5 PEMBAHASAN
5.2 Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap
5.2.3 Arahan Pengembangan Usaha Perikanan Menurut Interaksi Variabel
Pada Bab 4 diilustrasikan pola interaksi variabel intensitas energi (Ei), intensitas tenaga kerja (Li), intensitas produksi (Pi), dan intensitas biaya (Ci) dalam mendukung produksi ikan oleh usaha perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Untuk usaha prikanan JIH misalnya diilustrasikan dengan rumus
YJIH= 16812,565-2,095EiJIH-1,210LiJIH+0,016PiJIH-0,554CiJIH. Berdasarkan ilustrasi tersebut, peningkatan jumlah energi yang digunakan (EiJIH), upaha tenaga kerja (LiJIH), dan biaya produksi (CiJIH) tidak dapat meningkatkan produksi ikan dalam operasi usaha perikanan JIH, namun justru sebaliknya. Hal ini bisa jadi karena penggunaan energi dan biaya lainnya dapat meningkat bila nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan yang memadai.
Konidis tersebut umumnya terjadi pada musim paceklik, dimana nelayan
terkadang lebih sibuk mencari fishing ground yang tepat daripada melakukan
operasional penangkapan (setting). Menurut Mamuaya, et. al (2006), pencarian fishing ground bisa memakan waktu lama dan berada ditempat jauh pada bulan- bulan tertentu, dan bila hal ini berlanjut dapat menambah biaya solar (energi), upah (karena lebih lama melaut), dan biaya operasianl lainnya. Terkait dengan ini, maka dalam operasional JIH di Kabupaten Indramayu perlu memperhatikan pola tersebut. Sebaiknya tidak memaksa melakukan kegiatan penangkapan bila pada bulan-bulan tertentu diindikasi hasil tangkapan sulit didapat karena dapat menyebabkan pemborosan dalam operasional penangkapan ikan.
Peningkatan nilai jual hasil tangkapan ikan oleh JIH (PiJIH) cenderung memacu peningkatan produksi ikan, dimana setiap harga naik Rp 16 dapat memacu peningkatan produksi ikan sebesar 1 ton. Sudarsono (1986) menyatakan bahwa dalam aplikasi teknis perdagangan, harga jual selalu menjadi pelecut peningkatan produksi, karena setiap peningkatan harga jual/nilai produk akan langsung menjadi tambahan keuntungan dalam pemasaran produk tersebut. Hal ini perlu menjadi perhatian, untuk pengembangan usaha perikanan JIH yang umumnya dilakukan dalam skala besar, sehingga manfaatnya lebih terasa bagi nelayan dan masyarakat sekitar.
Pola interaksi variabel intensitas energi JIT (EiJIT), intensitas tenaga kerja JIT (LiJIT), intensitas produksi JIT (PiJIT), dan intensitas biaya JIT (CiJIT) dalam mendukung produksi ikan oleh usaha perikanan JIT yang diilustrasikan dengan rumus YJIT = 10226,986-3,265EiJIT+0,270LiJIT-0,022PiJIH-0,438CiJIT, juga memberikan gambaran variabel yang mendukung secara positif dan negatif. Penambahan upah tenaga kerja cenderung mendukung secara positif peningkatan produksi ikan pada usaha perikanan JIT. Menurut Fauzi (2004), apresiasi yang tinggi terhadap tenaga kerja dapat meningkatkan kinerja dan loyalitas mereka
dalam berusaha. Pengaruh apresiasi dalam bentuk penambahan upah atau bonus tersebut terkadang tidak bisa diprediksi, pada kondisi tertentu dapat membawa dampak pantastis dan pada kondisi lainnya bisa sangat kecil dan bahkan tidak ada.
Berdasarkan ilustrasi rumus tersebut, penambahan energi, intensitas produksi, dan pembiayaan tidak berbanding lurus dengan jumlah produksi JIT. Hal ini bisa jadi penambahan pembiayaan tersebut lebih untuk menormalkan kondisi produksi pada kondisi sulit, daripada untuk meningkatkan kinerja poduksi yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan perhitungan bisnis perikanan hendaknya perlu dilakukan secara matang sehingga tidak ada pembengkakan biaya di kemudian hari. Hal ini penting supaya usaha perikanan tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan hingga masa mendatang.
Pengaruh upah tenaga kerja pada usaha perikanan payang juga positif bagi peningkatan produksi, seperti diilustrasikan pada rumus YPy = 15191,641- 0,724EiPy+0,199LiPy-0,113PiPy-0,619CiPy. Berdasarkan ilustrasi ini, setiap peningkatan Rp 199 upah tenaga kerja dapat meningkatkan jumlah produksi sekitar 1 ton. Sedangkan pengaruh penambahan solar dan biaya lainnya dalam operasi penangkapan ikan menggunakan payang ini cenderung tidak bisa membantu peningkatan jumlah produksi. Hal ini karena bahan operasional dan pembiayaan tersebut ditambah lebih karena kesulitan hasil tangkapan yang didapat nelayan dan bukan perbaikan kinerja sudah terbentuk. Menurut Pearce dan Robinson (1997), kinerja merupakan cerminan dari budaya kerja suatu kegiatan bisnis, yang bila sudah terbentuk dan diikuti bersama sulit untuk dirubah kembali.
Dalam operasional usaha perikanan rawai tetap, peningkatan upah/intensitas tenaga kerja (LiRT) dan peningkatan harga jual/intensitas produksi (PiRT) cenderung memacu peningkatan jumlah produksi ikan di Kabupaten Indramayu. Nilai positif untuk koefisien LiRT dan PiRT pada rumus YRT = 1127,835 - 0,154EiRT + 0,016LiRT + 0,011PiRT - 0,045CiRT (Bab 4) mengindikasikan hal ini. Hal ini bisa jadi karena rawai tetap biasanya diusahakan dalam skala menengah ke bawah, dimana apresiasi yang tinggi kepada tenaga kerja dan harga jual yang positif sangat mudah meningkatkan motivasi tenaga kerja/ABK yang rata-rata hanya 6 orang per unit rawai tetap. Menurut Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ABK usaha perikanan tangkap
skala kecil umumnya lebih kompak daripada usaha perikanan berskala industri. Hal ini karena mereka umumnya berasal dari kerabat dan saling mengenal dengan baik satu sama lain. Terkait dengan ini, maka apresiasi dalam bentuk tambahan upah, bonus atau lembur perlu diperhatikan dengan baik pada usaha rawai tetap ini, dan operasi penangkapan perlu dioptimalkan pada saat harga jual baik.
Penambahan biaya produksi pada usaha perikanan handline cenderung
meningkatkan kinerja usaha (jumlah produksi ikan meningkat), sedangkan pada usaha perikanan jaring klitik dampak positif tersebut tidak terjadi. Bila melihat lebih jauh, peningkatan biaya produksi pada handline cenderung terjadi penambahan atau peningkatan kualitas umpan, sedangkan yang lainnya tidak banyak berubah. Bila demikian, maka peningkatan jumlah produksi ikan cukup wajar terjadi karena umpan yang digunakan lebih baik. Hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam operasional usaha perikanan tangkap yang menggunakan umpan.
Sedangkan pada usaha perikanan jaring klitik, umpan tidak digunakan sehingga peningkatan biaya dapat terjadi bila ada penambahan bahan bakar (solar), perbekalan dan lainnya. Sedangkan penambahan solar jaring klitik (EiJK) juga tidak membawa dampak baik pada peningkatan jumlah produksi (YJK), seperti ditunjukkan pada rumus YJK = 185,663-0,013EiJK-0,007LiJK-0,002CiJK. Hal ini memberi indikasi bahwa penambahan biaya dalam operasi penangkapan ikan pada jaring klitik tidak di Kabupaten Indramayu belum menyentuh secara langsung pada kegiatan teknis penangkapan ikan. Monintja (2001) menyatakan bahwa aspek teknis seperti umpan, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan (GIS, fish finder, dan lainnya) harus dipersiapkan setiap teras kehandalannya dalam operasi penangkapan ikan . Terkait dengan ini, maka aspek teknis yang berpengaruh langsung pada kegiatan penangkapan perlu menjadi perhatian dan dipersiapkan secara serius, terutama pada usaha perikanan skala kecil yang terbatas/sederhana peralatannnya.