3 Pengarusutamaan pada Peraturan dan
3.3 Arah Transformasi Kebijakan
Trasformasi kebijakan yang dimaksud di sini bukan hanya untuk mempercepat pembangunan dan
beroperasinya KPH tetapi sekaligus memastikan bahwa pelaksanaan perencanaan kehutanan dan pengelolaan hutan berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana diketahui, berdirinya KPH tanpa disertai dengan perbaikan kebijakan lainnya, seperti yang terkait dengan kawasan hutan, perizinan, rehabilitasi maupun konservasi dan perlindungan hutan, maka hampir dapat dipastikankan tidak akan efektif untuk menjalankan fungsinya.
Keterkaitan antara program pembangunan dan beroperasinya KPH dengan masalah kehutanan secara keseluruhan yang juga berpengaruh terhadap percepatan beroperasinya KPH sebagaimana diutarakan di atas, serta memerhatikan proses perbaikan kebijakan kehutanan secara nasional, maka dalam kebijakan percepatan berfungsinya KPH perlu keterkaitan dengan substansi serta pelaku/aktor lainnya, sebagai berikut:
Tabel 3.1 Arah Penyesuaian/Penambahan Peraturan Berdasarkan Prinsip dan Karakteristik Perizinan
Prinsip
Perizinan terkait Peran KPH Rekomendasi lokasi izin
usaha besar
Verifikasi lokasi izin bagi
usaha kecil
Penguatan kapasitas masy lokal/adat
1. Ketepatan Tupoksi KPH menetapkan lokasi izin
usaha besar dalam RJP dan sudah disetujui Kemenhut, dan Dinas Kehutanan
Kemenhut dan Pemda diba- tasi berperan dalam administrasi hutan
KPH melaksanakan dialog dan strategi penyelesaian status lokasi masyarakat adat/lokal, keputusan penetapan dilakukan oleh Kemenhut
2. Efisiensi administrasi
perizinan
Rekomendasi izin dilakukan antar lembaga/unit kerja pemerintah/Pemda—KPH dan tidak melibatkan calon pemegang izin
KPH menentukan lokasi izin bagi masyarakat lokal/adat
—
3. Meminimalkan akses terbuka
Kerja sama KPH dan pemegang izin usaha besar untuk melakukan perlindungan hutan di wilayah KPH
KPH dan masyarakat lokal/adat mengembangkan hubungan dengan lembaga-lembaga masyarakat formal-informal untuk melakukan perlindungan hutan
KPH dapat mengembangkan skema kemitraan dengan masyarakat
4. Meningkatkan kapasitas
masyarakat
Kerja sama KPH dan pemegang izin dalam penguatan modal sosial masyarakat
Pengembagan mekanisme kon- sultasi publik dalam penetapan tata hutan yang terkait dengan lokasi usaha/izin masyarakat lokal/adat
KPH bersama pihak lain me- nyiapkan masyarakat untuk siap mengurus izin
1. Sejauh ini sudah terdapat perubahan dan rancangan perubahan beberapa peraturan di Kementerian Kehutanan. Baik terkait dengan pengukuhan dan penggunaan kawasan hutan maupun dengan perizinan. Perubahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyelesaian masalah pada masing-masing bidang, yang sebagian pembahasannya dalam lingkup koordinasi 12 Kementerian/Lembaga (K/L) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Dalam koordinasi tersebut diagendakan juga percepatan beroperasinya 120 KPH. Dalam pelaksanaanya akan dilaksanakan bersama dengan Dinas Kehutanan, Kepala KPH bersama Gubernur dan Bupati, yang dikaitkan dengan pembahasan perbaikan kebijakan perizinan lainnya terutama perizinan pertambangan dan perkebunan;
3. Masalah kepastian status hutan negara sejauh ini menjadi kendala bagi hampir seluruh pengelolaan fungsi hutan, baik hutan konservasi, lindung, maupun produksi. Kapasitas Panitia Tata Batas (PTB) sudah terbukti tidak mampu menyelesaikan klaim hutan negara dengan waktu kerja 1 tahun di setiap lokasi. Dampaknya, hasil kerjanya walaupun legal, tetapi cenderung tidak mendapat legitimasi masyarakat. Selain itu adanya keputusan Mahkamah Konstitusi No. 45 tahun 2011 dan No. 35 tahun 20129 walaupun telah direspons oleh Kementerian Kehutanan melalui surat edaran (SE) kepada Gubernur dan Bupati/Walikota maupun dunia usaha se-Indonesia, namun respon tersebut tidak secara operasional mengarahkan percepatan penyelesaian klaim hutan negara. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh adanya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44 tahun 2005 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan 9 Di awal tahun 2012, MK melalui putusannya No. 45/PUU-IX/2011 menetapkan,
kawasan hutan negara harus sampai pada tahap penunjukkan agar sah/legal, sehingga status penunjukan kawasan hutan hanya bersifat sementara. Sedangkan pada 16 Mei tahun 2013 ini, MK melalui putusannya No. 35/PUU-IX/2012 kembali memutuskan bahwa hutan adat yang semula menjadi bagian dari hutan negara sekarang menjadi bagian dari hutan hak
di Sumatera Utara. Konflik hutan dan lahan di lapangan hingga saat ini juga tetap terjadi. 4. Kenyataan tersebut secara langsung
dapat menghambat beroperasinya KPH. Untuk itu menjadi sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan percepatan KPH sekaligus menguatkan hubungan kerja untuk menyelesaikan persoalan kepastian status hutan negara, terutama yang dapat terfokus pada KPH-KPH yang sedang berjalan. Perbaikan peraturan dan kebijakan serta penguatan pelaksanaan pengukuhan hutan negara di lapangan memerlukan penguatan jejaring untuk koordinasi baik di internal Kementerian Kehutanan maupun pihak lain di Pusat maupun Daerah.
5. Perubahan peraturan dan kebijakan perizinan sejauh ini belum memastikan bagaimana KPH- KPH yang telah ada berhubungan dengan berbagai bentuk dan jenis izin yang berada di dalam hutan negara dimana KPH bekerja. Sementara itu, lingkungan perizinan yang tidak efisien dan tidak adil serta mempunyai kaitan erat dengan kepentingan-kepentingan politik praktis10, belum kondusif bagi beroperasinya KPH yang lebih mengutamakan efisiensi, akuntabilitas dan keterbukaan pengelolaan hutan negara melalui rencana kerja yang transparan bagi publik.
6. KPH yang dapat beroperasi dengan baik, secara konsep dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik (good forestry governance). Namun lingkungan dimana KPH dibangun secara umum belum mendukung penerapan tata kelola hutan yang baik tersebut11. Oleh karenanya, kebijakan percepatan KPH perlu dikoordinasikan secara kuat dengan berbagai unit kerja di
10 Informasi ini dari hasil kajian yang dilakukan oleh KPK bidang penelitian dan
pengembangan dengan koordinator pelaksananya Hariadi Kartodihardjo dan Grahat Nagara. Kajian ini dikaitkan dengan pelaksanaan perbaikan sistem pemerintahan melalui Nota Kesepahaman Bersama/NKB 12 Kementerian/Lembaga. 11 Kondisi tersebut dikonfirmasi, misalnya oleh hasil kajian UNDP Indonesia (2013) di
sepuluh provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat yang menunjukkan indeks tata kelola hutan dan lahan rata-rata 2,33 dari nilai maksimum 5. Praktik-praktik PSDA di pusat, provinsi dan kabupaten mempunyai rata-rata indeks masing-masing 2,78, 2,39 dan 1,80. Kajian tersebut juga sejalan dengan kajian ICEL di tahun yang sama, di Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
dalam Kementerian Kehutanan yang terkait perizinan maupun inisiatif yang kini sedang mengkoordinasikan perubahan peraturan dan kebijakan perizinan seperti Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) maupun KPK.
7. T i d a k s e p e r t i p e l a k s a n a a n p roye k pembangunan, yang pekerjaannnya akan berhenti ketika proyek selesai, pengoperasian KPH akan bersifat permanen. Sama seperti pengoperasikan lembaga Pemerintah/ Pemda. Secara konsep KPH juga tidak akan bangkrut sebagaimana yang dapat terjadi pada perusahaan swata. Hal itu menunjukkan, mengoperasikan KPH berarti mewujudkan tanggung jawab Pemerintah/Pemda terhadap pengelolaan kekayaan negara—sebagai perwujudan hak menguasai negara, yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh para pemegang izin.
Sementara itu, secara umum kenyataan di lapangan masih menggunakan sistem perizinan sebagai instrumen penguasaan hutan negara. Kebijakan yang sedang berjalan juga masih menjauhkan tanggung jawab lembaga Pemerintah/Pemda atas terjadinya kerusakan hutan—akibat hutan alam tidak dipandang sebagai aset. Dampaknya apabila hutan mengalami kerusakan/hilang tidak menyebabkan kerugian negara. Apabila kebijakan terhadap kekayaan negara masih demikian, diperkirakan tanggung-jawab Pemerintah/Pemda terhadap kerusakan hutan alam akan senantiasa rendah. Artinya, KPH juga tidak terdorong menjadi instrumen tata kelola yang dibutuhkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, kebijakan percepatan pengoperasionalan KPH perlu dikaitkan dengan perbaikan dan pelaksanaan lima kebijakan penopangnya, yaitu:
1. Pengukuhan kawasan hutan dan masalah penggunaan dan keterlanjuran pemanfaatan hutan yang saat ini berada di bawah koordinasi KPK, serta konflik pemanfaatan hutan/lahan dengan masyaraat adat/lokal—kegiatan policy review oleh: Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Badan Pertanahan
Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian;
2. Mengintegrasikan program percepatan beroperasinya KPH dengan meninjau kebijakan perizinan serta meninjau kebijakan penataan kekayaan negara yang terkait dengan program peningkatan tata kelola pemerintahan hutan/ lahan (good forestry/land governance) secara keseluruhan—kegiatan tinjauan kebijakan dilakukan oleh: Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian;
3. Meninjau dan/atau penetapan kebijakan pengembangan sumber daya manusia yang memungkinkan percepatan peningkatan kapasitas KPH dengan dukungan sumber daya manusia baik dari Pusat dan Daerah, baik yang berasal dari pegawai pemerintah/ Pemda maupun non pemerintah/Pemda- kegiatan tinjauan kebijakan oleh: Kementerian PAN, Kementeran Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan;
4. P e n ye l e s a i a n m a s a l a h a d m i n i s t ra s i pelaksanaan program/kegiatan, baik yang terkait investasi Pemerintah ke dalam wilayah yang dikelola KPH, standar biaya kegiatan, jumlah anggaran maupun penetapan indikator kinerja utama—kegiatan tinjauan kebijakan oleh: Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kementerian Kehutanan;
5. Perbaikan tata kelola industri dan perdagangan antara lain strategi kekelompokan sesuai target RPJMN sebagai forward lingkage KPH— kegiatan tinjauan kebijakan oleh: Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan.