• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN HUKUM PERDATA PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN HUKUM PERDATA PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN HUKUM PERDATA PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT.

(STUDI LAPANGAN PT. SARULLA OPERATION Ltd DI KECAMATAN PAHAE JULU).

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

IINEIRENE THERESIA SIHOMBING NIM: 150200128

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas Kasih Karunia Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Anugerah dan Berkatnya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Hukum Perdata Pada Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Yang Tidak Mempunyai Sertifikat. (Studi Lapangan PT. Sarulla Operations Ltd Di Kecamatan Pahae Julu)”.

Adapun penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan untuk memperolah gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis tidaklah sedirian. Sejak dari awal hingga selesainya penulisan skripsi, tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat selesai. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. O.K Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Puspa Melati Hasibuan, S.H., M. Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Rosnidar sembiring, SH.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dan

(4)

penulisan skripsi ini sehingga penulisan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

3. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai pada penyelesaian skripsi ini.

4. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini sampai dengan selesai.

5. Armansyah, S.H., M.Hum. selaku Dosen Wali penulis yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Segenap Dosen serta seluruh Civitas Akademik dan seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Terutama kepada Orangtua Penulis, Ayahanda tersayang Gr. J. Sihombing semoga ayah bisa melihatku dari surga, bahwa gadis kecilmu bisa jadi sarjana, semoga aku mampu mewujudkan harapanmu dan Ibunda tercinta E.

Sitompul seorang orangtua tunggal yang mampu membesarkan, mendidik serta selalu memberikan kasih sayang penuh kepada kedua anaknya, layaknya kasih sayang kedua orangtua kepada anaknya, seorang sahabat yang selalu mendengar semua keluh kesah penulis selama penulisan skripsi ini dan selalu memberikan nasehat agar tetap berjuang.

Khususnya kepada:

a. Op. Monang Sihombing/br. Sianturi dan Op. Rahayu Sitompul/br.

Sariburaja yaitu Oppung (kakek/nenek) penulis serta Amanguda/Inanguda

(5)

dan Tulang/Nantulang yang tak pernah berhenti untuk memberikan kasih sayang, pengajaran, dukungan dan doa yang tak peernah berkesudahan, serta mendidik dan mengajarkan arti hidup kepada penulis, sehingga penulis mampu berjuang dalam menuntut ilmu sampai di perguruan tinggi (mauliate ma di hamu Oppung).

b. Grace Santo Sihombing, S.H abangku tersayang yang selalu menyisihkan waktunya untuk mengajari dan memberi dukungan serta doa, serta tidak pernah lelah ataupun lupa untuk mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsinya, dan juga kepada Loisa Risalia atas kepercayaannya dan perhatiannya kepada penulis agar selalu semangat daalam mengerjakan skripsi.

c. Ibu S. Simanjuntak, S.Th dan Amang Gr. C. Girsang, S.Th., M.Th, sosok yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, yang selalu menyemangati ketika penulis merasa jenuh dan bosa dalam proses penulisan skripsi ini.

d. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum USU yang paling menjengkelkan tapi sayang yang pernah penulis miliki, yaitu Dian Siregar, Ririn Tarigan, Jesica Pasaribu, Ruth Simanjuntak, Aprili Dayanti, Isma, Ummul, Sari, Lavenia dan Parange Sitorus. Teman-teman terkasih penulis yang tergabung dalam Group FERGUSO, yaitu Tetti Silalahi, Laora Silitonga, Kiki Simanungkalit, Frans Tarihoran, Mooidi Pasaribu dan Yosafat Tamba, makasih banyak buat dukungan yang tak ternilai dari kalian baik dalam suka maupun duka, makasih buat hari-hari di kampus yang tidak pernah sepi, terima kasih buat segala waktu dan moment yang telah ada.

(6)

Jalan kita masih panjang kawan-kawan, semoga kita semua sukses.

Terkhusus kepada Melva Tampubolon, S.H, terimakasih kak telah menjadi tempat curhatku selama ini dan selalu memberikan solusi terbaik bagi adiknya, kepada Yolanda Pasaribu, saudari satu kelompok kecilku, terimakasih atas suka dan duka yang boleh kita toreh bersama selama masa kuliah, kepada Elisabeth Silalahi, David Julianus Saruksuk, Iwan Putra Siregar, terimakasih atas perhatiannya kepada penulis selama ini, dari awal penulis masuk organisasi sampai akhirnya menulis skripsi.

e. Sahabat-sahabat GEMBEL (Gemar Belajar), terimakasih sudah menjadi rumah tempat penulis kembali saat keadaan membuat kehilangan arah, terimakasih karna tak pernah bosan memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini ,terimakasih sudah menerimaku menjadi salah satu keluarga dalam perkumpulan ini, terimakasih atas pengalaman berkepanitiaan yang selama ini GEMBEL berikan, pengalaman bekerjasama dengan kalian akan menjadi pelajaran beharga kedepannya.

f. Teman-teman Panitia Natal FH USU 2018, khususnya panitia seksi Koor dan adik-adik paduan suara Natal FH USU 2018, terima kasih atas semua dukungan dan doa kalian, dan tetap semangat buat kuliah.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca dan semoga skripsi ini dapat berguna bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Pelaksanaan Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah di Indonesia. sekian dan terima kasih.

Medan, Mei 2019 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Metode Penelitian ... 12

F. Keaslian Penulisan ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian ... 19

2. Syarat Sahnya Perjanjian ... 27

B. Subjek dan Objek dalam Perjanjian 1. Subjek dalam Perjanjian ... 31

2. Objek dalam Perjanjian ... 37

C. Asas-Asas dalam Perjanjian ... 40

D. Jenis-Jenis Perjanjian ... 48

E. Wanprestasi dan penyelesaiannya ... 55

(8)

BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG PELEPASAN HAK ATAS TANAH

A. Pengertian Pelepasan Hak Atas Tanah ... 62 B. Objek Pelepasan Hak Atas Tanah ... 67 C. Syarat Dan Tata Cara Pelepasan Hak Atas Tanah

1. Syarat Pelepasan Hak Atas Tanah ... 76 2. Tata Cara Pelepasan Hak Atas Tanah ... 87 D. Akibat Hukum Pelepasan Hak Atas Tanah ... 92 E. Peranan Kepala Desa, Camat, dan Notaris dalam Pelepasan

Hak Atas Tanah ... 95 BAB IV. PROSES PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG

TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT ANTARA PT SARULLA OPERATION Ltd DAN PEMEGANG HAK ATAS TANAH

A. Profil PT. Sarulla Operation Ltd ... 103 B. Proses Pelepasan Hak Atas Tanah ... 104 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 114 B. Saran ... 116 DAFTAR PUSTAKA ... 117

(9)

ABSTRAK

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS*1 Syamsul Rizal, SH.,M.Hum**

2

Iineirene Theresia Sihombing***

3

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar adanya “musyawarah”. Kemudian, Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.

Permasalahnnya adalah, Bagaimana penerapan Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) terhadap perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat?, Bagaimana ketentuan hukum perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)?, dan Bagaimana proses pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat antara PT. Sarulla Operation Ltd. dan pemegang hak atas tanah.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan dan empiris, melaluimproses penelitian di lapangan, yang berasal dari data primer yang diperoleh dari PT. Sarulla Operations Ltd (SOL) dengan cara melakukan wawancara, observasi maupun laporan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pelepasan hak atas tanah, menerapkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yaitu ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian pada umumnya, bahwa pelepasan hak atas tanah ang tidak mempunyai sertifikat akan dianggap sah apabila memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah), dan bahwa dalam setiap proses pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh Sarulla Operations Ltd (SOL), dilakukan berdasarkan musyawarah tanpa tekanan atau paksaan.

* Dosen Pembimbing I

** Dosen

Pembimbing II

*** Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap mahluk hidup, yang digunakan sebagai tempat tinggal (tempat tinggal sukarela, tempat tinggal yang dipilih, dan rumah kematian) dan tempat berpijak. Bagi tanah juga berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha pertanian dan perkebunan, berdagang, serta sebagai tempat pemakaman saat manusia meninggal dunia.

Selain memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan manusia, tanah juga memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Hal ini sejalan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria4

Jika dilihat dari segi sifatnya, tanah adalah sesuatu yang bersifat tetap atau tidak berubah, sedangkan kebutuhan dan jumlah penduduk selalu berubah dan cenderung semakin meningkat. Dengan sifat yang bertolak belakang tersebut, yang selanjutnya disebut UUPA disebutkan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang abadi, dengan kata lain bahwa dari lahir sampai meninggal manusia akan tetap membutuhkan tanah dan melibatkan tanah dalam kehidupannya.

4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 1 ayat (3)

(11)

seringkali terjadi permasalahan yang timbul yang terkait dengan tanah5. Permasalahan tanah harus dapat dihindari atau diantisipasi, sehingga dalam penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya yang dianggap perlu untuk diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan serta sekaligus terselenggaranya perlindungan hukum bagi rakyat dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan.6

Dalam Hukum Agraria kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa, “Atas bukti kepemilikan menguasai dari Negara ...

ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberkan dan dipunyai oleh orang-orang...” Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi),

Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai tanah tidak hanya dapat ditemukan dalam Hukum Adat yang digunakan sebagi dasar Hukum Tanah Nasional, melainkan dalam KUHPerdata khususnya dalam Buku II yang membahas mengenai kebendaan, serta dapat ditemukan dalam UUPA sebagai unifikasi Hukum tentang Bumi (tanah), Air dan Ruang Angkasa di Indonesia.

Ketiga jenis hukum ini sama-sama mengatur tentang tanah namun ada sedikit perbedaan diantara ketiganya, yaitu dari sudut pandang hukumnya.

5 Dwi Heny Ratnawati, Pelaksanaan Akta Pelepasan Hak Sebagai Alas Hak Untuk Mengajukan Permohonan Peralihan Dan Perubahan Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Di Kabupaten Brebes, Jurnal Akta, 2018, Vol.5, No.1.hal. 248

6 Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(12)

sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Dalam Hukum Perdata (Bw) khususnya dalam Buku II, tanah dianggap sebagai suatu benda. Hal tersebut dilatarbelakangi karena tanah dapat dijadikan sebagai objek hukum, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum, serta tanah dapat dikuasai oleh subyek hukum itu sendiri.7

Menurut pasal 499 KUHPerdata, benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik

8

Dalam Hukum Perdata setiap benda memiliki hak kebendaan, dimana hak- hak kebendaan tersebut berfungsi sebagai dasar seseorang dalam hak kepemilikan maupun dalam hal penggunaan dan pengelolaan atas benda tersebut. Ada beberapa jenis hak-hak kebendaan yang dikenal yaitu, bezit (hak menguasai), eigendom (hak milik) dan hak-hak kebendaan diatas benda orang lain.

. Sedangkan dalam arti ilmu hukum benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Menurut Prof. Subekti, benda dapat dibedakan dala 4 macam yaitu, benda yang dapat diganti, benda yang dapat diperdagangkan dan benda yang tidak dapat diperdagangkan, benda yang dapat dbagi dan benda yang bergerak dan benda yang tidak dapat bergerak. Apabila dilihat dari segi jenisnya, tanah merupakan jenis benda tidak bergerak (anroe rande zaken).

9

7 Trisadidni Usanti, Lahirnya Hak Kebendaan, Artikel, 15 Januari 2017, hal. 44

8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 499

9 Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 63-77

Hak kebendaan yang terdapat diatas sebuah tanah adalah eigendom (hak milik), yang

(13)

merupakan hak yang paling sempurna atas suatu benda dibandingkan hak-hak kebendaan lainnya.

Hak milik belum dapat dilekatkan ke suatu benda sebelum adanya suatu kepemilikan terhadap benda tersebut. Suatu benda tentu ada yang memiliki.

Kepemilikan atas benda itu merupakan suatu bentuk yang menunjukkan bahwa benda itu ada pemiliknya dan berada dalam suatu penguasaan dari si pemilik benda tersebut.

Kepemilikan terhadap suatu benda terlihat dari adanya hak kebendaan atas benda. Dalam hal memiliki sebuah benda akan melekat terhadapnya suatu hak milik. Hak milik merupakan hak yang paling kuat diantara hak-hak kebendaan lainnya. Hak milik ini bersifat penuh. Menurut ketentuan Pasal 570 KUHPerdata menyebutkan hak milik (eigendom) adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak orang lain. Kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sebagai salah satu benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam melakukan suatu perbuatan hukum, diatas sebidang tanah dapat dilakukan beberapa perbuatan hukum seperti, jual beli, pembebasan hak atas tanah, pelepasan hak atas tanah dan sebagainya. Jenis-jenis perbuatan hukum tersebut haruslah dilakukan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Adalah sebuah hal yang penting untuk mengetahui terlebih

(14)

dahulu ketentuan hukum mana yang akan digunakan atau diterapkan apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum di atas sebidang tanah. Misalnya dalam hal melakukan pelepasan hak atas tanah,maka harus dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sah nya suatu perjanjian.

Dalam perjanjian ada banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum nantinya akan melakukan suatu perjanjian, seperti jenis perjanjian apa yang akan dilakukan, apa yang menjadi objek dari perjanjian tersebut, siapa pihak kedua dalam perjanjian tersebut, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu adalah hal-hal pokok yang akan dijumpai dalam proses melakukan suatu perjanjian. Adanya Kitab Undang-Undang Perdata sebagai tempat pengaturan hal-hal pokok mengenai perjannjian, akan menjadi dasar dan tolak ukur yang digunakan dalam pembuatan suatu perjanjian. Dengan kata lain, bahwa ketentuan yang diterapkan dalam melakukan suatu perjanjian adalah ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata.

Penerapan Hukum Perdata (Bw) dalam hal perjanjian adalah hal yang penting untuk dilakukan, karena dengan adanya penerapan tersebut maka perjanjian yang kelak akan dibuat akan memiliki dasar dan tolak ukur dalam proses pembuatannya, seperti dalam hal menentukan perjanjian apa yang akan dilakukan, apa objek yang diperjanjikan, ketentuan para pihak dalam perjanjian tersebut dan sebagainya. Misalnya dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah. Adanya penerapan Hukum Perdata (Bw) dalam pembuatan dan pelaksanaannya, akan memberikan tolak ukur kepada para pihak dalam pembuatan perjannjian pelepasan hak atas tanah tersebut. Seperti dalam

(15)

menentukan kedudukan para pihak dalam perjanjian yaitu pemegang hak milik atas tanah dan penerima hak atas tanah. Dalam pelepasan hak atas tanah, tidak ditemukan sebutan penjual dan pembeli atau kreditur dan debitur, namun adanya perbedaan dalam penyebutannya tidak membuat kedudukan pihak-pihak tersebut berbeda dalam pembuatan perjanjian. Dengan kata lain, pemegang hak milik atas tanah berkedudukan sebagai orang yang menyerahkan suatu benda, yang dalam pelepasan hak atas tanah adalah tanah, dan penerima hak atas tanah berkedudukan sebagai orang yang harus memberikan sejumlah uang atau dalam pelepasan hak atas tanah dikenal dengan sebutan “ganti rugi”.

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian pelepasan hak atas tanah, bukan hanya ketentuan Hukum Perdata (Bw) yang digunakan sebagai dasar dan tolak ukur dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian nantinya, namun khusus mengenai pelepasan hak atas tanah penganturannya dapat ditemukan dalam UUPA dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah, penerapan Hukum Agraria dan Peraturan Presiden tersebut hanya akan mengatur mengenai tata cara pelepasan hak tanah, syarat- syarat yang harus dipenuhi agar dapat melakukan pelepasan hak atas tanah, tentang pemberian ganti kerugian dan penyebutan para pihak.

Pentingnya penerapan Hukum Perdata (Bw) dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah adalah sebagai suatu tolak ukur dalam hal pembuatan baik maupun dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tersebut nantinya. Dalam hal jenis perjanjian apa yang akan digunakan dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah misalnya, hal tersebut harus ditentukan berdasarkan pengaturan tentang

(16)

jenis-jenis perjanjian dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari tata cara pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pelepasan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan adanya suatu kesepatan antara pemegang hak milik atas tanah dan penerima hak atas tanah, maka dalam penerapan Hukum Perdata (Bw), jenis perjanjian yang akan dibuat dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah tersebut adalah perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang timbul karena ada persetujuan atau kesepakatan kehendak antara pihak-pihak dalam perjanjian.

Pentingnya penerapan Hukum Perdata (Bw) dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah juga berkaitan dengan objek yang akan diperjanjikan, termasuk dalam benda apakah objek perjanjian tersebut dan bagaimana pengaturannya.

Dalam pelepasan hak atas tanah, yang menjadi objek perjanjiannya adalah sebidang tanah yang tidak bersertifikat, yang dalam Hukum Perdata (Bw) merupakan jenis benda yang tidak bergerak (Pasal 504 KUHPerdata).10

Tanah yang yang menjadi objek dari perjanjian pelepasan hak tanah adalah sebidang tanah yang tidak bersertifikat. Apabila dalam perjanjian jual beli sebidang tanah, maka tanah yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut haruslah memiliki surat sertifikat tanah yang jelas. Berbeda dengan perjanjian jual beli, perjanjian pelepasan hak atas tanah tidak memiliki sertifikat tanah oleh para pihak dalam perjanjian. Dengan adanya sertifikat hak milik atas tanah yang jelas, maka perbuatan hukum atas tanah yang akan diserahkan kepada pihak lain akan memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat, karena sertifikat hak milik atas

10 Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(17)

tanah membuktikan tentang berhak atau tidaknya seseorang atas kepemilikan tanah tersebut Jika sertifikat atas tanah merupakan bukti kepemilikan hak milik atas tanah yang menentukan tentang kekuata hukum pembuktian pada suatu perjanjian jual beli, lalu bagaimanakah dengan kekuatan hukum pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas yang tidak bersertifikat?. Lantas, apakah pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat tersebut dianggap tidak sah dalam Hukum Perdata (Bw) ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penting adanya penerapan Hukum Perdata (Bw) dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah, agar dapat diketahui bagaimana pandangan Hukum Perdata (Bw) mengenai pelaksanaan suatu perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat sebagai alas hukum dari perbuatan hukum tersebut.

Dalam setiap perbuatan hukum haruslah memiliki kekuatan hukum (legalitas) yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dari sebuah perbuatan hukum. Dalam melakukan suatu jual beli tanah, maka tanah yang menjadi objek perjanjian haruslah memiliki sertifikat tanah yang jelas agar bisa dikatakan bahwa perjanjian jual beli yang dilakukan merupakan perjanjian yang memiliki kekuatan hukum (legalitas). Sertifikat tanah adalah bagian terpenting dalam perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah, baik itu dalam melakukan jual beli tanah, sewa menyewa tanah dan lain sebagainya. Keberadaan sertifikat tanah yang jelas akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuatan hukum dari perbuatan hukum yang akan dilakukan. Tidak disertakannya sertifikat hak atas tanah dalam dalam perjanjian jual beli tanah aupun dalam sewa menyewa tanah, dapat mengancam batal tidaknya perjanjian tersebut.

(18)

Dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang pada notabenenya tanah yang menjadi objek perjanjian tidak mempunyai sertifikat, akan menimbulkan pertanyaan seperti, bagaimanakah kekuatan hukum dari perjanjian yang dilakukan diatas pelepasan hak atas tanah tersebut, sementara dalam perjanjian tersebut tidak disertakan dengan sertifikat hak atas tanah. Dalam melakukan perjanjian pelepasan hak atas tanah, penting untuk dimengatahui bagaimana kekuatan hukum dari perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat, karna apabila suatu perbuatan hukum tidak mempunyai kekuatan hukum (legalitas), maka para pihak dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah tidak memiliki dasar dalam melaksanakan perjanjian tersebut.

Dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah, bukan hanya penerapan Hukum Perdata (Bw) dan kekuatan hukum perjanjian yang akan dilakukan nantinya saja yang penting untuk diperhatikan. Dalam praktek lapangannya ada juga bagian-bagian lagi yang tak kalah pentingnya yaitu tentang bagaimana proses pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat dan bagaimana bentuk (hasil atau surat) yang dikeluarkan dari perjanjian pelepasan hak atas tanah tersebut.

Pentingnya bagaimana proses pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifkat untuk dibahas adalah untuk mengetahui, apakah proses yang dilakukan dalam prakteknya di lapangan sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai peraturan yang mengenai tata cara pelepasan hak atas tanah, dan pentinya dibahas mengenai apa bentuk (hasil) adalah untuk mengetahui kedalam bentuk

(19)

apakah dituangkan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat yang telah dilaksanakan. Apakah hanya dalam bentuk surat kesepakatan yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam bentuk akta. Keberadaan bentuk (hasil atau surat) dalam sebuah perjanjian akan sangat berguna untuk kedua belah pihak nantinya. Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji atau wanprestasi, maka dapat dilihat kembali perjanjian yang sudah dituangkan dalam bentuk surat atau akta tersebut tentang bagaimana para pihak mengatur tentang perbuatan ingkar janji.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka skripsi ini membahas permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul Penerapan Hukum Perdata Pada Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Yang Tidak Memiliki Sertifkat. (Studi lapangan PT. SARULLA OPERATION Ltd.. DI KECAMATAN PAHAE JULU).

B. Rumusan Masalah

Permasalahan hukum dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana penerapan hukum perjanjian dalam Hukum Perdata terhadap pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat?

2. Bagaimana kekuatan hukum erjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat menurut Hukum Perdata ?

3. Bagaimana proses pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat antara PT. Sarulla Operation Ltd.. dan pemegang hak atas tanah?

(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan penulisan skripsi ini, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Hukum perdata terhadap Perjanjian pelepasan Hak Atas Tanah yang tidak mempunyai Sertifikat.

2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan Hukum Perjanjian Pelepasan hak Atas Tanah yang tidak mempunyai Sertifikat menurut Hukum Perdata.

3. Untuk mengetahui bagaimana proses dan bentuk (hasil) Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah yang tidak mempunyai Sertifikat antara PT.

Sarulla Operation Ltd. dan pemegang Hak atas tanah.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan tersebut, terdapat beberapa manfaat dalam penulisan skripsi ini yang hendak dicapai, yakni :

1. Manfaat Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah dan memperluas pengetahuan mengenai hukum perjanjian

pelepasan hak atas tanah yang berkenaan dengan hukum konstruksi bagi para akademisi terutama bagi penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan hukum yang diperoleh selama mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan untuk memenuhi literatur ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum perjajian tentang hukum perjanjian perjajian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat sebagai alas hak.

(21)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun masukan bagi semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan perjanjian pelepasan hak atas tanah sehinga dapat mencegah timbulnya suatu permasalahan yang berpotensi untuk terjadi dalam pelaksanaan perjanjian dibidang pelepasan hak atas tanah guna meningkatkan kualitas pembangunan di indonesia

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodelogi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Sementara itu, menurut Nasir, metode penelitian metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan.

Penelitian skripsi ini didasari oleh suatu penelitian yang diadakan dengan metodelogi penelitian tertentu untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang

(22)

diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan metode-metode penelitian sebagai berikut :

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada PT. Sarulla Operation Ltd. di Kecamatan Pahae Julu

2. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif- yuridis sosiologis atau disebut juga dengan normatif-empiris.

Yuridis normatif adalah suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

Penelitian hukum empiris ini dilakukan dengan memperoleh data primer dengan melakkan wawancara dengan pihak PT. Sarulla Operation Ltd. di Kecamatan Pahae Julu.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan srkrisp ini titikberatkan pada penelitian kepustakaan dan didukung dengan penelitian lapangan. Sumber data ini terdiri dari :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari PT. Sarulla Operation Ltd..

(23)

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.

Data sekunder ini mencakup :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahn hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari seluruh peraturan perundang-undangan antara lain, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan dan Kepentingan Umum, dan KUHPerdata.

2) Bahan sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, serta artikel-artikel hukum yang dimuat dalam majalah, koran, maupun situs internet.

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan indeks kumulatif.

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (Library research), yaitu mengumpulkan dan mempelajari, serta meneliti sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel hukum, peraturan perundang-

(24)

undangan, putusan pengadilan, pendapat para sarjana dan bahanbahan lainnya.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan dalam bentuk wawancara sebagai upaya dalam pengumpulan data dari PT. Sarulla Operation Ltd. di Kecamatan Pahae Julu.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah : a. Studi Dokumen Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang

dilakukan melalui data tertulis yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian hukum ini.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pihak PT. Sarulla Operation Ltd. di Kecamatan Pahae Julu untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian hukum ini.

c. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian hukum ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh dan selanjutnya disusun secara sistematis dan kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif, yaitu yang diawali dengan pengetahuan yang bersifat umum yang kemudian ditarik suatu kesimpulan khusus untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut akan dituangkan dalam bentuk skripsi.

(25)

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Penerapan Hukum Perdata Pada Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Yang Tidak Mempunyai Sertifikat Sebagai Alas Hak, studi lapangan pada PT. Sarulla Operation Ltd. Di Kecamatan Pahae Julu”. Topik ini diangkat karena ketertarikan penulis terhadap perjanjian khususnya dalam hal pelepepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat, dimana pada kenyataannya masih banyak masyarakat khususnya masyarakat yaang tinggal di pedesaan yang kurang mengetahui pentingnya sertifikat hak milik atas tanah sebagai alas hak dalam hal melakukan suatu perjanjian.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulisan berdasarkan pengecekan judul di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga layak untuk ditulis dan diteliti. Kalaupun ada judul yang sama atau menyerupai, penulis yakin bahwa substansi dan isinya berbeda, dan bila dikemudian hari ditemukan skripsi dengan judul yang sama yang telah ada sebelumnya, maka ha tersebut menjadi tanggungjawab penulis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini,maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam beberapa bab dimana antara bab dengan bab yang lainnya saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah :

(26)

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, manfaat penulisan, tujuan penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERJANJIAN PADA UMUMNYA

Merupakan suatu pembahasan umum tentang perjanjian yang terdiri dari lima sub bab, yang menjelaskan tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam perjanjian, bentuk-bentuk perjanjian, dan wanprestasi dan penyelesaiannya.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PELEPASAN HAK ATAS

TANAH

Terdiri dari empat sub bab yang menjelaskan pengertian pelepasan hak atas tanah, objek dan subjek pelepasan hak atas tanah, syarat dan tatacara pelepasan hak atas tanah, dan peranan kepadala desa, camat, dan notaris dalam pelepasan hak atas tanah.

BAB IV : PENERAPAN HUKUM PERDATA PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK

MEMPUNYAI SERTIFIKAT SEBAGAI ALAS HAK ANTARA

PT. SARULLA OPERATION Ltd. DAN PEMEGANG HAK ATAS TANAH

Bab ini menjelaskan tentang profil PT. Sarulla Operation Ltd., pembuatan perjanjian pelepasan hak atas tanah, bentuk (hasil atau

(27)

surat) perjanjian pelepasan hak atas tanah dan pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpilan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah.

DAFTAR PUSTAKA

(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa seorang berjanji kepada seorang lain atau adanya dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau lebih yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Perjanjian ialah salah satu sumber dari perikatan disamping sumber-sumber lain. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian tersebut, maka kreditur berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum dilaksanakan atau telah dilaksanakan namun secara bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.11

11 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Perikatan yang lahir dari Perjanjian, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91

(29)

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Pada kenyataannya, perikatan paling banyak diterbitkan dan bersumber dari suatu perjanjian, namun terdapat pula sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama Undang-Undang.

Jadi, ada perikatan yang lahir dari suatu “Perjanjian” dan ada perikatan yang lahir berdasarkan ketentuan Undang-Undang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. 12

Dalam KUHPerdata, pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 Buku II KUPerdata menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Ada beberapa kelemahan dari pegertian perjanjian yag diatur dalam ketentuan diatas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa: Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang beasal dari bahasa Belanda yakni, Overeenkomst. Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk menaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”

12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikhtisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, jakarta, 2005, hlm. 458

(30)

tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan- perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dengan uang.”13

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya kensensus antara pihak-pihak agar meliputi perjanjian timbal balik.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena :

b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.

Seharusnya digunakan kata “persetujuan.”

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur

13 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 65

(31)

adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.

Menurut J. Satrio, ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata memilki kelemahan yaitu seperti tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut dengan perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme, belum adanya keseragaman tentang istilah-istilah yang digunakan sehingga menimbulkan banyaknya definisi tentang pengertian perjanjian.

Menurut R. Setiawan definisi perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena menggunakan perkataan “perbuatan” termasuk juga tindakan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan batasan pengertian kata perjanjian sebagai berikut :

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum ;

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan engan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru

(32)

tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.14

a. R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan Perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua membuatnya.

Memperhatikan kelemahan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, maka beberapa ahli hukum kontrak membuat pengertian- pengertian kontrak yaitu :

b. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian atau kontrak sebagai perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dari pihak lainnya wajib memenuhi prestasi.

c. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, kontrak adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut kontrak itu.15

d. Menurut Syahmin Ak, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

14 Salim H.S (I), Pengantar Hukum Perdata Tertulis ((Bw)), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 161

15 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat, teori, Dogmatik, dan Praktik hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Bandung, 2002, Mandar Maju, hal. 22

(33)

e. Menurut Yahya Harapan, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh prestasi.

f. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana orang orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Dari pendapat-pendapat para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu interaksi atau hubungan hukum untuk memperoleh hak dan kewajiban berupa prestasi yaitu untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan untuk tidak melakukan sesuatu, hingga tercapainya suatu kesepakatan untuk menentukan isi dari perjanjian yang akan mengingat pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

Dari ketetuan Pasal 1313 KUHPerdata, dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian selalu merupakan perbuatan hukum yang bersegi banyak, dimana untuk itu diperlukan kata sepakat dari para pihak dalam perjanjian. Ketentuan- ketentuan umum tentang perjanjian diatur dalam bab II, sedangkan untuk ketentuan khusus tentang perjanjian diatur dalam bab V sampai dengan XVIII ditambah dengan bab VII A KUHPerdata. Untuk dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian, maka haruslah memenuhi beberapa unsur-unsur dalam perjanjian, yaitu :

a. Unsur Essentialia, yaitu bagian-bagian dari perjanjian yang tanpa itu perjanjian tidak mungkin ada. Unsur ini mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau

(34)

lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya dan unsur ini pada umumnya berperan dalam memberikan rumusan, defini atau pengertian dari sebuah perjanjian.16 Unsur Essensialia dalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan an tidak sesuai lagi dengan kehendak para pihak.

Oleh karena itu, unsur essensialia seharusnya juga berperan sebagai pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karena unsur essensialia juga memiliki karakteristik tersendiri yang membuatnya beda dengan yang lainnya. Misalnya harga sual barang dalam jual beli merupakan unsur essensialia yang harus ada dalam perjanjian jual beli. Artinya bahwa tanpa adanya harga suatu barang dalam jual beli, maka jual beli tersebut bukan merupakan perjanjian jual beli melainkan perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual bei tanpa menyebutkan harga suatu barang,namun oleh para pihak saling menyerahkan kewajibannya sebagai para pihak, maka perjanjian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli malainkan tukar menukar.17

b. Unsur Naturalia, yaitu unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Unsur merupakan bagian-bagian yang oleh undang-undang ditentukan

16 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Op.Cit., hal. 84

17 Herlien Budiono, Ajaran Umum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 67

(35)

sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur. Misalnya, dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia yaitu berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

Ketentuan ini tidak dapat disiimpangi oleh para pihhak, karena sifat dari jual beli mengkehendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual beli, dimana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijualnya.

Dalam hal ini maka berlakulah ketetntuan Pasal 1339 KUHPerdata.18 c. Unsur Accidentalia, adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian

yaang merupakan bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan dalam perjanjian, dimana undang-undang tidak mengaturnya, serta yang dapat diatur secara menyimpang oleh paara pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilasakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen per bulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh

18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 118-119

(36)

kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul yang sering ditentukan dalam suatu kontrak atau perjanjian yang bukan merupakan unsur essensialia dalam kontak atau perjanjian tersebut.

2. Syarat Syarat dalam Perjanjian

Dalam membuat perjanjian para pihak dapat membuat segala jenis perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata. Namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak bukan berarti dibenarkan untuk membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk syahnya perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bahwa para pihak bebas untuk menentukan isi dan jenis dari perjanjian yang akan dibuat, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum Dengan kata lain, para pihak dalam membuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas dalam arti tetap selalu dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Suatu perjanjian baru sah dan karenanya akan menimbulkan akibat hukum jika dibuat secara sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang dutentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari empat syarat penting dalam melakukan suatu perjanjian. Dengan empat syarat yang diatur dalam pasal tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

(37)

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat Objektif. Dua syarat pertama disebut dengan syarat subjektif, karena mengenai orang-orang atau pihak-pihak (subjek) yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamkan syarat-syarat objektif karena mengstur mengensi perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang akan dilakukan.

Tidak dapat dipenuhinya salah satu dari keempat syarat-syarat tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut terancam batal, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabila terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal syarat objektif tidak dapat dipenuhi), dengan kata lain bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

a. Syarat Subjektif

Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek (orang- orang atau pihak-pihak) dalm perjanjian, meliputi :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut ; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman

(38)

(Pasal 1324 KUHPerdata; adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar

“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2) Cakap untuk membuat perikatan

Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang- orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

a) Orang-orang yang belum dewasa

b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.

Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang

(39)

dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum Pasal 1446 KUHPerdata.19

b. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek dalam perjanjian, meliputi :

1) Suatu hal tertentu

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

2) Suatu Sebab atau Causa yang Halal

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka

19 Lista Kuspriatni, Aspek Hukum dalam Ekonomi, Jurnal Hukum Perjanjian, hal. 2

(40)

perjanjian batal demi hukum. Misalnya, dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur :

a. TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.

b. TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.

c. Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.

d. Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari duan kehendak atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan dan atau untuk tidak dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan tentang akibat hukum apa yang akan timbul jika salah satu dari pihak dalam perjanjian tidak melakukan apa yang sudah disepakati bersama dalam isi perjanjian.

Dari aspek hukumnya, perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam pasal 1320 KUPerdata akan berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya dalam hal untuk melaksanakan hak dan kewajiban para pihak

(41)

dalam perjanjian. oleh karenanya setiap perjanjian yang dibuat harus benar- benar dilaksanakan. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan apa yang telah disepakati sebelumnya, maka akan dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janjji yang memberikan kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut atas kerugian yang ditanggungnya.

B. Subjek dan Objek dalam Perjanjian 1. Subjek dalam Perjanjian

Sebelumnya telah ditegaskan bahwa, perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum antara dua orang atau lebih dan bersepakatan untuk mengikatkan dirinya satu sama lainnya. Berdampingi dengan hal tersebut, maka pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus terdiri dari dua orang atau yang selanjutnya disebut sebagai pihak tertentu. Masing-masing orang itu menduduki tempat dan kedudukan yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Pihak yang satu berkedudukan sebagi kreditur, dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai debitur. Dalam hal perjanjian kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek dalam perjanjian. kreditur berhak atas pelaksanaan prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

Adanya beberapa orang yang menjadi kreditur dan berhadapan dengan satu orang debitur atau sebaliknya tidak akan mengurangi sahnya suatu perjanjian, atau pada awal pembuatan suatu perjanjian kreditur terdiri dari beberapa orang, namun kemudian pada akhir dari suatu perjanjian hanya tersisa satu orang kreditur saja yang berhadapan dengan debitur, juga tidak akan mengurangi nilai daripada sahnya suatu perjanjian. Dengan kata lain jumlah orang atau

(42)

pihak yang nantinya akan terlibat dalam suatu perjanjnian tidak akan mempengaruhi nilai dari sahnya suatu perjanjian.

Hal ini bisa saja terjadi pada kasus “pencampuran hutang” (schuld vermeging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1436 KUHPerdata.

Demikian juga pada Pasal 1437 mengenai pencampuran hutang atas diri seorang penanggung, yaitu penanggung yang berubah kedudukan menjadi pihak kreditur. Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari: 20

a. Natuurlijke Persoon atau manusia

Pada dasarnya manusia sudah mempunyai hak sejak masih dalam kandungan (Pasal 2 KUHPerdata), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk perjanjian. orang atau manusia yang dapat melakukan suatu perjanjian adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUHPerdata).

Namun larangan bagi seorang wanita bersuami untuk melakukan perbuatan hukum atau dalam hal ini larangan untuk melakukan perjanjian seperti yang telah diatur sebelumnya dalam Pasal 1330 KUHPerdata, kini sudah tidak berlaku lagi dan telah dihapus sejak tanggal 1 Januari 1957 di Belanda. Di Indonesia, ketentuan mengenai larangan tersebut mulai tidak

20 M. Yahya Harapan, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 15-16

(43)

berlaku sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan dicabutnya ketentuan tersebut, memberikan kesempatan dan kebebasan kepada wanita bersuami untuk dapat mengadakan semua jenis perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah suatu perjanjian. Maka yang dapat dijadikan sebagai subjek hukum dalam perjanjian adalah manusia yang sudah cakap secara hukum, yaitu manusia yang berumur 21 tahun atau sudah kawin dengan tanpa adanya perbedaan gender dan memiliki jiwa dan berakal sehat atau tidak ditaruh dibawah pengampuan.

b. Rechts Persoon atau badan hukum

Selain manusia badan hukum juga termasuk sebagai subjek hukum dalam perjanjian. Badan hukum merupakan badan-badan atau suatu perkumpulan yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia, seperti persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum dapat bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.

Menurut Wirjono Prodjodikoro badan hukum adalah suatu badan yang di dampingi oleh manusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyaai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan- kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan hukum lainnya.

Sarjana lain berpendapat bahwa badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang dipisahkan untuk tujuan tertentu (yayasan).

(44)

Sementara menurut Sri Soedewi Masjchoen baik perhimpunan maupun yayasan kedua-duanya berstatus sebagai badan hukum, jadi merupakan persoon pendukung hak dan kewajiban. Badan hukum yang dimaksudkan diatas dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1) Badan Hukum Publik, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara pada umumnya. Contoh : Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia dan lain sebagainya.

2) Badan Hukum Privat, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang-orang yang terdapat dalam badan hukum

tersebut. Contoh : Perseroan Terbatas (badan hukum yang bertujuan Provit Oriented), Yayasan (badan hukum yang Non Material).21

c. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atau hak orang lain tertentu.

Jika badan hukum yang menjadi subjek hukum, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak bernama “perjanjian atas nama” atau ‘’Verbintenis Op Naam” dan kreditur yang bertindak sebagai penuntut dan hendak mengajukan tuntutan atas tidak dilaksanakannya isi dari perjanjian, maka tuntutannya disebut dengan ”tuntutan atas nama.”

Misalnya seorang bezitter atas sebuah kapal. Beziter ini dapat bertindak sebagai kreditur dalam suatu perjanjian. kedudukannya sebagi

21 Wikipedia.org, Jenis Badan Hukum, diakses pada tanggal 31 Januari 2019 pukul 02:57 WIB

(45)

subjek kreditur bukan atas nama pemilik kapal secara inpersoon, melainkan atas nama persoon yang lain sebagai bezitter. Contoh lain, seseorang menyewa rumah milik A.

Penyewa bertindak atas keadaan dan kedudukannya adalah sebagai penyewa rumah milik A, bukan atas nama A secara inpersoon, tetapi atas nama A sebagai pemilik sesuai dengan keadaannya sebagai penyewa. Lebih nyata dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata. Sekalipun rumah tersebut telah dijual oleh pemilik rumah semula atau pemilik rumah yang semula telah meninggal dunia, perjanjian sewa-menyewa tetap berjalan atas nama “pemilik yang semula” kepada pemilik yang baru atau kepada ahli waris pemilik semula. Namun dalam status yang seperti ini perlu diingat bahwa kualitas suatu perjanjian dan kualitas suatu hak haruslah bersesuaian.

Atas prinsip ini ada pendapat yang menyatakan bahwa pergantian suatu hubungan hukum yang serupa tidak mesti selamanya mengakibatkan peralihan atas semua hak semula.

d. Persoon yang dapat diganti

Mengenai persoon kreditur yang “dapat diganti” (vervangbaar), berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam perjanjian, yang sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur yang baru. Perjanjian yang krediturnya dapat diganti dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas order/

atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian “aan toonder”,

(46)

“perjanjian atas nama” atau “kepada pemegang/ pembawa” pada surat- surat tagihan hutang (schuldvordering papier).

Tentang siapa-siapa saja yang dapat menjadi debitur, sama keadaannya dengan orang-orang yang dapat menjadi kreditur, yaitu :

1) Individu sebagai persoon yang bersangkutan, yaitu : a) Natuurlijke Persoon atau manusia tertentu b) Rechts Persoon atau badan hukum

2) Seseorang atas kedudukan atau keadaan tertentu yang bertindak atas orang lain tertentu

3) Seseorang yang dapat diganti dan menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas dasar bentuk perjanjian yang dilaksanakan maupun berdasarkan izin dan persetujuan dari kreditur

2. Objek dalam Perjanjian

Objek hukum adalah segala sesuatu yang berada dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh sujek hukum berdasarkan hak atau kewajiban yang dimilkinya atas objek hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain, objek hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum.

Jika undang-undang telah menetapkan “subjek” dalam perjanjian, yaitu pihak kreditur yang berhak atas sebuah prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasinya, maka intisari atau “objek” dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, objek yang selanjutnya disebut degaan prestasi, yang diperjanjikan adalah untuk

“menyerahkan”, “menyerahkan sesuatu”, “melakukan sesuatu” atau “untuk

(47)

tidak melakukan sesuatu” (te geven, te doen, of niet te doen). Memberikan sesuatu “te heven”, sesuai dengan ketentuan Pasal 1235 KUHPerdata, berarti suatu kewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) suatu benda.22

Prestasi yang menghendaki untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (te doen of niet te doen) bisa bersifat positif dan isa pula bersifat negatif. Bersifat positif, juka isi dari perjanjian tersebut menentukan untuk melakukan/berbuat sesuatu (te doen). Hal ini biasanya terjadi dalam perjanjian kerja seperti yang diatur dalam Pasal 1603 KUHPerdata, dimana pekerja sedapat mungkin untuk melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Perjanjian yang berupa prestasi negatif adalah verbintens yang memperjanjikan untuk tidak melakukan/berbuat sesuatu (niet te doen). Sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1550 ayat (3) merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif, dimana yang menyewakan atau pemilik harus membiarkan si penyewa untuk Dalam suatu perjanjian, prestasi untuk menyerahkan bukan semata-mata terbatas pada benda yang berwujud secara nyata saja, atau jenis dan jumlah benda tertentu, namun juga termasuk dalam memberikan suatu “penikmatan”

(genot) dari suatu barang. Misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1550 KUHPerdara. Pemilik wajib menyerahkan (te leveren) barang yang akan disewakan kepada penyewa, yang dimaksud dengan menyerahkan barang disini bukan menyerahkan hak kebendaannya, namun yang diserahkan adalah “hak pemakaiannya” (gebruik) untuk dinikmati (genot) dengan aman oleh pihak penyewa.

22 M. Yahya Harapan, Op.Cit., hal. 10

(48)

menikmati barang sewaannya secara tentram selama jangka waktu sewa masih berjalan.

Dalam setiap perjanjian, para pihak yang bersangkutan harus dapat menentukan apa yang menjadi objek atau voorwerp dari suatu perjanjian . tentang objek/prestasi harus dapat ditentukan artinya adalah bahwa suatu objek dalam perjanjian harus bersifat logis dan praktis. Suatu perjanjian tidak akan memiliki arti jika undang-undag tidak menentukan hal demikian. Itulah sebabnya Pasal 1320 ayaat (3) menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus emmenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu (een bepaalde onderwerp), atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan dalam Pasak 1333 KUHPedata.23

23 Ibid.

Bagaimana jika objek dalam perjanjian tidak tertentu atau jika jenisnya (soort) tidak tertentu ? Oleh karena objek atau jenis objek merupakan syarat dalam mengikat perjanjian, maka apabila syarat tersebut tidak dipenuhi dengan sendirinya perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Misalnya seseorang memperjanjikan untuk membangun rumah tanpa sesuatu petunjuk apapun, baik mengenai letak, besarnya dan jenis bahan bangunan yang digunakan maka perjanjian seperti ini tidak mempunyai kekuatan mengikat (krachtloos).

Dengan demikian dapat dikatan bahwa agar perjanjian tersebut memnuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat, maka prestasi yang jadi objek dalam perjanjian haruslah “tertentu” atau memiliki sekurang-kurangnya jenis objeknya harus tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel tersebut dapat diartikan bahwa cluster 1 dicirikan dengan pH, salinitas, dan tebal lumpur yang rendah serta suhu yang sedang dan oksigen terlarut yang

Prinsip kerja dari arus searah adalah membalik phasa tegangan dari gelombang yang mempunyai nilai pos itif dengan menggunakan komutator, dengan demikian arus yang

Ayat aktif ialah ayat yang mengandungi kata kerja yang mengutamakan subjek asal sebagai unsur yang diterangkan. Ayat aktif terdiri daripada ayat aktif transitif

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah

Namun peristiwa yang terjadi dalam Kisah Para Rasul 2:4 harus dipahami sebagai sebuah penggenapan atas janji Bapa yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 1:5,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana profil penyimpanan obat di Puskesmas Kota Kediri memenuhi kriteria dari Pedoman Peraturan Pelayanan Kefarmasian Di

kecepatan otot dalam melangkah. Kekuatan otot tungkai ini digunakan saat lari menggiring bola, dan menendang bola, dengan otot tungkai yang kuat maka tendangan akan

Hasil pengujian pada galur padi rawa terhadap penyakit hawar daun bakteri diperoleh 2 galur dan 1 varietas yang menunjukkan respons tahan dan agak tahan terhadap kelompok IV dan