• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arti Moralitas

MANUSIA DAN PERADABAN

NILAI, MORALITAS DAN HUKUM

G. Pengertian Moralitas 3 Perumusan Masalah

4. Arti Moralitas

Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.

Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau

mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku.

Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada. Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari perbuatan- perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah perbuatan- perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari luar?

Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap

bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah melarangnya.

Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan.

Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara, hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional?

Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau salah berdasarkan:

d. Kebiasaan Manusia e. Hukum-hukum negara f. Pemiliyhan bebas Tuhan

d. Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas sekadar kebiasaan saja, sudah lama tersebar, yakni sejak zaman para sofis dan kaum spektik pada zaman Yunani Purba. Ada yang mengira bahwa moralitas itu dipaksakan oleh orang-orang pandai dan berpengaruh untuk menundukkan rakyat biasa. Terhadap tekanan, pendapat umum, dan tradisi, orang biasa menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang moral.

Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue, menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat

dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar, patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat. Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan

moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat

kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu

mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri.

Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer, umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasan- gagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin

proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi sistem yang lebih tinggi.

Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah, menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat, dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk

menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru yang harus menggantikan moralitas borjuis.

Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan. Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki tentang apakah itu adat.

Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah

mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun

suatu kumpulan pengalaman yang berguna dan profitable dari orang-orang tua. Sebagai hubungan sejarah dengan masa lalu, dan sebagai semen kelangsungan budaya, adat adalah tiang menyokong setiap bentuk peradaban.

Adat juga bisa merupakan penghalang kemajuan. Setelah beberapa lama, keadaan mungkin telah berubah secara radikal. Dan perbuatan yang dulu menguntungkan, mungkin dalam keadaan baru menjadi tidak berguna dan merugikan. Namun, karena tekanan kebiasaan yang kuat, manusia terus menjalankan perbuatan tersebut tanpa memikirkan mengapa berbuat demikian. Umpamanya, manusia terus-menerus mengikuti dan menaati upacara-upacara tertentu meskipun telah lupa (tidak tahu) akan artinya, akan pesan budayanya. Tradisinya dapat demikian hebat pengaruhnya sehingga orang terus saja berkeras kepala menjalankan sesuatu dengan cara yang tidak menghemat dan menentang akal sehat. Meskipun ia telah tahu bahwa tidak masuk akal, ia tidak bisa lagi meninggalkan pola tingkah laku yang telah demikian biasa. Kita pernah mengadakan perbedaan antara tata cara, tata tertib, yang merupakan adat-istiadat semata, dan adat istiadat yang bukan tata krama, yang bukan etiquette semata-mata, tetapi yang mempunyai arti moral. Adat semata, yakni perbuatan-perbuatan yang diulang semata karena pernah dijalankan, menurut pengalaman dapat diulang meskipun sukar. Sejarah telah membuktikan bahwa adat semacam itu dapat diubah oleh lamanya waktu yang telah berjalan, suatu kekerasan yang kuat, propoganda yang terus menerus, dan dapat diubah dengan reduksi yang merata. Bahkan juga terhadap adat yang sudah berurat-akar.

Ada adat kebiasaan yang tidak pernah dapat diubah. Makan dan bernapas adalah adat kebiasaan, tetapi tidak ada orang yang dapat dididik kembali untuk bisa hidup tanpa keduanya. Bercakap-cakap dan bertukar pikiran adalah adat kebiasaan, dan hanya orang sinting yang melarangnya. Musil dan ekspresi seni adalah adat kebiasaan. Hanya mental yang tidak bereslah yang mau menghancurkannya secara total. Sebabnya adalah semuanya itu bukan adat semata, melainkan berdasar atas tuntutan- tuntutan fisik, mental, dan emosionla manusia.

Contoh-contoh di atas kita ambil dari luar bidang moralitas, tetapi kesimpulan-kesimpulan yang sama dapat ditariknya. Adalah merupakan adat kebiasaan manusia menghormati hidup dan milik orang lain, mencintai anak- anaknya, menolong orang lain yang dalam kesusahan, dan lain-lain. Tetapi semuanya ini bukan sekedar adat semata. Memang manusia bisa menolak semuanya itu dan menerima adat kebiasaan yang mutlak berlawanan dengan semuanya itu. Tetapi jelas bahwa ini berarti akhirnya hidup manusia dan akhirnya kehidupan bermasyarakat. Tidak ada hak milik, tidak ada anka, tidak ada perdagangan, tidak ada kawan, tidak ada janji, dan tidak akan ada orang yang bisa hidup sampai menjadi dewasa, apalagi apa yang disebut generasi mendatang. Kesimpulan kami ialah: ada terdapat adat kebiasaan yang tidak dapat dihapuskan, dan kita dapat melipatgandakan contoh- contohnya. Adat-adat tersebut bukan sekadat sesuatu yang lagi diulang karena pernah dijalankan, melainkan menyatakan bagaimanakah seseorang hendaknya hidup kalau ia mau hidup sebagai manusia. Maka adat-adat tadi dianggap baik bukan karena telah menjadi kebiasaan, tetapi memang kodratnya juga sebelum menjadi adat. Selanjutnya, terdapat juga beberapa perbuatan yang tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Karena perbuatan- perbuatan tersebut pada hakikatnya secara intrinsik, menurut kodratnya adalah buruk dan jahat. Umpamanya prajurit lari dari kesatuannya dengan tidak sah (desersi), meracun tamu, atau sebagai saksi dusta di depan pengadilan. Perbuatan-perbuatan tersebut sifatnya destruktif tidak hanya bagi kemampuan-kemampuan dasar dan tuntutan-tuntutan manusia, tetapi juga destruktif bagi hakikat manusia sendiri.

Memang ada manusia yang mengerjakan itu, tetapi ini bukan titik persoalannya. Persoalannya ialah bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah buruk, dan kita mau mencari sebabnya mengapa buruk. Perbuatan semacam itu harus dianggap sebagai kekecualian, bukan hukum; sebagai modal pada umat manusia, bukan suatu ideal. Bila disebarkan secara luas, perbuatan- perbuatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat di mana perbuatan- perbuatan itu dilakukan.

Agaknya membunuh dan menganianya telah menjadi adat kebiasaan kaum kontrarevolusioner Gestapu. Sesuai dengan moral dalang-dalangnya baik adalah yang baik bagi partai, dan membunuh adalah baik asal maksud tujuan tercapai. Banyak orang yang telah terhasut dan menerima macam

immoralitas ini. Tetapi manusia Indonesia sebagai keseluruhan tidak bida menerima, dan menganggap bahkan mengutuk, bahwa perbuatan semacam itu biadab. Membunuh, menganiaya, tidak bisa diterima, apalagi dikatakan baik meskipun bagi PKI telah menjadi adat. Maka membunuh dan

menganiaya itu tidak dapat hanya kita dasarkan adat semata. Dasar semestinya lebih dalam dari adat. Adat semata tidak membuat moralitas.

e. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar. Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract, persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini memerintahkan dan melarang perbuatan-perbuatan tertentu guna

tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla

yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara. Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality.

Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang

kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan

kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori mereka tentang negara.

Di sini yang menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa mereka menolak adanya moralitas intrinsik. Mungkin ada yang ragu-ragu apakah banyak berbeda mendasarkan moralitas atas negara atau atas adat. Bila keduanya sekadar konvensi, semuanya saja berasal dari manusia. Tetapi yang jelas Hobbes dan Rousseau menegaskan bahwa sahnya moralitas hanya sejak negara telah terbentuk. Beberapa baris tulisan Hobbes akan menjelaskan hal tersebut:

“During the time men live without common power to keep them all in awe they are in that condition which is called war; and such a war as if of every man against every man … To this war of every man against every man, this is consequent; that nothing can be unjust. The notions of right and wring, justice and injustice, have there no place. Where there is no common power, there is no law; where no law, no injustice. Force and fraud are in war the two cardinal virtues. Justice and injustice are none of the faculties neither of the body nor mind. If they were, they might be in a man that were alone in the world, as well as his senses and passions. They are qualities that relate to men in society, not in solitude. It is consequent also to the same condition, that there be no propriety, no dominion, no mine and thine distinct; but only that to be every man's, that he can get; and for so long as he can keep it ....

Where no covenant hath preceded, there hath no right been transferred, and every man has a right to everything; and consequently no action can be unjust.... Before the names of just and unjust can have place, there must be some coercive power, to compel men equally to the performance of their covenants, by the terror of some punishment greater than the benefit they expect by the breach of their covenant .. and such power there is none before the erection of a commonwealth...”

Rousseau dengan jelas menandaskan bahwa moralitas didasarkan atas konvensi:

“Man is born free, and everywhere he is in chains. Many one believes himself the master of others, and yet he is a greater slave than they. How has this change come about? I do not know. What can render it legitimate? I believe that I can settle this question.. . . The social order is a sacred right which serves as a foundation for all others. This right, however, does not come from nature. It is therefore based on conventions. The question is to know what those conventions are....

“Since no man has any natural authority over his fellow man, and since force is not the source of right, conventions remain as the basis of all lawful authority among men.... “The passage from the state of nature to the civil state produces in a man a very remarkable change, by substituting in his conduct justice for instinct, and by giving his actions the moral quality they previously lacked.

Kita mau menyetujui bahwa negara dapat mengumumkan hukum tentang hal-hal yang indiferen dan membuatnya binding in conscience. Sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan, negara dapat menentukan kal au kita mengendarai sesuatu, hendaknya selalu jalan kiri, meskipun bisa memilih antara sisi kiri atau kanan. negara dapat memberikan moralitas ekstrinsik kepada suatu perbuatan yang intrinsik indiferen. Tetapi tidak semua macam perbuatan seperti ini. Ada beberapa perbuatan yang tidak dapat diperintalikan oleh negara dan ada beberapa yang tidak bisa dilarangnya. Tidak ada satu negara pun yang bisa survive yang

memerintahkan pembunuhan, penggarongan, pengkhianatan, atau yang melarang keramahtamahan, kejujuran, loyalitas. perbuatan-perbuatan tersebut sudah baik atau buruk sebelum ada negara. Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah baik atau buruk karena hukum-hukum negara

memerintahkan atau melarangnya, tetapi negara wajib memerintahkan atau melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk pada hakikatnya.

Argumen: Apabila negara membuat moralitas, negara dapat mengubah atau menghapuskan moralitas. Tetapi negara tidakdapat mengubah atau menghapus moralitas, maka negara tidak membuat moralitas.

f. Bila moralitas itu bukan hasil konvensi manusia, sumbernya harus terdapat pada Tuhan. Tetapi pertanyaan asli kita tetap sama. Apakah perbuatan itu baik karena Tuhan memerintahkan dan buruk karena Tuhan melarangnya, ataukah Tuhan memerintahkan karena perbuatan-perbuatan tersebut baik menurut hakikatnya dan melarangnya karena perbuatan tersebut buruk menurut hakikatnya? Bila alternatif pertama dipilih, maka tidak terdapat moralitas kodrat atau intrinsik, dan bahwa semua moral itas datangnya dari hukum positif illahi. Jadi, di sini ada positivisme moral.

Para penulis abad pertengahan yang memenangkan kehendak di atas akal budi cenderung ke arah ini (voluntarisme sebagai lawan

intelektualisme). John Duns Scotus berpendapat bahwa semua keharusan (obligation) datangnya dari kehendak Tuhan yang mutlak merdeka, dan bahwa perbuatan serong atau perzinahan dan pembunuhan pada hakikatnya buruk bagi manusia sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kodratnya. Tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan buruk andaikata dulu Tuhan tidak melarangnya. Ia percaya akan adanya kebaikan atau keburukan intrinsik, tetapi tidak percaya kepada kebenaran atau kesalahan intrinsik (intrinsic rightness or wrongness).

William dan Ockham menolak bahwa konsep universal itu mempunyai dasar pada realitas. Bahkan kehendak illahi juga ia bebaskan dari kebergantungannya kepada ide-ide illahi, dan membuat kebaikan atau keburukan perbuatan-perbuatan itu hanya bergantung kepada kehendak illahi. Dalam salah satu tulisan, ia berkata bahwa Tuhan bahkan bisa memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk membenci Dia, dan

kebenciannya ini akan menjadi baik (meritorious). Pada hakikatnya semua perbuatan itu indiferen, tetapi menjadi baik atau buruk karena

Samuel Pufendorf, seorang juris berkebangsaan Jerman yang terkenal, menyatakan bahwa semua bentuk moralitas itu bergantung pada kehendak bebas Tuhan. Tetapi apa yang ia maksudkan agaknya bahwa Tuhan bisa menciptakan sembarang makhluk yang Dia hendaki. Tetapi Dia kemudian menuntut ciptaan-Nya menyesuaikan perbuatannya dengan hakikatnya. Tidak ada satupun dari penulis-penulis tersebut yang

mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya semau-Nya dan seenak-Nya saja dalam menghendaki sesuatu.

Rene Descartes bahkan secara gamblang menerangkan bahwa juga kebenaran-kebenaran matematis itu bergantung pada pemilihan bebas Tuhan. Bila benar demikian, kebenaran moral tidak lain hanya khayalan illahi yang semaunya saja.

Descartes menu I s:

“It is self contradictory that the will of God should not have been from eternity indifferent to all that has come to pass of that ever will occur, because we can form no conception of anything good or true, of anything to be believed or to be performed or to be ommited, the idea of which existed in the divine understanding before God's will determined Him so to act as to act as to bring it to pass. Nor do I speak here of priority of time; I mean that it was not even priorer in order, or in nature, or in reason relation, as they say, so that the idea of good impelled God to choose one thing rather than another... God did not will the three angles of a triangle to be equal to two right angles because He know that they could not be