• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

C. Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas-asas pokok dalam perjanjian merupakan bagian penting dalam perjanjian yang dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Tujuannya adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dan membatasi dominasi suatu pihak lain yang terikat dalam perjanjian tersebut.25

Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang bagi mereka yang membuatnya.” Jadi, dalam pasal ini terkandung asas utama dalam perjanjian

24 Ibid, hal. 11

25 Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Prand Media, Jakarta, 2014, hal. 68

yaitu asas kebebasan berkotrak, asas konsensualisme dan asas kepastian hukum serta disamping itu masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan untuk membuat/ mengadakan perjanjian serta menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang dan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.26

Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang sangat penting dalam suatu perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang diberikan oleh undang-undang, dengan beberapa

Pengaturan mengenai asas kebebasan benkontrak dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal ini memberikan gambaran umum kepada kita bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang.

Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar ketentuan dalam undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang, dan apabila perjanjian tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata maka perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

26 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 275

batasan-batasan seperti, bahwa dalam suatu perjanjian yang akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sehingga suatu perjanjian yang yang diadakan oleh para pihak yang terdapat di dalamnya dianggap sebagi perjanjian yang sah.

2. Asas Konsensualisme

Selain mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 KUHPerdata juga mengatur beberapa asas yang lain, salah satunya adalah asas konsensualisme, dimana antara asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak mempunyai hubungan yang sangat erat.

Asas konsensualitas adalah asas yang menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah para pihak dalam perjanjian tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipus kesepatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.ini berarti pada prisipnya perjanjian yang mengikat sebagi perikatan dan berlaku bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. 27

27 Ibid, hlm. 263

Tercapainya suatu konsensus/kesepakatan dalam perjanjian memang sudah dianggap sah, namun adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu dilakukan secara tertulis (perjanjian “perdamaian”) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu pengecualian.

Pada umumnya suatu perjanjian itu dianggap sudah sah dalam artian sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan oleh para pihak mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Misalnya perjanjian Jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, jenis-jenis tersebut merupakan perjanjian yang konsensuil atau yang berasal dari adanya konsensus/ kesepakatan.28

a. Kesesatan atau dwaling.

Asas Konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mewujudkan kesepakatan yang sesungguhnya.

Hal ini disebabkan adanya kecacatan kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam KUHPerdata cacat kehendak meliputi tiga hal, yaitu :

b. Penipuan atau bedrog.

c. Paksaan atau dwang.

3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas Pacta Sunt servanda adalah asas yang berhubungan dengan akibat yang dapat timbul dari sebuah perjanjian. Asas ini menetapkan para pihak dalam persamaan derajat dan tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

28 Prof Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 15

Pengaturan mengenai asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang Undang, bagi mereka yang membuatnya”. Dengan rumusan tersebut berarti, setiap pihak sebagai kreditor yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban dari pihak debitor, maka pihak kreditor dapat atau berhak untuk menuntut pelaksanaanya dengan meminta bantuan pada pejabat negara yang berwenang yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi telah gagal, tidak sepenuhnya atau tudak sma sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan namun tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan dan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan harta kekayaan debitor sebagai jaminannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

Keberlakuan asas ini memiliki sedikit perbedaan dari suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa ada pengecualian. Meskipun Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya,” namun daya ikat perjanjian hanya berlaku diantara para pihak yang membuatnya saja. Jadi pemaksaan keberlakuannya dan pelaksanaan dari perjanjia hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian terhadap pihak-pihak lainnya dalam perjanjian.

4. Asas Itikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Rumusan tersebut memberikan arti

bahwa sebagi sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian dibuat.

Menurut Gunawan Djaja dalam bukunya yang berjudul “Seri Hukum Bisnis, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata”. Ada dua hal yang mendasari suatu perjanjian harus diadakan berdasarkan itikad baik, yaitu :29

Dengan adanya asas ini, diharapkan agar baik pihak kreditur maupun pihak debitur yang telah membentuk suatu perjanjian saling menghormati hak dan kewajiban satu sama lainnya. Misalnya dalam suatu perjanjian, pihak

Pertama, sulitnya untuk menjelaskan dan menguraikan kembali kehendak para pihak, terlebih lagi jika pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi (meningal dunia), termasuk suatu badan hukum yang para pengurusnya pada saat perjanjian dibuat tidak lagi menjabat, atapun dalam hal terjadi pengingkaran terhadap perjanjian tersebut oelh salah satu pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan yang demikian, maka selain dapat dibuktilan dengan bukti tertulis atau adanya keberadaan saksi yang turut menyaksikan keadaan pada saat dibuatnya perjanjian, pelaksanaan atau pemenuhan prestasi dalam perikatan sangat sulit untuk dipaksakan.

Kedua, bahwa dalam suatu perjanjian yang dibuat, hendaknya dari awal suatu perjanjian diadakan, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan pihak debitor maupun kreditor, ataupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya diluar perjanjian.

29 Gunawan Djaja, Op.Cit., hal. 280

debitorr harus menyerahkan kebendaan yang menjadi prestasinya, namun belum diserahkan kepada kreditor, maka berdasarkan adanya itikad baik dalam perjanjian, pihak debitur diwajibkan untuk menyimpan dan merawat kebendaan tersebut hingga saat penyerahan dilakukan.

5. Asas Kepribadian

Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas pertama dalam hukum perjanjian yang pengaturannya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi : “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama diri sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.” Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasrnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 menunjuk pasa asas personalia, namun lebih dalam dari itu, ketentuan Pasal 1315 juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang mebuat atau mengadakan perjanjian. secara spesifik ketentuan Pasal 1315 ini menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi dalam kedudukannya sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.

Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagi seseorangnyang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang-perorangan, sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, akan

mengikat diri secara pribadi dan dalam lapangan perikatan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilki olehnya secara pribadi. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata atas semua benda yang menjadi milik dari pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Dalam hal orang-perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang manunjukkan bahwa memang orang-perorangan tersebut tidak sedang membuat dan/atau menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri.

Sesuai dengan asas personalia yang diberikan dalam pasal 1315 KUHPerdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan kedalam beberapa bagian, sebagai berikut :

a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.

Dalam hal ini, maka ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara pribadi.

b. Sebagai wakil dari pihak tertentu. mengenai perwakilan ini dibedakan lagi menjadi beberapa, yaitu :

1) Perwakilan yang merupakan badan hukum dimana orang-perorangan tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga, berlakulah ketentuan mengenai pihak ketiga yang diatur dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut yang akan menentukan sampai seberapa jauh kewenangan yang

dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya.

2) Yang merupakan perwakilan yang ditentukan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, kekuasaan dari anak di bawah umur, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit, berlakulah ketentuan umum yang diatur dalam Buku I KUHPerdata dan Undang-Undang nomor 37 tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menggantikan Undang-Undang Kepailitan sebagaimana diumumkan dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 dan Tahun 1906 Nomor 348 yang telah diubah dengan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (selanjutnya disebut “Undang-Undang Kepailitan dan PKPU”).

c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal ini berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XVI Buku III KUHPerdata, mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUHPerdata.

Dokumen terkait