• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Bentuk Perlindungan Hukum yang Diberikan PT Summit Oto Finance Kepada Debitor dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen

1. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

Model perjanjian baku seperti halnya dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT Summit Oto Finance ini sebenarnya masih menjadi perdebatan. Disalah satu sisi dengan dalih asas kebebasan untuk membuat perjanjian sehingga diperbolehkan membuat perjanjian di sisi lainnya bahwa adanya pelanggaran hak yang mana posisinya kebanyakan adanya perjanjian baku selalu dihadapkan pada posisi yang tidak seimbang antara pihak yang membuat perjanjian dikarenakan tidak adanya konsep yang tidak dapat ditawar.

Asas kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Yang mana setiap individu bebas memperoleh apa yang dihendaki sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak (Agus Yudha Hernoko, 2013 :108-109).

Asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Menurut Subekti (dalam Salim H.S., 2004 : 9), cara menyimpulkan asas

kebebasan berkontrak adalah dengan jalan menekankan pada perkataan

“semua” yang ada di muka perkataan “perjanjian”. Sehingga seolah-olah kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja itu dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Menurut Salim H.S (2004 : 9), Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan

Ketentuan hukum kontrak di Indonesia memang menekankan bahwa kesepakatan yang dicapai para pihak sebagai salah satu dasar fundamental pembentukan perjanjian atau kontrak yang sah haruslah tidak didasarkan dengan adanya paksaan ataupun penipuan (misrepresentasi) ataupun kekhilafan dari pihak dari pihak lainnya, dimana bila kesepakatan tersebut kemudian dibuktikan dicapai oleh upaya yang dimaksud dalam Pasal 1321 KUH Perdata tersebut, maka akan memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk memintakan pembatalan pada kontrak yang telah secara formal disepakati ataupun ditandatangani oleh para pihak tersebut.

Akibat hukum terhadap klausul-klausul yang dianggap dapat merugikan kepentingan ataupun hak dari pihak mitra berkontrak yang posisinya lemah yang secara sadar sering dipaksakan sebagai point perikatan atau klausula baku dalam suatu kontrak, pada umumnya tidak diatur dengan secara tegas dalam ketentuan hubungan kontrak Indonesia (RM. Pangabean. 2010. “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”

Jurnal Hukum. Vol. 17 Oktober 2010:651-667 No.4.Jakarta)

Dibakukannya isi atau format perjanjian khususnya perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut, pada dasarnya tidak memberlakukan adanya asas kebebasan berkontrak pada salah satu pihak. Asas kebebasan berkontrakpun seharusnya diberlakukan

pula dalam perjanjian innominaat yang bersifat open system atau bersifat terbuka. Pasal dalam hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law) yang berarti pasal itu boleh dikesampingkan mana kala dihendaki oleh para pihak dalam membuat perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut mengacu dengan pendapat Sutan Remi Sjahdeini menambahkan satu poin lagi yaitu (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 111):

Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional. Namun yang terpenting pada asas kebebasan berkontrak ini tidaklah berdiri sendiri. Dalam praktiknya dewasa ini acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan justru berat sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang.

Inti dari penjelasan di atas bahwa awal mula pemberlakuan asas kebebasan berkontrak dirasakan tidak membawa keadilan karena diawali oleh paham liberalis tersbut. Maka hukum mereka yang kuat akan menguasai pihak yang lemah terus berlanjut sehingga menyebabkan ketidakadaan posisi yang seimbang bagi para pihak. Seiring dengan perkembangan zaman munculah paham sosialis yang menempatkan perlindungan tertinggi masyarakat. Maka asas ini sekarang mulai dibatasi tidak begitu saja diberlakukan guna menghindari ketidak seimbangan hak dan kewajiban bagi para pihak. Hal tersebut semata-mata sebagai penghormatan bagi hak masing-masing pihak. Adapun alasan pembatasan kebebasan berkontrak dari beberapa ahli adalah:

1) Menurut Setiawan menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh(dalam Agus Yudha Hernoko, 2013: 114) :

a) Berkembangnya doktrin iktikad baik

b) Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan c) Semakin banyaknya kontrak baku

d) Berkembangnya hukum ekonomi

2) Menurut Purwahid Patrik (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 114-115) menyatakan bahwa terjadinya pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan oleh:

a) Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum atau perseroan-perseroan dan golongan-golongan masyarakat lain (misal golongan-golongan buruh dan tani)

b) Terjadinya pemasyarakatan keinginan adanya keseimbangan antar individu dan masyarakat yang tertuju kepada keadilan sosial.

c) Timbulnya formalisme perjanjian.

d) Makin banyaknya peraturan di bidang hukum tata usaha negara

3) Menurut Sri Soedewi M.S. (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 115) adalah karena diakibatkan dari adanya:

a) Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi

b) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah

c) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial

Pola interaksi yang selama ini berkembang dimasyarakat sehubungan dengan adanya suatu perjanjian pasti pemahaman para pihak dalam perjanjian bahwa dalam berkontrak pasti selalu dihadapkan pada lawan kontrak yang seolah-olah pihak lain dalam perjanjian adalah musuh sehingga harus di posisi saling menjatuhkan. Melalui pemahaman diatas maka seharusnya kesalahan mendasar tersebut harusnya di rombak.

Seharusnya memposisikan para pihak dalam perjanjian tersebut bukan lagi lawan tetapi harus sebagai mitra konrak sehingga tujuan dari kegiatan usaha akan tercapai demi kemanfaatan bersama.

Pemahaman diatas tentu akan membangun suatu mitra kerja yang saling memberikan manfaat bagi kedua belah pihak dan isi dari perjanjian sesuai dengan kesepakatan bersamapun akan menghantarkan para pihak dalam situasi yang kondusif sehingga di akhir kontrak pun pasti akan

tercapai win-win solution dan suatu perjanjian dapat berjalan dengan baik tanpa merugikan pihak satupun.

Di awal telah di jelaskan bahwa pemberlakuan asas kebebasan berkontrak ini juga harus dikaitkan dengan kerangka pemahaman Pasal-Pasal atau ketentuan lain,yaitu (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 118):

1) Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian.

2) Pasal 1335 KUH Perdata yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa atau dibuatnya berdasarkan causa yang palsu atau yang terlarang dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.

3) Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

4) Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.

5) Pasal 1339 KUH Perdata menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal 1339 KUH Perdata bukanlah kebiasaan setempat akan tetapi ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.

6) Pasal 1347 KUH Perdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.

Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Memenuhi syarat sahnya perjanjian

2) Kontrak harus mempunyai kausa untuk mencapai tujuan para pihak 3) Tidak mengandung kausa yang palsu atau dilarang undang-undnag 4) Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan ketertiban umum.

5) Harus dilaksanakan dengan itikad baik (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 118).

Berikut ini beberapa alasan yang menggambarkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen yang ketentuannya ditetapkan oleh pihak Lembaga Pembiayaan yaitu PT Summit Oto Finance ini tidak memberikan perlindungan hukum terhadap debitor apabila dilihat dari prespektif asas kebebasan berkontrak yaitu:

1) Di awal telah di jelaskan bahwa pelaksanaan asas kebebasan berkontrak tidak selalu berdiri sendiri melainkan harus dikaitkan dengan

ketentuan lain dalam Pasal-Pasal dalam KUH Perdata. Salah satunya adalah penerapan asas kebebasan berkontrak yang dibatasi oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Di penjelasan sebelumnya, telah disimpulkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen PT Summit Oto Finance telah melanggar ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata syarat yang ke 4 mengenai syarat suatu sebab yang halal. Hal tersebut juga didukung dengan adanya Pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan perjanjian tidak mengandung sebab yang palsu atau dilarang undang-undang.

Perjanjian tersebut telah dinyatakan sebelumnya bahwa ternyata telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mngakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Apabila pemberlakuan asas kebebasan berkontrak dikaitkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1335 KUH Perdata maka dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT Summit Oto Finance tidak memenuhi perlindungan kepada debitor kaitannya dengan pelaksanaan asas kebebasan berkontrak.

2) Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT Summit Oto Finance tersebut banyak menggunakan kata “para pihak sepakat”. Misalnya saja di dalam Pasal 11 bagian akhir menyatakan bahwa “ Para pihak sepakat untuk tidak memberlakukan Pasal 1266 KUH Perdata mengenai perlunya penentapan pengadilan untuk mengakhiri perjanjian sepihak”

dan masih banyak lagi dapat di temukan kata “para pihak sepakat” dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut.

Kata “Para pihak sepakat” menurut penulis bahwa tanpa diadakannya perundingan antara debitor dan kreditor dalam proses persetujuan atau kesepakatannya maka kedua belah pihak telah sepakat akan klausula tersebut. Klausula tersebutlah yang menurut penulis dapat membuktikan bahwa Perjanjian ini menjadi tidak seimbang kedudukan para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen ini.

Debitor disini berada di posisi yang benar-benar tidak bebas untuk menentukan isi dari apa yang ia hendaki. Hal ini tentulah mengakibatkan kerugian bagi Debitor sendiri. Kalaupun dalam perjanjian ini masih

berlaku pilihan take it or leave it maka ketika Debitor pindah ke perusahaan pembiayaan lain pun nantinya juga akan dihadapkan pada permasalahan ini juga. Hal tersebut juga di dukung dengan adanya pembatasan pemberlakuan asas kebebasan berkontrak yang di batasi adanya asas itikad baik dari masing-masing pihak sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Artinya sebebas-bebasnya menentukan isi perjanjian maka haruslah didasari itikad baik masing-masing pihak.

Penulis telah membaca dan menganalisa Pasal-Pasal dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut masih banyak memiliki kelemahan yaitu pihak PT Summit Oto Finance selaku kreditor membuat perjanjian yang beberapa klausulanya telah melanggar aturan. Sehingga klausul seperti di atas tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.

Penulis juga mencermati mengenai bentuk dan tata letak pencantuman klausula baku perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut menyalahi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapa dibaca secara jelas atau pengunggkapannya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca dengan jelas atau pengungkapan sulit dimengerti”.

Dikarenakan pada perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut sulit untuk dibaca karena huruf-hurufnya mempunyai ukuran yang sangat kecil sekali dan menggunakan bahasa hukum yang bersifat teknis. Ketidakjelasan oleh debitor adalah bukan saja pada bahasa hukumnya yang tidak dapat dimengerti melainkan untuk membacanya juga merepotkan bagi debitor karena bentuk penulisan yang kecil-kecil selain itu juga dicantumkannya banyak klausul yang sulit

dipahami oleh orang awam, misalnya pada kata “cessie, subrogasi, endosemen”.

Oleh karena itu, para debitorpun kebanyakan pada akhirnya merasa enggan untuk membaca dan menelitinya lebih lanjut. Akhirnya dipastikan banyak debitor yang tidak meneliti lebih lanjut klausula tersebut dan debitorpun hanya mempunyai pilihan menerima isi dari perjanjian tersebut karena memang mereka membutuhkan pembiayaan yang dilakukan oleh PT Summit Oto Finance.

Pada dasarnya adanya perjanjian Pembiayaan Konsumen ini muncul dikarenakan penerapan asas kebebasan berkontrak, dikarenakan perjanjian ini tidak diatur dalam KUH Perdata sehingga pemberlakuannya di Indonesia didasari kebebasan berkontrak para pihak untuk membuat suatu perjanjian. Dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak telah mendapatkan batasan-batasan dalam pelaksanaan asas kebebasan berkontrak.

Faktanya, sering kali para pelaku usaha menelan mentah-mentah pelaksanaan asas kebebasan berkontrak dengan membuat berbagai macam bentuk perjanjian yang kebanyakan tidak memposisikan para pihak dalam posisi yang seimbang. Pentingnya memberlakukan asas kebebasan berkontrak dikarenakan apabila tidak terdapat asas kebebasan berkontrak maka para pihak tidak bebas melakukan berbagai macam bentuk perjanjian lainnya. Asalkan dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan batasan-batasan pelaksanaan asas kebebasan berkontrak.

Perjanjian pembiayaan konsumen Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang dibuat oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut pada dasarnya memang muncul dikarenakan adanya kebebasan berkontrak. Dikarenakan perjanjian pembiayaan konsumen memang tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata. Namun dalam pelaksanaan asas kebebasan berkontrak juga selalu di batasi dengan asas lainnya agar tidak merugikan salah satu pihak.

Setelah dilaksanakan penganalisa Pasal demi Pasal dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut ternyata masih banyak terdapat kekurangannya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa klausula yang memang melanggar peraturan perundang-undangan, bentuk perjanjian yang tata letak penulisan kurang jelas, serta masih terdapat kata-kata yang masih belum di pahami oleh debitor yang awam. Sehingga dalam perjanjian pembiayaan konsumen ini menurut penulis bahwa masih belum memberikan perlindungan hukum kepada debitor berdasarkan pelaksanaan asas kebebasan berkontrak.

Dokumen terkait