• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN MENGENAI HAK ASASI MANUSIA DAN

D. Asas Legalitas

Asas hukum merupakan landasan yang paling kuat bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum maka suatu peraturan bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan semata akan tetapi mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Oleh karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan

jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan hidup masyarakat.18

Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkanya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.

Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’.Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah criminia stellionatus (perbuatan durjana/jahat)

19

Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekedar kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya,berlakunya hukum pidana menurut waktu kejadian (tempus delicty) disamping

18

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 45

19

menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk mentapkan tanggung jawab pidana.20

Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteit beginsel atau Principle of Legality. Ajaran asas legalitas ini disebut juga sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal ungkapan di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh ahli hukum dari Jerman yang bernama Von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.21

Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts

(1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya

20

Ibid.

21

untuk melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.22

a. Lex Scripta

Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan sebuah ungkapan yakni ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya : undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu. Menurut Francis Bacon ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat diberlakukan dalam menjatuhkan sanksi pidana, yaitu: lex scripta, lex certa, retroaktivitas (retroactivity) dan analogi. Mengenai keempat aspek ini akan dijelaskan sebagai berikut :

Lex scripta adalah suatu penghukuman yang harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang. 23

22

Ibid.

23

b. Lex Certa

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislative) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai.perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.24

c. Non-retroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sejalan dengan itu, menurut Romli Atmasasmita “Prinsip hukum non-retroaktif tersebut

24

berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenanya prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan”.25

Seperti disebutkan diatas, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu : penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran histories, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi.

d. Analogi

26

Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum yang terbagi ke dalam dua pendapat, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya. Menurut Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu : gesetz

25

Ibid., hal. 5

26

analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, diantaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara. 27

Dokumen terkait