• Tidak ada hasil yang ditemukan

Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA

B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan

Ketika kita memperbincangkan soal kepemimpinan dalam salat maka kita menjumpai para ulama fiqih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpian salat kaum laki-laki. Ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas,

19

Al-Shan’ani, Subul al-Salam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 35.

20

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 47.

21

pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam salat, termasuk bagi jama’ah kaumnya sendiri, baik untuk salat fardu (wajib) maupun salat sunnah.22 Sedangkan Imam Muzani, Abu Tsaur dan al-Thabari membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki.23

Para ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Jabir:

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﰊﺍﺮﻋﺃ ﻻﻭ ﻼﺟﺭ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﻦﻣﺆﺗﻻ

ﺎﻨﻣﺆﻣ ﺮﺟﺎﻓ ﻦﻣﺆﻳﻻﻭ ﺍﺮﺟﺎﻬﻣ

)

ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻪﺟﺮﺧﺍ

(

24 Artinya:

Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”.

Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud:

ﻝﺎﻗ ﺙﺭﺎﳊﺍ ﻦﺑ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﺖﻨﺑ ﺎﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺔﻗﺭﻭ ﻡﺃ ﻦﻋﻭ

:

ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛﻭ

ﺎﻫﺮﻣﺍﻭ ﺎﳍ ﻥﺫﺆﻳ ﺎﻧﺫﺆﻣ ﺎﳍ ﻞﻌﺟﻭ ﺎﻬﺘﻴﺑ ﰲ ﺎﻫﺭﻭﺰﻳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ

ﺎﻫﺭﺍﺩ ﻞﻫﺃ ﻡﺆﺗ ﻥﺃ

.

ﻦﲪﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻝﺎﻗ

:

ﺍﲑﺒﻛ ﺎﺨﻴﺷ ﺎﺫﺆﻣ ﺖﻳﺃﺭ ﺎﻧﺄﻓ

)

ﻪﺟﺮﺧﺍ

ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ

(

25 22

Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah, h. 409.

23

Ahmad Abd al-Rahman al-Banna, al-Fathu al-Rabbany (al-Qahirah: Dar al-Syihab, t.th.), Juz V, h. 234.

24

Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122.

25

Artinya:

Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin al-Harits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.

Wahbah al-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Syiria dalam ensiklopedi fiqhnya, al-Fiqh Islam Waadillatuhu, mengatakan bahwa perempuan hanya sah menjadi imam salat bagi jama’ah kaum perempuan. Perempuan tidak sah menjadi imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia menyebutkan alasan larangan perempuan menjadi imam salat jama’ah laki-laki antara lain hadits Nabi SAW. dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha:

ﻱﻭﺭ

ﺀﺎﻄﻋﻭ ﺔﻤﻠﺳ ﻡﺃﻭ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ

:

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻡﺆﺗ ﺓﺃﺮﳌﺍ ﻥﺃ

Artinya:

“Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha’: bahwa perempuan (hendaklah) menjadi imam bagi kaum perempuan”.

Pernyataan ini juga diperkuat oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni dari Ummu Waraqah:

ﻱﻭﺭﻭ

ﺔﻗﺭﻭ ﻡﺃ ﻦﻋ ﲏﻄﻗﺭﺍﺪﻟﺍ

:

ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻧﺃ

ﺀﺎﺴﻧ ﻡﺆﺗ ﻥﺃ ﺎ

ﺎﻫﺭﺍﺩ

26 Artinya:

“Al-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu Waraqah bahwa Nabi Muhammad SAW. menperkenankan dia menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”.

Ibnu Qudamah, yang terkenal dengan sebutan syeikhnya para pengikut Hanbali, dalam Al-Mughni,27 menjelaskan penafsirannya atas hadits Ummu

26

Waraqah tersebut. Pertama Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami jamaah perempuan. Hal ini, misalnya diperkuat oleh hadits riwayat Daruquthni bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk

menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).28 Kedua, kalaupun

di antara jamaahnya ada laki-laki, maka sesungguhnya peristiwa ini berkaitan dengan salat sunnah karena sebagian dari fuqaha mazhab Hanbali memang membolehkan perempuan menjadi imam dalam salat tarawih. Ketiga, apabila kasus Ummu Waraqah benar-benar berkaitan dengan salat wajib, maka ketentuan itu harus dimaknai bersifat kasuistik dan khusus untuk Ummu Waraqah, sebab ketentuan tersebut tidak pernah disyari’atkan kepada perempuan lain. Atas dasar analisis tersebut, Ibnu Qudamah tetap berkesimpulan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki. Padahal Ibnu Qudamah tidak mengatakan bahwa hadits Ummu Waraqah itu dhaif.

Ibnu Qudamah hanya mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud pengertiannya umum dan harus diartikan dengan riwayat Imam al-Daruquthni yang menyatakan bahwa Nabi SAW. menyuruh Ummu Waraqah untuk mengimami salat jamaah untuk kaum perempuan penghuni rumahnya. Ini juga berarti bahwa hadits Ummu Waraqah menurut Ibnu Qudamah adalah shahih, baik dalam riwayat Abu Daud maupun riwayat al-Daruquthni.29

Al-Syaukani mengungkapkan hadits tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi jama’ah laki-laki dengan lebih lengkap sebagai berikut:

27

Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-Fattah Muhammad al-Hilwu (Riyadh: Hajar, 1987), Jilid III, h. 33-34.

28

Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 29

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﺗﻻ

ﰊﺍﺮﻋﺃ ﻻﻭ ﻼﺟﺭ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﻦﻣﺆ

ﻪﻔﻴﺳﻭ ﻪﻃﻮﺳ ﻑﺎﳜ ﻥﺎﻄﻠﺴﺑ ﻩﺮﻬﻘﻳ ﻥﺃ ﻻﺇ ﺎﻨﻣﺆﻣ ﺮﺟﺎﻓ ﻦﻣﺆﻳﻻﻭ ﺍﺮﺟﺎﻬﻣ

)

ﻪﺟﺮﺧﺍ

ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ

(

30 Artinya:

Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang-orang jahat bagi orang mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti cambuknya atau pedangnya”.

Al-Syaukani kemudian mengemukakan penilaian ulama ahli hadits mengenai kwalitas hadits ini. Katanya:

ﻒﻟﺎﺗ ﻮﻫﻭ ﻰﻤﻴﻤﺘﻟﺍ ﺪﻤﳏ ﻦﺑ ﷲﺍﺪﺒﻋ ﻩﺩﺎﻨﺳﺇ ﰱ ﺮﺑﺎﺟ ﺚﻳﺪﺣ

.

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻝﺎﻗ

:

ﺚﻳﺪﳊﺍ ﺮﻜﻨﻣ

.

ﻥﺎﺒﺣ ﻦﺑﺍ ﻝﺎﻗﻭ

:

ﻪﺑ ﺝﺎﺠﺘﺣﻻﺍ ﺯﻮ

.

ﻊﻴﻛﻭ ﻝﺎﻗﻭ

:

ﺚﻳﺪﳊﺍ ﻊﻀﻳ

ﻂﻴﻠﲣﻭ ﺚﻳﺪﳊﺍ ﺔﻗﺮﺴﺑ ﻢﻬﺘﻣ ﻪﻨﻜﻟﻭ ﺔﺤﺿﺍﻮﻟﺍ ﰱ ﺐﻴﺒﺣ ﻦﺑ ﻚﻠﳌﺍ ﺪﺒﻋ ﻪﻌﺑﺎﺗ ﺪﻗﻭ

ﺪﻴﻧﺎﺳﻷﺍ

ﻚﻠﳌﺍ ﺪﺒﻋ ﻥﺄﺑ ﱪﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﺡﺮﺻ ﺪﻗﻭ

ﻛﺬﳌﺍ

ﺍﺬﻫ ﺩﺎﻨﺳﺇ ﺪﺴﻓﺃ ﺭﻮ

ﺚﻳﺪﳊﺍ

.

31 Artinya:

”Hadits Jabir dalam rantai sanadnya ada Abdullah bin Muhammad al-Tamimi, dia adalah rusak. Al-Bukhari berkata: munkar al-hadits. Ibn Hibban berkata: (yang diriwayatkan) orang itu tidak bisa dijadikan dasar hukum. Waki’ berkata: dia sering memalsukan hadits. Abdul Malik memasukkan hadits itu dalam kitab al-Wadhihah, namun dia juga dituduh mencuri hadits, mencampur rantai sanad. Ibn Abdul Barr menegaskan bahwa Abdul Malik itu telah merusak sanad hadits di atas.

Imam al-Busyairi dalam kitab Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah menyebutkan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi

30

Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122.

31

imam salat bagi makmum laki-laki adalah dhaif (lemah) karena di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya. Dua orang itu adalah Ali bin Zaid bin Ju’dan dan Muhammad bin Abdullah al-’Adawi.32 Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazab berpendapat bahwa hadits Jabir yang diriwayatkan Ibnu Majah dan al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif.33

Hadits riwayat Ibnu Majah yang menjadi dasar hukum mayoritas ulama, antara lain diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad al-Adawi al-Tamimi. Mengenai hadits ini para ulama ahli hadits melakukan penilaiannya masing-masing:

1. Al-Bukhari dan Abu Hatim al-Razi mengatakan bahwa ”Hadits Abdullah bin Muhammad al-Adawi munkar”. Abu Hatim selanjutnya menambahkan: ”Abdullah bin Muhammad al-Adawi guru yang tidak dikenal”.

2. Ibnu Adi mengatakan: ”Hadits yang dimiliki Abdullah bin Muhammad al-Adawi sedikit”.

3. Imam al-Daruquthni mengomentari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad al-Adawi sebagai hadits yang ditinggalkan.

4. Imam Waki’ bin al-Jarrah mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad al-Adawi suka membuat hadits palsu.

32

Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah, Ed. al-Syeikh Muhammad Mukhtar Husain(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 167.

33

Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya Turas al-Arabiy, 2001), Juz IV, h. 107.

5. Ibnu Hibban mengatakan ”Hadits yang Abdullah bin Muhammad al-Adawi riwayatkan tidak boleh menjadi dasar hukum”.

6. Ibn Abdu al-Barr mengatakan segolongan ulama mengatakan bahwa hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah ini adalah bikinan Abdullah bin Muhammad al-Adawi. Menurut mereka, orang ini terkenal pendusta.34

Kemudian, untuk hadits Abu Daud yang menjadi dasar kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang merupakan pendapat Abu Tsaur, al-Muzani dan al-Thabari, terdapat seorang perawi yang perlu dilihat kualifikasinya, yaitu al-Walid bin Abdullah bin Jumayyi’ al-Zuhri al-Maliki. Mengenai orang ini, para ulama hadits memberikan komentarnya sebagai berikut:35

1. Ahmad dan Abu Daud mengatakan: ”Dia tidak bermasalah”. Begitu juga yang dinyatakan oleh Abu Zur’ah.

2. Ibn Ma’in dan al-Ijli mengatakan bahwa dia terpercaya.

3. Abu Hatim mengomentari: ”Hadits yang diriwayatkannya bagus”.

4. Ibn Hibban memasukkan dia dalam kelompok orang-orang yang dapat dipercaya.

5. Ibnu Sa’ad juga mengatakan bahwa dia dapat dipercaya, dia mempunyai banyak hadits.

34

Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat Ma’arif al-Nizhamiyah, t.th), Juz VI, h. 21.

35

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 41.

6. Al-Uqaili memandang bahwa hadits yang diriwayatkannya membingungkan.

Selanjutnya, terhadap perawi Abdurrahman bin al-Khalad, Ibn Hibban memasukannya ke dalam golongan orang yang dapat dipercaya.36 Sementara Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, penulis kitab Aun Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan bahwa Abu Hasan ibn al-Qaththan berpendapat bahwa hal ihwalnya tidak diketahui.37

Dari penilaian ulama terhadap hadits riwayat Ibnu Majah dan Abu Daud, jelas terlihat bahwa hadits yang menjadi argumen pandangan minoritas (yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki) ternyata memiliki nilai lebih tinggi dibanding hadits yang menjadi argumen pandangan mayoritas (yang melarang perempuan menjadi imam kaum laki-laki).

Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki dalam perspektif hadits, terdapat hadits-hadits yang bersifat umum dan khusus. Lebih lanjut, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa jika ada ayat yang bersifat mutlak dan muqayyad (terbatas), ada ayat yang pengertiannya umum dan ada ayat yang pengetiannya khusus, maka kedua ayat tersebut harus digabung (dijamak), sehingga pengertian mutlak itu dibatasi dengan

36

Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz VI, h. 168

37

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Jilid II, h. 212.

pengertian muqayyad. Begitu pula apabila dalam suatu masalah terdapat ayat yang pengertiannya umum dan ayat yang pengertiannya khusus, maka ayat yang pertama digabung dengan ayat kedua, sehingga pengertian umum itu menjadi pengertian khusus.38 Kajian ini dalam ilmu ushul fiqh dan tafsir al-Qur’an disebut takhsish.

Apabila ada riwayat hadits yang pengertiannya umum dan ada riwayat yang pengertiannya khusus, maka kedua pengertian tersebut harus digabungkan (dijamak) sehingga riwayat yang berpengertian umum itu menjadi berpengertian khusus.

Hadits Ummu Waraqah tentang imamah perempuan dalam salat terdapat dua pengertian. Dalam salah satu riwayat al-Daruquthni terdapat pengertian khusus bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).39 Sementara dalam riwayat lain seperti riwayat Abi Daud pengertiannya adalah umum yakni bahwa Nabi mengizinkan Ummu Waraqah menjadi imam salat berjamaah bagi penghuni rumahnya.

Lebih lanjut Ali Mustafa Yaquf berpendapat bahwa dengan metode jamak (penggabungan riwayat), maka pengertian hadits Ummu Waraqah secara keseluruhan adalah bahwa Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami salat bagi perempuan penghuni rumahnya.40

38

Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 44-45.

39

Imam al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni,Jilid I, h. 304.

40

Pernyataan hadits Daruquthni jelas berbeda dengan hadits Abi Daud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu Waraqah. Hadits Daruquthni menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah kaum perempuan penghuni rumahnya. Sedangkan hadits riwayat Abi Daud menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni rumahnya, tanpa menyebutkan laki-laki atau perempuan.

C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan

Dokumen terkait