• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA

4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

43

Ibid., hal. 6

44

pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.45

45

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 95-96

Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran atau penerimaan.

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:

1) dengan cara tertulis; 2) dengan cara lisan;

3) dengan simbol-simbol tertentu; bahkan 4) dengan berdiam diri.

Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut di atas, secara garis besar terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis atau tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-diam.

Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik.46

46

Ahmadi Miru., Op.Cit., hal. 14

Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak.

Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan mengantarkan satu mangkok soto.

Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau ke mana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai di tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan.47

47

Ibid., hal. 16

Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.

Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal- hal diantaranya :

1) kekhilafan atau kesesatan; 2) paksaan;

3) penipuan; dan

Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam BW, namun lahir kemudian dalam perkembangan hukum kontrak.48

Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.

Ketiga cacat kehendak tersebut diatur dalan Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUH Perdata.

Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.

Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.

49

3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : 1) Anak yang belum dewasa;

2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;

50 48 Ibid., hal. 17 49 Ibid., hal. 18

Orang yang belum dewasa (minderjarige) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin (Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata). Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa (Pasal 330 ayat 2 KUH Perdata). Orang- orang yang belum dewasa apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dapat mohon pendewasaan agar mereka dapat melakukan tindakan hukum.

Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau gelap mata, meskipun kadang- kadang cakap mempergunakan pikirannya dan pemboros (Pasal 433 KUH Perdata). Apabila akan menggunakan kewenangan hukumnya, maka bagi orang- orang yang belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya, sedangkan bagi orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili Pengampu/Curatornya, bagi perempuan yang sudah kawin diwakili oleh suaminya. Namun dengan berlakunya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka Pasal 1330 KUH Perdata sub 3 ini (orang-orang perempuan yang sudah berkeluarga tidak cakap bertindak dalam hukum), tidak berlaku lagi. Karena menurut UU No. 1 Tahun 1974 tersebut masing-masing fihak (suami-istri) berhak melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).

Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seseorang telah bertindak dalam hukum/cakap bertindak dalam hukum (handelingsbekwaam) apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh di bawah

50

pengampuan. Sedangkan kedewasaan (meerderjarige) dapat dicapai dengan: telah genap berumur 21 tahun, karena perkawinan, dan karena pendewasaan/handelichting.51

Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

52

Hal tertentu adalah hal yang merupakan obyek dari suatu kontrak. Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan terhadap obyek tertentu dari suatu kontrak, khususnya jika obyek kontrak tersebut

51

Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2010, hal. 25

52

berupa barang, yaitu : (1) merupakan barang yang dapat diperdagangkan, (2) pada saat kontrak dibuat, barang telah dapat ditentukan jenisnya, (3) jumlah barang tersebut tidak boleh tertentu, (4) boleh merupakan barang yang aka nada di kemudian hari, (5) bukan merupakan barang yang termasuk ke dalam warisan yang belum terbuka.53

Istilah halal bukanlah lawan kata haram dalam dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

d. Suatu sebab yang halal

54

53

Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II) hal. 37

54

Ahmadi Miru., Op.Cit., hal. 30

Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja dalam pasal 1335 Kitab Undan-Undang Hukum Perdata. Dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

1) bukan tanpa sebab; 2) bukan sebab yang palsu; 3) bukan sebab yang terlarang;

Dalam Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “ Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”.

Dari rumusan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jelas dapat kita lihat bahwa memang pada dasarnya undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu, yang ada di antara para pihak. Mungkin saja suatu perjanjian dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pinjam uang yang diberikan oleh bank misalnya, alasan pihak yang memberikan pinjaman, dalam hal ini bank adalah untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk selisih suku bunga pinjaman dengan suku bunga tabungan (atau deposito) yang berlaku pada bank tersubut. Sedangkan pada sisi peminjam, pinjaman tersebut dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, dari modal kerja yang bersifat cepat dan berjangka waktu pendek hingga keperluan investasi yang berjangka waktu relatif lama (hingga dua puluh tahun). Demikianlah sesungguhnya undang-undang memang tidak memperdulikan apakah yang merupakan dan yang ada di dalam benak setiap manusia yang membuat dan mengadakan perjanjian, undang-undang hanya memperhatikan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian yang dibuat tersebut merupakan prestasi yang tidak dilarang oleh hukum, dan oleh karenanya maka dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Jadi dalam perjanjian tersebut harus ada pihak yang dapat dimintakan

pertanggungjawabannya agar perikatan yang terbentuk dari perjanjian tersebut dapat dilaksanakan.

Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”

Dalam rumusan yang sedemikian pun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga memang benar bahwa sebab itu adalah terlarang.55

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

2) dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

55

yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdpat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.56

Istilah modal ventura merupakan terjemahan dari terminologi bahasa Inggris yaitu Venture Capital. Venture sendiri berarti usaha mengandung risiko, sehingga modal ventura banyak yang mengartikan sebagai penanaman modal yang mengandung risiko pada suatu usaha atau perusahaan,

B. Tinjauan Umum Modal Ventura

Dokumen terkait