• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA

3. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas. Asas-asas hukum perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yaitu :

a. Asas kebebasan berkontrak

Maksudnya, adalah bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian. Hal ini dikarenakan hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik itu bentuknya, isinya serta pada siapa perjanjian itu hendak ditujukan.

Asas ini merupakan kesimpulan dari isi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Tujuan dari pasal di atas, bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuknya tertulis maupun tidak tertulis.

Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-

undang. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi :

1) Perjanjian yang telah diatur oleh Undang-Undang;

2) Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam Undang- undang.

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak tidak tertulis dengan kata-kata yang banyak dalam Undang-undang, tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya.36

Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak- pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

b. Asas konsensualisme

37

Menurut Subekti, arti dari Asas Konsensualisme (Konsensualitas) adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,

36

Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1986, hal. 4

37

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 27

perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.38

… pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan arenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang- orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.

Dapat dikatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya merupakan perjanjian konsensuil, dengan pengecualian terkait dengan sahnya suatu perjanjian, dimana perjanjian itu diharuskan dibuat secara tertulis (misalnya perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (misalnya penghibahan barang tetap).

Asas Konsensualisme adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Asas Konsensualisme memperlihatkan bahwa :

39

38

R. Subekti II, hal. 15

39

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 34

c. Asas kekuatan mengikat atau asas Pacta Sunt Servanda

Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat.

Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang- undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.40

Itikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik tersebut hanya muncul pada tahap pelaksanaan perjanjian saja. Itikad baik harus dilihat sebagai keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada keseluruhan tahap perjanjian. Dengan demikian fungsi itikad baik 4. Asas itikad baik

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bersifat dinamis. Dinamis disini dapat diartikan bahwa perbuatan harus dilaksanakan dengan kejujuran yang berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat yang merugikan pihak lain, atau mempergunakan kata-kata yang membingungkan pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Para pihak dalam suatu perjanjian tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.

40

yang dimaksud disini bersifat dinamis karena melingkupi keseluruhan proses perjanjian tersebut.41

Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.42

41

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 139

42

Ahmadi Miru., Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 5

Di Jerman, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa apabila ditetapkan syarat-syarat umum mengenai perjanjian, kebebasan berkontrak dianggap ada sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut ukurannya sendiri, yaitu berdasarkan itikad baik dengan kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada awal penyusunan syarat-syarat perjanjian itu. Apabila satu pihak hanya mengajukan kepentingan- kepentingan sendiri, ia menyalahgunakan kebebasan dalam membuat perjanjian.

Kedua keputusan tersebut menunjukkan bahwa itikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan memerhatikan kepentingan- kepentingan yang wajar dari pihak lain.43

Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.44

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih

Dokumen terkait