• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II :PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK

NOMOR 19 TAHUN 2016

A. Asas-asasHukumPembuktian

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, asas atau teori yang dianut dalam pembuktian, tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Berikut beberapa asas-asas terkait hukum pembuktian yaitu sebagai berikut:52

2. Presumption of Innocent 1. Asas Due Process of Law

Dalam kaitannya dengan pembuktian, due process of law memiliki hubungan yang erat dengan masalah bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan.

Presumption of Innocent diartikan sebagai asas praduga tak bersalah.Artinya, seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan telah mempunyai kekuatan hukum. Di sisi lain dikenal juga presumption of guilt yang diartikan sebagai asas praduga bersalah. Artinya seseorang dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah.

3. Asas Legalitas

Salah satu prinsipat hukum pidana yang dikenal dalam asas legalitas adalah “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang berarti tidak ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana. Ada empat makna legalitas, yang pertama terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut. Selanjutnya, ketentuan

52Eddy O. S. Hirariej,Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 30.

pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan. Selanjutnya, rumusan ketentuan pidana harus jelas.Selanjutnya, ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi.

4. Beyond a Reasonable Doubt

Dalam asas ini, pengambilan putusan yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah, hakim harus dapat diyakinkan bahwa terdakwa bersalah atas tindak kejahatan yang dituduhkan kepadanya.

5. Actori Incumbit Onus Probandi

Dalam hukum acara pidana dikenal asas actori incumbit onus probandi yang artinya siapa yang menuntut, dialah yang wajib membuktikan.Dalam konteks hukum pidana, yang melakukan penuntutan adalah jaksa penuntut umum sehingga jaksa penuntut umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa.

6. Negativa Non Sunt Probanda

Negativa non sunt probanda diartikan sebagai membuktikan sesuatu yang negative sangatlah sulit.Asas ini berkaitan dengan pembuktian. Misalnya jika si A dituduh melakukan suatu tindak pidana maka jaksa penuntut umum yang harus membuktikannya. Tidak sebaliknya, si A yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hal ini lebih sulit karena si A harus membuktikan sesuatu yang tidak dilakukannya.

7. Unus Testis Nullus Testis

Secara harifiah unus testis nullus testis berarti seorang saksi bukanlah saksi.Tegasnya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum, dibutuhkan minimal 2 orang saksi.

Dari paparan diatas diperoleh cara bagaimana mendapatkan pembuktian dengan melihat asas-asas hukum pembuktian untuk dapat membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan seorang terdakwa dan memperoleh kekuatan hukum.

B. Pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Dalam hukum acara pidana, terdapat beberapa teori mengenai pembuktian, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)

Teori ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian

"keyakinan" hakim semata-mata.Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim.Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah, akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan.Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.53

53Andi Hamzah,Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Ghana Indonesia, 1985), hlm. 241.

b. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang logis (Conviction In Raisone);

Teori pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang.Hal yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh

“reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable”

yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.54

Teori ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian convictionin time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwadidasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akankesalahan yang dilakukan c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif

Wettwlijkstheode).

54Munir Fuady,Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, (Bandung: Citra Aditya, 2006), hlm. 56.

terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang, maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseoranganhakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata.Positief wettelijkbewijs theori system di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor.Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negativewettelijk).

Berdasarkan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti

itu. Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakpidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.55

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.56

Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel).Ketentuan dalam

55Ibid.

56M. Yahya Harahap, Op. Cit. hlm. 23.

Pasal183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP.

Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya.Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.Rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan

dalam masyarakat.Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :

1. Keterangan Saksi

Semua orang dapat menjadi saksi, kecuali dikecualikan oleh Undang-Undang.Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana (Penjelasan Pasal 159 Ayat (2) KUHAP).Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yaitu:

• Keluarga berdarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari atau yang sama-sama sebagai terdakwa.

• Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

• Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama sebagai terdakwa.57

6. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.

7. Surat

57Ibid.

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut Pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung.Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya.Petunjuk adalah perbuatan atau kejadian, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 Ayat (2), Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 KUHAP diketahui bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah58

58Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana. Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana melainkan dapat mengacu kepada

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2016 ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2016 juga mengakui hasil penggunan sistem elektronik, khususnya mengenai hasil tes penggujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti petunjuk. Berdasarkan penjelasan Pasal 177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), bukti elektronik merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.59

Menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri.

5.Keterangan Terdakwa

60

59Pasal 177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

60Pasal 194 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan)

dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

C. Kedudukan Alat Bukti Elektronik dalam Pembuktian Tindak Pidana Penipuan Online

Kekuatan Pembuktian alat bukti informasi atau dokumen elektronik dapat digunakan dalam persidangan sejauh alat bukti tersebut dapat di peroleh dan dibuktikan dalam persidangan. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik masuk dalam jenis alat bukti petunjuk dan surat. Alat bukti informasi merupakan perluasan dari alat bukti petunjuk dalam KUHAP yang dimana alat bukti informasi ini di perluas maknanya sesuai dengan perkembangan teknologi yang berkembang.Alat bukti informasi ini merupakan alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri.Apa bila alat bukti ini tidak dapat berdiri sendiri maka alat bukti informasi ini harus didukung dengan alat bukti yang lain, sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan. Alat bukti dokumen elektronik masuk dalam jenis alat bukti surat. Sehingga alat bukti surat tidak hanya terbatas pada surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, surat dari seorang ahli yang memuat tentang keahliannya, atau surat-surat lain yang mempunyai kaitan dengan tindak pidana. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah dan dapat di gunakan dalam

mengungkap suatu tindak pidana penipuan online.Alat bukti informasi dan dokumen elektroik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, yaitu:

a. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;

b. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik merupakan jenis alat bukti yang di atur diluar dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik menjadi alat bukti yang dapat membantu dalam pengungkapan suatu tindak pidana Kekuatan pembuktian dari alat bukti informasi atau dokumen elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang

sama dengan alat bukti lainnya dan kemudian diberikan pada kebebasan hakim dalam menilai kekuatan alat bukti informasi atau dokumen elektronik. Satu alat bukti dapat menjadi alat bukti yang bernilai pembuktian apa bila alat bukti itu didukung dengan alat bukti yang lain.

Artinya bahwa lima orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi, namun dapat menjadi alat bukti untuk membuktikan suatu tindak pidana apa bila alat bukti lima orang saksi itu di tambah dengan satu jenis alat bukti yang lain misalnya alat bukti surat, pentunjuk dan alat bukti lainnya. Kekuatan pembuktian dari Alat bukti yang ada dalam KUHAP61

Sehingga diperoleh pengertian bahwaAlat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam Undang-undang

Kedudukan alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah diperkuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 yang menyebutkan:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;

61https://kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&id=4183, diakses pada tanggal 18 Desember 2017, pada pukul 20.15.

Nomor 19 Tahun 2016.Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016).

Sedangkan yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

BAB IV

ANALISIS PERANAN PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA MENGENAI PUTUSAN NO.22/PID.SUS/2017/PN/PGP

A. Gambar Kasus

1. Kronologi Kasus

Berawal ketika terdakwa alias Nur Intan Binti Mustofa (alm) berkenalan dengan saksi Satimah Binti Zaruzi melalui BBM (Blackberry Messenger) dengan Pin. 5D86FO46, BB ID assyifa.olshop@gmail.com, password 170319222, dengan nomor handphone 0812289201049, dengan nama kontak “Bunda Syifa Shop”.

Kemudian saksi Satimah Binti Zaruzi menanyakan harga karpet karakter beserta motif-motifnya kepada terdakwa lalu terdakwa mengirimkan gambar karpet karakter beserta motif-motifnya dengan harga promo Rp.850.000,- per-karpet.

Kemudian saksi Satimah memesan 15 karpet karakter dengan total transaksi

Kemudian saksi Satimah memesan 15 karpet karakter dengan total transaksi

Dokumen terkait