• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dokumen - MBB - STMIK EL RAHMA ISBD BAB 1 8 FIX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dokumen - MBB - STMIK EL RAHMA ISBD BAB 1 8 FIX"

Copied!
243
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

A.HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP 1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD)

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan bermasyarakat”. Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya”.

ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya. Selain itu, mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)

(2)

a. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat. b. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan landasan nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.

3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD)

Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang lingkup dan sub bahasannya.

a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) 1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD

2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan

3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya b. Manusia sebagai Makhluk Budaya:

1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya; 2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan; 3. Etika dan estetika berbudaya

4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar manusia; dan

(3)

c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;

1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social;

2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social; 3. Dinamika interaksi social; dan

4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat; d. Manusia dan Peradaban

1. Hakikat peradaban;

2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;

3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan social-budaya;

4. Dinamika peradaban global; dan

5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;

1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;

2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya;

3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa; dan

4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan masyarakat dan negara

f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum

1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam kehidupan manusia, masyarakat dan negara;

2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang bermoral dan menaati hukum dan

3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan negara

g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:

1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;

2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan budaya; dan

(4)

h. Manusia dan Lingkungan

1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;

2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia 3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat;

dan

4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.

B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM

ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara simultan, yang meliputi:

1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternative pemacahannya.

(5)

C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIAL-BUDAYA

Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai luhur tradisi.

(6)

BAB II

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA BERETIKA DAN BERESTETIKA

A. KEBUDAYAAN

1. Pengertian Kebudayaan

Kata “Kebudayaan” dan “culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya,budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. 6Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.7 Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.

Adapun kata cultur, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan” berasal dari kata Latin colore yangt berarti

“mengolah, menegrjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam”.

4. Lihatlah karangan A. Davis, Social Class Influences Upon Learning (1948) : Hlm. 59 5. Lihatlah buku pelejaran A. Hoebel, Man in the Primitive World. An Introduction to

Anthropology. New York, Mc Graw Hill (1958 : hlm. 152–153).

6. Lihat buku P.J. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, C.P.J. van der Peet (1951).

(7)

Dua sarjana Antropologi Al Kroeber dan C Kluckhon pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi tentang kebudayaan, ternyata bahwa ada paling sedikit 160 buah definisi, ke 160 buah definisi itu, kemudian mereka analisa, dicari latar belakang, prinsip beberapa tipe definisi antara lain :

1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2) R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagian konfigurasitingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.

3) Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.

4) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

5) Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non-material. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu suatu teori yang mengataakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.

2. Tiga Wujud Kebudayaan

(8)

dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola.10 Maka, serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959 : hlm. 11 – 12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengarang berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, ggasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifat-sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi micro film dan mikrofish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer.

Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya, atau cultural system. Dalam Bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.

(9)

detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja : ada benda-benda yang amat kompleks dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil seni arsitek seperti suatu candi yang indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju.

Ketiga wujud dari kebudayaan terurai diatas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memebri arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauh manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.

(10)

dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara ketiga hal terurai di atas.

Seorang sarjana antropologi dapat meneliti hanya sistem budaya, atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam pekerjaan itu ia akan mengkhususkan perhatiannya terutama pada cita-cita, nilai-nilai budaya, dan pandangan hidup, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Ia dapat juga meneliti tindakan, aktivitas-aktivitas dan karya manusia itu sendiri, tetapi dapat juga mengkhususkan perhatiannya pada hasil dari karya manusia yang bisa berupa benda peralatan, benda kesenian, atau bangunan-bangunan.

(11)

hanya melihat Universitas A sebagai suatu suatu kompleks gedung-gedung, ruang-ruang, sekumpulan meja tulis, komputer, timbunan-timbunan dan alat-alat lainnya saja.

3. Unsur-Unsur Kebudayaan Universal

Unsur-unsur Kebudayaan Universal. Keseluruhan dri tindakan manuia yang beropla itu berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas itu selalu dapat pila kita perinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus.

Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, pada waktu analisa membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut

“unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. Istilah universal itu menunjukkan bahwa unsur-unur tadi bersifat universal, jadi unur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai apa yang diebut cultural universals itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam sebuah karangan yang berjudul Universal Categories of Cilture (1953).14 Dengan mengambil sari dari berbagai karangan tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana antropologi itu, ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat lita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah :

1. Bahasa

(12)

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mats pencaharian hidup 6. Sistem religi

7. Kesenian

Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem social, dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian sistem ekonomi misalnya mempunyai wujudnya sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transpor, pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang 'Puhan, dews-dews, roh-roh halus, neraka, sorga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, ceritera-ceritera dan syair-syair yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, spon-sor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian; tetapi kecuali itu semua kesenian juga berupa bends indah, candi, kain tenun yang indah, bends-bends kerajinan, dan sebagainya.

Unsur pokok kebudayaan (menurut Bronislaw Malinowski) :

 Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

(13)

 Alat-alat dan lembaga pendidikan.  Organisasi kekuatan.

Melville J. Herkovits menyebut unsur pokok kebudayaan adalah :  Alat-alat teknologi

 Sisten ekonomi  Keluarga

 Kekuasaan politik

4. Sifat-Sifat Kebudayaan

Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, eperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau ifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersiifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun.

Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain :

1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

(14)

5. Manusia sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan

Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal clan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi clan diberikan kemampuan yang disebutkan oleh Supartono (dalam Rafael Raga Maran, 1999:36) sebagai daya manusia. Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensia, dan intuisi; perasaan dan emosi; kemauan; fantasi; dan perilaku.

Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia penciptanya dan manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendukungnya. Dialektika ini didasarkan pada pendapat Peter L. Berger, yang menyebutkan sebagai dialektika fundamental. Dialektika fundamental ini terdiri dari tiga tahap: tahap eksternalisasi, tahap objektivasi, dan tahap internalisasi.

Tahap eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia secara terus-menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental. Tahap objektivitas adalah tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu realita objektif, yang berada di luar diri manusia. Tahap internalisasi adalah tahap di mana realitas objektif hasil ciptaan manusia diserap oleh manusia kembali. Jadi, ada hubungan berkelanjutan antara realitas internal dengan realitas eksternal. (Yusdi Ahmad, Makalah, 2006 : 5)

(15)

kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.

Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai:

1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya. 2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan

kemampuan lain.

3. Sebagai pembimbing kehidupan clan penghidupan manusia. 4. Pembeda manusia clan binatang.

5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berperilaku di dalam pergaulan.

6. Pengaturan agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.

7. Sebagai modal dasar pembangunan.

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya

manusia dapat mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya.

Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat, berbagai macam kekuatan harus dihadapi manusia dan masyarakat seperti kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik secara spiritual maupun materil.

Kebudayaan masyarakat tersebut sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan di dalamnya.

(16)

taraf permulaan manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Keadaan yang berbeda pada masyarakat yang telah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan kemungkinan yang luas untuk memanfaatkan hasil alam bahkan menguasai alam.

6. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Lingkungan

Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar, artinya orang asing. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatu lingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula.

Usaha untuk menjelaskan perilaku manusia sebagai perilaku budaya dalam kaidah dengan lingkungannya, terlebih lagi perspektif lintas budaya akan mengandung banyak variabel yang saling berhubungan dalam keseluruhan sistem terbuka. Pendekatan yang saling berhubungan dengan psikologi lingkungan adalah pendekatan sistem yang melihat rangkaian sistemik antara beberapa subsistem yang ada dalam melihat kenyataan lingkungan total yang melingkupi satuan budaya yang ada.

Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan:

Physical Environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti: temperatur, curah hujan, iklim, wilayah geografis, flora, dan fauna.

(17)

Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbedabeda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya.

Environmental Behavior and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.  Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti

membangun rumah, komunitas, kota beserta usaha-usaha manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya pertanian dan iklim.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya

7. Proses dan Perkembangan Kebudayaan

Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangannya sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.

Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan seseorang bersifat kompleks, dan memiliki eksistensi clan berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Seseorang mampu memengaruhi kebudayaan dan memberikan peluang untuk terjadinya perubahan kebudayaan.

(18)

Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim, topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Sebagai contoh: orang-orang yang hidup di daerah yang kondisi lahan atau tanahnya subur (produktif) akan mendorong terciptanya suatu kehidupan yang favourable untuk mem-produksi bahan pangan. Jadi, terjadi suatu proses keserasian antara lingkungan fisik dengan kebudayaan yang terbentuk di lingkungan tersebut, kemudian ada keserasian juga antara kebudayaan masyarakat yang satu dengan kebudayaan masyarakat tetangga dekat. Kondisi lingkungan seperti ini memberikan peluang untuk berkembangnya peradaban (kebudayaan) yang lebih maju. Misalnya, dibangun sistem irigasi, teknologi pengolahan lahan dan makanan, dan lain sebagainya.

Kebudayaan dari suatu kelompok sosial tidak secara komplet ditentukan oleh lingkungan fisik saja, namun lingkungan tersebut sekadar memberikan peluang untuk terbentuknya sebuah kebudayaan. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalam hal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehidupan setiap manusia.

Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu

(19)

sebagai penganut kebudayaan tradisional selama turun-temurun.

Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sangat bertolak belakang dengan budaya yang dianut di dalam kelompok sosialnya. Yang diperlukan di sini adalah kontrol sosial yang ada di masyarakat, yang menjadi suatu 'cambuk' bagi komunitas yang menganut kebudayaan tersebut. Sehingga mereka dapat memilah-milah, mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.

8. Problematika Kebudayaan

Beberapa Problematika Kebudayaan antara lain:

1. Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.

Keterkaitan orang Jawa terhadap tanah yang mereka tempati secara turun-temurun diyakini sebagai pemberi berkah kehidupan. Mereka enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani. Padahal hidup mereka umumnya miskin.

2. Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksana pembangunan. Contohnya, program Keluarga Berencana atau KB semula ditolak masyarakat, mereka beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.

(20)

4. Masyarakat yang terasing clan kurang komunikasi dengan masyarakat luar.

Masyarakat daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat luar, karena pengetahuannya serba terbatas, seolah-olah tertutup untuk menerima program-program pembangunan.

5. Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru.

Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional sedemikian rupa, yang menganggap hal-hal baru itu akan merusak tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki secara turun-temurun.

6 . Sikap Etnosentrisme.

Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsanya sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasus-kasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras, dan antar-golongan.

Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beberapa suku bangsa dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing kebudayaan itu dianggap sebagai satu ciri khas daerah lokal. Yang terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota masyarakat dalam memandang kebudayaan orang lain.

Sikap etnosentrisme dapat menimbulkan kecenderungan perpecahan dengan sikap kelakuan yang lebih tinggi terhadap

budaya lain. ,

(21)

kesehatan tetapi dalam penggunaannya banyak disalahgunakan yang justru mengganggu kesehatan manusia.

9. Perubahan Kebudayaan

Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh karenanya tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Ada lima faktor yang menjadi penyebab perubahan kebudayaan, yaitu:

a. Perubahan lingkungan alam.

b. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan suatu kelompok lain.

c. Perubahan karena adanya penemuan (discovery).

d. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain.

e. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas.

(22)

B. ETIKA

1. Pengertian Etika

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut "etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya ,adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi lafar belakang bagi terbentuknya istilah "etika" yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka "etika" berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja belum cukup untuk mengerti apa yang dalam buku ini dimaksudkan dengan istilah "etika".

Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa dalam bahasa Indonesia pun kata "ethos" cu kup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi "ethos kerja", "ethos profesi", dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaiknya dipertahankan ejaan aslinya "ethos"), tapi tidak langsung melainkan melalui bahasa Inggris, di mana -seperti dalam banyak bahasa modern lain-kata itu termasuk kosa kata yang baku. Dalam buku ini kita akan memanfaatkan juga istilah "ethos" ini.

(23)

dengan etimologi kata "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin

Sekarang kita kembali ke istilah "etika". Setelah mem-pelajari dulu asal-usulnya, sekarang kita berusaha menyimak artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata “etika" ada perbedaan yang mencolok, jika kita meembandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus, yang baru. Dal am Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953) "etika" dijelaskan sebagai: "ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)". Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan kita membaca dalam koran "Dalam dunia bisnis etika merosot terus", maka kata "etika" di sini hanya bisa berarti "etika sebagai ilmu". Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat seperti itu ternyata bukan etika sebagai ilmu. Kita bisa menyimpulkan bahwa kamus lama dalam penjelasannya tidak lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988), di situ "etika" dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1). ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;

'Dalam Kamus Besar Bahcua Indonesia edisi ke-2 (1991) dan edisi ke-3 (2001) ada perubahan. Di situ dimuat dua entri: "etik" dan "etika". Etik meliputi arti ke-2 dan ke-3 dari "etika" dalam edisi 1988, sedangkan "etika" (dalam

edisi 1991 dan 2001) dikhususkan untuk ilmunya. Sehingga "etika" dimengerti sebagai ilmu tentang "etik", Mengapa

ada perubahan ini? Karena para ahli bahasa berpendapat bahwa istilah dengan akhiran-"ika" harus dipakai untuk

menunjukkan ilmu. Seperti misalnya "statistika" adalah ilmu tentang "statistik". Demikian keinginan para ahli

(24)

3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat". Kamus baru ini memang lebih lengkap. Dengan penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti "Dalam dunia bisnis etika merosot terus", karena di sini "etika" ternyata dipakai dalam arti yang ketiga.

(25)

diikuti. Dan yang kita teliti di sini adalah bagaimana istilah ini pada kenyataannya dipakai dalam masyarakat, bukan bagaimana seharusnya dipakai menurut norma ilmu bahasa. Karena

itu untuk maksud kita penjelasan dari edisi 1988 masih bisa dianggap paling tepat.

bila kemungkinan-kemungkinan etis (asa-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat-sering kali tanpa disadari-menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Tentang kata "moral" sudah kita lihat bahwa etimologi nya sama dengan "etika", sekalipun hahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti kata "moral", perlu kita simpulkan bahwa artinya (sekurang-kurangnya arti yang relevan untuk kita, di samping arti lain yang tidak perlu disinggung di sini) sama dengan "etika" menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya, bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksud bahwa kita menganggap perbuatan orang itu niclanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya, mereka berpegang pada nilai dan norma yang tidak baik.

"Moralitas" (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan "moral", hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan bai dan buruk

2. Etiket Dan Etika

(26)

sangat hakiki.

2 Stanley L. Jaki. “Decision -making in Business : Amoral?” dalam C. van Dam and L. N.

Stallaert, Trends in Busine Ethics, Leiden / Boston, Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 1 -10 .

"Etika" di sini berarti "moral" dan "etiket" berarti "sopan santun (tentu saja, di samping arti lain: "secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang ). Jika kita melihat asal-usulnya, sebetulnya tidak ada hubungan antara dua istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika kita membanding - kan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yaitu ethics da n etiquette.

Tetapi dipandang menurut artinya, dua istilah ini memang dekat satu sama lain.

Di samping perbedaan, ada juga peramaan. Mari kita mulai dengan persamaan itu. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian rnenyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.

Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting antara etika dan etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas empat macam perbedaan.

(27)

terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh di - lakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. "Jangan men curi" merupakan suatu norma etika. Apakah orang men curi dengan tangan kanan atau tangan kiri di sini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.

* Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau dengan me letakkan kaki di atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan sendiri, saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu btrlaku, entah ada orang lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.

(28)

diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi.

* Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai "musang berbulu ayam": dari luar sangat sopan clan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis sifatnya tidak mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat perbedaan yang dibahas tadi.

(29)

tentang kata "moralitas" yang dijelaskan sebagai "sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun". Padahal, sesuai dengan pemakaian intemasional sudah menjadi kebiasaan umum memasukkan "moralitas" ke dalam lingkup etika, bukan lingkup etiket.

3. Teori-Teori Etiket

a) Hedonisme

Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan, jika pandangan ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas pertanyaan "apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia", para hedonis menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.

(30)

misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Sebab, hal-hal terakhir ini hanyalah ingatan akan atau antisipasi atas kesenangan. Yang baik dalam arti yang sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini. Jika kita melihat pandangan Aristippos ini sebagai keseluruhan, perlu kita simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan individual.

Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aris-tippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam pada itu mengakui perlunya pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita. Konon, kepada teman-teman yang mengeritiknya karena hubungannya dengan seorang wanita penghibur kelas tinggi yang bernama Lais ia menjawab: "Saya memiliki Lais, ia tidak memiliki saya". Secara konsekuen ia berpendapat juga bahwa manusia harus membatasi diri pada kesenangan yang diperoleh dengan mudah dan tidak perlu mengusahakan kesenangan dengan susah payah serta bekerja keras.

(31)

lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh manusia merupakan "asas serta akar" segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: "Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa" (Surat kepada Menoikeus). Tapi kesenangan rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. la juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kesenangan, menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.

(32)

itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat.

b. Eudemonisme

Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aris - toteles (384-322 s.M.). Dalam bukunya, Ethika Nikomakhei«, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Scring kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan. Timbul pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang, dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidaG dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles (semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan

(eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan me -reka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Kekayaan, misalnya, paling-paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena itu masih tetap tinggal pertanyaan: apa itu kebahagiaan

(33)

dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Apakah fungsi yang khas bagi manusia itu? Apakah keunggulan manusia, dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain? Aristoteles menjawab: akal budi atau rasio. Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya. Dan tidak cukup ia melakukan demikian beberapa kali saja, tapi harus sebagai suatu sikap tetap. Hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan dengan disertai keutamaan. Bagi Aristoteles ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari. Khususnya keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara "kurang" dan "terlalu banyak". Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jaIan tengah itu oleh Aristoteles disebut phronesis (kebijaksanaan praktis).

(34)

Disini perlu dicatat bahwa Aristoteles (dan seluruh tradisi pemikiran Yunani) tidak mengerti kebahagiaan dalam arti modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa happy). Dengan kebahagiaan dimaksudkannya keadaan manuia demikian rupa, ehingga segala sesuatu yang seharusnya ada memang ada padanya (well-being)

Karena itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral.

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan ldta sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.

c. Utilitarisme

1. Utilitarisme Klasik

(35)

memajukan kepentingan para warga negara dan bukan me-maksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang di-sebut hak-hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Ben - tham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang dida-sarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka.

Bentham mulai dengan menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerin -tahan dua penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan Menurut kodratnya manusia menghindari ke-tidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini Bentham sebenarnya melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.

(36)

4”Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters :

pain and pleasure”.

berbunyi: the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar". Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan kita pribadi maupun untuk kebijaksanaan pemerintah, misalnya, dalam menentukan hukum pidana.

Menurut Bentham, prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka. Karena kualitas kesenangan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa berbeda adalah kuantitasnya 5 Bukan saja the greatest number tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan. Untuk itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Sumber-sumber kesenangan dapat diukur dan diperhitungkan menurut intensitas dan lamanya perasaan yang diambil daripadanya, menurut akibatnya, menurut kepastian akan dapat menghasilkan perasaan itu, menurut jauh dekatnya perasaan, menurut kemurnian serta jangkauan perasaan, dan sebagainya. Perhitungan ini akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan). Salah satu contoh adalah cara Bentham memperhitungkan kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai ma-buk. Hasil perhitungan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

(37)

equal, oushpin is as good as poetry" (Karena kualitas kesenangan selalu sarna, pusnprn sama baik seperti puisi). Yang dimaksud dengan pushpin adalah sejenis permainan anak.

KEMABUKAN

Ketidaksenangan Kesenangan (kredit)

Lamanya : Singkat Intensitas : membawa

Akibat : - kemiskinan banyak

- nama buruk Kepastian : kesenangan - tidak sanggup kesenangan pasti

bekerja Jauh/dekat : terjadi Kemurnian : dapat diragukan kesenangan

( dalam keadaan timbul cepat

mabuk sring tercampur unsur ketidaksenangan)

Seandainya tidak ada segi negatif, maka keadaan mabuk akan merupakan sesuatu yang secara moral baik. Tapi sebagai keseluruhan saldo adalah negatif dan menurut Bentham malah sangat negatif, sehingga kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek. Moralitas semua perbuatan dapat diperhitungkan dengan cara sejenis.

Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf Inggris besar, John Stuart Mill (1806-1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864). Dari pendapatnya patut disebut di sini dua hal. Pertama, ia mengeritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif.

6”It is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied; better to be

(38)

yang tidak puas daripada seorang yang tidak puas daripada seekor babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas).

Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan, tegasnya, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kesenangan.

Pikiran Mill yang kedua yang pantas disebut di sini adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri: everybody to count for one, nobody to count for more than one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.

2. Utilitarisme Aturan

(39)

8S.E. Toulmin, The Place of Reason in Ethics, Cambridge, Cambridge Univet sity

Press, 1949.

Toulmin dan kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip keguna,tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan bagaimana dipikirkan dalam utilitarisme klasik), melainkan

atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-peiIm.ttan kita. Orang sebaiknya tidak bertanya "apakah akan tiiperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyal, orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?" Yang harus ditanyakan adalah: "apakah aturan moral 'orang harus menepati janjinya' merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat atau, sebaliknya, aturan 'orang tidak perlu menepati janji' menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?" Tanpa ragu-ragu dapat kita jawab bahwa aturan "orang harus menepati janji" pasti paling berguna dan karena itu harus diterima sebagai aturan moral. Juga kesulitan-kesulitan lain terhadap utilitarisme, seperti hak manusia atau perlunya keadilan, akan hilang dengan sendirinya, asal prinsip ke -gunaan diterapkan atas aturannya dan bukan atas per - buatan satu demi satu.

Filsuf seperti Richard B.Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.

(40)

demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya, seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik antara dua aturan moral: "orang tidak boleh mencuri" dan "orang tua harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anaknya". Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya memang demikian.

4. Deontologi

(41)

memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua sistem itu bersifat teleologis (= terarah pada tujuan).

(42)

BAB III

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN CIPTAAN TUHAN

A. Manusia sebagai Indvidu

Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara jiwa dan raganya. Kata "individu" berasal dari kata latin individuum, artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu mengandung pengertian sebagai suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan, (Soelaeman, 2001:113).

(43)

Untuk menjadi suatu individu yang "mandiri" harus melalui proses yang panjang. Tahap pertama, melalui proses pemantapan pergaulan yang dilakukan di lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini secara bertahap karakter yang khas akan terbentuk dan mengendap lewat sentuhan-sentuhan interaksi: etika, estetika, dan moral agama. Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan proses pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah yang membentuk dirinya. Menurut Sigmund Freud, super ego pribadi manusia sudah mulai terbentuk pada saat manusia berumur 56 tahun (Gerungan, 1980:29).

Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku masa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai menjadi dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, maka muncul struktur masyarakat yang akan menentukan kemantapan masyarakat. Individu dalam bertingkah laku menurut pribadinya ada tiga kemungkinan: menyimpang dari norma kolektif, kehilangan individualitasnya atau takhluk terhadap kolektif, dan mempengaruhi masyarakat seperti adanya tokoh pahlawan atau pengacau. Mencari titik optimum antara dua pola tingkah laku (sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat) dalam situasi yang senantiasa berubah, memberi konotasi "matang" atau "dewasa" dalam konteks sosial. Sebutan "baik" atau "tidak baik" pengaruh individu terhadap masyarakat adalah relatif (Soelaeman, 2001:114). Bertolak dari proses penjabaran individualisasi manusia dalam masyarakat tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki perilaku yang didorong oleh aspek individu dan aspek sosial.

(44)

dalam diri manusia tersebut tidak dapat terbagi apalagi terpisahkan. Jika unsur-unsur tersebut tidak dapat menyatu maka seseorang tidak dapat disebut sebagai individu. Oleh sebab itu, orang yang sudah mati disebut "jasad" atau "mayat" karena yang tinggal hanya raga, jiwanya sudah tidak ada. Raga tidak dapat hidup sebagaimana manusia utuh selaku individu apabila tanpa jiwa. Dengan kata lain, yang disebut manusia sebagai makhluk individu mencerminkan adanya satuan terkecil yang tidak dapat terbagi lagi tetapi memiliki unsur-unsur jasmani dan rohani atau fisik dan psikis, atau jiwa dan raga yang utuh menyatu.

Meskipun semua manusia sebagai individu memiliki unsur jiwa dan raga yang menyatu, tetapi antara satu orang dengan orang yang lainnya memiliki perbedaan dan kekhasannya baik secara fisik dan psikis. Secara fisik misalnya, ada yang berambut ikal tetapi juga ada yang berambut lurus, ada yang gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, dan seterusnya. Secara psikis juga ada perbedaan, misalnya ada yang pemalu, pemarah, penyabar, periang, dan lain-lain. Dengan kata lain, individu dapat dikenali dengan mudah melalui aspek fisik maupun psikisnya.

(45)

yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan menyelami dunia di luar dirinya seperti spiritualitas dan rasa religiusitas (berkeyakinan akan keberadaan Tuhan).

Dengan adanya kebutuhan pribadi itulah manusia selaku individu mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, yaitu ada dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Tindakan-tindakannya diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadinya meskipun dalam kapasitasnya bisa jadi menjadi bentuk perbuatan yang bernilai pengabdian kepada masyarakatriya. Untuk itulah perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh motivasinya dalam melakukan aktivitasnya. Motivasi atau dorongan perilaku tersebut memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Berbagai bentuk motivasi individu tersebut berupa: kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain (achievement); kebutuhan untuk memuji, menyesuaikan diri, dan mengikuti pendapat orang lain (defence); kebutuhan untuk membuat rencana secara teratur (order); kebutuhan untuk menarik perhatian orang lain dan berusaha menjadi pusat perhatian (exhibition); kebutuhan untuk mandiri, tidak mau tergantung orang lain dan tidak mau diperintah orang lain (autonomy); kebutuhan untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, kesetiaan, berpartisipasi (affiliation); kebutuhan untuk memahami perasaan dan mengetahui tingkah laku orang lain (intraception); kebutuhan untuk mendapatkan simpati, bantuan, dan kasih sayang orang lain (succorance); kebutuhan untuk bertahan pada pendapatnya, menguasai, memimpin, menasehati orang lain

(46)

Semua perilaku individu yang didorong oleh keinginan memenuhi kebutuhan primer dan motivasi yang melekat pada pribadinya dapat menjadi tolak ukur kepribadian seseorang dalam aktivitas sosialnya. Sinyalemen ini menjadi indikasi atau pertanda seberapa besar makna individu tersebut berperan dalam kehidupan, sehingga eksistensinya sebagai manusia individu dapat diakui memiliki makna, baik secara pribadi maupun terhadap lingkungannya. Manusia sebagai individu akan memiliki arti bagi kehidupannya apabila peran dirinya bermakna bagi orang lain, keluarga, maupun masyarakat secara luas. Salah satu tanggung jawab manusia selaku pribadi yaitu membawa dirinya ke jalan yang lurus, sehingga terpelihara iman dan Islamnya, serta selalu ingat kepada Allah dan bersyukurlah karena nikmat Allah. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam alQur'an, Surat al-Fatihah, ayat 5 dan 6; al-Baqarah, ayat 21, 152, dan 153, dan seterunya.

B. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial di samping sifat-sifat lainnya yang secara pribadi dimiliki. Secara alami keberadaan manusia membutuhkan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk itu, perlu dilihat makna sosial itu sendiri baik secara kebahasaan maupun dari aktivitas simbolis yang dilakukannya. Secara etimologi, istilah "sosial" berasal dari bahasa Latin socius yang artinya teman, perikatan. Jadi, secara etimologi manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang berteman, memiliki perikatan antara satu orang dengan orang yang lain. Istilah sosial ini menekankan adanya relasi atau interaksi antar manusia, baik itu relasi seorang individu dengan seorang individu yang lain, individu dengan kelompok, atau. kelompok dengan kelompok.

(47)

dasar hubungan pernikahan antara laki-laki dan wanita, yang berlangsung lama untuk mendapatkan keturunan dan membesarkan anak-anaknya. Oleh sebab itu, dalam hubungan keluarga ini memiliki lima macam sifat yang menjadi indikasi terbentuknya masyarakat dalam arti keluarga, yaitu: hubungan suami-istri, bentuk pernikahan untuk pemeliharaan hubungan suami-istri, memiliki susunan atau formulasi istilah untuk menghitung keturunan, memiliki harta benda yang menjadi milik keluarga, dan bertempat tinggal bersama. Masing-masing individu yang terhimpun dalam satu keluarga di samping memiliki hak dan kewajiban, juga bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya agar selalu dalam keadaan Iman dan Islam, sehingga kelak di akhirat terhindar dari api neraka. Untuk itulah di dalam al -Qur'an, Surat al-Baqarah 2:132 ditegaskan : "...janganlah mati kecuali dalamkeadaan memeluk agama Islam."

Sementara itu, pengertian masyarakat secara luas adalah menunjuk pada sekelompok orang yang memiliki perasaan tertentu, sehingga menimbulkan keeratan hubungan di antara anggota-anggotanya. Mereka memiliki rasa persatuan karena memiliki kebiasaan atau kebudavaan yang sama, logat bahasa yang sama, asal-usul yang sama, dan bertempat tinggal dalam batas geografis yang sama. Keeratan hubungan ini lebih dirasakan anggota masyarakatnya daripada oleh orang lain. Mereka memiliki ikatan norma-norma dan adapt istiadat yang sama, sehingga masing-masing merasa memiliki dan merasa bertanggung jawab atas keutuhan masya-rakatnya.

(48)

Untuk itu, mereka juga harus memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik. Tugas dan tanggung jawab manusia sebagai warga negara adalah ikut menjaga keutuhan serta tegaknya negara, dan memenuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Manusia sebagai Makhluk Tuhan

Kesadaran manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial hendaknya tidak mengabaikan eksistensinya sebagai makhluk Tuhan. Bentuk dari tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara merupakan. bagian dari bentuk pengabdian dan penghambaan diri terhadap Tuhan. Dengan kata lain, aktivitas manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial adalah representasi kesadaran diri manusia atas pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan. Segala bentuk tanggung jawab pribadi dan sosialnya adalah manifestasi diri sebagai hamba Tuhan, atas amanah-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan demikian, upaya untuk dapat memayu hayuning bawana (selalu berusaha mempercantik kecantikan dunia) dapat dilakukan dengan budi pekerti atau perilaku yang arif dan bijaksana. Menusia sebagai makhluk Tuhan juga memiliki kewajiban untuk selalu berdakwah dan menebarkan amar ma'ruf nahi mungkar. Kewajiban berdakwah ini disampaikan dalam Q.S. Ali Imran 3:104, yang artinya kurang lebih demikian: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan meneegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (Ilyas, 2003:182-183).

D. Dinamika Interaksi Sosial : Akulturasi, Asimilasi, Dan Inovasi 1. Akulturasi Budaya

(49)

menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang muncul adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya hidup, seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat.

Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang dikemukakan Koentjaraningrat (1997):

1. Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.

2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima dan yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.

3. Masalah unsur kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan diubah dan unsur kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.

4. Masalah mengenai individu-individu apa yang mudah dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.

5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan sosial yang timbul akibat adanya akulturasi.

Dampak akulturasi terhadap masyarakat meniscayakan seorang peneliti perlu memerhatikan beberapa hal berikut:

1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan.

2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing itu.

3. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima.

4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi.

5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

2. Asimilasi Budaya

(50)

1. Kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.

2. Kelompok manusia ini saling bergaul secara intensif dalam kurun waktu yang lama.

3. Pertemuan budaya-budaya antar kelompok itu masing-masing berubah watak khasnya dan unsur-unsur kebudayaannya saling

berubah sehingga memunculkan suatu watak kebudayaan yang baru/campuran.

Faktor penghambat adanya proses asimilasi budaya:

1. Kurangnya pengetahuan terhadap unsur kebudayaan yang dihadapi (dapat) bersumber dari pendatang ataupun penduduk asli.

2. Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi.

3. Perasaan ego dan superioritas yang ada pada individu-individu dari suatu kebudayaan terhadap kelompok lain.

Faktor yang memudahkan/penarik terjadinya asimilasi budaya:

a. Faktor toleransi, kelakuan saling menerima dan memberi dalam struktur himpunan masyarakat.

b. Faktor kemanfataan timbal balik, memberi manfaat kepada dua belah pihak

c. Faktor simpati, pemahaman saling menghargai dan memperlakukan pihak lain secara baik.

3. Inovasi (Pembaruan) Campuran, Bermanfaat Bagi Proses Asimilasi Proses pembaruan (inovasi) dapat digolongkan dalam bentuk:

a. Discovery, atau penemuan unsur-unsur kebudayaan yang baru berupa gagasan individu atau kelompok.

Referensi

Dokumen terkait

- Besarnya setoran modal Anggota yang menyerahkan Perusahaan Perseorangan sebagai setoran adalah sejumlah Aktiva Bersih yang diserahkan pada Firma setelah dinilai

Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk

Program Aplikasi Serbaguna adalah program aplikasi yang dapat digunakan oleh pemakai untuk melaksanakan hal-hal yang bersifat umum.. Program Aplikasi Spesifik adalah program

Buat program yang digunakan untuk menampilkan data harga onderdil mobil seperti pada contoh latihan 3.. Struktur Data – Wahyu Widodo, S.Kom

Struktur adalah tipe data yang dapat menyimpan sejumlah data yang memiliki tipe data berbeda.. Perhatikan

4. Demand Paging Demand paging atau permintaan pemberian halaman adalah salah satu implementasi dari memori virtual yang paling umum digunakan. Demand paging ) pada

Random Access Memory (RAM) adalah sebuah tipe penyimpanan komputer yang isinya dapat diakses dalam waktu yang tetap dan tidak memperdulikan letak data tersebut dalam memori..

Sistem biometrik yang dapat mencegah orang yang tak berwenang memasuki fasilitas-fasilitas rahasia atau mengakses informasi yang bersifat rahasia