• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN A. Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Summit Oto Finance Berdasarkan Ketentuan Syarat Sahnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN A. Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Summit Oto Finance Berdasarkan Ketentuan Syarat Sahnya"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III PEMBAHASAN

A. Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Summit Oto Finance Berdasarkan Ketentuan Syarat Sahnya

Peningkatan jumlah transportasi khususnya sepeda motor di Indonesia merupakan salah satu dampak dari perkembangan lembaga pembiayaan khususnya pembiayaan konsumen. Pada dasarnya Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance ) menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan pada Pasal 1 angka 7 adalah

“kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran”.

Pengadaan barang terhadap kebutuhan konsumen dengan cara pembayaran secara angsuran tersebut sangat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat memiliki barang konsumen yang di hendakinya. Akan tetapi, untuk menikmati fasilitas pembiayaan tersebut maka seorang debitor harus terlebih dahulu menyetujui berbagai syarat yang telah ditentukan oleh suatu lembaga pembiayaan konsumen. Apabila telah memenuhi persyaratan maka Debitor akan disodorkan perjanjian pembiayaan konsumen dan perjanjian lain oleh Kreditor atau Perusahaan Pembiayaan Konsumen.

Pada dasarnya suatu aktivitas bisnis senantiasa diawali dengan sebuah kontrak. Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak, apabila kontrak tersebut dibuat secara sah maka hal tersebut menjadi penentu pada proses hubungan hukum selanjutnya (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 156). Oleh karena itu dalam kegiatan pembiayaan konsumen pun pasti selalu di awali dengan adanya kesepakatan yang di muat dalam sebuah perjanjian pembiayan konsumen.

Bentuk perjanjian pembiayaan konsumen mayoritas adalah berbentuk tertulis yang merupakan perjanjian innominaat artinya perjanjian tersebut tumbuh dan berkembang di luar aturan KUH Perdata. Sehingga ketika terjadi kesepakatan dalam pemberian fasilitas pembiayaan konsumen terhadap debitor,

(2)

maka mengakibatkan semakin banyaknya perjanjian pembiayaan konsumen yang beredar di masyarakat.

Perjanjian pembiayaan konsumen muncul ketika terjadi hubungan bisnis yang terjalin antara para pihak yang memiliki tujuan untuk saling bertukar kepentingan yang mana mereka tuangkan kedalam sebuah kontrak.

Namun, saat ini para pengusaha selaku pihak kreditor kebanyakan menyodorkan perjanjian sudah dalam bentuk baku. Hal tersebut dikarenakan demi mengharapkan efisiensi akan waktu tenaga dan biaya dalam hal pembuatan perjanjian. Sehingga, posisi debitor hanya dapat bersikap menerima atau tidak menerima sama sekali isi dari perjanjian tersebut.

Menurut Agus Yudha Hernoko (2010 : 156) dikarenakan pentingnya suatu kontrak demi penentu proses hukum selanjutnya, maka telah disiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolak ukur bagi para pihak untuk menguji standar keabsahan kontrak yang para pihak buat. Adanya pengujian keabsahan kontrak tersebut, dikarenakan perjanjian pembiayaan konsumen yang di buat oleh perusahaan lembaga pembiayaan biasanya sudah dibakukan atau biasa disebut standard contract.

Istilah perjanjian baku dalam bahasa Belanda disebut “standaard contract atau standaard voorwarden”, dalam bahasa Inggris disebut “standard contract atau standard form of contract”. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Mariam Darus dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar tahun 1980 dan dalam pidato tersebut, kata “baku” diartikan sebagai patokan, ukuran, acuan. Namun istilah ini masih belum memiliki keseragaman dalam penggunaannya. Di dalam kepustakaan hukum, terdapat beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk perjanjian baku yaitu “standarized agreement, standardizedcontract, padcontrat, standard contract, contract of adhesion, standarized mass contract”. Istilah perjanjian baku sudah sejak tahun 1901 dipakai dan selanjutnya dipopulerkan oleh penulis-penulis Amerika. Istilah ini juga dipergunkan di Jerman dengan sebutan “Algemeine geschats Bedingun, Standaardvertrag dan Standaardkonditionen” (dalam Hartina, www.

repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 25 Januari 2016 pukul 08.05.WIB).

(3)

A standard form contract is preestablished record of legal terms regularly used by a bussiness entity or firm in transactions with consumers.

The record specifies the legal governing the relationship between the firm an another party. The firm requires the other party to accePT the record without amandement and without expecting the partie to know or understand its terms.

There are various types of standard contract and they apper both the paper and electronic media. Such as tickets, invoices and receiPTs (John J.A. Burke, 2000 contract as commodity : A nonfiction Approach, 24 Seton Hall Legislative Jurnal.285 halaman 3).

Maksudnya adalah bentuk kontrak standar sebelum dibuat dicatat dalam klausula hukum secara regular digunakan dalam kegiatan bisnis yang ada atau transaksi perusahaan dengan konsumennya. Klausula tersebut ditetapkan secara sah oleh pemerintah yang berhubungan dengan perusahaan atau kelompok tertentu. Perusahaan membutuhkan kelompok tertentu untuk menerima catatan mereka tanpa adanya perubahan dan tanpa mengharapkan kelompok tertentu untuk paham dalam klausula tersebut. Ada Beberapa tipe variasi kontrak standar dalam bentuk kertas maupun media elektronik seperti tiket, faktur dan resep).

Pendapat diatas sama halnya dengan pendapat Sidharta (2000 : 199) yang menyatakan perjanjian standar adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya distandarisasi oleh pembuatnya dan kemudian diberikan ke pihak lain, dan pihak lain itu pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan isinya.

Mariam Darus Badrulzaman (dalam Agoeng Karsajiwa, www.eprints.undip.ac.id diakses pada 25 Januari 2016 pukul 13.03 WIB) juga menambahkan di dalam bukunya Aneka Hukum Bisnis menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah sebagai perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Isinya telah ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif lebih kuat dari debitor

2. Debitor sama sekali tidak menentukan isi perjanjian

3. Terdorong oleh kebutuhannya sehingga debitor terpaksa menerima perjanjian itu

4. Bentuknya tertulis

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individu

(4)

Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan salah satu contoh bentuk perjanjian yang sudah dibakukan, maka memiliki karakteristik yang tidak jauh beda dengan karakteristik perjanjian baku. Adapun ciri-cirinya sebagai berikut (Hartina, www.repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 25 Januari 2016 pukul 8.05 WIB):

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat 2. Debitor sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian 3. Bentuk tertulis

4. Terdorong oleh kebutuhannya sehingga Debitor terpaksa menerima perjanjian itu

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal dan kolektif

Di era saat ini, kegiatan bisnis terutama dibidang pembiayaan terhadap barang kendaraan yang sudah banyak terjadi di masyarakat, maka tidaklah dimungkinkan membuat suatu perjanjian satu persatu. Adanya alasan mengenai jumlah debitor yang sekarang semakin banyak, sehingga ketika dibuat satu persatu maka akan menyita waktu sehingga kegiatan usaha pun tidak berjalan secara efektif dan efisien tersebutlah yang menjadi faktor utama pendorong perkembangan perjanjian pembiayaan konsumen di masyarakat. Semakin banyaknya pemberian fasilitas pembiayaan konsumen terhadap debitor maka mengakibatkan semakin banyaknya perjanjian pembiayaan konsumen yang beredar di masyarakat yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Sehingga belum tentu semua perjanjian pembiayaan tersebut sudah memenuhi ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.

Pentingnya pengkajian lebih lanjut khususnya pada perjanjian pembiayaan konsumen, dikarenakan menurut Suharnoko (2004 : 20) yang mengatakan bahwa menurut teori hukum perjanjian yang konvensional mempunyai ciri-ciri menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama suatu kontrak adalah untuk memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara para pihak, sehingga prinsip- prinsip itikad baik dalam suatu sistem hukum hanya dapat berlaku jika perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian.

(5)

Oleh karena itu, pentingnya dilakukan pengkajian terhadap Perjanjian Pembiayaan Konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut telah memenuhi atau tidak mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dikarenakan Pasal 1320 KUH Perdata merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan kontrak yang dibuat para pihak.

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Pada dasarnya Pasal 1320 KUH Perdata ayat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan perjanjian. Menurut J. Satrio (dalam Ridwan Khairandy, 2013 : 168) menyatakan bahwa suatu kontrak harus atau perjanjian menjadi dah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kesepakatan diartikan sebagai persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainya. Dikarenakan kehendak tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain maka berikut ini merupakan tanda beberapa cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak yaitu dengan (Salim H.S., 2005: 33):

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis b. Bahasa yang sempurna secara lisan

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.

e. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau dipahami atau diterima pihak lawan

Pada dasarnya yang paling banyak dilakukan oleh para pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna di kala timbul sengketa dikemudian hari Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu ”cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara

(6)

tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan peryataan kehendak para pihak. Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaraan diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencangkup esensalia perjanjian yang akan diutup. Sedangkan penerimaan merupakan persetujuan dari pihak lain yang di tawari (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 162-163).

Pembentukan kata sepakat (toesteming) dibentuk oleh dua unsur yaitu penawaran dan penerimaan. Dasar keterikatan kontraktual berasal dari pernyataan kehendak yang mana dalam situasi normal antara kehendak dan pernyataan saling bersesuaian namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi bahwa antara kehendak dan pernyataan terdapat ketidaksesuaian (Agus Yudha Hernoko,2010:165). Dalam hal ini apabila penawaran telah dikomunikasikan sedemikian rupa oleh para pihak dan telah diiterima atau disetujui, maka terjadi penerimaan. Persesuaian kedua belah pihak saat menerimaan itulah yang menjadi unsur penting dalam menentukan lahirnya perjanjian (Ridwan Khairandy, 2013 : 169).

Persesuaian kehendak saja tidak akan menciptakan atau melahirkan perjanjian. Kehendak haruslah ada pernyataannya, Pernyataan kehendak harus menyatakan bahwa yang bersangkutan menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kehendak haruslah dapat dipahami orang lain dan harus dapat dipahami oleh orang lain maupun pihak lawan. Ketika pihak lawan menyatakan atau menerima kehendak tersebut maka barulah terjadi kesepakatan. Konsekuensinya, ketika penawaran tersebut diterima secara keliru dan ada akseptasi yang menyimpang dari penawaran maka pada dasarnya tidaklah terjadi lahirnya perjanjian(Ridwan Khairandy, 2013 : 169).

Pada dasarnya bentuk pernyataan kehendak tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara tegas dan dapat pula secara diam-diam. Pernyataan secara tegas dapat diberikan secara eksplisit yaitu

(7)

dengan tertulis, lisan (baik kalimat sempurna maupun tidak sempurna) dan tanda (misalnya dengan cara berjabat tangan). Sedangkan pernyataan secara diam-diam dapat dilihat dengan adanya perbuatan yang segera melakukan kewajibannya, misalnya dengan membayarkan dengan segera sejumlah uang terhadap barang yang telah di beli (Ridwan Khairandy, 2013 : 170- 171).

Syarat kesepakatan (toestemming) yang merupakan pencerminan asas konsualisme dimana dengan adanya kata sepakat telah lahir kontrak, ternyata dalam lalu lintas hukum yang demikian kompleks juga menimbulkan problem pelik mengenai pertanyaan “kapan kontrak itu lahir?”. Penentuan saat lahirnya kontrak menjadi kendala terutama apabila penawaran dan penerimaan dilakukan melalui korespondensi atau surat- menyurat. Hal ini mempunyai implikasi penting dalam hal (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 167) :

a. Penentuan risiko

b. Kesempatan penarikan kembali penawaran c. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluarsa d. Menentukan tempat terjadinya kontrak

Problematika tersebut diatas dapat di jawab dengan adanya kelima teori yang mencoba memberikan solusi penyelesaiannya tersebut yaitu:

a. Teori pernyataan (Uitingstheorie) menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaaan atas suatu penawaran ditulis (dinyatakan) oleh pihak yang ditawari. Kelemahan teori ini adalah tidak dapat ditentukannya secara pasti kapan kontrak itu lahir.

b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie) menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah pihak yang menawarkan tidak tahu bahwa ia telah terikat dengan penawarannya sendiri.

c. Teori Mengetahui (Vernemingstheorie) menyatakan bahwa kontrak lahir pada saat surat jawaban (penerimaaan) itu diterima oleh pihak yang

(8)

menawarkan. Kelemahan teori ini adalah jika surat penerimaan itu meskipun telah sampai ditempatnya ternyata tidak segera dibaca.

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) menyatakan bahwa kontrak itu lahir pada saat surat penerimaan telah sampai ditempat pidahk yang menarkan, tidak peduli apakah ia mengetahui atau membaca penerimaan tersebut atau tidak (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 167-169).

e. Teori Pitlo menyatakan bahwa perjanjian lahir pada saat orang yag mengirimkan jawaban secara patutt boleh mempersangkakann atau menganggap bahwa pihak penerima jawaban telah mengerti jawaban tersebut (Ridwan Kairandy, 2013 : 175).

Perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Dengan bentuk perjanjian yang berbentuk tertulis maka memudahkan untuk mengidentifikasi bentuk kesepakatan antara para pihak yaitu dapat dilihat dengan adanya tanda tangan para pihak yang menandatangani perjanjian pembiayaan konsumen tersebut. Dapat dilihat pada perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 di halaman 6 terdapat para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut adalah pihak Kreditor, Debitor, Persetujuan suami debitor serta pemilik jaminan.

Bentuk kesepakatan antara para pihak dapat dilihat dari adanya tandatangan pada suatu perjanjian. Hal tersebut sama halnya seperti yang dijelaskan oleh J. Satrio (dalam Ridwan Khairandy, 2013 : 170) bahwa untuk menghadapi kemungkinan adanya masalah “tidak mengetahuinya”

apa yang telah disepakati, maka atas dasar kepastian hukum dan demi kepentingan orang banyak maka harus dipakai suatu anggapan bahwa dengan adanya para pihak yang menandatangani suatu kontrak atau perjanjian maka mereka dianggap tahu dan menghendaki isi perjanjian tersebut.

Pendapat tersebut sama halnya yang diutarakan oleh Asser Rutten (dalam Salim H.S. 2005 : 120) bahwa setiap orang menandatangani

(9)

perjanjian bertanggung jawab atas isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, maka tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa orang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani.

Intinya adalah Perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut telah memenuhi syarat pertama pada syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu adanya kesepakatan diantara dua belah pihak untuk mengikatkan diri. Adapun para pihaknya adalah sebagai berikut ini:

a. PT Summit Oto Finanace Cabang Solo yang berkedudukan di Jalan Gajah Mada Nomor 100 selaku Kreditor yang diwakili oleh Dwi Prasetyo selaku Manager Cabang Solo

b. Ibu Tin Supartini yang bertempat tinggal di Gadungan Rt 01/Rw 03, Nambangan, Selogiri, Wonogiri yang dalam melakukan tindakan hukum ini telah mendapatkan persetujuan dari Suaminya atas nama Mat Salim yang bertempat tinggal di untuk Gadungan Rt 01/Rw 03, Nambangan, Selogiri, Wonogiri untuk selanjutnya disebut Debitor.

c. Putri Larasati yang bertempat tinggal di Gadungan Rt 01/Rw 03, Nambangan, Selogiri, Wonogiri selaku pemilik jaminan.

2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

Kecakapan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat 2 adalah kecakapan untuk perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dalam standar berikut ini (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 184) :

a. Person (pribadi) diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig)

(10)

b. Rechtspersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid)

Mengenai kecakapan untuk membuat suatu perikatan tersebut maka dapat diartikan bahwa kecakapan tersebut dicantumkan dalam syarat sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju pada perikatan yang timbul karena undang-undang. Hal tersebut selaras dengan pendapat J. Satrio yang menyatakan bahwa kecakapan tersebut merupakan kecakapan membuat perjanjian (dalam Ridwan Khairandy, 2013 : 176).

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali jika menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Hukum perikatan Indonesia sama sekali tidak menentukan tolak ukur batasan umur agar seseorang dinyatakan dewasa. Buku III KUH Perdata juga tidak menentukan tolak ukur kedewasaan tersebut. Ketentuan tentang batasan umur ditentukan dalam buku I KUH Perdata tentang orang (Ridwan Khairandy, 2013 : 176). Menurut Pasal 330 KUH Perdata orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum genap berusia 21 tahun dan tidak menikah, sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut Pasal tersebut dewasa adalah jika telah berusia 21 tahun.

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sekalipun tidak mengatur secara tegas umur dewasa namun dalam Pasal 47 jo Pasal 50 menyatakan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orangtua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada

(11)

Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

Mengenai alasan tentang pengampuan terdapat di dalam Pasal 433 KUH Perdata, yang mana seseorang yang telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian, jika yang bersangkutan diletakkan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat diletakkan di bawah pengampunan jika yang bersangkutan gila, dungu (onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akan sehatnya dan oleh karenanya dapat merugikan diri sendiri (RM. Pangabean. 2010.

“Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku” Jurnal Hukum. Vol. 17 Oktober 2010:651-667 No.4.Jakarta). Akibat hukum yang terpenting dari ditempatkannya seseorang dibawah pengampuan adalah orang yang berada di bawah pengampuan tersebut beralih ke dalam kedudukan seseorang yang belum dewasa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 452 KUH Perdata.

Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 maka ketentuan dalam Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang kewenangan seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan tanpa ijin dan bantuan suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Begitu pula dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:

a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

b. Masing-masing pihak berhak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam perbuatan hukum Sehingga ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1330 ayat 3 KUH Perdata pun menjadi tidak berlaku lagi (Qori Uci Sujanti, digilib.uns.ac.id diakses pada tanggal 15 Februari 2016 pukul 18.44 WIB).

(12)

Pada dasarnya masih terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampak mewarnai praktik lalu lintas hukum dimasyarakat. Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dilandaskan Pasal 1330 jo Pasal 330 KUH Perdata. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 47 jo 50 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 183-184).

Penjelasan di atas, pada intinya menyatakan bahwa Peraturan perundang-undangan mengatur substansi yang sama terkait dengan hukum perorangan dan keluarga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan lebih baru di banding KUH Perdata dan bersifat nasional untuk semua golongan penduduk yang berkebangsaan Indonesia. Sesuai asas lex posteriori derogate lege priori, maka undang-undang terbarulah yang harus dijadikan dasar untuk menentukan batas umur kedewasaan tersebut. Karena undang-undang ini bersifat nasional, maka tidak relevan lagi untuk mendikotomi antara kedewasaan yang tunduk pada KUH Perdata dan hukum adat. Dengan demikian batasan umur kedewasaan itu semestinya adalah 18 tahun (Ridwan Khairandy, 2013 : 178).

Penulis disini mengambil kesimpulan bahwa usia kedewasaan seseorang untuk dapat dianggap cakap melakukan perbuatan hukum dapat dilihat dari batas umur kedewasaan adalah 18 tahun. Hal tersebut didasari adanya Penetapan PN Jakarta Timur Nomor 115/Pdt.G/Pn.Jaktim tanggal 17 Maret 2009 yang mana hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mana menunjukkan parameter untuk menentukan cakap untuk berbuat hukum adalah telah berumur 18 tahun.

Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang dilakukan oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut, berdasarkan pemaparan di atas maka telah memenuhi syarat sahnya

(13)

perjanjian pada syarat 2 yaitu adanya kecakapan diantara para pihak dalam membuat perjanjian. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kedua belah pihak dapat dikatakan telah cakap secara hukum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan:

a. Pihak PT Summit Oto Finance atau disebut Kreditor merupakan sebuah badan hukum hal tersebut dapat dilihat karena perusahaan tersebut berbentuk sebuah PT (Perseroan Terbatas). Dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut PT Summit Oto Finance diwakili oleh branch manager atau manajer cabang. Dapat dibuktikan pada halaman 6 pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan Nomor Perjanjian 20- 007-14-06317 tersebut telah ditandatangani oleh pihak Kreditor yang di wakili oleh Bapak Dwi Prasetyo selaku branch manager atau manajer cabang.

Hal tersebut didasari karena selain orang ,badan hukum (seperti Perseroan Terbatas, Koperasi maupun Yayasan) juga memiliki kapasitas hukum untuk membuat perjanjian atas nama dirinya sendiri. Dengan syarat bahwa akta pendirian badan hukum tersebut telah mendapatkan pengesahan dari pejabat yang berwenang. Meskipun badan hukum itu memiliki kapasitas hukum atau cakap untuk membuat perikatan, namun perbuatannya tetap harus diwakili orang atau pengurus badan hukum yang bersangkutan (Ridwan Khairandy, 2013 : 185).

b. Ibu Tin Supartini atau disebut Debitor merupakan orang (person).

Pada dasarnya untuk dapat mengetahui seseorang cakap atau tidak melakukan perbuatan hukum memang dengan menelaahnya dari usia atau umur seseorang.

Diketahuinya seorang Debitor tersebut telah cakap hukum pada dasarnya dapat dibuktikan dengan adanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun Kartu Keluarga (KK) yang menunjukkan umur seseorang. Selain itu, berdasarkan teori yang dikemukan oleh Munir Fuady (2002: 170) menyatakan bahwa dalam setiap perjanjian pembiayaan konsumen agar dapat diberikan fasilitas pembiayaan maka harus menyerahkan dokumen

(14)

pendukung dari konsumen salah satunya yaitu adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun Kartu Keluarga (KK). Namun, dikarenakan dalam perjanjian tersebut tidak dilampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun Kartu Keluarga (KK) sehingga tidak dapat mengetahui secara pasti umur Debitor yang sesungguhnya.

Kecakapan hukum seseorang selain dilihat dari segi umur juga dapat dilihat dilihat dari status seseorang sudah menikah atau belum. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 menetapkan bahwa perempuan yang telah bersuami tetap cakap melakukan perjanjian. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan hal yang sama yang mana baik suami maupun istri berhak melakukan perbuatan hukum (Ridwan Khairandy, 2013 : 185).

Oleh karena itu, debitor dalam hal ini dapat dianggap cakap hukum. Hal tersebut didasari karena dalam perjanjian pembiayaan Konsumen dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 itu, Debitor telah mendapatkan persetujuan dari Suaminya yaitu Bapak Mat Salim yang bertempat tinggal di Gadungan Rt 02/Rw 03,Nambangan, Selogiri, Wonogiri. Meskipun tidak adanya kejelasan mengenai umur debitor tersebut lantas tidak dapat menujukkan debitor telah cakap melakukan perbuatan hukum.

3. Suatu Hal Tertentu

Adapun yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat 3 adalah suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu (certainly of terms) (Ridwan Khairandy, 2013 : 186). Objek tertentu bisa diartikan sebagai prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan-

(15)

pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak atau batal demi hukum (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 191).

Lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini J. Satrio (dalam Ridwan Khairandy, 2013 : 187) menyatakan bahwa objek perjanjian adalah isi prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332 jo Pasal 1334 KUH Perdata. Pasal 1332 KUH Perdata menegaskan bahwa “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”. Sedangkan Pasal 1334 KUH Perdata menegaskan bahwa “ barang yang baru ada waktu yang akan datang dapat menjadi pokok suatu perjanjian...”. Pada intinya sama yaitu berbicara tentang zaak yang menjadi objek perjanjian.

Sedangkan zaak yang dimaksud dalam Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata artinya adalah prestasi berupa perilaku tertentu hanya mungkin untuk perjanjian yang prestasinya adalah untuk memberikan sesuatu sehingga dapat diterapkan dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu.

Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal tersebut adalah:

a. Objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung

b. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian) (Handri Raharjo, 2009 : 56-57 )

Istilah barang yang dimaksud ini dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit tetapi juga berarti yang lebih luas lagi yakni pokok persoalan.

Oleh karena itu objek perjanjian tidak hanya berupa benda tetapi juga berupa jasa. Selain itu J. Satrio juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (RM. Pangabean. 2010. “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”

Jurnal Hukum. Vol. 17 Oktober 2010 : 651-667 No.4. Jakarta).

(16)

Intinya adalah meskipun dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu hal tertentu adalah kewajiban debitor dan kreditor.

Namun Pasal KUH Perdata lain seperti Pasal 1332, 1333 dan 1334 KUH Perdata lebih khusus menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan asalkan nantinya dapat dihitung dan ditentukan (Ridwan Khairandy, 2013 : 187).

Hal tertentu pada dasarnya menyangkut pokok perjanjian yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Namun lebih khusus lagi bahwa pokok perjanjian haruslah disebutkan dan barangnya dapat dihitung dan ditentukan. Adapun jika dilihat dari perjanjian Pembiayaan Konsumen yang dilakukan oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20- 007-14-06317 yang menjadi objek perjanjian yang dapat dihitung dan ditentukan adalah mengenai barang yang diperjanjian untuk dapat diperdagangkan yaitu sebuah kendaraan bermerek Honda Beat CW Fi MMC/Scooter dengan Tahun 2014 yang memiliki Nomor Rangka MH1JFM224EK126439 serta Nomor Mesin JFM2E2121417.

Sesuai dengan perjanjian pembiayaan tersebut, pembayarannya dilakukan secara angsuran sebagaimana ketentuan pada Pasal 13 yang terdapat pada halaman 5 tersebut juga menunjukkan hal-hal yang menjadi pokok perjanjiannya. Dapat dilihat pada Pasal 13 berisi mengenai Para Pihak dan Ketentuan Pokok Fasilitas Pembiayaan. Di dalam Pasal merupakan pokok yang diperjanjikan berisi mengenai spesifikasi barang yang diperdagangkan, harga barang, jumlah pinjaman, suku bunga, metode atau hari hitung bunga, jangka waktu, metode bayar angsuran, besaran angsuran, asuransi, biaya lain yang berkaitan dengan pembayaran di muka dan biaya lain mengenai suatu keadaan tertentu.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada syarat ketiga mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi sehingga perjanjian pembiayaan konsumen tersebut masih dapat dianggap sah dan masih berlaku mengikat bagi para pihak.

(17)

4. Suatu Sebab yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)

Pada Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1335 KUH Perdata jo Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Dari Pasal 1320 KUH Perdata dapat ditarik simpulan bahwa Pasal tersebut mensyaratkan bahwa perjanjian atau kontrak harus ada kausanya dan kausanya juga harus halal (Ridwan Khairandy, 2013 : 188).

Mengenai kausa yang halal, Domat dan Pothier (dalam Ridwan Khairandy, 2013 : 188) memandang kausa suatu perikatan pada dasarnya sebagai alasan penggerak yang menjadi dasar kesediaan debitor untuk menerima keterikatan untuk memenuhi isi (prestasi) perikatan. Jadi pengikatan dalam suatu perjanjian maka berarti menerima keterikatan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut. Dengan perkataan lain menerima keterikatan untuk memberikan prestasi perikatan. Sehingga ketika seseorang terikat untuk melaksanakan isi perjanjian maka tidak hanya didasarkan pada kata sepakat tetapi juga harus dilihat dari adanya kausa yang halal.

Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Salim H.S., 2004: 25). Namun, penentuan suatu kausa dalam perjanjian itu bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya.

Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman (RM.Pangabean. 2010. “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku” Jurnal Hukum. Vol.17 Oktober 2010: 651 -667 No.4. Jakarta).

Kausa hukum dalam perjanjian, pada dasarnya dilarang apabila bertentangan pula dengan ketertiban umum. Menurut J. Satrio (dalam Ridwan Khairandy, 2013 : 191) memaknai ketertiban umum sebagai hal

(18)

yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan juga keresahan dalam masalah ketatanegaraan.

Kausa yang halal juga tidak boleh bertentangan dengan undang- undang. Maksudnya kausa dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Mengenai suatu perjanjian yang melanggar undang-undang khususnya pada perjanjian baku memang dalam KUH Perdata belum mengantisipasinya. Tapi di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan pengaturan bahwa dalam Pasal 18 ayat 2 bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti. Selanjutnya ayat 3 menyatakan bahwa klasul yang dilarang tersebut maka konsekuensinya kontrak yang bersangkutan batal demi hukum (RM. Pangabean. 2010. “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku” Jurnal Hukum. Vol. 17 Oktober 2010 : 651 - 667 No.4. Jakarta)

Masalah klasul baku atau standar mulai mendapat pengaturan khusus dengan titel algemene voorwarden. Menurut Pasal 6.232 NBW menyatakan “bahwa suatu klausul menjadi terlarang jika pihak lain yang terikat kepada klausul itu mengerti atau seharusnya mengetahui bahwa pihak lainnya tidak mengetahui isi persyaratan baku tersebut”. Pasal 6.233 NBW menyatakan suatu perjanjian dengan klausul baku dapat dibatalkan, apabila (RM. Pangabean. 2010. “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku” Jurnal Hukum. Vol. 17 Oktober 2010:651-667 No.4 .Jakarta):

a. Jika dengan memperhatikan berbagai keadaan meliputi kontrak tersebut bersifat sangat bertentangan dengan akal sehat

b. Jika pihak yang menuntut dicantumkannya klausula baku tidak memberikan kesempatan kepada pihak lawannya untuk memperoleh peenjelasan tentang klausul-klausul itu.

Berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen yang dibuat antara PT Summit Oto Finance dengan Debitor dengan Nomor Perjanjian 20-007- 14-06317 tersebut dapat diketahui bahwa ternyata terdapat beberapa Pasal

(19)

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Adapun Pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan adalah pada Pasal 11 tentang Berakhirnya Perjanjian ayat 5 yang menyatakan bahwa:

“apabila debitor atau pemilik jaminan atau pemilik jaminan tidak menyerahkan kendaraan maka kreditor berhak mengambil kendaraan dari debitor atau pemilik jaminan atau pihak lain dari tempat dimana kendaraan berada tanpa melalui suatu putusan atau penetapan pengadilan dan juga tanpa melalui juru sita pengadilan atau peringatan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan jaminan fidusia”.

Perjanjian tersebut terdapat klausul yang memuat kata “kreditor berhak mengambil”. Menurut Penulis dengan adanya klausula tersebut maka dapat memicu terjadinya penarikan paksa oleh pihak kreditor melalui jasa debt collector apabila terjadi wanprestasi. Seperti halnya yang telah diuraikan sebelumnya mengenai berbagai masalah yang sering di hadapi dalam lembaga pembiayaan. Sebenarnya peran debt collector yang melakukan penarikan paksa jaminan fidusia itu masih menjadi prokontra pemberlakuannya di Indonesia.

Pendapat penulis tersebut didasari karena dalam prespektif sinkronisasi hukum di Indonesia, kedudukan debt collector masih belum tepat dilakukan dalam penangan kredit macet sehingga masih perlu dilakukan penelaah lebih lanjut agar tidak terjadi kesalahan selanjutnya (Diah Ayu Hardiyani.2014.“Telaah Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt Collector dalam Prespektif Sinkronisasi Hukum di Indonesia (Kajian Pengaturan Prinsip Perbankan, Perlindungan Konsumen dan Aspek Perikatan Perdata)” Jurnal Privat Law UNS. Vol.2. Nomor 4. Surakarta.

Jatu Esthi P.).

Sering terjadinya penarikan secara paksa di jalan raya sekarang ini peran pemerintah telah ikut turut andil dalam menangani masalah tersebut dengan dikeluarkannya peraturan baru tentang larangan perusahaan pembiayaan konsumen yang melakukan penarikan paksa kendaraan bermotor secara paksa yaitu dengan perturan sebagai berikut ini:

(20)

a. Klausul dalam perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut pada Pasal 11 ayat 5 yang telah disebutkan di atas, menurut penulis bertentangan dengan Pasal 3 PMK Nomor 13/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor yang mana berbunyi:

“Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikkan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan”.

Perjanjian Pembiayaan Konsumen oleh PT Summit Oto Finance ini tidak dapat diketahui bahwa telah melakukan pendaftaran jaminan fidusia atau tidak. Hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 2 ayat 1 huruf (a) pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut hanya menyebutkan bahwa Debitor dan/atau Pemilik Jaminan telah menandatangani Keseluruhan Perjanjian Pembiayaan Konsumen kecuali untuk akta pemberian jaminan secara fidusia dan telah memenuhi kewajibannya berdasarkan dokumen- dokumen tersebut dengan baik dan sempurna.

Keseluruhan Perjanjian yang dimaksud pada pasal di atas, salah satunya yaitu juga termasuk dengan surat kuasa membebankan jaminan secara fidusia sebagai mana tercantum dalam Pasal 1 huruf (f). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa surat kuasa tersebut, nantinya digunakan untuk membuat akta notaris untuk pembuatan jaminan fidusia secara sepihak oleh Kreditur.

Ketentuan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 18 angka 4 menyebutkan bahwa klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha apabila:

“menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran”.

Adanya klausula dalam perjanjian Pembiayaan Konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut

(21)

pada Pasal 2 angka 1 huruf (a) tersebut, maka Penulis beranggapan bahwa meskipun sudah ada tandatangan membebankan jaminan fidusia, maka kekuatan pembuktian mengenai surat kuasa pembebanan jaminan fidusia tersebut hanya bersifat dibawahtangan. Padahal seharusnya akta pembebana jaminan fidusia harus dilakukan secara notariil yang dibuat dihadaan notaris.

Oleh karena itu, dikarenakan dalam proses pembebanan jaminan fidusia telah melanggar ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ayat 4, maka akta pembebanan jaminan fidusia dianggap tidak sah dan mengakibatkan pendaftaran jaminan fidusia, meskipun sudah didaftarkan atau tidak maka berlaku tidak sah. Maka dianggap tidak adanya pendaftaran jaminan fidusia dikarenakan tidak sah dalam pembuatannya, selain itu disini juga tidak adanya tranparansi mengenai adanya akta jaminan fidusia dikarenakan Debitor tidak diberitahu mengenai salinan Akta Jaminan Fidusia.

Hal tersebut membawa dampak bahwa dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia, maka tidak dapat dilakukan penarikkan jaminan fidusia.

Dikarenakan kebanyakan lembaga pembiayaan seringkali tidak mendaftarkan jaminan fidusianya ke Kantor Kementerian Hukum dan HAM dan ketika didaftarkanpun surat kuasa untuk membebankan jaminan fidusia yang dibuat secara sepihak oleh Kreditor tersebut tidak sah.

b. Klausul dalam perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut pada Pasal 11 ayat 5 yang telah disebutkan di atas, menurut penulis juga bertentangan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut Peraturan Kapolri) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Pada dasarnya Pasal 2 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tersebut bertujuan untuk terselenggaranya pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia secara aman, tertib, lancar dan dapat dipertanggungjawabkan serta terlindunginya keselamatan dan keamanan Penerima Jaminan

(22)

Fidusia, Pemberi Jaminan Fidusia, dan/atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/atau keselamatan jiwa. Sehingga ketika terjadi sebuah aksi pengeksekusian jaminan fidusia maka haruslah melibatkan POLRI agar terhindar dari permasalahan terjadinya pengeksekusian di jalan raya yang tidak melalui prosedur yang telah di atur dalam Peraturan perundang-undangan.

Penulis simpulkan secara keseluruhan, bahwa dikarenakan adanya tuntutan bahwa sebuah perjanjian yang dilakukan antara para pihak harus dibuat secara sah. Dikarenakan perjanjian selaku penentu proses hukum setelah terjadinya kesepakatan tersebut, maka selanjutnya dibuatlah sebuah aturan sebagai tolak ukur bagi para pihak untuk menguji keabsahan kontrak yang disepakati. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi muncul Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian.

Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat para pihak, pada dasarnya memuat empat syarat yang harus dipenuhi untuk syarat sahnya perjanjian yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Syarat pertama (mengenai kesepakatan) dan syarat kedua (mengenai kecakapan) dapat digolongkan pada syarat subjektif. Apabila terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat tersebut maka perjanjian tersebut tidak berakibat batalnya perjanjian itu sepanjang tidak ada pembatalan perjanjian maka perjanjian tersbut masih tetap dianggap sah.

Jika terjadi permohonan untuk membatalkannnya harus ada inisiatif minimal satu dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya. Batas waktu untuk membatalkannya 5 tahun sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1454 KUH Perdata.

Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang dibuat oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut tidak

(23)

melanggar syarat sah perjanjian nomor 1 dan 2 yang biasa disebut syarat subyektif (mengenai kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan perikatan). Perjanjian tersebut berlaku sah dan tidak dapat dimintakan pembatalan perjanjian oleh pihak mana pun karena telah terbukti memenuhi syarat sahnya perjanjian yang bersifat subyektif sebagaimana alasannya telah diuraikan di atas.

Bentuk kesepakatan antara para pihak tersebut dapat dibuktikan dengan adanya itikad baik para pihak yang telah melengkapi syarat subyektif seperti yang telah di jelaskan di atas. Tidak adanya kesepakatan atau kata sepakat yang tidak betul-betul bulat tidak mengakibatkan batalnya kontrak. Jika kekurangan yang berkaitan dengan perjanjian yakni kata sepakat dan kedewasaan hanya mengakibatkan kontrak dapat dibatalkan.

Artinya sepanjang kontrak tersebut telah dilaksanakan dan tidak ada pihak keberatan dan tidak ada permintaan pembatalan kontrak ke Pengadilan maka perjanjian tersebut tetap dianggap sah dan berlaku mengikat kedua belah pihak (Ridwan Khairandy, 2013 : 192).

Syarat lain dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah syarat objektif.

Syarat tersebut terdapat pada syarat ketiga mengenai suatu hal tertentu dan syarat keempat mengenai suatu hal yang halal. Disebut persyaratan objektif dikarenakan berkaitan dengan objek yang diperjanjikan. Ketidaklengkapan suatu syarat perjanjian maka memiliki konsekuensi yang berbeda. Apabila ketidaklengkapannya mengenai syarat objektif, maka mengakibatkan kontrak atau perjanjian tersebut batal demi hukum (Ridwan Khairandy, 2013 : 192). Berarti bahwa perjanjian tersebut pertama kali dibuat telah tidak sah sehingga hukum dapat menganggapnya bahwa perjanjian tidak pernah ada sebelumnya.

Begitupula dengan Perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut pada syarat objektif pada syarat yang ketiga yaitu mengenai syarat suatu hal tertentu sudah terpenuhi. Namun yang menjadi permasalahan adalah pada

(24)

syarat yang ke empat yaitu mengenai kausa yang halal belumlah dipenuhi oleh pihak Kreditor.

Hal tersebut dikarenakan dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelanggaran syarat objektif tersebut maka mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perjanjian ini sejak awal sudah tidak dan dianggap tidak pernah ada karena telah melanggar syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat objektif.

Pendapat tersebut didasari karena di dalam Pasal 1320 KUH Perdata pada dasarnya tidak hanya menyangkut adanya kausa, akan tetapi kausanya pun juga harus halal. Ketika terjadi suatu kasus bahwa adanya isi perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka tanpa dimintakan permohonan pembatalan oleh para pihak ke pengadilan, perjanjian tersebut sudah dapat dianggap batal demi hukum. Berdasarkan teori diatas, maka perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 tersebut telah terbukti melanggar salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan perjanjian tersebut dapat dianggap batal.

Mengenai pembatalannya ternyata tidak dapat melewati jalur pengadilan dikarenakan adanya klausula pada Pasal 11 pada bagian akhir yang mengatakan bahwa “Para pihak sepakat untuk tidak memberlakukan Pasal 1266 KUH Perdata mengenai perlunya penetapan pengadilan untuk mengakhiri Perjanjian secara sepihak”. Adanya klausula tersebut mengakibatkan kontrak tidak begitu saja batal demi hukum. Ketika terjadi pembatalan perjanjian maka tetap harus atas kesepakatan kedua belah pihak.

Penulis berpendapat bahwa dengan mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata maka sebenarnya perjanjian tersebut telah mengesampingkan pendapat dari hakim dalam Pengadilan.

(25)

Pendapat dari teori tersebut menjadi tidak berlaku lagi, dikarenakan adanya klausula pada Pasal 12 tentang Ketentuan tambahan pada ayat 3 menyatakan bahwa :

“apabila suatu atau hal lebih ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku atau tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan yang berwenang atau dianggap bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka ketentuan-ketenntuan lainnya yang terdapat dalam perjanjian akan tetap berlaku dan mengikat Para Pihak”.

Adanya klausula diatas, maka mau tidak mau perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14-06317 masih tetap berlaku meskipun telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekalipun.

Oleh karena itu penulis di sini memberikan rekomendasi bagi kedua belah pihak hendaknya dapat melakukan negosiasi lagi mengenai perjanjian tersebut. Meskipun perjanjian tersebut sudah dianggap batal dikarenakan pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen oleh PT Summit Oto Finance tersebut Pasal 11 tentang berakhirnya Perjanjian ayat 5 telah melanggar Pasal 3 PMK Nomor 13/PMK.010/2012 serta melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Akan tetapi, perjanjian masih dianggap sah karena terdapat klausula yang pada Pasal 12 ayat 3 tersebut, sehingga kontrak tidak dapat dibatalkan. Maka, demi kedudukan yang seimbang bagi para pihak, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah kedua belah pihak hendaknya duduk bersama lagi untuk bernegosiasi untuk merubah substansi perjanjian yang klausulanya telah melanggar peraturan perundang-undangan seperti yang telah di jelaskan sebelumnya dan merubah klausula yang memberatkan salah satu pihak. Hal tersebut dilakukan agar perjanjian tersebut tidak dianggap bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian.

Ketika dengan negosiasi tidak mencapai kata sepakat maka ke dua belah pihak dapat membatalkan perjanjian tersebut sehingga mengembalikan ke

(26)

keadaan semula sebelum adanya perjanjian tersebut atas kesepakatan kedua belah pihak.

B. Bentuk Perlindungan Hukum yang Diberikan PT Summit Oto Finance Kepada Debitor dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen

Pada dasarnya, teori perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Rouscou Pound (dalam Salim H.S dan Erlies S.N., 2014 : 266) mengemukakan bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial (law as a tool of social engginering).

Kepentingan manusia adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum.

Perlindungan hukum dapat dimaknai sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum, manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.

Pada dasarnya perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum yang diberikan kepada debitor, pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Perlindungan hukum Preventif

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini biasanya terletak dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal perlindungan preventif ini terletak di dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya mengatur tentang pelaksanaan pembiayaan konsumen di Indonesia.

(27)

KUH Perdata telah memberikan perlindungan hukum yang mana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pada Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa “segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.

Pengertian di atas, menunjukkan seseorang mengikatkan diri pada suatu perjanjian maka sejak itu pula harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun yang akan ada secara otomatis manjadi tanggungan untuk segala perikatan meskipun kekayaan tersebut tidak diserahkan atau dinyatakan dengan tegas sebagai jaminan.

Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi- bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing- masing, kecuali apabila diantra bepiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Peraturan perundang-undangan menurut teori perlindungan hukum preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam hal pelaksanaan pembiayaan konsumen pada dasarnya pemerintah telah membentuk peraturan perundang-undangan secara khusus untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pembiayaan konsumen, adapun beberapa perundang-undangan tersebut adalah :

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor.

(28)

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi, denda, penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Dalam perjanjian pembiayaan justru objek perjanjian itu sendiri yang menjadi jaminan hutang yang paling efektif, dikarenakan menggunakan jaminan fidusia. Dari peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pembiayaan konsumen tersebut juga memuat sanksi sebagai bentuk perlindungan hukum represif adapun sanksi tersebut antara lain:

1) Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar adanya penggunaan klausula baku sebagaimana termuat dalam Pasal 18 yaitu dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2) Pasal 5 PMK Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia yang memberikan sanksi administratif bagi perusahaan pembiayaan yang melanggar ketentuan penarikan jaminan fidusia yang belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia yang telah memenuhi persyaratan dan kesepakatan para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen yaitu dengan cara:

a) Peringatan

b) Pembekuan kegiatan usaha c) Pencabutan izin usaha

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa negara melalui pemerintah telah memberikan perlindungan hukum bagi debitor dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan adanya perlindungan hukum secara represif maupun preventif.

Selanjutnya berikut ini akan dijelaskan mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pihak kreditor atau lembaga pembiayaan konsumen

(29)

telah memberikan perlindungan hukum atau tidak kepada debitor. Dikarenakan dalam prakteknya sering kali di jumpai bahwa hak dan kewajiban para pihak selalu berada di posisi yang tidak seimbang. Oleh karenanya untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban tersebut maka diperlukannya suatu hukum yang dapat mengatur dan melindungi setiap kepentingan para pihak tersebut. Setiap produk hukum diharapkan selalu memberikan perlindungan hukum bagi para pihak agar terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban.

Setiap produk hukum wajib memberikan perlindungan hukum, maka dalam perjanjian pembiayaan konsumen tidak terkecuali pula untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. Namun, seperti yang kita ketahui bahwa bentuk perjanjian pembiayaan konsumen kebanyakan sudah berbentuk kontrak baku. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam perjanjian ini menempatkan salah satu pihak khususnya pihak debitor dalam posisi yang lemah yang nantinya pasti dihadapkan pada situasi take it or leave it.

Penggunaan klausul baku ini dalam perjanjian pembiayaan konsumen memang secara Hukum Perdata diakui sah karena tidak adanya unsur pemaksaan kehendak di dalamnya yakni jika konsumen menyetujui perjanjian maka ia sudah tahu mengenai segala sesuatu risiko yang ditanggungnya, namun jika debitor menolak klausul baku maka para pengusaha tidak akan memaksanya. Dalam prakteknya seorang debitor demi memenuhi kebutuhan hidupnya tidak jarang juga menyetujui klausul baku yang telah ditetapkan oleh pengusaha. Melihat kondisi demikian, acap kali pengusaha membuat isi klausula baku itu cenderung lebih menguntungkan dirinya sendiri sehingga timbullah ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara debitor dan kreditor (Ice Trisnawati, www.repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 1 Februari 2016 pukul 09.07 WIB).

Pada dasarnya memang hukum secara formal di Indonesia belumlah mengatur secara pasti mengenai perjanjian baku. Sering kali terjadi perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya pengikatan para pihak dalam kontrak baku.

Mengenai adanya ketidakseimbangan posisi antara para pihak dalam perjanjian baku. Mariam Badrulzaman memberikan pendapat bahwa perbedaan posisi

(30)

para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitor mengadakan tawar menawar (real barganing) dengan pengusaha (kreditor). Debitor tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Oleh karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH Perdata jo Pasal 1338 KUH Perdata (Salim H.S., 2005 : 121).

Tidak memenuhinya hal dihendaki dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun terdapat pendapat yang masih memperbolehkan menggunakan kontrak standar dengan alasan sebagai bukti ketika terjadi suatu tuntutan dalam persidangaan. Hal tersebut di lansir dalam jurnal yang berbunyi sebagai berikut

“At least with consumer contract s, many terms ar simultaneously unlikely to be read , are not brought to the attention of the parties and the substantively one sided may justify government imposed terms (or at least default terms that can only be overcome with clear evidence of knowing waiver) (Brian H. Bix, 2008. Contract Law Theory, Legal studies Research Paper Series Ressearch paper No.06-12: University of Minnesota Law School)

Maksudnya paling tidak dengan kontrak pada konsumen, banyak syarat sekaligus yang tidak mungkin di baca, tidak dipahami bagian-bagian dan substansinya, di satu sisi pemerintah telah memaksakan syarat (paling tidak syarat yang tidak sanggup diatasi dengan bukti yang jelas untuk surat pembebasan tuntutan).

Banyaknya pro kontra tersebut, selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman memberikan pandangannya yang juga mengkaji dari aspek kebebasan para pihak. Di sini pihak debitor tidak mempunyai kekuatan tawar menawar dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditor. Pihak Kreditor tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut kepada debitor dan debitor tinggal menyetujui “ya” atau “tidak”. Apabila debitor menyetujui subtansinya maka ia menandatangani kontrak tersebut, tetapi apabila subtansi itu tidak disetujui, maka ia tidak menandatangai kontrak tersebut. Dengan demikian kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak mempunyai arti bagi debitor, karena hak-hak debitor dibatasi oleh kreditor (Salim H.S., 2005 : 122).

(31)

Dari pendapat tersebut, penulis sepakat dengan pendapat Salim yang memberikan titik tengah terhadap hal tersebut. Pendapat Salim pada dasarnya juga menyetujui pandangan yang dikemukakan oleh Stein dan Hondius yang menitikberatkan kekuatan mengikat perjanjian baku karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada dasarnya masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangai formulir ia akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya tanpa memerlukan waktu dan pikiran yang lama. Dengan telah ditandatanganinya standar kontrak tersebut timbulah hak dan kewajiban para pihak (Salim H.S., 2005 : 122).

Mengenai sah tidaknya tandatangan dalam kontrak baku maka Asser rutten (dalam Salim H.S. 2005 : 120) memberikan pendapatnya bahwa setiap orang menandatangani perjanjian bertanggung jawab atas isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, maka tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa orang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani (Salim H.S. 2005 : 120)

Adanya pendapat yang menyatakan bahwa kontrak baku dianggap sah ketika para pihak telah menandatangani perjanjian tersebut karena adanya tandatangan berarti para pihak dianggap bahwa mengetahui dan memahami isi perjanjian. Namun sekarang yang menjadi permasalahan adalah mengenai bentuk perlindungan hukum kepada debitor dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang dianggap masih minim. Hal tersebut dapat di lihat dari banyaknya permasalahan yang sering dihadapi oleh lembaga pembiayaan konsumen yang telah di uraikan sebelumnya.

Dari aspek hukum, berdasarkan asas-asas hukum kebebasan berkontrak dan asas keadilan pada dasarnya setiap kontrak yang bersifat baku tersebut telah melanggar asas tersebut. Dikarenakan pelaku usaha yang telah membuat perjanjian tersebut tidak memberikan kesempatan kepada Debitor untuk dapat ikut menentukan isi dari perjanjian. Oleh karena itu, mengakibatkan hampir semua perjanjian pembiayaan konsumen ini berbentuk perjanjian yang sudah dibakukan. Sehingga pihak debitor disini berada di

(32)

posisi yang tidak lagi sederajat dengan kreditor, disebabkan pihak debitor tinggal menyetujui atau tidak perjanjian tersebut sesuai kebutuhan mereka.

Penggunaan klausul baku ini dalam perjanjian pembiayaan konsumen memang secara Hukum Perdata diakui sah karena tidak adanya unsur pemaksaan kehendak di dalamnya yakni jika konsumen menyetujui perjanjian maka ia sudah tahu mengenai segala sesuatu risiko yang ditanggungnya, namun jika debitor menolak klausul baku maka para pengusaha tidak akan memaksanya. Dalam prakteknya seorang debitor demi memenuhi kebutuhan hidupnya tidak jarang juga menyetujui klausul baku yang telah ditetapkan oleh pengusaha. Melihat kondisi demikian acap kali pengusaha membuat isi klausula baku itu cenderung lebih menguntungkan dirinya sendiri sehingga timbullah ketidak seimbangan hak dan kewajiban antara debitor dan kreditor (Ice Trisnawati, www.repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 1 Februari 2016 pukul 09.07 WIB).

Pembatasan asas kebebasan berkontrak lebih dikarenakan karena sering terjadinya ketidakseimbangan atau ketidak sederajatan kekuatan tawar menawar yang dimiliki salah satu pihak. Sehingga seharusnya perlu adanya perlindungan bagi para pihak yang sama dikarenakan semua pihak dimata hukum memiliki posisi yang sama. Pada dasarnya perlindungan hukum dapat diberikan dengan sifat preventif maupun yang bersifat represif baik yang berwujud tertulis maupun tidak tertulis.

Dari berbagai masalah dan pelanggaran yang telah disebutkan di latarbelakang maka dapat berdampak pada perlindungan hukum dan kekuatan mengikat perjanjian pembiayaaan konsumen perlu di kaji ulang. Dalam hal ini, Penulis berasumsi bahwa masih lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah akan pelaksanaan mengenai perlindungan terhadap debitor dalam perjanjian pembiayaan konsumen khususnya pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Penulisan hukum (skripsi) ini, penulis akan mengkaji lebih mendalam pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang melakukan pembiayaan pada barang konsumsi kebutuhan sehari-hari khususnya kendaraan bermotor. Dalam hal ini, bentuk perjanjian pembiayaan konsumen yang

(33)

dilakukan oleh PT Summit Oto Finance dengan Nomor Perjanjian 20-007-14- 06317 pada tanggal 19 Desember 2014 merupakan perjanjian tertulis yang dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan yang menggunakan bentuk perjanjian baku atau biasa disebut dengan standard contract.

Berikut ini akan dijelaskan adanya bentuk perlindungan hukum atau tidak yang diberikan kepada debitor dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen oleh PT Summit Oto Finance. Hal tersebut dapat dikaji dengan asas kebebasan berkontrak dan asas keadilan adalah sebagai berikut ini:

1. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

Model perjanjian baku seperti halnya dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT Summit Oto Finance ini sebenarnya masih menjadi perdebatan. Disalah satu sisi dengan dalih asas kebebasan untuk membuat perjanjian sehingga diperbolehkan membuat perjanjian di sisi lainnya bahwa adanya pelanggaran hak yang mana posisinya kebanyakan adanya perjanjian baku selalu dihadapkan pada posisi yang tidak seimbang antara pihak yang membuat perjanjian dikarenakan tidak adanya konsep yang tidak dapat ditawar.

Asas kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Yang mana setiap individu bebas memperoleh apa yang dihendaki sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak (Agus Yudha Hernoko, 2013 :108-109).

Asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Menurut Subekti (dalam Salim H.S., 2004 : 9), cara menyimpulkan asas

Referensi

Dokumen terkait

yang menurun setelah 24 jam, pada hari kedua ekstrak air rimpang lengkuas dengan konsentrasi 100% masih berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan tetap lebih efektif

Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syari’ah

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

aastate lõpul jutustatud elulood eri- nevad selle poolest, kuidas jutustajad suhestavad end päevapoliitikaga: nõukogude aja lõpul jutustatud lugudes sõnastatakse nii mure

dengan mengakuisisi pengetahuan dari dokter ahli anak kemudian membangun basis pengetahuan dan memberikan nilai CF pada setiap gejala yang terkait dengan suatu penyakit anak

Bonggol atau batang pisang merupkan bahan organik yang memiliki beberapa kandungan unsur hara baik makro maupun mikro, beberapa diantaranya adalah unsur hara makro

Dengan rnengernbalikan fungsi hutan pantai di bentuk lahan wilayah pesisir Kota Padang maka optirnalisasi bentuk lahan sebagai peredam tsunami dapat berfungsi

Pada lokasi penelitian terdapat hubungan antara dukungan orang tua dengan perilaku merokok terlihat dari hasil uji chi square di dapat nilai P Value = 0,025 dan ini lebih