• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kopi Arabika

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA (Halaman 9-0)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kopi Arabika

Pertumbuhan dan produksi tanaman kopi sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan tanah, bibit unggul yang produksinya tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit (AAK, 2009).

Suhu merupakan salah satu unsur iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kopi. Setiap jenis kopi menghendaki suhu atau ketinggian tempat yang berbeda.

Misalnya, kopi robusta dapat tumbuh optimum pada ketinggian 400 - 700 m dpl dengan temperatur rata-rata tahunan 20 - 24°C, tetapi beberapa diantaranya juga masih tumbuh baik dan ekonomis pada ketinggian 0 - 1000 m dpl. Kopi arabika menghendaki ketinggian tempat antara 500 - 1700 m dpl dengan temperatur rata-rata tahunan 17 - 21°C. Bila kopi arabika ditanam di dataran rendah (kurang dari 500 m dpl), biasanya produksi dan mutunya rendah serta mudah terserang penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Hemmileia vastatrix (HV) (AAK, 2009).

4 2.2. Teknik Budidaya Kopi Organik

Menurut batasan yang ditetapkan oleh EEC (Junker, 1991), teknik budidaya kopi organik tidak banyak berbeda dengan budidaya kopi pada umumnya, kecuali hal-hal sebagai berikut :

a. Lingkungan Kebun

Lokasi kebun harus bebas dari kontaminasi atau pengaruh bahan kimia buatan. Oleh sebab itu, pertanaman kopi organik hendaknya tidak berdekatan dengan pertanaman yang menggunakan pupuk kimia dan melakukan penyemprotan pestisida.

b. Bahan tanaman

Varietas kopi yang ditanam sejauh mungkin dapat beradaptasi dengan kondisi tanah tanpa pupuk dan iklim setempat, tahan terhadap hama dan penyakit, serta mempunyai keragaman genetik. Varietas yang diperoleh hanya diizinkan jika dampak ekologinya tidak bertentangan dengan tujuan pertanian organik.

c. Pola Tanam

Pola tanam dikombinasikan dengan tanaman leguminosa, pupuk hijau, dan tanaman yang dapat berfungsi sebagai penambat unsur nitrogen.

d. Pemupukan

Pupuk organik yang berasal dari kebun yang bersangkutan atau dari kebun lain yang diusahakan secara organik. Umumnya menggunakan kompos kotoran ternak, sisa tanaman dan pupuk hijau, pupuk cair dari ternak dan lain-lain.

e. Pengelolaan Organisme Pengganggu

Pengelolaan OPT tidak menggunakan pestisida, namun menggunakan pengendalian biologi dan biopestisida.

2.3. Hama-hama Berbahaya pada Tanaman Kopi 2.3.1. Hama Bubuk Buah Kopi ( Hypothenemus hampei )

Hama penggerek buah kopi (PBKo) yaitu Hypothenemus hampei, merupakan serangga yang berasal dari Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera. PBKo sangat merugikan, karena mampu merusak biji kopi dan sering mencapai populasi yang tinggi. Hama PBKo ini menjadi hama yang sangat merusak pada buah kopi sehingga mengakibatkan penurunan produksi dan kualitas hasil secara nyata karena menyebabkan banyak biji kopi yang berlubang.

5 Kehilangan hasil oleh hama PBKo dapat mencapai lebih dari 50% apabila serangannya tinggi dan tidak dilakukan tindakan pengendalian secara tepat. Tingkat serangan sebesar 20%

dapat mengakibatkan penurunan produksi sekitar 10% (Puslitkoka, 2006). Bahkan menurut Untung (1993) akibat serangan hama ini dapat menurunkan hasil kopi hingga 85%. Serangan pada buah-buah muda dapat menyebabkan buah gugur dan busuk. Serangan pada saat buah mulai mengeras menyebabkan biji menjadi berlubang-lubang, cacat dan busuk. Hama ini ditemukan dalam stadia larva di dalam bagian dalam buah kopi. Buah yang terserang akan berwarna coklat dan selanjutnya berwarna hitam.

2.3.2. Penggerek Cabang Kopi (Xylosandrus spp)

Hama penggerek cabang termasuk Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera. Larvanya menggerek cabang tanaman kopi. Tampaknya bahwa kumbang kecil ini lebih senang menyerang cabang atau ranting yang tua atau sakit. Ia juga menyerang ranting muda yang masih lunak.

Kumbang kecil ini termasuk ke dalam golongan serangga yang mengembangbiakkan makanan untuk anak-anaknya, yaitu jamur Ambrosia. Kumbang ini membuat lubang masuk ke dalam ranting pohon kopi sehingga ranting atau cabang itu tidak berbuah (DPP, 2004).

Hama penggerek cabang menyerang sejak pembibitan sampai tanaman dewasa dengan cara menggerek cabang atau wiwilan, lubang gerekan dengan garis tengah sekitar 1 mm.

serangga yang menyerang tanaman yang masih bibit dengan cara menggerek batang dekat permukaan tanah, kemudian gerekan diperluas ke atas dan ke bawah pada jaringan empelur sehingga daun layu dan akhirnya mati. Serangan pada tanaman produktif menyebabkan mengeringnya cabang primer bagian ujung tanaman di atas lubang gerekan.

Cara pengendalian dengan menutup lubang gerekan, dan ulat yang ditemukan dimusnahkan. Cara lain adalah memotong batang/cabang terserang 10 cm di bawah lubang gerekan, kemudian ulatnya dimusnahkan/ dibakar. Cara hayati bisa dipakai, misalnya dengan Beauveria bassiana, atau agens hayati lain (DPP, 2004).

2.3.3. Penggerek Batang/ Cabang (Zeuzera coffeae)

Hama ini merupakan serangga yang berasal dari Lepidoptera, Famili Cossidae. Larva merusak bagian batang atau cabang dengan cara menggerek empulur (xylem), selanjutnya gerekan membelok kea arah atas. Umumnya menyerang tanaman muda. Pada permukaan

6 lubang gerekan sering terdapat campuran kotoran dengan serpihan jaringan. Akibat gerekan larva, bagian tanaman diatas lubang gerekan akan merana, layu, kering dan mati. Larva serangga ini berwarna merah cerah sampai ungu, sawo matang. Panjang larva 3-5 cm. kepompong terbentuk dalam lubang gerekan. Sayap depan ngengat berbintik hitam dengan dasar putih tembus pandang.

2.3.4. Kutu Dompolan (Pseudococus sp)

Menurut Kalshoven (1981) kutu dompolan atau Pseudococcus sp. menyerang tanaman dengan cara mengisap, mengisap cairan kuncup bunga, buah muda, ranting dan daun muda . Kuncup bunga dan buah yang diserang menjadi kering, karena kehabisan cairan. Buah tua yang diserang akan menimbulkan salah bentuk pada buah sehingga kualitasnya menurun. Akibat serangan hama ini, pertumbuhan tanaman terhenti, daun-daun menguning, calon bunga gagal menjadi bunga dan buah rontok. Bila buah yang diserang tidak rontok maka perkembangan akan terhambat dan kulit keriput sehingga kualitas buah rendah. Ciri-ciri kutu dompolan adalah berbentuk bulat lonjong agak pipih. Tubuh larva dan betina ditutupi oleh lilin berwarna putih.

Kutu jantan tidak ditutupi oleh lilin dan bersayap.

2.3.5. Kutu Hijau = Kutu Sisik Hijau (Coccus viridis)

Hama ini merupakan pemakan segala tanaman (polifag) dan tersebar didaerah tropis dan subtropis, diantaranya Indonesia terutama di dataran rendah dan udara kering. Hama ini berbentuk bulat dan datar. Panjang tubuhnya ± 3 – 5 mm. Kutu yang hidup pada tunas muda badannya lebih besar dan lebih cembung daripada yang hidup pada daun. Sementara itu, kutu yang hidup pada tanaman kurus biasanya berukuran kecil.

Kutu hijau biasanya menyerang bagian ujung pucuk dan bagian tulang daun dari daun muda dengan cara menghisap cairan dari pembuluh floem . Bila pada populasi rendah, serangan tidak menimbulkan gejala yang tampak jelas. Secara keseluruhan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan buah gugur (Kalshoven 1981).

Kutu hijau, sebagaimana kutu berperisai lunak lainnya, menghasilkan sekresi berupa cairan madu pada permukaan bagian tanaman yang diserangnya.

7 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Untuk mengatasi berbagai permasalahan serangan hama tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi berbagai hama serangga baik pada pertanaman kopi organik maupun pertanaman kopi anorganik, serta menghitung tingkat serangan dari berbagai spesies hama tersebut. Penelitian ini sangat penting dilaksanakan sebelum suatu teknologi pengendalian hama diaplikasikan di lapangan. Pada akhir penelitian diharapkan telah terdokumentasikan spesies-spesies hama pada tanaman kopi arabika di Kabupaten Aceh Tengah. Dengan adanya hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi informasi awal untuk penelitian selanjutnya, misalnya tentang keaneka ragaman berbagai musuh alami (predator, parasitoid, entomopatogen) yang berasosiasi dengan berbagai spesies hama pada pertanaman kopi.

3.2. Manfaat Penelitian

Informasi ilmiah tentang jenis atau kelompok hama serangga yang saling berasosiasi dengan lingkungannya belum banyak didokumentasikan dan sangat penting untuk diinventarisasi (Tuck et al., 2003). Menurut Rohrig et al. (2008) sangat penting untuk diketahui hubungan khusus antara serangga dan habitatnya, serta implikasinya terhadap aktivitas merusak tanaman.

Pada umumnya hama serangga sangat selektif dan berbeda daya ataptasinya dalam memilih tempat yang ketesediaan tanaman inang melimpah, termasuk juga terhadap pola pengelolaan lingkungan. Hal ini memberikan implikasi yang besar terhadap populasinya di lapangan (Coley dan Luna, 2000).

Dengan diketahuinya hama-hama utama pada tanaman kopi, maka dapat dirancang strategi pengendalian yang lebih efektif dan efisien. Disamping itu melalui penelitian ini telah diketahui peranan budidaya tanaman kopi secara organik dalam menekan perkembangan hama pada tanaman kopi.

8 BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1. Pelaksanaan Survei Awal

Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pola purposive sampling. Penelitian ini diawali dengan melakukan survei di dua kecamatan yang terdapat perkebunan kopi arabika organik maupun anorganik, yaitu Kecamatan Atu Lintang dan Kute Panang, Kabupaten Aceh Tengah. Survey tahap pertama bertujuan untuk menghomogenkan seluruh lokasi penelitian, meliputi : a) kondisi umum lokasi penelitian, meliputi letak geografis lokasi penelitian, luas, sistem pengelolaan dan batas-batas wilayah lokasi penelitian, b) faktor lingkungan, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman seperti varietas, umur tanaman, jenis dan kerapatan naungan, dan lain-lain.

4.2. Penentuan Lokasi Plot Percobaan

Dalam menentukan plot percobaan kondisi umum lokasi penelitian dan faktor lingkungan seperti, ketinggian tempat, jenis tanaman naungan, dan umur tanaman sampel diupayakan sehomogen mungkin. Oleh karena itu dilakukan pemetaan wilayah dengan mengukur ketinggian tempat tiap-tiap lokasi penelitian menggunakan GPS. Dari setiap kecamatan tersebar 6 plot sampling, yang terdiri dari 3 plot kopi organik dan 3 plot kopi anorganik. Luas masing-masing plot adalah 1 Ha dengan jumlah 20 tanaman sampel/plot yang diacak secara zig-zag, maka di setiap kecamatan terdapat masing-masing 60 tanaman sampel kopi organik dan anorganik. Dengan demikian jumlah keseluruhan tanaman sampel kopi organik dan anorganik masing-masing adalah 120 tanaman. Untuk menentukan homogenitas semua pohon sampel, pada setiap plot diambil pohon sampel yang berumur 5 – 7 tahun.

4.3. Pengamatan

Periode pengamatan dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali yaitu sebelum masa panen raya, saat panen raya dan sesudah panen raya, dengan jumah pengamatan setiap priode sebanyak 2 (dua) kali. Setiap gejala serangan hama pada tanaman sampel diamati, dicatat dan dihitung tingkat serangannya. Untuk menghitung tingkat serangan hama serangga pada tanaman, formula yang digunakan sangat tergantung pada spesies hama yang menyerang, dan ini selalu dikaitkan dengan gejala serangan pada tanaman.

9 Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat serangan hama utama pada tanaman kopi meliputi: 1) Penggerek Buah Kopi Hypothenemus hampei, 2) Penggerek Cabang Xylosandrus compactus, 3) Kutu Putih Ferrisia virgata dan Kutu Hijau Coccus viridis, serta 5) korelasi pola pengelolaan kebun kopi terhadap masing-masing serangan hama.

Tingkat serangan serangga hama merupakan jumlah keseluruhan intensitas serangga yang dikumpulkan pada lokasi pengambilan sampel. Formulasi yang digunakan untuk menghitung tingkat serangan disesuaikan dengan jenis hama dominan.

4.3.1. Tingkat serangan penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei)

Luas areal pengambilan sampel di lahan pengamatan pada setiap lokasi seluas ±1 ha dengan 20 tanaman sampel yang diambil secara zig-zag berdasarkan arah mata angin yaitu : Timur, Barat, Utara, Selatan dan Tengah.

Dari masing-masing areal pertanaman kopi dilakukan beberapa metode pengambilan sampel buah kopi yaitu :

B1 = 100 buah masak (berwarna merah) dari 1 pohon sampel B2 = 100 buah muda (matang susu) dari 1 pohon sampel

B3 = 50 buah masak + 50 buah muda (bercampur) dari 1 pohon sampel

Pengambilan sampel dilakukan dari masing-masing plot berdasarkan pola budidayanya.

Pengamatan persentase buah terserang dilakukan dengan cara mengamati ada atau tidaknya serangan hama PBKo pada buah sampel yang ditandai dengan adanya lubang bekas gerekan hama PBKo pada buah kopi (discus). Menurut Syahnen at al., (2008) persentase buah terserang dihitung dengan rumus:

S =

Dimana :

S : Persentase buah terserang a : Jumlah buah terserang b : Jumlah buah seluruhnya

4.3.2. Tingkat serangan hama penggerek cabang (Xylosandrus spp) a. Persentase cabang terserang

10 Menurut Subekti at al., (2006) intensitas serangan atau berat ringannya serangan hama dihitung dengan menggunakan rumus:

S

b =

Dimana:

Sb = Persentase cabang terserang

n = Jumlah ranting kopi yang terserang penggerek pada tiap-tiap pohon Nb = Jumlah total cabang kopi pada tiap-tiap pohon

Intensitas serangan diklasifikasikan sebagai berikut: Ringan (< 25 %), Sedang (25 % - 50%), Berat (>50%)

b. Persentase sebaran serangan

Persentase sebaran serangan dengan rumus:

S

=

Dimana:

S = Persentase sebaran serangan

n = Jumlah pohon kopi yang terserang penggerek pada tiap-tiap plot N = Jumlah pohon kopi dalam tiap-tiap plot

4.3.3. Tingkat serangan kutu hijau (Coccus viridis) dan kutu putih (Ferrisia virgata)

Pengamatan kutu tanaman dilakukan secara ekstensif yaitu khususnya kutu hijau (Coccus viridis) pada setiap tanaman sampel. Serangan kutu dibedakan menjadi serangan pada pucuk tanaman, daun dan pada buah kopi. Menurut Rismayani at al., (2013) intensitas serangan kutu hijau dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

S

k = Dimana :

Sk = Persentase serangan kutu Na = Serangan pada pucuk tanaman Nb = Serangan pada daun

Nc = Serangan pada buah kopi

11 Tingkat serangan hama kutu tanaman di kelompokkan menjadi:

a. tanaman sehat yaitu tanaman yang mengalami serangan 0 %

b. tanaman terserang ringan yaitu yang mengalami serangan 1 – 25 % c. tanaman terserang sedang yaitu yang mengalami serangan 26 – 50 % d. tanaman terserang berat yaitu yang mengalami serangan > 50 %.

18 BAB VI. RENCANA DAN TAHAPAN BERIKUTNYA

Selanjutnya dari hasil penelitian ini akan dilakukan penulisan draft untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional.

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan

a. Serangan hama tanaman kopi, termasuk hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) disamping sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya tanaman kopi, juga dipengaruhi oleh letak kebun kopi dari permukaan laut

b. pada perkebunan kopi organic diduga ada musuh alami yang berperan menekan populasi hama PBKo, sehingga tingkat serangan hama PBKo pada perkebunan kopi organic lebih rendah disbanding perkebunan kopi anorganik

pada ketinggian di atas 1.300 m di atas permukaan laut tingkat serangan hama PBKo lebih rendah dibandingkat ketinggian di bawah 1.300 m dpl, karena pada ketinggian di atas 1.300 m dpl keadaan iklim terutama keadaan suhunya kurang ideal untuk perkembangan hama PBKo.

7.2. Saran

Perlu ada penelitian lanjutan untuk melihat biodiversitas Arthropoda antara perkebunan kopi organic dan anorganik pada berabagai elevasi.

19 DAFTAR PUSTAKA

1. Bengtsson, J., Ahnstrom, J. dan Weibull, Ann-C. 2005. The Effects of Organic Agriculture on Biodiversity and Abundance: a Meta-Analysis. Appl. Ecol. 42 (2): 261-269.

2. Garratt, M.P.D., Wright, D.J. dan Leather, S.R. 2012. The Effects of Farming System and Fertilizers on Pests and Natural Enemies: a Synthesis of Current Research. Organic Agriculture of Centre of Canada. Dalhousie University.

3. Puech, C., Baudry, J., Joannon, A., Poggi, S. dan Aviron, S. 2014. Organic vs Conventional Dichotomy: Doest it Make Sense for Natural Enemies?. Agr. Ecos. Env. 194: 48-57.

4. Hamdi, S., Sapdi, Husni. 2015. Komposisi dan Struktur Komunitas Parasitoid Hymenoptera antara Kebun Kopi yang Dikelola Secara Organik dan Konvensional di Kabupaten Aceh Tengah. Floratek. 10 (2).

5. Bommarco, R., Miranda, F., Bylund, H. dan Bjorkman, C. 2011. Insecticides Suppress Natural Enemies and Increase Pest Damage in Cabbage. Econ. Entomol. 104 (3): 782-791.

6. Cloyd, R. A. 2012. Indirect Effects of Pesticides on Natural Enemies. Pesticides – Advances in Chemical and Botanical Pesticides. http://dx.doi.org/10.5772/47244.

7. Zhao, Z.H., Hui, C., He, D.H. and Li, B.L. 2015. Effects of Agricultural Intensification on Ability of Natural Enemies to Control Aphids. Scientific Reports 5. No. 8024.

doi:10.1038/srep08024.

8. Beers, E. H., Mills, N.J., Shearer, P.W., Horton, D.R., Milickzy, E.R., Amarasekare, K.G. dan Gontijo, L.M. 2016. Nontarget Effects of Orchard Pesticides on Natural Enemies:

Lessons from the Field and Laboratory. Biol. Control. 102: 44-52.

9. Zacharia, J.T. 2011. Ecological effects of pesticides. Pesticide in modern world risks and benefits (Stoydcheva, M. Edt.). InTech. www.intechopen.com.

10. Abrol, D. P. & U. Shankar. 2014. Pesticide, food safety and pest management.

ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/269338615.

11. Hill, M.P., S. Macfadyen & M.A. Nash. 2017. Broad spectrum pesticides application alters natural enemy communities and may facilitate secondary pest outbreaks. PeerJ.

https://dx.doi.org/10.7717/peerj.4179.

12. Hu, R., X. Huang, J. Huang, Y. Li, C. Zhang, Y. Yin, Z. Chen, Y. Jin, J. Cai & F. Cui. 2015.

Long- and short-term health effect on pesticide exposure: a cohort study from China.

PLoS One. https://dx.doi.org/10.1371%2Fjournal.pone.0128766

13. Mahmood, I., S.R. Imadi, K. Shazadi, A. Gul & K.R. Hakeem. 2015. Effects of Pesticides on environment. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication286042190

20 14. Nicolopoulou-Stamati, P., S. Maipas, C. Kotampasi, P. Stamatis & L. Hens. 2016.

Chemical Pesticides and Human Health: the urgent need for a new concept in agriculture.

Front Public Health. https://dx.doi.org/10.3389%2Ffpubh.2016.00148

15. Savopaolo-Soltani, M., N.T. Papadopoulos, P. Milonas & P. Moyal. 2012. Abiotic Factors and Insect Abundance. Psyche a Journal of Entomology. Doi: 10.1155/2012/167420.

18

Coffee berry borer (Hypothenemus hampei Ferr.) attacks in organic and conventional Arabica coffee plantations

Husni1

Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia. Email:proteksi.tanaman@unsyiah.ac.id

Key words: Arabica coffee, organic and conventional coffee plantation, Hypothenemus hampei

We have conducted a series of studies on Arabica coffee plantations in Aceh Tengah Regency, Aceh Province, Indonesia to study the effect of organic and conventional coffee plantation systems on the level of attack by coffee berry borer (CBB), Hypothenemus hampei. The results showed that at each observation the level of CBB attacks on coffee plants cultivated organically was lower than those cultivated conventionally. The level of CBB attack on organic and conventional coffee plantations is between 7.9 - 12.1% and 13.2 - 22.2% respectively. From the results of this study it is suspected that in coffee plantations that are cultured organically there are more diverse or more abundant organisms that act as natural enemies, so they can suppress CBB population development. Meanwhile, conventional coffee cultivation is suspected to have decreased the natural enemy population of CBB, because on these lands synthetic pesticides have been used continuously to control various disturbing organisms in coffee plants. The results of this study indicate that organic coffee farming systems have played an important role in maintaining the biodiversity of various organisms in coffee plantations, so that the population development of various coffee plant pests, i.e. CBB can be balanced by the development of their natural enemy population.

Introduction

Coffee berry borer (CCB) is the most dangerous insect pest in coffee plants (Kalshoven, 1981;

Burbano et al., 2011; Messing, 2012; Vijayalakshmi et al., 2013; Aristizabal et al., 2017). The coffee berry borer (CBB), Hypothenemus hampei, is the most significant insect pest of coffee worldwide.

CCB (Hypothenemus hampei) originated in Central Africa, was first discovered in a coffee plantation on the island of Java in 1909 (Kalshoven, 1981). As a result of this pest attack has caused a decrease in the production of coffee beans both in quantity and quality. Due to this pest attack coffee

production can decrease by up to 50% (Indonesia Coffee and Cacao Research Institute, 2006).

Barrera (2008) reports that loss of results due to CCB attacks can reach 30-35%, even in the harvest season can reach 100%.

This pest attack from year to year continues to increase, even these pests are reported to have attacked coffee plants planted at an altitude of 1500 m above sea level. The effects of global warming are thought to have triggered an increase in insect pest attacks on various crops grown in the highlands, including coffee plants. The use of synthetic insecticides to control these pests is not

19 recommended, because in addition to being

ineffective it can also adversely affect humans and the surrounding environment. Therefore, it is necessary to look for other alternatives to control these pests.

One alternative that is very possible is to empower the natural enemies of CCB pests that are inside the coffee plantation area. These domestic natural enemies can be predators, parasitoid insects, or entomopathogens. These biocontrol agents will be able to suppress the development of pest populations, if supported by good environmental conditions, namely the environment that is free from the contamination of harmful chemical compounds, especially those derived from pesticides. The only system that allows for the preservation of biocontrol agents on agricultural land is the organic farming system. Organic farming system is an agricultural system that does not use harmful chemicals at all, either from pesticides or synthetic fertilizers. Human awareness of the importance of applying organic farming systems is triggered by their awareness of the dangers of synthetic chemical compounds to humans and the environment. Now there are several agricultural commodities that apply organic farming systems, one of which is coffee plants.

One area of organic coffee plantation that is quite extensive is in Aceh Tengah District, Aceh Province, Indonesia. In the area it has been cultivated more than 13,000 Ha of Arabica coffee plants organically (Disbunhut Kabupaten Aceh Tengah, 2015). One reason farmers in this area grow coffee organically is because the selling price of organic coffee beans is much higher than conventional ones. Arabica coffee is the main export commodity from this region. The reason for the higher selling price of organic coffee is because organic coffee is considered safer to consume, especially by consumers abroad.

Organic coffee cultivation is not only economically beneficial, but also ecologically, because the organic farming system does not negatively affect the environment. Conversely, conventional farming systems are thought to have triggered environmental damage, both biotic and abiotic. Quite a lot of research reports on the plantations that are managed organically with conventional ones.

Material and Methods

Selection of Research Plot Location

In determining the research plot, the general

In determining the research plot, the general

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA (Halaman 9-0)

Dokumen terkait