• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metodologi istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metodologi istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Muhammad Ilyas

NIM: 106043101312

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Nama : Muhammad Ilyas

Tempat/ Tanggal Lahir : Tembilahan, 23 Agustus 1984

NIM : 106043101312

Jurusan : Perbandingan Mazhab Fiqh

Judul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan dalam Salat

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 Februari 2011

(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

Muhammad Ilyas

NIM: 106043101312

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Noryamin Aini, MA Mu’min Rauf, MA

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

Salat” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 1 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (...) NIP. 196511191998031002

2. Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si (...) NIP. 197421132003121002

3. Pembimbing I : Drs. Noryamin Aini, MA (...) NIP.196303051991031002

4. Pembimbing II : Mu’min Rauf, MA (...) NIP.150281979

5. Penguji I : Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA (...) NIP. 195609061982031004

(5)

v

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan juga melimpah kepada umat Islam seluruhnya.

Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

vi Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

8. Kedua orang tua tercinta Abah (Syahrul) dan Mama (Nursanah) yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materiil, serta doa dan kasih sayangnya.

9. Kepada cahaya hatiku, insan yang selalu dicintai dan mencintai, Yiyis Wulan Purnama Sanoesi (Imut) yang tiada henti memberikan motivasi dan menyediakan waktu luang untuk membantu proses editing hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga doamu dan doaku dikabulkan oleh yang Maha Kuasa.

10.Sahabat-sahabatku mahasiswa angkatan 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan Perbandingan Mazab dan Hukum yang selama ini telah menjadi teman yang baik. Semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat dan membawa maslahat bagi kelurga, agama, nusa dan bangsa.

(7)

vii

berdoa semoga Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang setimpal kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna, khususnya bagi penulis sendiri dan tentunya bagi para pembaca pada umumnya. Amin

Jakarta, 1 Februari 2011

(8)

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ...v

DAFTAR ISI ... ...viii

BAB I PENDAHULUAN ... ...1

A. Latar Belakang Masalah... ………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... ………...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ...6

D. Review Kajian Terdahulu... ... ...7

E. Metode Penelitian ... ...9

F. Teknik Penulisan ... ...12

G. Sistematika Penulisan...12

BAB II TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA ... ...14

A. Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum ... ...14

B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab ... ...20

BAB III PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA ... ...55

A. Imam Salat... ...55

1.Pengertian Imam salat ... ...55

2.Syarat Imam Salat ... ...57

3.Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik ... ...61

B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an... ...63

C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits ... ...74

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM SALAT....78

(9)

ix

B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan ... ...88

C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat ... ...97

BAB V PENUTUP...112

A. Kesimpulan... ...112

B. Saran ... ...114

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada 18 Maret 2005, Amina Wadud Muhsin, seorang feminis Islam dari Amerika Utara, memimpin salat Jumat yang diikuti oleh 100 orang jamaah, baik laki-laki maupun perempuan di sebuah gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS. Peristiwa ini mendapatkan kecaman publik, tidak hanya di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan sekelompok orang di Amerika mengancam akan meledakkan bom di tempat pelaksanaan salat Jumat yang rencananya akan dilakukan di Sundaram Tagore Gallery. Namun, dengan pertimbangan keamanan, akhirnya dipindahkan di gereja.1

Berbagai reaksi pun muncul di kalangan para ulama, yang sekaligus menghadirkan kembali polemik yang selama ini hampir terkubur dalam pemikiran umat Islam. Tindakan Amina Wadud ini memicu kembali kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan menjadi imam, terutama bagi laki-laki. Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama

1

(11)

umat manusia. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menyebutkan bahwa umat manusia, laki-laki ataupun wanita, siapapun di antara mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari Allah swt. Seperti dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Nahl (16): 97

                              ) . ﻞﺤﻨﻟﺍ / 16 : 97 ( Artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97)

Ayat lainnya seperti dijelaskan di dalam QS. Ali Imran (3): 195

                     ) ناﺮﻤﻋ لا / 3 : 195 ( Artinya:

”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan". (QS. Ali Imran (3): 195)

(12)

unggul dan mulia dari perempuan. Kemuliaan seseorang tidak diukur dari jenis kelamin dan suku bangsa, melainkan dari prestasi dan kepribadian mulia, yang ditampilkan melalui interaksi sosialnya.

Pada dasarnya, ajaran Islam sangat mendorong kepada kaum perempuan untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Karena itulah, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam pandangan Islam, antara lain laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan hak dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada yang ikut berperang, mendukung tugas laki-laki.2

Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodrat masing-masing. Tugas dan tanggung jawab perempuan dalam urusan rumah tangga, misalnya, terutama peran seorang istri, ikut mendukung keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga.3

Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, perempuan diperlakukan sebagai barang yang hampir-hampir tidak mempunyai hak, maka

2

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-3 h..4.

3

(13)

ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai “manusia” yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya laki-laki.4

Prof. Dr. Amina Wadud, intelektual muslim di Amerika Serikat, saat ini menjadi tokoh kontroversial di kalangan umat muslim dunia. Tidak sedikit yang menuduhnya sebagai "senjata baru" Amerika Serikat, yang didesain mempertajam stigmatisasi (pencitraburukan) Islam di mata dunia setelah berbagai stigmatisasi pasca-Black September 2001 justru membuat George W. Bush banyak mendulang kecaman dunia internasional.

Banyak juga yang menilai tak ada yang salah dari gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat itu karena secara fiqih tidak ada larangan dalam al-Qur’an bagi seorang perempuan menjadi imam dalam salat.

Melalui pertimbangan yang panjang, penulis memutuskan untuk meneliti serta mengkaji metode istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat dengan lebih memfokuskan pada kajian ushul fiqh secara komprehensif.

Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, AS, itu, membuka kembali perdebatan fiqih tentang kebolehan-larangan perempuan memimpin salat yang disertai makmum laki-laki. Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin menuangkan masalah tersebut, dalam

4

(14)

sebuah karya ilmiah dengan judul ”METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis dan mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai imamah perempuan dalam salat, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya agar lebih jelas dan rinci pembahasannya. Persoalan imamah perempuan dalam salat yang sering terjadi di kalangan para ulama merupakan perdebatan dalam ruang lingkup kajian fiqh. Menurut penulis, pembahasan tersebut sudah dianggap selesai. Oleh

sebab itu, penulis memfokuskan tentang metode istidlal atau istinbath ulama mengenai imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian dalam ruang lingkup ushul fiqh. Berkenaan dengan latar belakang masalah tersebut yang berkaitan dengan masalah imamah perempuan dalam salat, maka penulis membatasi penulisan skripsi ini sebagai berikut:

a. Mengenai metode ulama dalam mengistinbathkan hukum perempuan menjadi imam salat.

(15)

2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan masalah-masalah yang hendak dijawab, yaitu:

a. Apa yang menjadi dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat?

b. Bagaimana metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat?

c. Bagaimana penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam salat? d. Apa yang menjadi substansi masalah tentang imamah perempuan dalam

salat?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan skripsi ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat

b. Untuk mengetahui metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat

(16)

d. Untuk mengetahui substansi masalah tentang imamah perempuan dalam salat

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan mengenai kedudukan perempuan sebagai imam salat b. Kegunaan praktis yaitu membuka transformasi hukum yang mungkin akan

terjadi pada masa-masa yang akan datang.

c. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan lembaga keagamaan untuk dapat aktif merespon berbagai fenomena keagamaan aktual yang terjadi di masyarakat.pada masa-masa yang akan datang.

D. Review Kajian Terdahulu

Penelitian tentang imam perempuan dalam salat sudah menjadi tema yang lazim ditemui. Namun yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam, penulis hanya mendapati satu penelitian, yaitu. : Pandangan Ulama tentang Imam

Perempuan: Telaah Kritis terhadap Pemikiran Amina Wadud oleh: Kokom

(17)

Dari penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa imamah perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki maupun campuran, akan terus menjadi pembicaraan hangat dari waktu ke waktu seiring dengan adanya gerakan kesetaraan gender yang terus menerus diperjuangkan oleh kalangan perempuan. Hal yang membedakan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya terletak pada pembahasan yang mengkaji kontroversi imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki dengan lebih fokus meneliti metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum terhadap perempuan yang menjadi imam salat sehingga nantinya diharapkan dapat mengetahui hal yang melatar belakangi pendapat yang melarang dan membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki.

(18)

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk penelitian normatif yakni dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena dalam penelitian ini akan diketahui metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum terutama kaitannya dengan perempuan menjadi imam salat.

Penelitian ini adalah menggunakan metode yang terinci sebagai berikut:

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari data-data yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai metode istinbath ulama tentang imamah perempuan dalam salat.

2. Sumber Data

(19)

a. Data Primer

Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah tentang metode istidlal atau istinbath ulama dalam merumuskan dan menetapkan hukum baik berupa kitab ushul fiqh maupun tentang sejarah ulama mazhab dalam mengistinbathkan hukum. Di antara sumber primer tersebut adalah Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam karya Al-Syatibi, Risalah karya Muhammad bin Idris Syafi’i, Tarikh Mazahib Islamiyyah karya Abu Zahrah, Madkhal ila Tasyri’

al-Islamiy karya Kamil Musa.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder berupa bahan pustaka yang dapat memberikan informasi, melengkapi dan menguatkan data primer dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa tafsir al-Qur’an, hadits, kitab-kitab para ahli dalam bentuk karya ilmiah, buku-buku serta artikel-artikel dalam jurnal ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang diajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

(20)

a. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara menghimpun dan menganalisis data-data pustaka dan relevansinya dengan masalah yang dibahas. Sumber data-data tersebut yaitu:

1. Kitab-kitab sumber hukum tafsir al-Qur’an seperti Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil Ay’ Qur’an karya Muhammad bin Jarir Tabari, Tafsir

Bagawi karya Abu Muhammad Hasan Farra Bagawi, Tafsir

al-Qur’an al-Azim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar karya Rasyid

Ridha, Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab. Selain itu juga merujuk

kepada sumber hukum hadits seperti Sunan Ibnu Majah, Sunan Abi Daud, Sunan al-Daruquthni.

2. Kitab-kitab yang memuat metode istidlal ulama dalam mengistinbathkan hukum dan sejarah ushul fiqh ulama mazhab seperti Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, Tarikh al-Mazahib

al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam

karya Al-Syatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan I’lam Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin karya Ibn Qayyim

al-Jauziyyah.

3. Kitab-kitab tentang pendapat ulama mengenai imamah (kepemimpinan) perempuan dalam salat seperti al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu karya Wahbah Zuhailli, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab

(21)

al-Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi,

al-Mughni karya Ibnu Qudamah dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu

Rusyd.

4. Metode Analisa Data

Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menganalisisnya secara deskriptif-komparatif, objektif dengan memaparkan dan membandingkan metode istinbath para ulama dalam menetapkan hukum dan aplikasinya dengan kepemimpinan perempuan dalam salat dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan hukum.

F. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syrif Hidayatullah Jakarta, 2007.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

(22)

BAB II : TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA

Meliputi, Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum, Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab.

BAB III : PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM

PANDANGAN ULAMA

Meliputi, Pengertian Imam, Syarat Imam Salat, Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik, Imam Salat dalam Perspektif al-Qur’an, Imam Salat dalam Perspektif al-Hadits.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI

ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

DALAM SALAT

Meliputi, Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat, Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan, Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat

BAB V : PENUTUP

(23)

14

A. Tinjauan Umum Tentang Istinbath Hukum

Istinbath, dilihat dari sudut etimologi berasal dari nabth atau nubuth dengan kata kerja nabatha, yanbuthu, yang berarti air yang mula-mula keluar dari sumur yang digali. Dari kata kerja tersebut diubah menjadi muta’adi (transitif), sehingga menjadi anbatha dan istanbatha, yang berarti mengeluarkan air dari sumur. Jadi kata istinbath pada asalnya berarti usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya. Selanjutnya istilah di atas dipakai sebagai istilah fiqh dan ushul fiqh, yang berarti usaha mengeluarkan hukum dari sumbernya.1 Sedangkan secara terminologi, kata istinbath berarti mengeluarkan atau mengambil makna (pengertian) dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki.2 Menurut ilmu ushul fiqh, kata ”ijtihad” identik dengan kata ”istinbath”. Jadi, ijtihad atau istinbath ialah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an dan sunnah.3 Kemudian kegiatan istinbath hukum ini melahirkan ijtihad ulama yang merupakan kegiatan mencurahkan

1

Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 87-88.

2

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 1.

3

(24)

segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama melalui cara tertentu dari sumber-sumber hukum Islam.

Dalil dalam kajian ushul fiqh secara etimologi diartikan dengan ”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.4 Sementara itu, Abdul Wahaf Khalaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dalil ialah:

ﺀﻲﺷ ﻱﺃ ﱃﺇ ﻯﺩﺎﳍﺍ

ﺮﺷ ﻭﺃ ﲑﺧ ﻱﻮﻨﻌﻣ ﻭﺃ ﻲﺴﺣ

5

Artinya:

”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.

Kemudian Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa dalil secara terminologi ialah:

ﻊﻄﻘﻟﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﻰﻠﻋ ﻲﻠﻤﻋ ﻲﻋﺮﺷ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﻪﻴﻓ ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ ﺮﻈﻨﻟﺎﺑ ﻝﺪﺘﺴﻳ ﺎﻣ

ﻦﻈﻟﺍ ﻭﺃ

6

Artinya:

”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun zhani”.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil ialah sesuatu yanag dapat dijadikan alasan atau pijakan

4

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 41.

5

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, t.th.), h. 20

6

(25)

dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.

Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil atau pijakan yang jelas.

Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:7

1. Dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategori kepada bagian ini adalah al-Qur’an dan al-Sunah.

2. Dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu.

Ibnu Hazm dalam al-Ihkam memberikan definisi tentang istidlal yaitu:

ﻪﺠﺋﺎﺘﻧﻭ ﻞﻘﻌﻟﺍ ﻖﻳﺮﻃ ﻦﻣ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﺐﻠﻃ ﻝﻻﺪﺘﺳﻹﺍ

ﻪﻤﻠﻌﻳ ﱂﺎﻋ ﻦﻣ ﻭﺃ

8 Artinya:

“Istidlal itu mencari dalil (menegakkan dalil) dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijahnya, atau dari seseorang yang mengetahuinya”.

7

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 44-45.

8

(26)

Contohnya, kelaziman dari tidak adanya wudhu dengan tidak sah salatnya. Apabila seseorang mengeluarkan angin dari duburnya, wudhunya gugur, maka dengan sendirinya salatnya tidak sah lagi.

Lebih lanjut, Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin memberikan pengertian istidlal yaitu:

ﺎﳘﲑﻏ ﻭﺍ ﻉﺎﲨﺍ ﻭﺍ ﺺﻧ ﻦﻣ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﺔﻣﺎﻗﺇ

9

Artinya:

”Menegakkan dalil untuk suatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, berupa ijma’ ataupun lainnya”.

Sumber-sumber yang telah disepakati jumhur ulama ushul fiqh sebagai dasar dalam mengistinbathkan hukum meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.10 Sedangkan sumber yang tidak disepakati meliputi al-Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishab, al-Urf’, Mazhab shahabi,

Sadd al-dzarai’i dan Syar’u Man Qablana Syar’un Lana.11

Kegiatan istinbath dan ijtihad merupakan pengerahan daya nalar ulama dalam menemukan dan menetapkan hukum. Ijtihad adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti usaha yang ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad. Cara menemukan hukum syar’i yaitu melalui istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dan

9

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (t.t., Amzah, 2005), h. 133.

10

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 23.

11

(27)

dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut.12 Jika persoalan hukum tidak terdapat dalam lafaz, maka ulama mujtahid akan menggunakan metode istinbath lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah dan lain sebagainya dengan tetap bersandarkan kepada lafaz tersebut. Istinbath mengandung arti lebih menekankan bagaimana cara yang ditempuh ulama dalam menemukan hukum dari sumbernya. Sedangkan ijtihad merupakan kegiatan ulama dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum dari sumbernya.

Para mujtahid mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh diluar apa yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an dan hadits. Mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Meskipun ada beberapa metode istinbath dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunaannya oleh ulama.13 Hal ini menunjukkan bahwa cara atau metode istinbath ulama berbeda-beda dalam menetapkan hukum. Adanya perbedaan metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum berimplikasi pada

12

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 238-239.

13

(28)

munculnya perbedaan antara hasil istinbath seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan jenis pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.

Para mujtahid dalam berijtihad langsung merujuk kepada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orisinal. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pendapat tentang hukum, kemudian disebut ”mazhab” dan tokoh mujtahidnya dinamai ”imam mazhab”.14

Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu disampaikan kepada umat dalam bentuk ”fatwa” untuk dipelajari, diikuti dan diamalkan oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid dan pengikutnya secara tetap.15 Selanjutnya para murid dan pengikut imam itu menyebarluaskan mazhab imamnya. Hal ini menjadikan mazhab tersebut berkembang dan

14

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 263.

15

(29)

bertahan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan perkembangannya sampai sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi.

Di antara mazhab fiqh yang terkenal adalah:

1. Mazhab Hanafiyyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H). 2. Mazhab Malikiyyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H).

3. Mazhab Syafi’iyyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H). 4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).

5. Mazhab Zhahiriyyah. Imamnya Dawud ibn Ali al-Ashfahaniy (202-270 H). 6. Mazhab Zaidiyyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin (80-122 H). 7. Mazhab Ja’fariyyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq (80-148 H).

B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab

Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur dimulai di Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu.

(30)

Sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan secara rinci. Perinciannya, dalam masalah ibadah, diberikan oleh hadits. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsi-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Nabi SAW diserahkan kepada umat untuk mengaturnya.

Dalam periode Nabi, karena persoalan yang timbul dalam bidang ini dikembalikan penyelesaiannya kepada Nabi, maka tidak ada persoalan. Tetapi dalam periode sahabat, ketika daerah yang dikuasai Islam bertambah luas, sedangkan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, sedangkan Nabi sebagai tempat bertanya tidak ada lagi, ummat pun menyelesaikan persoalannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Ternyata pada prakteknya, tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan pada al-Qur’an dan hadits Nabi secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dari kedua sumber tersebut para ulama melakukan ijtihad. Karena wahyu sudah tidak turun dan Nabi sudah wafat, maka para mujtahid tidak ada yang berani menyatakan benar atau tidaknya hasil ijtihad itu. Untuk mengatasi masalah itu dipakai ijma’. Dengan demikian putusan hukum yang diambil secara suara bulat bersama oleh para ulama, lebih kuat daripada putusan hukum yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja.

(31)

Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qiyas, istihsan, urf, dan lain-lain. Metode-metode istinbath hukum itu selanjutnya menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh. Pada perkembangannya metode istinbath hukum tersebut melahirkan mazhab.

Imam mazhab dalam melakukan istinbath hukum telah menyusun macam-macam sumber dalil secara sistematik. Kenyataannya, macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum di kalangan ulama mazhab tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat perbedaan.

Macam-macam sumber dalil dan sistematika yang menjadi pijakan berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum seperti berikut ini:

1.Mazhab Hanafiyyah

Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi.16 Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra’yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum

16

(32)

dengan jalan qiyas dan istihsan.17 Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah ’urf . Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi.

Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri yakni:

ﱏﺇ

ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻜﺑ ﺬﺧﺍ

ﻪﺗﺪﺟﻭ ﺍﺫﺇ

ﺎﻤﻓ

ﺪﺟﺃ ﱂ

ﺕﺬﺧﺃ ﻪﻴﻓ ﻩ

ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺔﻨﺴﺑ

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

ﺕﺎﻘﺜﻟﺍ ﻯﺪﻳﺃ ﰱ ﺖﺸﻧ ﱴﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﺡﺎﺤﺼﻟﺍ ﺭﺎﺛﻻﺍﻭ

.

ﺈﻓ

ﺍﺫ

ﺕﺬﺧﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺔﻨﺳﻻﻭ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﰱ ﺪﺟﺃ ﱂ

ﻉﺩﺃﻭ ﺖﺌﺷ ﻦﻣ ﻪﺑﺎﺤﺻﺃ ﻝﻮﻘﺑ

ﻝﻮﻗ

ﺖﺌﺷ ﻦﻣ

ﻢﳍﻮﻗ ﻦﻣ ﺝﺮﺧﺃﻻ

ﻏ ﻝﻮﻗ ﱃﺇ

ﻢﻫﲑ

.

ﺮﻣﻷﺍ ﻰﻬﺘﻧﺍ ﺍﺫﺈﻓ

ﱃﺇ

ﱯﻌﺸﻟﺍﻭ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ

ﻦﺴﳊﺍﻭ

ﻦﺑﺍﻭ

ﺪﻴﻌﺳﻭ ﻦﻳﲑﺳ

ﻦﺑ

ﺐﻴﺴﳌﺍ

ﻻﺎﺟﺭ ﺪﻋﻭ

ﻥﺃ ﻰﻠﻓ ﺍﻭﺪﻬﺘﺟﺇ ﺪﻗ

ﺪﻬﺘﺟﺃ

ﺎﻤﻛ

ﺍﻭﺪﻬﺘﺟﺍ

.

18 Artinya:

“Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qur’an) apabila menemukannya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas di kalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn

17

Ibid., h. 98.

18

(33)

al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad”.

ﺔﻔﻴﻨﺣ ﰊﺃ ﻡﻼﻛ

ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺕﻼﻣﺎﻌﻣ ﰱ ﺮﻈﻨﻟﺍﻭ ﺢﺒﻘﻟﺍ ﻦﻣ ﺭﺍﺮﻓﻭ ﺔﻘﺜﻟﺍﺎﺑ ﺬﺧﺃ

ﻓ ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺮﻣﻷﺍ ﻰﻀﳝ ﻢﻫﺭﻮﻣﺃ ﻪﻴﻠﻋ ﺢﻠﺻﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﺍﻮﻣﺎﻘﺘﺳﺍﺎﻣﻭ

ﺢﺒﻗ ﺍﺫﺈ

ﻘﻟﺍ

ﻪﻟ ﻰﻀﳝ ﻡﺍﺩﺎﻣ ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻹﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻬﻴﻀﳝ ﺱﺎﻴ

.

ﱂ ﺍﺫﺈﻓ

ﱃﺇ ﻊﺟﺭ ﻪﻟ ﻰﻀﳝ

ﻥﻮﻤﻠﺴﳌﺍ ﻞﻣﺎﻌﺘﻳﺎﻣ

ﻪﺑ

.

ﻥﺎﻛﻭ

ﻑﻭﺮﻌﳌﺍ ﺚﻳﺪﳊﺍ ﻞﺻﻮﻳ

ﻡﺍﺩﺎﻣ ﻪﻴﻠﻋ ﺲﻴﻘﻳ ﰒ

ﻪﻴﻟﺇ ﻊﺟﺭ ﻖﻓﻭﺃ ﻥﺎﻛ ﺎﻤﻬﻳﺃ ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻹﺍ ﱃﺇ ﻊﺟﺮﻳ ﰒ ﺎﻐﺋﺎﺳ ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

.

19

Artinya:

“Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada urf manusia. Dan ia mengamalkan hadits yang sudah terkenal kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah menempatkan al-Kitab atau al-Qur’an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat,

19

(34)

qiyas, istihsan dan terakhir adalah urf. Tidak disebutkannya ijma’ dalam rumusan ini bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannnya di atas.20 Jika terjadi pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan qiyas dapat dilakukan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat.21

Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah:

a. Al-Kitab

Al-Kitab adalah sumber pokok dan sumber pertama ajaran Islam

yang menjadi dasar dalam pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Oleh karena itu, jika didalam al-Qur’an dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka nash itu harus diikuti. Dalam menetapkan hukum Islam yang diistinbathkan dari al-Qur’an, beliau banyak menggunakan akal (nalar).

b. Al-Sunnah

20

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 106.

21

(35)

Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur’an tidak dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila di dalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-Sunnah tersebut harus diikuti.

Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan harus masyhur di kalangan perawi hadits terpercaya.22 Perawi hadits harus beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari periwayatannya. Perawi hadits tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya tersebar di kalangan umum.23

c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat)

Para sahabat adalah orang-orang yang membantu Nabi menyampaikan risalah Allah. Mereka hidup dan bergaul bersama Nabi. Lantaran kedekatannya dengan Nabi dalam pergaulan sehingga mampu memahami al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Mereka lebih mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Qur’an dan asbabu wurud hadits Nabi serta bagaimana kaitannya hadits dengan

al-Qur’an yang diturunkan itu.

22

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94.

23

(36)

Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah.24 Beliau menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam untuk mengikutinya.25 Jika pada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka beliau mengambil salah satunya sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengikuti pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh menentang keseluruhan pendapat sahabat. Oleh karena itu, penggunaan qiyas masih tidak diperkenankan selama masih ada pendapat sahabat walaupun hanya mengikuti pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Abu Hanifah bahwa apabila ia tidak mendapatkan ketentuan dari al-Qur’an dan al-Sunnah maka beliau akan mengambil pendapat sahabat yang dikehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak dikehendaki. Beliau tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.

d. Al-Qiyas

Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas jika dalam al-Qur’an dan al-Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan ketetapan hukum.26 Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya

24

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 189.

25

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 160.

26

(37)

dengan nash setelah menyamakan illat yang sama diantara keduanya. Kemampuan Abu Hanifah dalam menerapkan Qiyas menurut Shubhy Mahmasany sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo disebabkan profesi beliau sebagai saudagar dan pengetahuannya yang mendalam di bidang ilmu hukum sehingga menjadikannya ahli dalam menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syari’at.27 e. Al-Istihsan

Istihsan secara etimologi berarti mengangap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah kepindahan seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khafi (samar), atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil fikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.28

Dari pengertian istihsan tersebut dapat dipahami bahwa apabila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang sudah tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk menetapkannya terdapat jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dan jalan yang lainnya adalah samar-samar, sedangkan pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk menarjihkan jalan yang samar-samar, maka ia menempuh jalan yang nyata

27

Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101.

28

(38)

tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga jika ia menemukan dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian ia menemukan dalil yang lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli tersebut.

Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa, sebagaimana telah dijelaskan, berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu.29 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut keinginannya saja tanpa menggunakan metode. Hal ini dikarenakan Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya berpatokan pada apa yang sudah dipandang baik maka sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum.

Setelah timbul kritikan-kritikan terhadap istihsan yang tidak diketahui definisi hakikinya, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan.

29

(39)

Mereka berusaha untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya istihsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syara. Sebagian Ulama Hanafiah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah qiyas yang wajib beramal dengannya, karena illatnya didasarkan pada pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang kuat dinamakan istihsan dan illat yang mempunyai pengaruh hukum yang lemah dinamakan qiyas. Istihsan ini seolah-olah satu macam cara beramal dengan salah satu yang paling kuat. Ini disimpulkan dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam istihsan menurut ketentuan-ketentuan mereka.30

f. Urf

Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.31

Abu Hanifah berpegang kepada urf dalam menetapkan hukum.32 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Beliau melakukan segala urusan yakni apabila tidak

30

Ibid., h. 44.

31

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 99.

32

(40)

ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan denngan cara qiyas maka beliau kembali ke istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan melalui istihsan maka beliau kembali pada urf. Hal ini menunjukan bahwa beliau memperhatiakn urf manusia apabila tidak ditemukan nash dalam al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas maupun istihsan. Tegasnya, Abu Hanifah pun hanya menggunakan urf shahih dengan meninggalkan urf fasid.

2. Mazhab Malikiyyah

Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadits.33 Al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung hadits-hadits yang berasal dari Rasullullah SAW. atau dari Sahabat dan Tabi’in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal termasuk beraliran Ahl al-Hadits.

Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam berpegang kepada:

a. Al-Qur’an

33

(41)

Imam Malik bersandarkan kepada nash al-Qur’an sebagai pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan zahir nash al-Qur’an atau keumumannya.34

b. Al-Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum yang kedua setelah al-Qur’an, imam Malik tetap mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka hal yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut.35 Apabila sunnah berlawanan dengan zahir al-Qur’an, baik zahir itu bersifat ’am, ataupun khas, maka Imam Malik lebih mendahulukan zahir al-Qur’an terkecuali sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl al-Madinah, ijma’ atau oleh qiyas. Jika sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl Madinah, ijma’ atau oleh qiyas, maka Imam Malik lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zahir al-Qur’an.

Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadits seperti yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadits. Imam Malik tidak menolak khabar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadits periwayatannya. Imam Malik tidak mendahulukan qiyas dari

34

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99.

35

(42)

khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadits

mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.36

c. Amal Ahl al-Madinah

Amal Ahl Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.37 Akan tetapi terkadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.

d. Khabar Ahad dan al-Qiyas

Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten.38 Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas, daripada khabar ahad. Kadang-kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.39 Jika khabar ahad tidak dikenal di kalangan masyarakat Madinah,

36

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101.

37

Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab h. 106.

38

Ibid., h. 108.

39

(43)

maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal yang Rasulullah SAW. Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasar hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyas dan maslahah. Hal ini menunjukan bahwa Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah. Kecuali khabar ahad itu dikuatkan dengan dalil-dalil qat’i.

e. Al-Maslahah al-Mursalah

Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada

ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disingung dalam nash dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan. Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ ulama.

Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah, sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang, kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi dalam bentuk lain, misalnya istihsan.40

40

(44)

Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai dasar hukum yakni sebagai berikut:41

1.Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut

penelitian seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.

2.Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku

untuk orang-orang tertentu.

3.Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.

f. Fatwa Sahabat

Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena mereka dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik,42 para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang difahami dari Rasulullah SAW. Pada perkembangannya di kalangan muta’akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka sebagai hujjah.

g. Al-Istihsan

Madzhab Maliki sebagaimana dikatakan al-Syatibi berpendapat bahwa istihsan adalah menurut hukum dengan

41

Ibid., h. 110.

42

(45)

mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan istidlal al-mursalah daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara secara keseluruhan.43 Tegasnya istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan maslahat atau menghindarkan madharat.

Dalil umum melarang melihat aurat seseorang. Akan tetapi jika dalil umum itu tetap digunakan sampai melarang melihat seseorang dokter dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil tersebut, karena dalil yang umum bertujuan untuk memelihara kemaslahatan. Larangan melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan yang pokok, karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan mengakibatkan kematian. Dasar memelihara jiwa adalah pokok, sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan.

Pendapat Imam Malik dengan penggunaan prinsip istihsan terdapat pada banyak kasus (persoalan) seperti persoalan saksi yang

43

(46)

melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para pemimpin untuk penyamarataan pemberian upah kerja bagi para pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah dalam menggunakan prinsip ini.44

h. Sadd al-Zarai’i

Imam Malik menggunakan sadd al-zarai’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum.45 Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya juga haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halalnya juga hukumnya.

i. Istishab

Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.46 Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu.47 Tegasnya adalah tetapnya suatu hukum untuk sekarang dan yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum yang sudah ada pada masa lampau. Yakni jika sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan padanya, maka yang menjadi landasan adalah hukum

44

Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103.

45

Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219.

46

Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 111.

47

(47)

pertama yang telah diyakini. Misalnya, ketika seseorang yang salat maghrib yakin bahwa dia sudah melaksanakan salat 2 rakaat, kemudian datang keraguan 2 rakaat atau 3 rakaat, maka yang menjadi hukum bagi orang tersebut adalah 2 rakaat.

j. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana

Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo, Imam Malik menggunakan kaidah syar’u man qablana syar’un lana sebagai dasar hukum. Tetapi

menurut Sayyid Muhammad Musa seperti yang dikutip oleh Huzaemah, kita tidak menemukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.48

Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan syariat atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan sebagai syariat seperti untuk diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syariat itu merupakan syariat dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkannya sebagai syariat.49 Contohnya antara lain sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah (1): 183

48

Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 112.

49

(48)





























)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

/

1

:

183

(

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah (1): 183)

Namun, jika al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakan bahwa hukum-hukum tersebut telah dihapus, maka hukum-hukum-hukum-hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi buat kita. Contoh dari hal tersebut adalah bahwa umat nabi Musa apabila berbuat maksiat maka harus bunuh diri karena sudah tidak dapat bertobat lagi. Hukum tersebut pernah diberlakukan bagi umat nabi Musa, tetapi tidak bagi kita.

3. Mazhab Syafi’iyyah

(49)

؟ﻒﻴﻛ ،ﱂ ﻞﺻﻷ ﻝﺎﻘﻳ ﻻﻭ

ﺎﻴﻗ ﺢﺻ ﺍﺫﺈﻓ ؟ﱂ ﻉﺮﻔﻠﻟ ﻝﺎﻘﻳ ﺎﳕﺇﻭ

ﻪﺳ

ﺔﺠﺣ ﻪﺑ ﺖﻣﺎﻗﻭ ﺢﺻ ﻞﺻﻷﺍ ﻰﻠﻋ

.

50

Artinya:

”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”.

Dari perkataan Imam Syafi’i tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:

a. Al-Qur’an dan al-Sunnah

Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal ini dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam.51 Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan al-Qur’an oleh

50

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105.

51

(50)

karenanya al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an. Akan tetapi beliau tidak menyamakan hadits ahad dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir karena tidak sama nilainya.

Al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai derajat yang sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang mempersamakan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka perlu digaris

bawahi:52

1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan al-Qur’an adalah al-Sunnah al- Mutawatirah (Sabitah), sama-sama qat’i al-wurud. Sedangkan

hadits ahad tidak seperingkat dengan al-Qur’an karena zanni al-wurud. Akan tetapi, hadits ahad dibolehkan mentakhsiskan

ayat-ayat al-Qur’an yang zanni al-dalalah.

2. Al-Qur’an dan al-Sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan hukum furu’ bukan dalam menetapkan akidah.

3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai menurunkan al-Qur’an dari posisinya sebagai pokok dan sendi agama Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai menaikkan posisi al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan penjelas al-Qur’an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama menjadi landasan istinbath hukum furu’.

52

(51)

Imam Syafi’i mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau tidak hanya mewajibkan mengambil hadits yang mutawatir saja, tetapi beliau juga mengambil dan menggunakan hadits ahad sebagai dalil selama selama perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi SAW.53

b. Ijma’

Imam Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ menjadi hujjah setelah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.54 Pengertian ijma’ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma’ mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma’kan, seperti yang dikemukakannya bahwa (”Saya dan tidak seorang pun dari kalangan ulama pernah mengatakan: ”Ini adalah persoalan

yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak

seorang ahli pun pernah mempersoalkannya lagi kepada anda dan

meriwayatkannya dari orang-orang yang mendahuluinya, seperti

salat Zuhur empat rakaat, bahwa khamar itu diharamkan dan

sebagainya”).55

53

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211.

54

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253.

55

(52)

Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka yang berijma’ adalah para ulama karena merekalah yang bisa menemukan apa yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka terdiri dari ulama semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah adalah ijma’ yang berasal dari ulama seluruh penjuru Islam bukan ijma’ ulama ahl Madinah. Artinya, ijma’ ahl Madinah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Syafi’i menolak ijma’ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau bahwa Ijma’ adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga bukan ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.56 Hal ini karena ijma’ mereka menunjukkan bahwa masalah yang diijma’kan itu didengarnya dari Nabi SAW.

c. Qiyas

Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’. Beliau adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau

56

(53)

diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.57 Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas.58

Beliau menggunakan qiyas berdasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Nisa (4): 59































































) ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ / 4 : 59 ( 57

Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i, h. 96. Contoh qiyas seperti firman Allah dalam QS. al-Zilzal: 7-8 bahwa (”Barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah, Ia pasti melihatnya. Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar zarrah, Ia pun pasti akan melihatnya”). Maka jika diqiyaskan bahwa kebaikan yang lebih berat dari satu zarrah, berarti lebih terpuji dan keburukan yang lebih berat dari satu zarrah lebih tercela.

58

(54)

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisa (4): 59)

Imam Syafi’i berpendapat bahwa maksud ”kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari keduanya yakni al-Qur’an atau al-Sunnah.59

Selain berdasarkan kepada al-Qur’an, imam Syafi’i juga berdasarkan kepada al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama Mua’adz ibn Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur di sana. Mua’dz ibn Jabal memutuskan masalah berdasarkan al-Qur’an, jika beliau tidak menemukan dalam al-Qur’an maka diputuskan berdasarkan al-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya.

4.Mazhab Hanabilah

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) merupakan ahli hadits sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.60 Akan tetapi terjadi perselisihan di antara ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fiqh. Ibn Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk Ahlu

59

Ibid., Juz I, h. 81.

60

(55)

al-Hadits.61 Oleh karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat-pendapat Imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fiqh. Ibnu Qutaibah memasukkan Ahmad ibn Hanbal dalam bilanggan muhadditsin, bukan fuqaha.62 Sedangkan Ibn Abdul al-Barr sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo hanya memasukkan Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i sebagai ahli fiqh.63

Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:64

a. Nash dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih

Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut.

b. Fatwa para Sahabat Nabi SAW.

Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari fatwa para Sahabat Nabi SAW. yang tidak ada perselisihan di antara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash yang jelas dari al-Qur’an dan Rasul yang shahih.

c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan

61

Ibid., h. 323.

62

Ibid., h. 323.

63

Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 140.

64

(56)

Imam Ahmad

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat dua strategi pimpinan ormas Islam terbesar yang berbeda ini, ditambah lagi dengan melihat kembali sejarah romantisme para pejuang negeri di awal kemerdekaan

Beliau adalah salah seorang dari delapan orang pertama (Assabiqul awwalun) yang menerima aqidah Islam. Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah saw., yang

(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya5. (2)

Program Kampung Iklim (ProKlim) adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan

Sangatlah penting untuk menghargai sifat alamiah dari ‘latihan’ saat diterapkan pada meditasi karena bisa disalahartikan hanya sebagai gagasan pengendalian. Hal ini tidaklah

1) Jawaban untuk pertanyaan nomor satu ini berhubungan dengan dasar- dasar mikroekonomi yang diketahui memiliki fokus pembelajarn pada perilaku individu termasuk

Otroci so pod stresom predvsem v času velikih sprememb v njihovem življenju, npr.: vstop v šolo, rojstvo novega družinskega člana, odraščanje, bolezen, ločitev staršev, smrt

Mengenai hal tersebut, Lembaga Amil Zakat PKPU menyalurkan dana zakat melalui salah satu program yaitu Program Sinergitas Pemberdayaan Ekonomi Komunitas, program ini