Skenario 2 dalam NDC Arab Saudi

43 berisi mengenai percepatan industrialisasi dalam negeri dengan menggunakan cadangan minyak dan gas bumi domestik secara berkelanjutan. Percepatan industrialisasi ini dilakukan Arab Saudi dengan cara membangun industri berat yang menggunakan cadangan minyak bumi negara sebagai sumber bahan bakarnya. Selain itu, Skenario 2 juga membuat Arab Saudi meningkatkan kontribusi dari industri petrokimia, semen, pertambangan, dan produksi metal ke dalam ekonomi nasional.

Merujuk pada Skenario 1 yang sangat berkenaan dengan masalah ekspor minyak bumi, secara jelas Arab Saudi menyatakan bahwa mereka akan menggunakan pemasukan yang berasal dari ekspor minyak bumi mereka ke negara lain untuk mendorong pembangunan kapasitas ekonomi dalam negeri. Hal tersebut mengartikan bahwa upaya Arab Saudi yang tercantum di dalam NDC mereka tidak mendukung upaya kolektif negara-negara lain untuk mengurangi penggunaan minyak bumi dengan paling tidak tidak mengurangi jumlah ekspor, minyak bumi ke negara lain. Secara tidak langsung, sikap Arab Saudi yang tercermin dalam Skenario 1 di NDC mereka berkontribusi terhadap tetap stabilnya permintaan negara-negara lain terhadap minyak bumi mereka sebagai eksportir minyak bumi terbesar dunia. Terlebih lagi, fakta bahwa ekspor minyak bumi Arab Saudi memegang 70 persen perekonomian negara membuat perubahan radikal dalam struktur perekonomian domestik mereka dengan mengurangi ekspor minyak bumi sulit dilakukan (Wogan, Carey, & Cooke, 2019).

Masuk ke dalam Skenario 2 dalam NDC Arab Saudi disebutkan bahwa mereka akan mengurangi ekspor minyak bumi, dan menggunakan sumber daya minyak yang mereka miliki untuk menghidupkan industri berat domestik

44 (UNFCCC, 2016). Skenario ini sebetulnya memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap aktivitas ekspor minyak bumi yang dilakukan oleh Arab Saudi. Karena, kuota minyak bumi yang seharusnya digunakan untuk ekspor akan dialihkan sebagian untuk menghidupi industri berat domestik. Jika Arab Saudi mengimplementasikan skenario ini, maka kemungkinan akan secara langsung berkontribusi terhadap menurunnya volume perdagangan minyak bumi mereka dengan negara lain, termasuk Tiongkok. Akan tetapi, skenario ini sulit untuk direalisasikan karena beberapa alasan. Pertama, alasan yang sama untuk hal yang berbeda, besarnya rasio dari ekspor minyak bumi terhadap perekonomian Arab Saudi membuat pemerintah sulit untuk mengurangi volume ekspor mereka dalam waktu dekat. Ditambah, karena adanya pengurangan kuota ekspor minyak bumi, perekonomian Arab Saudi akan semakin melemah. Di samping itu, jika Skenario 2 dijalankan, maka target Arab Saudi untuk mencapai pengurangan 130 juta karbon dioksida per tahun pada tahun 2030 tidak dapat tercapai. Malah penggunaan skenario tersebut akan meningkatkan jumlah emisi karbon dioksida Arab Saudi (Wogan, Carey, & Cooke, 2019). Sehingga, implementasi Skenario 2 kontradiktif dengan kepentingan nasional Arab Saudi untuk tetap menjaga stabilitas perekonomian dan kontradiktif dengan tujuan Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbon global.

Perlu untuk digarisbawahi pula, Arab Saudi menyatakan di dalam NDC mereka bahwa jika implementasi poin-poin yang ada di dalamnya menimbulkan beban yang terlalu berat untuk perekonomian negara, maka mereka akan mengubah pendekatan mereka agar menjadi lebih aman untuk perekonomian (UNFCCC, 2016; Climate Action Tracker, 2019). Penjelasan lanjutan ini mengindikasikan

45 bahwa Arab Saudi lebih mementingkan stabilitas dalam negeri dibandingkan komitmen mereka di dalam Paris Agreement. Terlebih, dengan baru kurang lebih tiga tahun berjalan dan kemungkinan implementasi NDC yang dilakukan oleh Arab Saudi saat ini mencederai perekonomian domestik masih bisa terjadi, maka sulit bagi penulis untuk menyatakan bahwa Arab Saudi akan tetap bertahan dengan NDC tersebut.

Masuk ke dalam pembahasan NDC Tiongkok. Tiongkok sebetulnya sudah lebih progresif dibandingkan dengan Arab Saudi dalam hal pengurangan emisi karbon dan pendekatan kebijakan yang lebih ramah lingkungan. Hal yang ditunjukan dari progres perkembangan energi baru dan terbarukan mereka yang pesat (IEA, 2018; Dong & Ye, 2018). Dalam NDC-nya, Tiongkok mencantumkan 15 poin kebijakan yang akan dilakukan untuk mewujudkan empat target utama, yakni mencapai titik puncak emisi karbon domestik pada tahun 2030, menurunkan emisi karbon per unit PDB sebesar 60-65 persen dari level tahun 2005, meningkatkan rasio sumber energi non-fosil ke dalam bauran energi domestik sebesar 20 persen, dan meningkatkan forest stock volume hingga mencapai sekitar 4.5 miliar meter kubik pada tahun 2030 (UNFCCC, 2016).

Namun, jika berbicara mengenai konteks minyak bumi, kelimabelas poin yang tercantum di dalam NDC Tiongkok tidak berlaku signifikan dalam upaya mengurangi penggunaan minyak bumi domestik. Hal ini tercermin dari fokus Tiongkok dalam mengurangi penggunaan energi fosil lebih condong kepada pengurangan konsumsi batu bara (UNFCCC, 2016). Tercantum di dalam poin ketiga strategi pencapaian target NDC Tiongkok, yakni poin Pembangunan Sistem Energi Rendah Karbon, Tiongkok berusaha untuk mengontrol total konsumsi batu

46 bara nasional, meningkatkan penggunaan batu bara yang bersih, meningkatkan rasio pembangkit listrik tenaga batu bara yang lebih efisien, dan mengurangi konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru dibangun menjadi 300 gram batu bara per kilowatt-hour (kWh) (UNFCCC, 2016).

Kebijakan di dalam NDC yang berkaitan dengan minyak bumi hanya tercantum pada poin kelima, yakni poin Pengontrolan Emisi dari Transportasi dan Bangunan (UNFCCC, 2016). Pada poin ini, Pemerintah Tiongkok berusaha untuk mengembangkan moda transportasi yang ramah lingkungan dan rendah karbon, menigkatkan rasio kendaraan umum untuk kota berukuran menengah dan besar hingga mencapai 30 persen pada tahun 2020, dan meningkatkan kualitas bahan bakar minyak serta mempromosikan bahan bakar alternatif (UNFCCC, 2016). Selain kurang signifikan dalam mengurangi konsumsi bahan bakan minyak domestik, kebijakan tersebut juga tidak secara langsung menyasar pada pengurangan konsumsi, alih-alih mengurangi impor minyak bumi dari negara lain.

Dokumen terkait