• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Paris Agreement dan Hubungan Arab Saudi-Tiongkok

2.1. Paris Agreement

BAB II

Paris Agreement dan Hubungan Arab Saudi-Tiongkok

Dalam Bab II, penulis akan memberikan penjelasan ekstensif mengenai

Paris Agreement, beserta implementasinya di Arab Saudi dan Tiongkok.

Selanjutnya, penulis juga akan memberikan penjelasan mengenai latar belakang hubungan antara Arab Saudi dan Tiongkok, yang difokuskan kepada perdagangan minyak bumi dari kedua negara.

2.1. Paris Agreement

Pada tanggal 12 Desember 2015, 196 negara yang tergabung di dalam UNFCCC sepakat untuk mengadopsi Paris Agreement. Paris Agreement adalah sebuah kerangka kerja yang bersifat legally-binding yang merupakan upaya nyata untuk mengatasi krisis iklim melalui koordinasi internasional (Climate Focus, 2015). Kesepakatan ini diadopsi sebagai bagian dari keputusan yang diambil di dalam Conference of the Parties (COP) untuk UNFCCC ke-21 sebagai kerangka kerja utama dalam menyikapi krisis iklim global yang akan menggantikan peran dari rezim internasional sebelumnya, Protokol Kyoto (2015). Paris Agreement merupakan sebuah perjanjian yang memiliki sifat seperti hukum internasional, yang berarti negara-negara yang meratifikasi kesepakatan ini akan terikat dengan segala hal yang diatur oleh Paris Agreement (2015).

Paris Agreement memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menahan peningkatan

rataan suhu dunia sebesar 2˚ Celsius di bawah level pra-industri dengan upaya untuk membatasi peningkatannya hanya sebesar 1,5˚ Celsius di bawah level

pra-22 industri; (2) meningkatkan kemampuan adaptasi dalam menghadapi dampak dari krisis iklim serta menyokong pengembangan ketahanan terhadap iklim dan rendah emisi gas rumah kaca, dengan upaya yang tidak membahayakan produksi makanan; (3) memastikan adanya aliran dana yang konsisten untuk pengembangan emisi rendah gas rumah kaca dan ketahanan krisis iklim (Paris Agreement, 2015. Pasal 2.1.).

Dalam implementasinya, Paris Agreement mengedepankan prinsip kebersamaan yang dapat terlihat dari adanya target umum berupa penahanan peningkatan rataan suhu bumi serta dorongan bagi negara maju untuk membantu negara berkembang dalam menyukseskan Paris Agreement (Paris Agreement, 2015. Pasal 2.1., Pasal 3.). Walakin, dalam melakukan upaya penanganan krisis iklim, disadari bahwa kemampuan nasional dari masing-masing negara berbeda, sehingga tiap-tiap negara memiliki tanggung jawab dan upaya yang berbeda pula (Paris Agreement, 2015. Pasal 2.2.). Oleh karena itu, strategi penanggulangan krisis iklim dan pencapaian target Paris Agreement ditentukan secara domestik oleh masing-masing negara melalui rencana strategi yang disebut Intended Nationally

Determined Contribution atau INDC – yang akan berubah menjadi Nationally Determined Contribution (NDC) ketika sudah pasti dilaksanakan – berdasarkan

kesamaan kepentingan dalam isu ini dan perbedaan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing negara (Paris Agreement, 2015. Pasal 3-4.).

Dalam rangka mempermudah negara-negara dalam mencapai target dari strategi domestik mereka, Paris Agreement memperbolehkan sejumlah mekanisme kerja sama antarnegara. Seperti yang tercantum di dalam Artikel 6 Paris

23 negara, Paris Agreement memperbolehkan negara untuk melakukan beberapa hal, yaitu: (1) Negara-negara diperbolehkan untuk menentukan strateginya secara kolektif dengan negara lain, melalui organisasi ekonomi regional seperti Uni Eropa maupun kerja sama mitigasi antarnegara. Hal ini ditujukan agar negara-negara di dunia dapat membentuk lebih banyak kerja sama internasional di bidang iklim. (2) Negara diperbolehkan untuk membantu upaya mitigasi yang dilakukan oleh negara lain melalui kerja sama sukarela. Kerja sama sukarela ini meliputi transfer pencapaian dari satu negara ke negara lain yang dapat dilakukan melalui skema perdagangan emisi (Paris Agreement, 2015. Pasal 6.2.). (3) Paris Agreement juga menjabarkan mengenai mekanisme perkembangan berkelanjutan yang memungkinkan adanya keterlibatan entitas swasta dan publik untuk membantu terlaksananya strategi mitigasi iklim negara (Paris Agreement, 2015. Pasal 6.4.). Hal ini dilakukan oleh sektor swasta dan publik melalui pembuatan program yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang dapat ditransfer (Paris Agreement, 2015. Pasal 6.4.).

Di samping adanya skema kerja sama antarnegara seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, skenario bantuan juga terjadi antara negara maju dan negara berkembang. Seabagai upaya membantu negara-negara berkembang untuk mencapai target dari komitmen mereka, Paris Agreement memandatkan negara maju untuk memberikan bantuan finansial, memberikan transfer teknologi, dan upaya-upaya lain yang ditujukan untuk mengembangkan kapasitas dari negara berkembang (Paris Agreement, 2015. Pasal 9, 10, dan 11.).

Untuk memastikan tercapainya target yang telah ditentukan, Paris Agreement memiliki skema penilaian dan peninjauan yang diatur di dalam Pasal 13. Pasal 13

24

Paris Agreement menjelaskan bahwa negara-negara anggota diwajibkan untuk

menyajikan kerangka kerja yang berisi tentang strategi domestik mereka secara transparan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan adanya kejelasan mengenai strategi masing-masing negara secara rinci beserta ketersediaan dana untuk mendukung terlaksananya program tersebut (Paris Agreement, 2015. Pasal 13.6.).

Upaya penilaian dilakukan oleh grup ahli teknis yang akan meninjau informasi yang diberikan oleh negara. Para ahli ini akan memastikan bahwa data-data yang diberikan oleh negara saling berkesinambungan dan konsisten, serta menilai peningkatan-peningkatan yang sudah terjadi di negara tersebut (Paris

Agreement, 2015. Pasal 13.12.). Grup-grup ahli teknis ini bekerja berdasarkan

prinsip fasilitatif, non-intrusi, tidak menghukum dan membebani, serta menghargai kedaulatan dari masing-masing negara.

Selain dari grup ahli teknis, upaya pengawasan kepada Paris Agreement juga dilakukan oleh COP. COP akan melakukan peninjauan terhadap capaian-capaian yang dilakukan oleh negara-negara di bawah wadah Paris Agreement setiap lima tahun sekali (Paris Agreement, 2015. Pasal 14.2.). Pengawasan oleh COP ini dilakukan untuk mengukur apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh masing-masing negara secara nasional berjalan menuju tujuan kolektif yang berusaha dicapai oleh Paris Agreement (Paris Agreement 2015. Pasal 14.3.).

Di samping adanya kewajiban untuk menyajikan data seperti di atas, negara-negara juga harus memberikan informasi mengenai skema bantuan antarnegara-negara yang berkaitan dengan Paris Agreement, seperti yang tercantum di dalam Pasal 13.9. Dalam hal ini, negara maju diminta untuk menyajikan informasi mengenai bantuan finansial, transfer teknologi, serta bantuan dalam peningkatan kapasitas

25 yang mereka berikan pada negara berkembang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 9, 10, dan 11 (Paris Agreement, 2015. Pasal 13.9.). Sedangkan, negara berkembang harus memberikan data mengenai bantuan finansial, transfer teknologi, dan bantuan dalam peningkatan kapasitas yang mereka butuhkan, beserta dengan bantuan-bantuan yang sudah mereka dapatkan (Paris Agreement, 2015. Pasal 13.10.).

Implementasi Paris Agreement di Arab Saudi dan Tiongkok

Arab Saudi dan Tiongkok merupakan salah dua negara yang ikut meratifikasi

Paris Agreement. Arab Saudi meratifikasi Paris Agreement pada 3 November 2016,

dan mulai berlaku di Riyadh pada 3 Desember 2016 (United Nations Treaty

Collection, 2016). Arab Saudi sendiri berkontribusi terhadap 0,80 persen emisi gas

rumah kaca dunia pada saat meratifikasi Paris Agreement (UNFCCC, 2016).

Sebagai negara produsen dan ekspotir minyak bumi terbesar di dunia, keberadaan Paris Agreement berdampak secara fundamental terhadap Arab Saudi karena secara garis besar bertujuan untuk mengarahkan dunia pada kondisi yang rendah emisi karbon (Wogan, Carey, & Cooke, 2019). Untuk menjawab isu ini, Arab Saudi akan melakukan diversifikasi ekonomi yang akan berimplikasi pada berkurangnya emisi gas rumah kaca, beradaptasi dengan dampak dari perubahan iklim, sekaligus pada minimalisasi dampak dari respon yang dilakukan oleh Arab Saudi dengan dinamika ekonomi dan politik domestik (UNFCCC, 2016). Berangkat dari kebijakan tersebut tersebut, INDC, yang akhirnya menjadi NDC, yang dibentuk oleh Arab Saudi dibuat untuk mendukung terjadinya diversifikasi ekonomi ini (Wogan, Carey, & Cooke, 2019).

26 Sejalan dengan kebijakan untuk diversifikasi ekonomi, NDC yang dibuat oleh Arab Saudi pada tahun 2016 tercantum bahwa Riyadh memiliki target untuk mengurangi hingga 130 juta ton karbon dioksida per tahunnya pada 2030 (UNFCCC, 2016). Target ini dicapai melalui dua cara. Pertama adalah melalui diversifikasi ekonomi yang dilakukan dengan peningkatan efisiensi energi, pengembangan energi baru dan terbarukan, pemanfaatan teknologi carbon capture, dan maksimalisasi penggunaan gas. Kedua adalah melalui adaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim yang dilakukan dengan program manajemen sumber daya air, urban planning, proteksi kemaritiman, dan mengurangi desertifikasi yang didukung dengan program-program seperti manajemen terintegrasi pada daerah pesisir pantai, pengembangan sistem peringatan terhadap bencana, dan program manajemen sumber daya air yang terintegrasi (UNFCCC, 2016).

Arab Saudi lalu membuat dua skenario yang digunakan untuk menyesuaikan dengan dinamika perekonomian Arab Saudi (UNFCCC, 2016). Skenario tersebut adalah:

1. Skenario 1: melakukan diversifikasi ekonomi yang dilakukan dengan mengalokasikan pendapatan dari ekspor minyak ke industri yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti jasa keuangan, kesehatan, pariwisata, pendidikan, energi baru dan terbarukan serta teknologi untuk efisiensi energi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Target mengurangi 130 juta ton karbon dioksida dijalankan berdasarkan skenario ini.

2. Skenario 2: Mempercepat industrialisasi dalam negeri melalui penggunaan minyak dan gas bumi secara berkelanjutan. Arab Saudi akan membangun industri berat yang menggunakan cadangan minyak bumi negara sebagai sumber

27 bahan bakarnya. Meningkatkan kontribusi dari industri petrokimia, semen, pertambangan, dan produksi metal ke dalam ekonomi nasional. Di bawah skenario ini, pertumbuhan ekonomi akan berjalan lebih lambat, dan berimplikasi terhadap tidak mampunya Arab Saudi untuk membiayai INDC yang diajukan. Dalam kasus ini, INDC Arab Saudi akan diubah berdasarkan skenario ini.

Perbedaan dari dua skenario di atas ada pada pengalokasian minyak bumi. Pada Skenario 1, minyak bumi milik Arab Saudi akan diekspor yang hasilnya digunakan untuk membiayai pertumbuhan ekonomi negara yang dilakukan melalui diversifikasi. Pada skenario ini, minyak bumi yang dimiliki Riyadh tidak berkontribusi pada gas rumah kaca domestik, sehingga mampu untuk mencapai target pengurangan 130 juta ton karbon dioksida pada 2030. Di sisi lain, pada Skenario 2, minyak bumi Arab Saudi akan digunakan untuk konsumsi domestik, yang nantinya tentu akan berkontribusi terhadap emisi karbon dalam negeri (UNFCCC, 2016).

Arab Saudi akan menempuh tiga cara sebagai upaya mewujudkan NDC mereka. Pertama, melalui bantuan teknis dan pengembangan kapasitas secara berkelanjutan yang diberikan oleh negara-negara lain melalui mekanisme yang diatur di dalam Paris Agreement. Kedua adalah melalui kerja sama dalam riset mengenai dampak dari respon yang diambil negara eksportir energi fosil mengenai iklim dalam konteks pasar energi internasional dan ekonomi, serta riset mengenai parameter kesuksesan diversifikasi ekonomi yang dilakukan sebuah negara. Terakhir, secara spesifik dalam hal adaptasi Paris Agreement, Arab Saudi akan melakukan kolaborasi dalam beberapa sektor teknologi seperti teknologi penggunaan air yang berkelanjutan untuk agrikultur, teknologi peringatan terhadap

28 bencana, dan transportasi yang ramah lingkungan dan tahan terhadap dampak dari perubahan iklim (UNFCCC, 2016).

Masuk ke Tiongkok, Tiongkok merupakan negara yang tercatat berkontribusi terhadap 20,09 persen gas rumah kaca dunia pada waktu mereka meratifikasi Paris

Agreement pada 3 September 2016 (UNFCCC, 2016). Komitmen Tiongkok

terhadap isu iklim telah terlihat bahkan semenjak sebelum adanya Paris Agreement (Li, 2012). Pada Konferensi Kopenhagen yang digelar di tahun 2009, Tiongkok mendeklarasikan secara internasional bahwa mereka akan mengurangi emisi karbon dioksida per unit Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40-45 persen dari tahun 2005, meningkatkan rasio konsumsi energi non-fosil sebesar 15 persen, meningkatkan area perhutanan sebesar 40 juta hektar, dan meningkatkan forest

stock volume sebesar 1.3 miliar meter kubik dibandingkan tahun 2005 pada tahun

2020 (Li, 2012).

Secara lebih luas, Tiongkok sudah mengaplikasikan banyak program yang berkenaan dengan isu iklim seperti Program Nasional mengenai Perubahan Iklim, Rencana Kerja dalam Mengontrol Emisi Gas Rumah Kaca pada 12th Five-Year

Plan, Rencana Kerja untuk Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi pada 12th Five-Year Plan, Rencana Kerja untuk Konservasi Energi 2014-2015, Emission Reduction and Low-Carbon Development, dan Rencana Nasional mengenai

Perubahan Iklim 2014-2020 (UNFCCC, 2016).

Berdasarkan klaim Pemerintah Tiongkok di NDC mereka (2016), dari implementasi berbagai program tersebut, hingga tahun 2014, Tiongkok sudah berhasil mencapai beberapa hal, yaitu:

29 1. Berkurangnya emisi karbon dioksida per unit PDB sebesar 33,8% dari tahun 2005; 2. Meningkatnya penggunaan energi non-fosil sebesar 11,2%;

3. Meningkatnya wilayah perhutanan sebesar 21,6 juta hektar;

4. Meningkatnya forest stock volume sebesar 2.188 miliar meter kubik dari level 2005; 5. Terbangunnya fasilitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 300 Gigawatt

(GW) atau 2,57 kali lebih besar dari tahun 2005;

6. Terbangunnya fasilitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) sebesar 95,81 GW atau 90 kali lebih besar dari tahun 2005;

7. Terbangunnya fasilitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 28,05 GW atau 400 kali lebih besar dari tahun 2005; dan

8. Terbangunnya fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebesar 19,88 GW atau 2,9 kali lebih besar dari tahun 2005.

Selanjutnya, seperti yang tercantum di dalam NDC Tiongkok (2016), terdapat beberapa hal yang berusaha dicapai oleh Beijing sebelum tahun 2030, antara lain:

1. Mencapai titik puncak emisi karbon dioksida pada tahun 2030 atau sebelumnya; 2. Menurunkan emisi karbon dioksida per unit PDB sebesar 60-65 persen dari level

2005;

3. Meningkatkan rasio penggunaan energi non-fosil sebesar 20%; dan

4. Meningkatkan forest stock volume sebesar 4,5 miliar meter kubik dari level 2005.

Dalam mencapai empat poin di atas, Tiongkok memiliki 15 poin kebijakan yang akan dilakukan. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah:

1. Mengimplementasikan Strategi Nasional mengenai Perubahan Iklim secara Proaktif:

30 2. Membangun Strategi mengenai Perubahan Iklim secara Regional:

3. Membangun Sistem Rendah Karbon

4. Membangun Sistem Industri yang Efisien secara Energi dan Rendah Karbon 5. Mengontrol Emisi dari Transportasi dan Bangunan

6. Menambah Jumlah Carbon Sinks

7. Mempromosikan Gaya Hidup Rendah Karbon

8. Meningkatkan Ketahanan Negara terhadap Perubahan Iklim 9. Berinovasi pada Low-Carbon Development Growth

10. Memperkuat Instrumen Pendukung Isu Iklim dalam hal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

11. Meningkatkan Dukungan secara Finansial dan Perundang-undangan 12. Mempromosikan Carbon Emission Trading Market

13. Meningkatkan Kemampuan dalam Sistem Statistik dan Akuntansi untuk Emisi Gas Rumah Kaca

14. Meningkatkan Partisipasi dari Segala Pihak

15. Mempromosikan Kerja Sama Internasional dalam isu Perubahan Iklim

Dokumen terkait