• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini,maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam beberapa bab dimana antara bab dengan bab yang lainnya saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, manfaat penulisan, tujuan penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERJANJIAN PADA UMUMNYA

Merupakan suatu pembahasan umum tentang perjanjian yang terdiri dari lima sub bab, yang menjelaskan tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam perjanjian, bentuk-bentuk perjanjian, dan wanprestasi dan penyelesaiannya.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PELEPASAN HAK ATAS

TANAH

Terdiri dari empat sub bab yang menjelaskan pengertian pelepasan hak atas tanah, objek dan subjek pelepasan hak atas tanah, syarat dan tatacara pelepasan hak atas tanah, dan peranan kepadala desa, camat, dan notaris dalam pelepasan hak atas tanah.

BAB IV : PENERAPAN HUKUM PERDATA PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK

MEMPUNYAI SERTIFIKAT SEBAGAI ALAS HAK ANTARA

PT. SARULLA OPERATION Ltd. DAN PEMEGANG HAK ATAS TANAH

Bab ini menjelaskan tentang profil PT. Sarulla Operation Ltd., pembuatan perjanjian pelepasan hak atas tanah, bentuk (hasil atau

surat) perjanjian pelepasan hak atas tanah dan pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpilan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa seorang berjanji kepada seorang lain atau adanya dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau lebih yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Perjanjian ialah salah satu sumber dari perikatan disamping sumber-sumber lain. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian tersebut, maka kreditur berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum dilaksanakan atau telah dilaksanakan namun secara bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.11

11 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Perikatan yang lahir dari Perjanjian, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Pada kenyataannya, perikatan paling banyak diterbitkan dan bersumber dari suatu perjanjian, namun terdapat pula sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama Undang-Undang.

Jadi, ada perikatan yang lahir dari suatu “Perjanjian” dan ada perikatan yang lahir berdasarkan ketentuan Undang-Undang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. 12

Dalam KUHPerdata, pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 Buku II KUPerdata menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Ada beberapa kelemahan dari pegertian perjanjian yag diatur dalam ketentuan diatas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa: Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang beasal dari bahasa Belanda yakni, Overeenkomst. Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk menaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”

12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikhtisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, jakarta, 2005, hlm. 458

tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dengan uang.”13

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya kensensus antara pihak-pihak agar meliputi perjanjian timbal balik.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena :

b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.

Seharusnya digunakan kata “persetujuan.”

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur

13 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 65

adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.

Menurut J. Satrio, ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata memilki kelemahan yaitu seperti tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut dengan perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme, belum adanya keseragaman tentang istilah-istilah yang digunakan sehingga menimbulkan banyaknya definisi tentang pengertian perjanjian.

Menurut R. Setiawan definisi perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena menggunakan perkataan “perbuatan” termasuk juga tindakan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan batasan pengertian kata perjanjian sebagai berikut :

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum ;

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan engan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru

tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.14

a. R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan Perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua membuatnya.

Memperhatikan kelemahan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, maka beberapa ahli hukum kontrak membuat pengertian-pengertian kontrak yaitu :

b. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian atau kontrak sebagai perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dari pihak lainnya wajib memenuhi prestasi.

c. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, kontrak adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut kontrak itu.15

d. Menurut Syahmin Ak, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

14 Salim H.S (I), Pengantar Hukum Perdata Tertulis ((Bw)), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 161

15 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat, teori, Dogmatik, dan Praktik hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Bandung, 2002, Mandar Maju, hal. 22

e. Menurut Yahya Harapan, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh prestasi.

f. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana orang orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Dari pendapat-pendapat para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu interaksi atau hubungan hukum untuk memperoleh hak dan kewajiban berupa prestasi yaitu untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan untuk tidak melakukan sesuatu, hingga tercapainya suatu kesepakatan untuk menentukan isi dari perjanjian yang akan mengingat pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

Dari ketetuan Pasal 1313 KUHPerdata, dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian selalu merupakan perbuatan hukum yang bersegi banyak, dimana untuk itu diperlukan kata sepakat dari para pihak dalam perjanjian. Ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian diatur dalam bab II, sedangkan untuk ketentuan khusus tentang perjanjian diatur dalam bab V sampai dengan XVIII ditambah dengan bab VII A KUHPerdata. Untuk dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian, maka haruslah memenuhi beberapa unsur-unsur dalam perjanjian, yaitu :

a. Unsur Essentialia, yaitu bagian-bagian dari perjanjian yang tanpa itu perjanjian tidak mungkin ada. Unsur ini mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau

lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya dan unsur ini pada umumnya berperan dalam memberikan rumusan, defini atau pengertian dari sebuah perjanjian.16 Unsur Essensialia dalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan an tidak sesuai lagi dengan kehendak para pihak.

Oleh karena itu, unsur essensialia seharusnya juga berperan sebagai pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karena unsur essensialia juga memiliki karakteristik tersendiri yang membuatnya beda dengan yang lainnya. Misalnya harga sual barang dalam jual beli merupakan unsur essensialia yang harus ada dalam perjanjian jual beli. Artinya bahwa tanpa adanya harga suatu barang dalam jual beli, maka jual beli tersebut bukan merupakan perjanjian jual beli melainkan perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual bei tanpa menyebutkan harga suatu barang,namun oleh para pihak saling menyerahkan kewajibannya sebagai para pihak, maka perjanjian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli malainkan tukar menukar.17

b. Unsur Naturalia, yaitu unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Unsur merupakan bagian-bagian yang oleh undang-undang ditentukan

16 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Op.Cit., hal. 84

17 Herlien Budiono, Ajaran Umum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 67

sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur. Misalnya, dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia yaitu berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

Ketentuan ini tidak dapat disiimpangi oleh para pihhak, karena sifat dari jual beli mengkehendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual beli, dimana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijualnya.

Dalam hal ini maka berlakulah ketetntuan Pasal 1339 KUHPerdata.18 c. Unsur Accidentalia, adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian

yaang merupakan bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan dalam perjanjian, dimana undang-undang tidak mengaturnya, serta yang dapat diatur secara menyimpang oleh paara pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilasakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen per bulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh

18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 118-119

kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul yang sering ditentukan dalam suatu kontrak atau perjanjian yang bukan merupakan unsur essensialia dalam kontak atau perjanjian tersebut.

2. Syarat Syarat dalam Perjanjian

Dalam membuat perjanjian para pihak dapat membuat segala jenis perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata. Namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak bukan berarti dibenarkan untuk membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk syahnya perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bahwa para pihak bebas untuk menentukan isi dan jenis dari perjanjian yang akan dibuat, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum Dengan kata lain, para pihak dalam membuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas dalam arti tetap selalu dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Suatu perjanjian baru sah dan karenanya akan menimbulkan akibat hukum jika dibuat secara sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang dutentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari empat syarat penting dalam melakukan suatu perjanjian. Dengan empat syarat yang diatur dalam pasal tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat Objektif. Dua syarat pertama disebut dengan syarat subjektif, karena mengenai orang-orang atau pihak-pihak (subjek) yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamkan syarat-syarat objektif karena mengstur mengensi perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang akan dilakukan.

Tidak dapat dipenuhinya salah satu dari keempat syarat-syarat tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut terancam batal, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabila terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal syarat objektif tidak dapat dipenuhi), dengan kata lain bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

a. Syarat Subjektif

Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek (orang-orang atau pihak-pihak) dalm perjanjian, meliputi :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut ; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman

(Pasal 1324 KUHPerdata; adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar

“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2) Cakap untuk membuat perikatan

Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

a) Orang-orang yang belum dewasa

b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.

Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang

dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum Pasal 1446 KUHPerdata.19

b. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek dalam perjanjian, meliputi :

1) Suatu hal tertentu

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

2) Suatu Sebab atau Causa yang Halal

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka

19 Lista Kuspriatni, Aspek Hukum dalam Ekonomi, Jurnal Hukum Perjanjian, hal. 2

perjanjian batal demi hukum. Misalnya, dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur :

a. TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.

b. TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.

c. Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.

d. Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari duan kehendak atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan dan atau untuk tidak dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan tentang akibat hukum apa yang akan timbul jika salah satu dari pihak dalam perjanjian tidak melakukan apa yang sudah disepakati bersama dalam isi perjanjian.

Dari aspek hukumnya, perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam pasal 1320 KUPerdata akan berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya dalam hal untuk melaksanakan hak dan kewajiban para pihak

dalam perjanjian. oleh karenanya setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan apa yang telah disepakati sebelumnya, maka akan dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janjji yang memberikan kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut atas kerugian yang ditanggungnya.

B. Subjek dan Objek dalam Perjanjian 1. Subjek dalam Perjanjian

Sebelumnya telah ditegaskan bahwa, perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum antara dua orang atau lebih dan bersepakatan untuk mengikatkan dirinya satu sama lainnya. Berdampingi dengan hal tersebut, maka pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus terdiri dari dua orang atau yang selanjutnya disebut sebagai pihak tertentu. Masing-masing orang itu menduduki tempat dan kedudukan yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Pihak yang satu berkedudukan sebagi kreditur, dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai debitur. Dalam hal perjanjian kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek dalam perjanjian. kreditur berhak atas pelaksanaan prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

Adanya beberapa orang yang menjadi kreditur dan berhadapan dengan satu orang debitur atau sebaliknya tidak akan mengurangi sahnya suatu perjanjian, atau pada awal pembuatan suatu perjanjian kreditur terdiri dari beberapa orang, namun kemudian pada akhir dari suatu perjanjian hanya tersisa satu orang kreditur saja yang berhadapan dengan debitur, juga tidak akan mengurangi nilai daripada sahnya suatu perjanjian. Dengan kata lain jumlah orang atau

pihak yang nantinya akan terlibat dalam suatu perjanjnian tidak akan mempengaruhi nilai dari sahnya suatu perjanjian.

Hal ini bisa saja terjadi pada kasus “pencampuran hutang” (schuld vermeging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1436 KUHPerdata.

Demikian juga pada Pasal 1437 mengenai pencampuran hutang atas diri seorang penanggung, yaitu penanggung yang berubah kedudukan menjadi pihak kreditur. Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari: 20

a. Natuurlijke Persoon atau manusia

a. Natuurlijke Persoon atau manusia

Dokumen terkait