• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Usaha Perikanan Tangkap bagi Ekonomi Kawasan

5 PEMBAHASAN

5.2 Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap

5.2.2 Peran Usaha Perikanan Tangkap bagi Ekonomi Kawasan

Bagi Kabupaten Indramayu, usaha perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi dominan dan paling banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat

lokal. Usaha perikanan tangkap mendukung aktivitas ekonomi berbasis perikanan dan pengembangan usaha pendukung seperti usaha perbekalan, sumber energi, jasa pelabuhan, dan lainnya. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan terutama yang berbasis pada penangkapan akan menjadi cikal bakal pengembangan ekonomi kawasan, karena dapat mendorong berkembangnya kegiatan pendukung baik dalam pengadaan bahan/peralatan operasi penangkapan, distribusi hasil tangkapan, maupun jasa pelabuhan.

Energi terutama solar merupakan bahan utama yang dibutuhkan untuk mendukung operasi penangkapan ikan menggunakan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik. Hasil analisis intensitas energi pada Bab 4 memberi indikasi tentang pentingnya kegiatan penyediaan bahan bakar solar bagi berlangsungnya kegiatan perikanan di Kabupaten Indramayu. Setiap kg ikan yang ditangkap nelayan membutuhkan sejumlah solar dalam jumlah tertentu untuk menangkapnya. Menurut Hanna (1995), untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam, maka setiap satuan sumberdaya input yang digunakan hendaknya dapat menghasilkan sumberdaya output dengan nilai yang lebih besar dari sumberdaya input.

Harga jual ikan di Kabupaten Indramayu berkisar antara Rp 14.000 – Rp 29.000 per kg. Bila nilai dihubungkan dengan intensitas energi rata-rata usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik masing-masing sekitar Rp 447,86 per kg, Rp 386,70 per kg, Rp 434,02 per kg, Rp 1281,75 per kg, Rp 923,58 per kg, dan Rp 1723,19 per kg, maka nilai sumberdaya output jauh lebih besar daripada sumberdaya input berupa solar. Dalam kaitan ini, maka dari segi intensitas energi, keenam usaha perikanan tangkap tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan di lokasi, sehingga perannya bagi pengembangan ekonomi kawasan dapat terus

dilanjutkan. Menurut Tomascik, et.al (1999), peran usaha perikanan bagi

ekonomi Indonesia sangat dirasakan di kawasan pesisir dan untuk mempertahankannya perlu keseimbangan dengan perkembangan sumberdaya ikan dan lingkungan sekitarnya.

Usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik juga menyerap tenaga kerja yang

cukup besar. Setiap usaha perikanan JIH, JIT, dan payang dapat menyerap tenaga kerja 7 – 15 orang, sedangkan rawai tetap dan jaring klitik dapat menyerapkan tenaga kerja sekitar 4-8 orang dan setiap handline menyerap tenaga kerja 1 – 3 orang. Fauzi (2010) menyatakan bahwa nilai manfaat yang diberikan usaha perikanan kepada nelayan pelakunya akan menjadi jaminan penting keberlanjutan usaha perikanan tersebut di suatu kawasan perikanan. Hasil analisis intensitas tenaga kerja pada Bab 4 menjadi gambaran penting tentang manfaat yang bisa diterima oleh nelayan/tenaga kerja perikanan Kabupaten Indramayu dari setiap kg ikan yang ditangkapnya.

Jaring insang tetap (JIT), payang, dan rawai tetap mempunyai intensitas tenaga kerja yang tinggi, masing-masing sekitar Rp 3085,09 per kg, Rp 3144,51 per kg, dan Rp 3211,79 per kg. Bila mengacu kepada nilai intensitas ini, maka setiap kg ikan yang ditangkap menggunakan JIH, payang, dan rawai tetap maka akan memberikan manfaat kepada nelayan/tenaga kerja perikanan yang terlibat masing-masing Rp 3085,09, Rp 3144,51, dan Rp 3211,79. Manfaat tersebut direalisasikan dalam bentuk upah/bagi hasil setelah melakukan trip operasi penangkapan. Mengacu kepada hal ini, maka kontribusi ketiga usaha perikanan tangkap ini dalam mendukung kesejahteraan nelayan sedikit lebih baik daripada tiga usaha perikanan tangkap lainnya dengan intensitas tenaga kerja yang lebih kecil.

Bila nilai intensitas tenaga kerja tersebut dibandingkan dengan harga yang bisa dinikmati pemilik usaha perikanan dari setiap kg ikan yang ditangkapnya, maka intensitas tenaga kerja ini jauh lebih rendah. Terkait dengan ini, maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap tersebut dapat dipertahankan karena membawa manfaat bagi nelayan/tenaga kerja perikanan maupun pemilik usaha perikanan. Sutisna (2007) dalam penelitiannya di Pantai Selatan Jawa menyatakan kunci keberhasilan pembangunan perikanan sangat tergantung pada dukungan masyarakat sekitar. Sementara dukungan masyarakat akan timbul bila ada manfaat ekonomi yang bisa dinikmati baik dalam kapasitas sebagai nelayan buruh maupun sebagai nelayan pemilik.

Terkait dengan ini, maka pembinaan dan pengembangan sangat dibutuhkan sehingga usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik

dapat terus memberi manfaat ekonomi bagi berbagai pihak yang terkait. Manajemen usaha perlu terus dibenahi sehingga efektif dan efisien dalam pengelolaannya, serta ikan hasil tangkapan yang dijual tetap berkualitas baik. Intensitas produksi memberi indikasi tentang kinerja manajemen usaha perikanan tersebut dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan yang dibutuhkan pasar. Menurut Kotler (1997) menyatakan bahwa penerimaan pasar yang baik (harga jual layak) dari suatu produk menjadi ukuran penting dari keberhasilan produksi.

Sedangkan Mamuaya, et. al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

keberlanjutan usaha perikanan sangat ditentukan oleh penerimaan pasar terhadap produk perikanan, kontinyuitas produk, dan nilai manfaat yang diterima pelaku perikanan.

Bila melihat hasil analisis intensitas produksi pada Bab 4, maka usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik mempunyai intensitas produksi yang relatif sama dan termasuk tinggi berkisar Rp 19350/kg – Rp 21392/kg). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja keenam usaha perikanan tangkap tersebut sudah cukup baik. Perbaikan masih dapat dilakukan, sehingga harga jual tersebut selalu dapat diraih dalam setiap trip operasi penangkapan ikan yang dilakukan. Hou (1997) menyatakan bahwa bisnis yang baik harus selalu mengupayakan harga terbaik dari produk yang dihasilkannya dan hal itu akan dapat dicapai bila didukung secara penuh dalam praktek produksi yang dilakukan. Secara sepintas, intensitas produksi payang, rawai tetap, dan handline cenderung lebih tinggi daripada tiga usaha perikanan tangkap lainnya, dan hal ini memberi indikasi bahwa ketiganya mempunyai kinerja yang lebih baik. Hal ini perlu terus dipertahankan sehingga dapat mendukung secara positif pengembangan ekonomi kawasan, karena setiap satuan hasil tangkapan yang diperdagangkan akan memberikan dampak ekonomi baik masyarakat pelakunya maupun bagi daerah dalam bentuk retribusi, pajak perawatan muara, dan lainnya. Fauzi (2005) menyatakan bahwa sebagian dari manfaat ekonomi yang diterima usaha bisnis harus disisihkan untuk pemeliharaan sumberdaya dan lingkungan. Retribusi dan pajak pengelolaan sumberdaya diarahkan untuk maksud ini sehingga perlu didukung dan dikelola secara transparan.

Intensitas biaya memberi gambaran tentang perimbangan keseluruhan biaya yang digunakan dengan output berupa ikan hasil tangkapan selama menjalankan usaha perikanan tangkap. Handline merupakan usaha perikanan tangkap intensitas biaya rata-rata terendah yang mencapai Rp 2430,85 per kg. Hal ini memberi indikasi bahwa dalam pengusahaan handline terjadi penghematan signifikan. Menurut Hanley dan Spash (1993), penggunaan biaya yang rendah dapat meningkatkan nilai manfaat suatu produk kepada pelakunya. Hal ini karena untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sama dengan usaha perikanan tangkap lainnya, handline mengeluarkan biaya yang lebih rendah.

Berkurangnya biaya operasi suatu usaha perikanan tangkap terjadi karena ada penghematan dalam penggunaan berbagai kebutuhan operasi. Bila melihat lebih jauh, kapal handline yang berukuran relatif kecil di Kabupaten Indramayu dapat dioperasikan secara manual dengan dayung (tanpa mesin dan bahan bakar). Hal ini tentu lebih baik karena keuntungan/bagi hasil bagi nelayan pelaku menjadi lebih banyak. Bila dapat dilakukan secara konsisten, maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap tersebut di Kabupaten Indramayu dapat lebih terjaga, begitu juga perannya bagi kesejahteraan nelayan dan ekonomi kawasan. Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keberlanjutan usaha perikanan tidak lepas dari tingkat pemanfaatan usaha bagi rumah tangga nelayan (RTN). Usaha perikanan tangkap yang memberikan penghematan dalam biaya, handal dalam penangkapan ikan, serta memberi manfaat banyak pada masyarakat sekitar akan selalu dilindungi dan dipertahankan keberlanjutan. Usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik melibatkan banyak nelayan lokal (sekitar 90 %) dan mempunyai rate of return yang baik (> bunga bank), sehingga layak dikembangkan di masa datang.

5.2.3. Arahan Pengembangan Usaha Perikanan Menurut Interaksi Variabel