• Tidak ada hasil yang ditemukan

Argumen Ulama yang Kontra terhadap Autentisitas Teks al-Qur’an

BAB III ARGUMEN ATAS AUTENTISITAS TEKS AL-QUR’AN

B. Argumen Ulama yang Kontra terhadap Autentisitas Teks al-Qur’an

114

B. Argumen Ulama yang Kontra Terhadap Autentisitas Teks al-Qur’an

Jika dilihat dari periodisasi dari masa Nabi Muhammad hingga saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa argumen polemik atas autentisitas teks al-Qur’an terus menjadi perdebatan antara ulama dari golongan Ahl al-Sunnah mulai dari masa kodifikasi dan ada pula yang berpendapat semenjak masa Nabi Muhammad. Penjelasan mengenai tokoh dan argumennya mengenai teks al-Qur’an tidak autentik sebagaimana berikut:

1. Periode Klasik (tahun 1-3 Hijriah)

Sebagaimana penjelasan yang sudah lewat, pada periode ini terjadi perbedaan antara sahabat mengenai autentisitas teks Qur’an. Bukan hanya ʽUmar bin al-Khat ̣t ̣āb, ʽA̅ishah, Ali bin Abī Ṭālib, dan Ibn Masʽūd saja, melainkan pembesar sahabat lain juga mengakui bahwa banyak terjadi penambahan dan pengurangan teks al-Qur’an saat terealisasikannya kodifikasi di masa Abū Bakar dan ʽUthmān bin Affān.

Bila dilihat dari riwayat dan karya ulama pada periode ini yang berargumen teks al-Qur’an tidak autentik, maka di antara nama-nama tokoh intelektual tersebut ialah: Ubay bin Kaʽb (w. 19 H/640 M), Abū Dardā’ (w. 31 H/652 M), Abd al-Rah ̣mān bin ʽAuf (w. 32 H/ 652 M), Ibn Masʽūd (w. 32 H/653 M), Salmān al-Fārisī (w. 35 H/655 M), Ali bin Abī Ṭālib (w. 40 H/660 M), Ḥafs ̣ah (w. 41 H/661 M), Abū Mūsā al-Ashʽārī (w. 42 H/662 M), Saʽd bin Abī Waqqās ̣ (w. 54 H/674 M), ʽA̅ishah (w. 57 H/676 M), Ummu Salmah (w. 60 H/679 M), Marwān bin al-Ḥakm (w. 63 H/682 M), Ibn ʽAbbā s (w. 68 H/687 M), Zayd bin Arqam (w. 68 H/687 M),

115

ʽAbd Allāh bin ʽUmar (w. 73 H/692 M), ʽAbd Allāh bin Zubaīr (w. 73 H/692 M), Anas bin Mālik (w. 90 H/708 M), ʽUrwah bin Zubaīr (w. 93 H/711 M), dan Abū Shaibah (w. 235 H/849 M ). Nama-nama tersebut merupakan tokoh yang memberikan penjelasan bahwa teks al-Qur’an terjadi penambahan dan pengurangan.40 Di bawah ini merupakan perwakilan argumen dari tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas:

a. Sitī ʽA̅ishah (w. 58 H/678 M)

Siti ʽA̅ishah bint Abū Bakar termasuk dari salah satu tokoh yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an terjadi banyak pengurangan dan penambahan saat direalisasikannya kodifikasi al-Qur’an. Pengingkaran ʽA̅ishah terhadap muṣh ̣af yang dikodifikasikan pada masa ʽUthmā n, disebabkan tidak sama dengan mus ̣h ̣af yang ia tulis ketika Nabi Muhammad masih ada.

Terdapat riwayat yang menerangkan bahwa ʽA̅ishah tergolong tokoh yang berargumen bahwa mus ̣h ̣af ʽUthmānī banyak terjadi pengurangan dan penambahan baik dari segi penulisan atau pembuangan ayat yang seharusnya dimasukkan saat kodifikasi Qur’an. Menurut ʽA̅ishah terjadinya pengurangan teks ayat dalam al-Qur’an disebabkan tim kodifikasi yang dipilih oleh ʽUthmān kurang tepat.41 Oleh karena itu, kerap terjadi perbedaan penulisan atau bacaan kalimat dalam al-Qur’an antara mus ̣h ̣af ʽA̅ishah dan mus ̣h ̣af ʽUthmānī.

40Al-Maylānī, al-Taḥqīq fī Nafy al-Taḥrīf, 219.

116

ʽA̅ishah berargumen bahwa penulis mus ̣haf ʽUthmānī salah dalam penulisannya. Mengenai pernyataan ʽA̅ishah yang menyalahkan tim kodifikasi ʽUthma̅n ketika terjadi perbedaan mus ̣h ̣af tergambarkan dari bacaan ʽA̅ishah pada surat al-Nisā’: 162. Dalam mus ̣h ̣af ʽUthmānī tertulis (dibaca naṣb)

sedangkan ʽA̅ishah membaca (dibaca raf’). Demikian juga dalam surat

al-Māidah: 62. Mus ̣h ̣af ʽUthmānī tertulis dengan

sedangkan dalam ʽA̅ishah bembaca . Dari perbedaan bacaan yang terjadi ini

antara ʽA̅ishah dan muṣh ̣af ʽUthmānī, ʽA̅ishah berargumen bahwa tim kodifikasi yang dipilih oleh ʽUthmān melakukan sebuah kesalahan saat menulis ayat al-Qur’an.42 Mengenai hal ini Saʽī d al-Khurrāsānī (w. 227 H/842 M) meriwayatkan bahwa ʽUrwah bertanya pada ʽA̅ishah mengenai tulisan muṣh ̣af dari tim ʽUthmānī, ʽA̅ishah menjawab “ini adalah perbuatan tim kodifikasi yang salah dalam penulisan.”43

Lebih dari itu, setiap kali ʽA̅ishah berbeda dalam pembacaan ayat yang disebabkan tidak adanya teks ayat pada mus ̣h ̣af ʽUthmānī, ʽA̅ishah berargumen bahwa teks ayat yang ia baca hasil pendengaran langsung dari Nabi Muhammad dan ʽUthmān telah mengubah teks ayat tersebut. Hal ini tergambar ketika ʽA̅ishah memperkuat argumenya bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan

42Abū Muhammad al-Ḥusaīn bin Masʽūd al-Baghawī, Maʽālim al-Tanzīl fī Tafsīr al-Qur’ān (Bairūt: Dār Ih ̣yā’ al-Turāth al-ʽArabī, 1997), 2/309. Lihat juga, al-Maylānī, al-Taḥqīq fī Nafy al-Taḥrīf, 193. Lihat juga, Al-Suyūt ̣ī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 3/182.

117

tentang al-Ṣufūf al-Awwal. Namun, kodifikasi pada masa ʽUthmān merubah dan

membuang kalimat yang menjelaskan tentang al-Ṣufūf al-Awwal44 sebagaimana riwayat dari Ḥumaidah bint Abī Uwais:

45

“Diriwayatkan dari Ḥumaidah binti Uwais, ia berkata ayahku yang telah sampai pada usia 80 tahun membacakan al-Qur’an padaku dari muṣh ̣af A̅ishah inn Allah wa malāikatah yus ̣allun ʽalā al-Nabī ya ayyuha al-Dhīn

A̅manū s ̣allū ʽalaih wa sallimū taslimā wa ʽalā al-Dhīn yus ̣allun fī al-Ṣufūf al-Awwal. Bacaan tersebut sebelum ʽUthmā n merubah mus ̣h ̣af-mus ̣h ̣af yang ada.”

Bila dianalisis dari riwayat di atas, maka jelas mengindikasikan bahwa ayat tersebut sudah ditulis oleh ʽA̅ishah dalam mus ̣h ̣afnya dan sudah tersebar bacaannya pada sahabat lainnya. Jika ayat tersebut tidak tersebar, maka tidak mungkin Yūnus/Uwais membacakan ayat tersebut kepada putrinya. Tambahan Ayat tersebut hilang sebab adanya kodifikasi pada masa ʽUthmān yang tidak menganggap

al-Sufūf al-Awwal sebagai ayat al-Qur’an.

Argumen ʽA̅ishah mengenai mus ̣h ̣af ʽUthmānī di atas menunjukkan bahwa ʽA̅ishah tidak lapang dada terhadap keputusan ʽUthmān dalam masalah kodifikasi al-Qur’an. ʽA̅ishah beranggapan bahwa kodifikasi al-Qur’an yang digelar ʽUthmān

44Al-Maylānī, al-Taḥqīq fī Nafy al-Taḥrīf, 174.

45ʽIzzat Darwazah, al-Tafsīr al-Ḥadīth, 1/73. Al-Suyūt ̣ī dalam karyanya al-Itqān juga mencantumkan riwayat tersebut, namun terdapat perbedaan pada nama ayah Ḥumaidah. Al-Suyūt ̣ī menyebut bahwa nama ayahnya adalah Yūnus. Lihat, Al-Suyūt ̣ī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 3/82. Lihat juga, Mah ̣mūd bin ʽAbdullah al-Alūsī, Rūḥ al-Maʽānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-ʽAz ̣īm wa al-Sabʽi

118

banyak terjadi kesalahan dalam tim kodifikasinya dan banyak terjadi pembuangan ayat al-Qur’an atau merubahnya.

Bila dirinci kembali, terdapat beberapa ayat atau kalimat yang tidak dimasukkan oleh tim kodifikasi ʽUthmā n padahal ayat atau kalimat tersebut pernah ditulis oleh ʽA̅ishah dan dibaca olehnya serta kalangan sahabat lain yaitu: 1) hilangnya ayat dari surat al-Aḥzāb. Hilangnya ayat-ayat Qur’an dalam surat al-Ah ̣zāb bukan hanya ʽA̅ishah yang mengatakannya, akan tetapi banyak sahabat lain yang sependapat dengan ʽA̅ishah seperti halnya Ubay bin Kaʽb dan Ḥafs ̣ah. Namun, yang menarik dikutip adalah perkataan ʽA̅ishah mengenai hilangnya surat Ah ̣zāb. Ia berargumen bahwa surat Ah ̣zāb jumlah ayatnya sama dengan surat al-Baqarah, akan tetapi banyak ayat yang hilang ketika kodifikasi pada masa ʽUthmā n. Hal ini terbukti dari riwayat yang datang dari ʽUbaī d bin al-Qāsim bin Salām:

46

“ʽA̅ishah berakta, pada masa Nabi Muhammad surat al-Ah ̣zāb dibaca samapi 200 ayat. Ketika ʽUthmā n mengkodifikasikan al-Qur’an (surat al-Ah ̣zāb) hanya tersisa sebagaimana saat ini (73 ayat).”

Dari riwayat di atas terlihat jelas penyebab hilangnya ayat dari surat al-Ah ̣zāb adalah kodifikasi pada masa ʽUthmā n. Dari riwayat di atas pula, menunjukkan bahwa ʽA̅ishah menyalahkan ʽUthmā n, karena tidak menulis keseluruhan ayat

46Abū ʽUbaīd al-Qāsim bin Salām, Faḍāil al-Qur’ān wa Maʽālimuh wa Adābuh (Saudi Arabiyah: Wuzārah Awqāf wa Shu’ūn Islāmiyah, 1995), 2/631. Lihat juga, Yūsuf bin ʽAbdullah al-Namrī al-Qurt ̣ubī, al-Tahmīd limā fī al-Muwat ̣a’min al-Maʽānī wa al-Asānīd (Spanyol: Muassasah al-Qurt ̣ubah, 1974), 4/275.

119

dalam surat al-Ah ̣zāb. Dari riwayat di atas tidak bisa dikategorikan nāsikh mansūkh, sebab ʽA̅ishah menjelaskan pada masa Nabi Muhammad surat al-Aḥzāb berjumlah 200 ayat. Jika terjadi nā sikh mansūkh, maka terjadinya pada masa Nabi

Muhammad, bukan setelah Nabi Muhammad wafat. 2) ayat al-Rajm dan Raḍāʽah

tidak dimasukkan. Dalam riwayat dijelaskan, salah satu isi dari surat al-Ah ̣zāb ayat

al-Rajm. Ayat ini tidak dimasukkan dalam kodifikasi al-Qur’an baik pada masa

Abū Bakar dan ʽUthmān. ʽA̅ishah berpendapat bahwa ayat al-Rajm termasuk ayat al-Qur’an yang seharusnya ditulis saat kodifikasi al-Qur’an, sebab ʽA̅ishah menulis ayat al-Rajm dan Raḍāʽah. Tulisan tersebut ia letakkan di bawah ranjangnya, akan

tetapi tulisan tersebut rusak dan dimakan kambing ketika semua sibuk mengurus wafatnya Nabi Muhammad. Hal ini terbukti dari riwayat yang datang dari Ibn Mājah:

47

“ʽA̅ishah berakata, sungguh telah diturunkan ayat Rajm dan Rad ̣āʽah al-Kabir. (ayat tersebut) ada pada lembaran di bawah ranjang saya. Ketika Nabi Muhammad wafat semua sibuk mengurus janazah Nabi Muhammad sehingga masuklah kambing dan memakan tulisan tersebut.”

Riwayat ini membuktikan bahwa ayat al-Rajam dan al-Raḍāʽah merupakan

ayat yang sering dibaca oleh para sahabat dan ada pula bukti fisiknya yang berupa

47Muhammad bin Yazīd al-Quzwainī, Sunan Ibn Mājah (Bairūt: Dār al-Fikr, t.t.), 1/625. Lihat juga, Ah ̣mad bin ʽAli al-Tamīmī, Musnad Abī Yaʽlā, 8/64.

120

tulisan, tetapi tulisan tersebut hilang, ketika para sahabat sibuk mengurus janazah Nabi Muhammad. 3) sengaja tidak dimasukkan kalimat ṣalāh ʽAs ̣r dari surat

al-Baqarah: 238. Dalam surat al-Baqarah ayat 238 terdapat kalimat yang dibuang pada saat kodifikasi al-Qur’an. Kalimat yang dibuang tersebut sering kali dibaca oleh para sahabat dan telah ditulis pada mus ̣h ̣af sahabat lainnya. Kalimat yang hilang dalam surat al-Baqarah: 238 ialah wa al-Ṣalāh al-ʽAs ̣r. Bukan hanya ʽA̅ishah yang

menulis kalimat tersebut, akan tetapi Ḥafs ̣ah, Ummu Salamah, dan lainnya juga menulis kalimat tersebut. Riwayat yang menjelaskan mengenai hal ini datang dari Mālik bin Anas:

48 “Dari Abū Yūnus, ia berkata, saya diperintah oleh ʽA̅ishah menulis mus ̣h ̣af untuknya. Kemudia ia berkata, ketika sudah sampai pada ayat ḥafiz ̣ū ‘alā al-Ṣalawāt wa al-Ṣalāh al-Wust ̣ā wa qūmū Lillāh qānitīn panggillah aku.

Setelah tulisanku sampai pada ayat tersebut, saya memanggilnya kemudian ia membacakan kepadaku, ḥafiz ̣ū ‘alā al-Ṣalawāt wa al-Ṣalāh al-Wust ̣ā wa s ̣alah al-ʽAs ̣r wa qūmū Lillāh qānitīn. ʽA̅ishah berkata, saya mendengarkan

ini dari Nabi Muhammad.”

48Mālik bin Anas, al-Muwat ̣a’ (Mesir: Dār Ih ̣yā’ al-Turāth al-ʽArabī, 1997), 1/138. Lihat juga, ʽAbd al-Rah ̣mān al-Suyūt ̣ī, Jāmiʽ al-Aḥādīth (Bairūt: Dār al-Fikr, t.t), 1/118.

121

Dari riwayat di atas, ʽA̅ishah menjelaskan bahwa dirinya benar-benar mendengarkan ayat tersebut dari Nabi Muhammad dan ʽA̅ishah telah menulis ayat tersebut. Namun pada kenyataannya ayat tersebut tidak dimasukkan saat kodifikasi al-Qur’an. 4) hilangnya ayat yang menjelaskan tentang al-Ṣufūf al-Awwal. Semua

ini hilang pada masa kodifikasi pada masa ʽUthmā n, padahal sebelum adanya kodifikasi, ʽA̅ishah membaca, mendengarkan bacaan tersebut dari Nabi Muhammad, dan menulisnnya.

b. Abdullah bin ʽAbbā s (w. 68 H/687 M)

Tidak jauh beda dengan pemikiran ʽA̅ishah, Ibn ʽAbbā s juga berpendapat dalam mus ̣h ̣af ʽUthmānī banyak terjadi pengurangan dan penambahan ayat atau kalimat. Mengenai bacaan al-Qur’an, Ibn ʽAbbā s lebih mengikuti mus ̣h ̣af yang ditulis oleh Ubay bin Kaʽb. Oleh sebab itu, ketika terjadi perbedaan bacaan antara Ibn ʽAbbā s dengan mus ̣h ̣af ʽUthmānī, Ibn ʽAbbās selalu berargumen bahwa yang ia baca hasil dari apa yang ia dengar dari Ubay.49

Ibn ʽAbbās tidak segan menyalahkan tim kodifikasi yang dibentuk oleh ʽUthmān, ketika terjadi perbedaan penulisan kalimat dalam al-Qur’an. Bahkan dalam salah satu riwayat Ibn ʽAbbās menyatakan penulis al-Qur’an ketika menuliskan ayat dalam keadaan ngantuk. Pernyataan Ibn ʽAbbā s mengindikasikan bahwa kodifikasi yang terjadi pada masa ʽUthmān banyak mendapatkan tentangan dan banyak terjadi pengurangan atau penambahan ayat atau suratnya.50

49Muhammad bin ʽAbd al-Raḥmān al-Ṭāsān, al-Mas ̣āḥif al-Mansūbah li al-Ṣaḥābah wa al-Radd

ʽalā al-Shubhāt al-Mathārah Ḥawlaha (Suadi Arabiyah: Dār al-Tirmidiyah, 2011), 605.

122

Terdapat beberapa permasalahan yang menjadikan Ibn ʽAbbās tidak sepaham terhadap mus ̣h ̣af yang ditulis pada masa ʽUthmān yaitu: 1) banyak terjadi kesalahan penulisan dalam mus ̣h ̣af ʽUthmānī yang dapat merubah pada arti. Hal ini terjadi pada Q.S. al-Baqarah: 158. Dalam muṣh ̣af ʽUthmānī surat al-Baqarah: 158 berupa:

“Siapa yang melakukan haji atau umarah, maka diperbolehkan baginya untuk melakukan saʽi”.51

Ayat di atas memiliki arti “siapa yang melakukan haji atau umarah, maka diperbolehkan baginya untuk melakukan saʽi”. Ayat ini berbeda dengan muṣh ̣af Ibn ʽAbbās yang menjelaskan bahwa, “siapa yang melakukan haji atau umrah, maka dilegalkan baginya untuk tidak melakukan saʽi antara ṣāfā dan marwah”. Teks ayat yang ada pada muṣh ̣af Ibn ʽAbbās ialah:

52

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya meninggalkan sa'i antara keduanya.”

Terlihat jelas perbedaan antara mus ̣h ̣af Ibn ʽAbbās dengan mus ̣h ̣af yang ditulis oleh tim ʽUthmā n. Perbedaan yang terjadi dapat merubah pada arti al-Qur’an. Bila dilihat dari segi riwayat, maka bacaan Ibn ʽAbbās diriwayatkan oleh Abū Dawūd dari ʽAbd Allāh dari Muhammad bin Bashshār dari Yah ̣yā dari ʽAbd al-Malik dari ʽAt ̣ā’ dari Ibn ʽAbbās.

51Departemen Agama RI, Al-Qur’ā n dan Terjemahnya, 12.

123

Demikian juga terjadi pada surat al-Baqarah: 198. Terdapat pengurangan 3 kalimat dalam mus ̣h ̣af yang ditulis oleh tim ʽUthmānī. Pengurangan kalimat tersebut yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara mus ̣h ̣af ʽUthmānī dengan mus ̣h ̣af Ibn ʽAbbās. Bila dilihat pada surat al-Baqarah: 198 dalam mus ̣h ̣af Ibn ʽAbbās teksnya berupa:

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu pada saat musim haji.”

Tiga kalimat terakhir dari ayat di atas tidak tertulis dalam mus ̣h ̣af ʽUthmānī.53 Beda halnya dengan surat al-Nūr: 27 yang mana tidak terjadi pengurangan atau penambahan kalimat, akan tetapi ʽIbn ʽAbbā s beranggapan bahwa tim kodifikasi tidak konsentrasi saat menulisnya. Menurut Ibn ʽAbbā s tulisan yang benar ialah:

54

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”

Dan masih terdapat lainnya yang dianggap terjadi perubahan dari mus ̣h ̣af ʽUthmānī bila ditinjau dari mus ̣h ̣af yang ditulis oleh Ibn ʽAbbās. 2) ayat mutʽah yang diganti kalimatnya. Nikah mutʽah merupakan permasalahan klasik yang menjadi perdebatan antara sekte Shīʽah dan Ahl al-Sunnah. Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa nikah mutʽah merupakan konsep pernikahan yang dihalalkan

53Muhammad bin Nūh ̣ bin Najātī al-Albānī, Muskhtas ̣ar Ṣaḥīḥ al-Imām al-Bukhārī (Riyād ̣: Maktabah al-Maʽārif li al-Nashr wa al-Tawzīʽ, 2002), 511. Lihat juga, Muhammad bin Ish ̣āq bin Khuzaimah al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah (Bairūt: al-Maktab al-Islāmī 1992), 4/352.

54Ah ̣mad bin Ḥusaīn Baihaqī, Shaʽb I̅mān (India: Maktabah Rushd li Nashr wa al-Tawzīʽ, 2003), 11/209.

124

dengan waktu terbatas, sebab pada akhirnya nikah mutʽah tersebut diharamkan kembali hingga wafatnya Nabi Muhammad. Beda halnya dengan sekte Shī ʽah yang berargumen bahwa akhir hukum nikah mutʽah legal.

Mengenai hal ini Ibn ʽAbbās berpendapat bahwa nikah mutʽah merupakan konsep pernikahan yang dilegalkan, sebab al-Qur’an menjelaskan legalitas nikah tersebut. Namun, penjelasan tentang nikah mutʽah dalam al-Qur’an tidak ditulis oleh tim kodifikasi ʽUthmānī. Ayat tersebut tercantum dan tetap dibaca oleh Ibn ʽAbbās, ayat tersebut ialah:

55

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, hingga waktu yang tertentu.”

3) ayat wilayah al-Nabi. Muṣh ̣af versi Ibn ʽAbbās menjelaskan tentang ayat wilayah bagi Nabi Muhammad. Namun, ayat ini tidak dicantumkan dalam mus ̣h ̣af ʽUthmānī. Pembuangan tiga kalimat tersebut yang terjadi dalam mus ̣h ̣af ʽUthmānī bila dibandingkan dengan mus ̣h ̣af Ibn ʽAbbās. Teks ayat wilayah Nabi Muhammad yang tercantum dalam mus ̣h ̣af Ibn ʽAbbās ialah:

56

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka dan Nabi adalah ayah mereka.”

55Muhammad bin ʽAbdullah bin Muhammad al-Naisābūrī, al-Mustadrak ʽalā al-Ṣaḥīḥain (Bairūt: Dār al-Kutub al-ʽIlmiyah, 1990), 2/334. Lihat juga, Al-Ṭabrānī, al-Muʽjam al-Kabīr, 10/320. Lihat juga, Mah ̣mūd bin ʽAmr al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ʽan Ḥaqāiq Ghāmiḍ al-Tanzīl (Bairūt: Dār al-Kutub al-ʽArabī, 1407), 1/498.

125

Bukan hanya Ibn ʽAbbā s yang mengakui adanya ayat wilayah, akan tetapi banyak pula sahabat yang mengakuinya.

Penjelasan di atas terlihat jelas ketidak kesetujuan Ibn ʽAbbās terhadap kodifikasi al-Qur’an pada masa ʽUthmān. Ketidak setujuan Ibn ʽAbbās ini terlihat ketika ia masih tetap membaca al-Qur’an dengan berpedoman mus ̣h ̣afnya sendiri dan menyalahkan tim kodifkasi ʽUthmā nī ketika terjadi perbedaan dalam bacaan atau kalimat. Bahkan dalam satu riwayat dijelaskan Ibn ʽAbbās tidak segan menyalahkan tim kodifikasi ʽUthmānī dengan menggunakan perkataan bahwa penulisnya salah atau penulisnya sedang ngantuk. Hal ini tergambarkan ketika Ibn ʽAbbās menyalahkan tulisan tim kodifikasi ʽUthmānī saat menulis surat al-Nūr: 27 dalam sebuat riwayat:

57

“Dari Saʽīd bin Jubayr dari Ibn ʽAbbās, bahwa Ibn ʽAbbās membaca lā

tadkhulū buyūt ghayr buyūtikum ḥattā tasta’dhinū wa tusallimū ʽalā ahlihā.

Sesungguhnya (teks mus ̣h ̣af ʽUthmānī) terjadi kesalahan dari penulisnnya.” Mengenai riwayat di atas, al-Suyūt ̣ī juga menjelaskan:

.

58

“Dari Ibn ʽAbbās dalam firman Allah ḥattā tasta’nisū wa tusallimū, sesungguhnya itu merupakan kesalahan dari penulis mus ̣h ̣af.”

57Al-Baihaqī, Shaʽb al-I̅mān, 11/209. Lihat juga, Al-Maylānī, al-Taḥqīq fī Nafy al-Taḥrīf, 691.

126

59

“Dari Ibn ʽAbbās dalam masalah firman Allah, afalam yayas al-ladhīn āmanū

an law yashā’ Allāh, saya merasa bahwa penulis mus ̣h ̣af saat menulisnya

dalam keadaan ngantuk.”

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Ibn ʽAbbā s menyalahkan tim kodifikasi yang dibentuk oleh ʽUthmā n ketika terjadi perbedaan dalam tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Ibn ʽAbbā s lebih condong pada mus ̣h ̣af Ubay daripada mus ̣h ̣af yang ditulis oleh tim ʽUthmā nī.

2. Periode Pertengahan (tahun 4-9 Hijriah)

Pada periode pertengahan muncul argumen dari ulama Ahl al-Sunnah yang menyatakan mus ̣h ̣af yang ada pada masa sekarang tidak autentik sebagaimana pada masa Nabi Muhammad. Bahkan sebagian dari ulama berpandangan banyak terjadi pengurangan dan penambahan dalam tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Munculnya argumen ini disebabkan banyaknya periwayatan yang menjelaskan polemik dan ketidak setujuan terhadap adanya kodifikasi al-Qur’an yang terjadi pada masa Abū Bakar dan ʽUthmā n.

Setelah meneliti dari argumentasi ulama periode pertengahan, terdapat beberapa ulama yang menyatakan bahwa al-Qur’an tidak autentik. Di antara intelektual tersebut ialah al-Nasāī (w. 303 H/915 M), al-Ṭabarī (w. 310 H/923 M), al-Ṭabrānī (w. 360 H/918 M), Ibn Ashtah al-Is ̣bahānī (w. 360 H/971 M), Ibn Nādim (w. 374 H/985 M), al-Ḥākim al-Naisābūrī (w. 405 H/1014 M), Ibn al-Jawzī (w. 597

127

H/1201 M), al-Ḍiyā’ al-Muqaddasī (w. 643 H/1245 M), al-Qurt ̣ubī (w. 671 H/1273 M), Ibn al-Khatīb (w. 776 H/1374 M), dan lainnya. Nama tokoh di atas menjelaskan bahwa al-Qur’an yang ada pada masa sekarang tidak sama seperti pada masa Nabi Muhammad dan banyak terjadi pengurangan atau penambahan baik dari kalimat, ayat, atau suratnya. Di bawah ini sebagian dari argumentasi ulama di atas:

a. Al-Ṭabarī (w. 310 H/923 M)

Salah satu ulama pada periode pertengahan yang banyak menjelaskan terjadinya pengurangan dan penambahan teks al-Qur’an ialah al-Ṭabarī. Penafsiran al-Ṭabarī menjadi salah satu sumber referensi yang memperkuat teks al-Qur’an tidak autentik. Al-Ṭabarī sering kali menyelipkan riwayat-riwayat yang menerangkan polemik para sahabat saat kodifikasi al-Qur’an baik pada masa Abū Bakar atau ʽUthmā n dalam karyanya yang berjudul Jāmiʻ al-Bayān ‘an Ta’wi̅l A̅yy

Dokumen terkait