• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PENGADILAN HAM

AD HOC TERHADAP PRINSIP ASAS LEGALITAS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas danMemenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh

ESTER NATALIA PERANGIN-ANGIN 060200330

Hukum Pidana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan judul ini didasari atas ketertarikan terhadap permasalahan HAM yang tidak sesuai dengan prinsip asas legalitas yang banyak terjadi ditengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan dampak yang buruk. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca, walaupun disadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan serta masukan dari berbagai pihak, sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(3)

4. Bapak Muhammad Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Kedua orang tua tercinta Bangun Perangin-Angin dan Rosmita Tarigan yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian dan membimbing penulis serta menyediakan segala kebutuhan penulis, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk semuanya. 6. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Abul Khair, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis. 8. Bapak Alwan, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis. 9. Bapak L.H.Nainggolan, SH. M. Hum selaku Dosen Wali penulis.

10. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing penulis dalam masa perkuliahan.

11. Buat abang-abangku Rudianta Angin dan Gianta Perangin-Angin yang telah membantu dan memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih ya. 12. Buat Junedi Sihaloho yang telah memberikan dukungan, semangat,

perhatian, waktu, rasa sayang dan kesabarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih ya buat semuanya. You’re the last in my heart. Moga tetap akuran ya…

(4)

Ferdy,Hanna, Jessika, Sere dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin penulis tulis satu persatu serta adik-adik stambuk 2007, dan 2008, terima kasih penulis ucapkan atas semangat yang kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

14. Buat sahabat–sahabat ku Sary Handayani, Icha Prayana Natalita,Eka Lestari,Riselly Julia,dan teman–teman SMA ku Elwina, Renatha, Novera,Verha, teman-teman se kos ku Desy, Nelly “ketua”, Fintha, Ganda, Wintha, Nana dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis tulis satu persatu. Terimakasih penulis ucapkan atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Medan, Januari 2010 Hormat saya,

Penulis

(5)

ABSTRAK

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dua diantaranya yakni kasus Tanjung Priok dan kasus pasca jajak pendapat Timor-timur, dijerat dengan menggunakan acuan undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat 1 yang seharusnya bukan menjadi kewenangan undang-undang tersebut karena kasus pelanggaran HAM berat tersebut terjadi dibawah tahun 2000. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat tema penulisan skripsi tentang Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif.

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstrak... iv

Daftar Isi... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN MENGENAI HAK ASASI MANUSIA DAN ASAS LEGALITAS ... 13

A. Pengertian Hak Asasi Manusia... 13

B. Pengadilan Hak Asasi Manusia ... 20

C. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc ... 25

D. Asas Legalitas ... 27

E. Perkembangan Asas Legalitas di Indonesia ... 33

BAB III KEDUDUKAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA AD HOC TERHADAP PRINSIP ASAS LEGALITAS ... 38

1. Konvensi PBB Tentang Pengadilan HAM Ad Hoc ... 38

(7)

B. Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Melanggar

Prinsip Asas Legalitas ... 51

2. Bagaimanakah Realita Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia ... 61

BAB IV DASAR HUKUM DAN ALASAN PENGGUNAAN ASAS LEGALITAS DALAM PELANGGARAN HAM DI INDONESIA ... 68

A. Dasar Hukum Penggunaan Asas Legalitas Dalam Pelanggaran HAM ... 68

B. Alasan Penggunaan Asas Legalitas Dalam Pelanggaran HAM ... 71

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 79

(8)

ABSTRAK

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dua diantaranya yakni kasus Tanjung Priok dan kasus pasca jajak pendapat Timor-timur, dijerat dengan menggunakan acuan undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat 1 yang seharusnya bukan menjadi kewenangan undang-undang tersebut karena kasus pelanggaran HAM berat tersebut terjadi dibawah tahun 2000. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat tema penulisan skripsi tentang Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif.

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui pengadilan bersih dan bebas dari intervensi.

The man behind the gun, adalah sebuah ungkapan yang

mensimboliskan mengenai militer. Dengan senjata yang selalu ditangan dan ditambah dengan strata kepangkatan yang menunjukkan karir dan kekuasaan, semakin membuat gentar orang yang mendengar nama militer. Kaisar Nero dari Romawi kuno pernah mengatakan : “Biarlah rakyat cinta atau tidak padaku, asal mereka takut saja padaku”.

Abshreckungsmethode (metode menakut-nakuti) ini diterapkan oleh fascist Jerman dan Jepang sebagai langkah efektif untuk menundukkan musuh-musuh mereka.1

1

Dinas Sejarah Kodam VIII Brawijawa, Sam Karya Bhirawa Anoraga, PT. Panca Puji Bangun, Malang, 1974, hal. 322.

(10)

Militer yang dalam hal ini TNI merupakan suatu instrument kekuatan nasional yang diberi hak dan monopoli untuk menggunakan senjata dan kekerasan guna menyelenggarakan fungsi pertahanan dan kedaulatan negara.2

Akan tetapi apabila kekuasaan militer disalahgunakan untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang maka akibatnya akan sangat fatal. Seperti halnya sebuah peristiwa yang terjadi sejak tahun 1989-1998 pemerintah Indonesia menjadikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi "Operasi Jaring Merah", khususnya pada empat Kabupaten, yakni Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah dan Kabupaten Pidie. Alasan yang digunakan adalah membasmi gerakan separatis Aceh Sumatera Liberation Front (ASNLF) atau Gerakan Aceh Merdeka. Selama sepuluh tahun operasi itu dilakukan, ternyata terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak diketahui dunia luar, karena proteksi yang sangat kuat dari pemerintah. Berdasarkan hasil investigasi terdapat setidaknya 7.727 kasus pelanggaran HAM pada kurun waktu tersebut. Pada 7 Agustus 1998 Presiden BJ. Habibie memerintahkan pencabutan status Daerah Operasi Militer di Aceh, tetapi dalam kenyataannya pelanggaran HAM lebih berat justru terus berlangsung, bahkan sampai saat ini. Selain itu terhitung mulai Januari 1999 hingga Pebruari 2000, setidaknya ada sembilan kasus pembunuhan besar-besaran yang menewaskan 132 sipil dan 472 luka-luka, 142 kasus penyiksaan, 304 penahanan yang sewenang-wenang,

2

(11)

dan 138 kasus orang hilang. Kejahatan terhadap jiwa ini masih diikuti dengan 1.031 bangunan dibakar ditambah berbagai kasus perusakan serta penjarahan terhadap harta benda masyarakat sipil. Akibat dari aksi kekerasan, teror dan intimidasi ini, setidaknya 350.000 jiwa warga sipil menjadi kehilangan tempat tinggal yang puncaknya terjadi antara Juni dan Agustus 1999. 3

Peristiwa pelanggaran HAM berat yang juga cukup mendapat sorotan dunia adalah peristiwa pasca jajak pendapat di Timtim berupa pembumi hangusan Timtim yang diduga kuat dilakukan oleh TNI dengan para milisi pro kemerdekaan. Kerusuhan dan pembakaran di Timtim pascajajak pendapat, merupakan kekecewaan dari masyarakat terhadap kecurangan UNAMET pada saat jajak pendapat Timtim mengenai persetujuan rakyat Timtim untuk tetap berada di wilayah kesatuan Republik Indonesia atau malah mendirikan negara baru. Selain peristiwa pembumi hangusan juga terjadi peristiwa pengusiran besar-besaran secara paksa ratusan ribu masyarakat di seluruh Timtim. Selain itu banyak sekali kasus pembunuhan massal yang terjadi pasca jajak pendapat seperti pembantaian lebih dari 80 orang di Passabe, Oekussi, di Pos Polisi Maliana, pembunuhan pastor dan staf gereja Los Palos. Total rakyat yang tewas diperkirakan lebih dari 1.500 warga Timtim.

Tempo, Sekjen PBB Tunjuk 3 Anggota Komisi Ahli untuk Timtim, Sabtu, 19 Pebruari 2005.

(12)

Pada hari Jumat tanggal 7 September 1984 seorang anggota ABRI bernama Hermanu yang berpangkat Sersan Satu mendapat informasi dari Pembantu Intel bahwa mushola As-Saadah terpasang pamflet yang dianggap mengandung tulisan yang berbau SARA. Kemudian Hermanu mengajak Sukram (anggota Koramil 01 Kota Jakarta) untuk mendatangi mushola tersebut. Di Mushola tersebut mereka bertemu dengan delapan orang pemuda. Setelah kedelapan pemuda tersebut diberi nasihat oleh Hermanu dan kemudian mereka secara sukarela untuk melepas pamflet yang terpasang di tembok.5

Keesokan harinya Hermanu kembali mendapat laporan bahwa di mushola tersebut terpasang pamflet yang lebih banyak lagi. Lalu setelah Hermanu mendatangi mushola tersebut bersama Samin kemudian pamflet yang ada di tembok mushola tersebut disiram oleh Hermanu dengan air got, sedang yang di papan bor di lepas dengan tangan. Pada hari Senin tanggal 10 September 1984 dua orang pengurus masjid yang bernama Syafwan mendatangi Syarifudin rambe yang sedang bekerja di Jalan Raya Pelabuhan, sebab ada beberapa pemuda yang membicarakan kejadian pada hari Sabtu. Saat itu Syafwan dan Syarifudin Rambe bermaksud untuk menemui Hermanu yang sedang berjalan menuju pos hansip, dimana dalam kesempatan itu para pengurus masjid tersebut meminta kesediaan Hermanu untuk meminta maaf pada warga akan tetapi Hermanu menolak karena dia adalah sebagai petugas yang memang wajib untuk melakukan hal tersebut. Saat pembicaraan berlangsung ada

5

(13)

orang yang melempar pasir ke dalam pos tersebut dan ada juga yang membakar sepeda motor milik Hermanu. Pada hari itu juga Syafwan dan Syarifudin Rambe beserta Ahmad Sahi dan M. Nur yang juga pengurus masjid ditangkap untuk kemudian ditahan. Pada hari berikutnya, karena mendengar ada pengurus masjid yang ditangkap dan kemudian ditahan, para pemuka masyarakat dan pengurus masjid dari beberapa masjid di Tanjung Priok meminta Jasa Amir Biki yang dianggap memiliki hubungan baik dengan para petugas militer agar menghubungi aparat keamanan yang menahan keempat orang tersebut agar mereka segera dibebaskan. Amir Biki mendatangi Kantor Kodim 0502 dan bertemu dengan Kapten Mutiran. Amir Biki meminta agar keempat orang yang ditahan tersebut untuk segera dibebaskan dengan jaminan dirinya sendiri, akan tetapi permintaan tersebut ditolak.6

Pada hari Rabu 12 September 1984 Amir Biki mengulangi permintaannya untuk membebaskan keempat orang yang telah ditahan melalui telepon kepada Kodim 0502. tepat di malam itu pula ada pengajian di Jalan Sindang yang tanpa diduga mendaulat Amir Biki untuk untuk ikut bicara di podium. Awalnya Amir Biki menolak karena memang dirinya jarang tampil di podium, tetapi karena didesak terus oleh warga maka dia pada akhirnya tampil juga. Pada akhirnya malam itu juga Amir Biki mengatakan jika keempat orang yang ditahan tersebut tidak dikeluarkan sampai pada pukul 23.00 maka Amir Biki dan para warga akan beramai-ramai ke Kodim. Ketika jam menunjukkan pukul 23.00

6

(14)

akhirnya massa yang dipimpin oleh Amir Biki dengan tertib menuju ke Kantor Kodim 0502 untuk meminta keempat orang yang ditahan tersebut untuk dibebaskan . sebagian besar dari massa adalah para remaja dan keseluruhan massa berjumlah 3000 orang.7

Sesampainya mereka di dekat Polres Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso dan belum mencapai Kodim 0502, massa sudah dihadang tiga peleton pasukan ABRI di bawah pimpinan Sriyanto. Ketiga peleton tersebut berasal dari Kesatuan Arhanud Dam V Jaya, Kodim 0502 dan Polres Jakarta Utara. Ketiga pasukan tersebut membentuk barisan panjang menutupi jalan menuju Kodim 0502 sehingga massa tidak dapat maju. Massa kemudian duduk dan secara tiba-tiba ketiga peleton yang membawa senapan otomatis tersebut mundur dua langkah lalu semua menembak ke arah massa dan penembakan tersebut berlangsung selama 20 menit. Massa menjadi berhamburan dan lari untuk berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi mereka yang berusaha lari pun dikejar dan dihajar lagi dengan tembakan. Dari arah utara datang pula dua buah truk yang berisi pasukan menuju ke arah massa yang sedang panik. Pasukan yang berada di dalam truk ikut menembak ke arah massa dan sebagian massa yang tiarap tersebut dilindas oleh kedua truk tersebut, sehingga terdengarlah suara kepala yang pecah karena dilindas oleh truk. Terjadilah pada hari itu banjir darah dimana semua korban baik yang meninggal atau pun yang luka dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat.

8

7

Ibid., hal 61

8

(15)

Militer terkadang tidak bertindak sebagaimana mestinya sebagai aparat negara. Mereka hanya bertugas sebagai alat perpanjangan tangan penguasa, sehingga ketika bertugas tidak ada rasa mereka berasal dari rakyat. Tapi, memang perlu disadari bahwa kesan yang menggambarkan tentara adalah warga negara kelas utama telah terpatri dalam masyarakat. Mereka merasa yakin bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan pernah memberikan mereka sanksi. Ini merupakan kumpulan dari semua hal yang negatif, sehingga keluarnya adalah kesewenangan. Selama ini terjadi semacam kekebalan politik artinya seakan-akan tentara ini tidak bisa terjerat hukum.

Dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dua diantaranya yakni kasus Tanjung Priok dan kasus pasca jajak pendapat Timtim, kesemuanya dijerat dengan menggunakan acuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut UU No. 26 Tahun 2000) yang seharusnya bukan menjadi kewenangan undang-undang tersebut untuk menjeratnya karena kasus pelanggaran HAM berat tersebut terjadi dibawah tahun 2000.

B. Permasalahan

Pembahasan dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap

Prinsip Asas Legalitas” akan dibatasi pada permasalahan permasalahan sebagai berikut :

(16)

2. .Bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah Pengadilan HAM Ad Hoc melanggar prinsip asas legalitas ?

2. Untuk mengetahui bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia ?

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Penulisan ini memberikan manfaat dalam menambah wawasan pengetahuan dalam lingkup HAM yang akan dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dan menjadi acuan literatur seputar pelanggaran HAM berat untuk ilmu hukum pada khususnya. 2. Manfaat Praktis

(17)

E. Metode Penulisan

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam peneulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.9

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bahan hukum yang terdiri dari :

a. Data primer

Data primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.10

- Undang-undang Dasar 1945

Bahan hukum primer yang digunakan adalah :

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)

- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

- Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

- Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

9

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 43.

10

(18)

- Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur-literatur.11

c. Data Tersier

Data tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah : - Kamus bahasa Indonesia

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya.

4. Analisis Data

Analisis Data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu dipadukan dengan teori-teori yang mendukung dan selanjutnya ditarik kesimpulan.12

11

Ibid.

12

(19)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang didalamnya menguraikan tentang pendekatan masalah, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data, serta diuraikan pula mengenai sistematika penulisan.

Bab II merupakan tinjauan pustaka yang didalamnya akan mengemukakan teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar dan pijakan bagi penulis untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan pada bab I.

Bab III merupakan pembahasan, yaitu membahas permasalahan baik yang pertama maupun yang kedua. Pembahasan pertama mengenai apakah Pengadilan HAM Ad Hoc melanggar prinsip asas legalitas. Dan Pembahasan kedua mengenai bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Bab IV merupakan pembahasan,yaitu membahas mengenai dasar hukum dan alasan penggunaan azas legalitas dalam Pelanggaran HAM di Indonesia oleh Pengadilan HAM Ad hoc.

(20)
(21)

BAB II

TINJAUAN MENGENAI HAK AZASI MANUSIA DAN ASAS LEGALITAS

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Manusia dianugrahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nurani itu maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Disamping itu untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.Sesungguhnya hak asasi manusia lahir bersama-sama dengan manusia,artinya sejak manusia ada permasalahan hak asasi manusia sudah ada.

Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosial (bermasyarakat). Oleh karena itu kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar manusia itulah yang disebut dengan hak asasi manusia.

(22)

merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 13

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi dan persamaan dihadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.Pada awal kemerdekaan Indonesia masalah hak asasi manusia menjadi perdebatan seru.Sebagian anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan berkeinginan agar masalah tersebut diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar. Sementara itu sebagian lainnya mengatakan tidak perlu diatur dalam konstitusi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 TANGGAL 13 November 1998, menugaskan lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintahan untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh rakyat (pasal 1). Adapun lembaga-lembaga tinggi negara itu adalah : Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan aparatur negara adalah seluruh aparat negara yakni Pegawai Negara Sipil dan Pegawai Militer. Merekalah yang

13

(23)

mendapat tugas dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan hak asasi manusia kepada masyarakat.14

1. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada seperangkat hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dihormati oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pengertian hak asasi manusia sendiri diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut dengan UU No. 39 Tahun 1999) Pasal 1 dan 2 yang berbunyi :

2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Dikarenakan adanya hak dasar yang secara kodrati melekat pada manusia, maka undang-undang tersebut juga melarang adanya diskriminasi dan penyiksaan berdasarkan Pasal 3 dan 4 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi :

Pasal 3 :

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan dan pengucilan yang langsung tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, ras, suku, etnik, kelompok dan golongan, status sosial,

14

(24)

status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosal, budaya da aspek kehidupan lainnya.

Pasal 4 :

Penyiksaan atas setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau orang ketiga, dengan menghukumnya terhadap perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam dan memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada suatu bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.

Negara wajib menjunjung tinggi pelaksanaan penegakan HAM di Indonesia sesuai denga Pasal 2, 3 dan 71 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi :

Pasal 2 :

(25)

dilindungi dan ditegakkan demi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian, kecerdasan serta keadilan. Pasal 3

1. Setiap orang bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan

2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum

3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar menusia tanpa diskriminasi.

Pasal 71

Pemerintah wajib bertanggung jawab dan menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia

Sedangkan pengertian pelanggaran HAM sendiri menurut Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 yakni :

(26)

sekelompok orang yang dijamin undang-undang ini , dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan tidak benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang sering terjadi, tidak dapat lagi dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi ringan. Akan tetapi pelanggaran yang sering terjadi adalah pelanggaran yang tergolong berat. Pelanggaran tersebut meliputi 15

a. Kejahatan genosida.

:

Kejahatan genosida merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

- Membunuh anggota kelompok;

- Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

- Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

- Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;

- Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

15

(27)

b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan kemanusiaan yang dimaksud adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

- Pembunuhan; - Pemusnahan; - Perbudakan;

- Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

- Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang

- Penyiksaan;

- Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

- Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

- Penghilangan orang secara paksa; - Kejahatan apartheid.

(28)

memajukan dan melindungi pelaksanaan hak-hak asasi manusia di dalam wilayah kewenangannya. Negara mempunyai kewajiban atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Dengan prinsip tersebut maka dapat diilustrasikan bahwa semakin besar negara menunaikan kewajibannya, maka semakin terlindungi dan terpenuhinya hak-hak setiap orang. Sebaliknya, semakin diingkarinya pelaksanaan kewajiban oleh negara, maka semakin terancam atau terlanggar pula hak-hak asasi manusia.16

B. Pengadilan Hak Asasi Manusia

Menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut UU No. 26 Tahun 2000) memberikan pengertian mengenai Pengadilan HAM yakni : “Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.”

Kedudukan dan lingkup kewenangan pengadilan ini berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 adalah :

Pasal 3

(1) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM

16

(29)

berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangku Pasal 4

“Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.”

Pasal 5

“Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah Republik Indonesia oleh Warga Negara Indonesia”.

Pasal 6

“Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan”.

Untuk hukum acara dari Pengadilan HAM diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 10

“Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”

Mengenai tata cara penangkapan diatur dalam Pasal 11, yakni : Pasal 11

(30)

yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia berat yang dipersangkakan.

(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.

(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.

(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan. Mengenai tata cara Penahanan diatur dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17, yakni :

Pasal 12

(31)

(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.

(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pasal 13

(1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 14

(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(32)

diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 15

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 16

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 17

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.

(33)

C. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc

Pengertian Pengadilan HAM Ad Hoc yang terdapat dalam Pasal 43 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 adalah : “Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.”

Kekhususan dalam penanganan perkara HAM berat oleh Pengadilan HAM Ad Hoc adalah17

1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim Ad Hoc, penyidik Ad Hoc, penuntut umum Ad Hoc dan hakim Ad Hoc.

:

2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. 4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi

5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Menurut UU No. 26 Tahun 2000 Penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dalam Pengadilan HAM Ad Hoc dilakukan oleh :

Pasal 23

(1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.

(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

17

(34)

Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.

(3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.

(4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :

a. warga negara Republik Indonesia;

b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;

c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi

manusia.

Menurut Pasal 30 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000, pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

(35)

HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.”

Adapun Keputusan Presiden yang mengatur mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk dua kasus tersebut adalah Keputusan Presiden No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (selanjutnya disebut Kepres No. 53 Tahun 2001). Kepres ini antara lain menyebutkan :

Pasal 1 : “Membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Pasal 2 : “Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.”

D. Asas Legalitas

(36)

jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan hidup masyarakat.18

Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkanya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.

Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’.Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah criminia stellionatus (perbuatan durjana/jahat)

19

Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekedar kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya,berlakunya hukum pidana menurut waktu kejadian (tempus delicty) disamping

18

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 45

19

(37)

menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk mentapkan tanggung jawab pidana.20

Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteit beginsel atau Principle of Legality. Ajaran asas legalitas ini disebut juga sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal ungkapan di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh ahli hukum dari Jerman yang bernama Von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.21

Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts

(1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya

20

Ibid.

21

(38)

untuk melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.22

a. Lex Scripta

Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan sebuah ungkapan yakni ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya : undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu. Menurut Francis Bacon ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat diberlakukan dalam menjatuhkan sanksi pidana, yaitu: lex scripta, lex certa, retroaktivitas (retroactivity) dan analogi. Mengenai keempat aspek ini akan dijelaskan sebagai berikut :

Lex scripta adalah suatu penghukuman yang harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang. 23

22

Ibid.

23

(39)

b. Lex Certa

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislative) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai.perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.24

c. Non-retroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sejalan dengan itu, menurut Romli Atmasasmita “Prinsip hukum non-retroaktif tersebut

24

(40)

berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenanya prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan”.25

Seperti disebutkan diatas, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu : penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran histories, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi.

d. Analogi

26

Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum yang terbagi ke dalam dua pendapat, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya. Menurut Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu : gesetz

25

Ibid., hal. 5

26

(41)

analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, diantaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara. 27

E. Perkembangan Asas Legalitas di Indonesia

Menurut Satochid Kertanegara, asas legalitas muncul pada akhir abad sebelum revolusi Perancis. Pada saat itu belum dikenal hukum pidana yang tertulis. Sehingga pemeriksaan perkara diserahkan pada kesadaran hakim. Akibatnya, hakim dapat bertindak sewenang-wenang dan dapat menjatuhkan hukuman terhadap suatu perkara berdasarkan kesalahan hukum pribadinya, maka dengan sendirinya tidak ada kepastian hukum. Masyarakat tidak memperoleh perlindungan dari perilaku sewenang-wenang dan kediktatoran.28

27

Ibid., hal. 6

28

(42)

Dalam kaitannya dengan negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu asas yang fundamental. Asas legalitas merupakan suatu penghubung antara rule of law dari hukum pidana yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan memaksa. Melalui asas legalitas diharapkan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang melindungi dari kesewenang-wenangan penuntutan dan penghukuman.

Perlu disadari bahwa KUHP merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.

(43)

diterapkan pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi pengadilan adat telah diakui ketika pendudukan Belanda. Pengakuan pengadilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda. Di awal-awal kemerdekaan, Pengadilan-pengadilan adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum. UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap mengukuhkan keberadaan pengadilan adat tersebut. Namun, sejak diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pengadilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi pengadilan adat sudah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.29

Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, hukum-hukum yang Dalam prakteknya, pengadilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke pengadilan dan diberi hukuman.

29

(44)

tersebut itu mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hukum yang hidup dalam masyarakat ini tercakup juga hukum agama, misalnya hukum Islam yang berlaku di Aceh yang berbeda karena tertulis dalam Kitab dan Hadits.30

Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat. Dalam konteks ini termasuk maksudnya adalah delik adat. Menurut I Gede A.B Wiranata, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Hukum

Hukum hidup dalam masyarakat ini yang dimaksud adalah “hukum yang hidup dalam masyarakat” berkaitan dengan hukum pidana, misalnya pidana adat dan hukum pidana Islam. Tentu saja pencantuman itu menimbulkan kontroversi dikalangan ahli hukum, termasuk diantaranya ahli hukum mancanegara, Kontroversi itu timbul tidak lain karena karakter hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat berbeda dengan karakter hukum pidana. Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis.

30

(45)
(46)

BAB II PEMBAHASAN

Kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap Prinsip

Asas Legalitas

1.Konvensi PBB Tentang Pengadilan HAM Ad Hoc

Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya,tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Didalam Statute Roma (1998) sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain,yaitu ”the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida,kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional (PPI). Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Banyak orang bertanya mengapa undang-undang tersebut tidak memuat seluruh jenis pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma (1998). Atas pertanyaan ini maka perlu disampaikan beberapa pertimbangan yaitu :

(47)

Indonesia belum menentukan sikapnya secara tegas terhadap keduanya.

2. Statuta Roma (1998) sudah diadopsi dalam Konprensi Diplomatik di Roma namun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma (1998) sehingga tidak ada kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat.

3. Kepentingan pemerintah untuk mengundangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 didorong oleh kehendak untuk memenuhi prinsip Komplementaritas (complementarity principles) yang dianut oleh Statuta Roma (1998) tersebut sehingga dengan cara demikian Undang-undang Nasional Indonesia (UU Nomor 26 tahun 2000)mengenai peradilan atas perkara Pelanggaran HAM berat sudah memenuhi standar minimum hukum internasional tersebut. 4. Karena Statuta Roma (1998) merupakan perjanjian internasional

(48)

tepat untuk saat ini dan dianggap tidak akan membahayakan kedaulatan Negara RI.

Ada perbedaan mendasar dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip yang dianut dalam Statuta Roma (1998) dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu :

1. Bahwa Statuta Roma (1998) menganut prinsip legalitas secara penuh yaitu yang melarang pemberlakuan surut atau retroaktif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Statuta Roma (1998).Sedangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 membolehkan berlaku surut dengan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui mekanisme DPR RI.

2. Bahwa Statuta Roma (1998) tidak menganut prinsip Ne Bis in Idem secara mutlak karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) putusan pengadilan nasional yang telah memperoleh kekutan hukum tetap dapat dikesampingkan dengan pertimbangan :

(a) Proses peradilan dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari pertanggungan jawab pidana atas kejahatan yang telah dilakukannya;

(b) Proses peradilan tidak dilaksanakan secara independen dan terbuka sesuai dengan norma-norma hukum internasional yang berlaku.

(49)

dapat menetapkan bahwa kasus pelanggaran HAM tidak dapat diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional atas pertimbangan sebagai berikut :

(a) Kasus tersebut sedang dalam penyidikan ataun penuntutan oleh negara yang berwenang untuk melakukannya,kecuali jika negara yang bersangkutan tidak berkeinginan atau tidak mampu untuk melakukan tugasnya tersebut;

(b) Kasus tersebut sudah disidik oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasusnya dan Negara tersebut sudah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan kecuali putusan tersebut berasal dari ketidakinginan atau ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menuntut;

(c) orang yang bersangkutan telah diadili untuk pelanggaran HAM yang telah dilakukannya,dan peradilannya oleh Pengadilan Pidana Internasional tidak diperbolehkan berdasarkan Pasal 20 ayat (3)

(d) kasus tersebut tidak cukup serius untuk digolongkan kedalam pelanggaran HAM.

(50)

efektif Statuta Roma (1998). Dengan demikian maka kejahatan agresi atas keberatan pihak Amerika Serikat telah ditangguhkan pemberlakuannya sampai ada kesepakatan peserta atau peratifikasi Statuta tersebut tentang defenisi agresi. Sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui dua jenis pelanggaran HAM yaitu genosida dan kejahatan atas kemanusiaan.

5. Bahwa Statuta Roma (1998) hanya mengakui instansi penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh pihak Kejaksaan, sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui KOMNAS HAM sebagai lembaga independen satu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan dan pihak Kejaksaan yang berwenang melakukan penyidikan dan penunututan.

6. Bahwa Statuta Roma (1998) mengakui hukum internasional dan putusan-putusan Pengadilan Pidana Internasional menjadi acuan dalam mengadili kasus pelanggaran HAM berdasarkan ketentuan dalam Statuta Roma (1998) . Sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui seluruh ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum acara pidana nasional.

(51)
(52)

Proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 harus didahului oleh penyelidikan proaktif oleh KOMNAS HAM sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Kedudukan KOMNAS HAM dalam Undang- undang Nomor.26 Tahun 2000 sangat kuat karena hasil penyelidikannya bersifat pro-justitia. Kedudukan ini sangat jauh berbeda dengan kedudukannya didalam Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedudukan KOMNAS HAM dalam Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 memiliki implikasi bahwa KOMNAS HAM tidak boleh bersifat pasif dan menunggu permintaan masyarakat atau menunggu pihak kepolisian untuk bertindak. Bahkan kedudukannya sebagai lembaga pemantau berdasarkan Undang- undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, merupakan modal dasar untuk meningkatkan kedudukan dan perannya sebagai lembaga satu- satunya yang dapat melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran HAM berat. Setelah fungsi penyelidikan selesai dilaksanakan maka KOMNAS HAM bekerja sama dengan pihak Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Setelah fungsi penyidikan selesai dilaksanakan maka Kejaksaan Agung melalui Presiden dapat memberitahukan DPR RI untuk segera meminta pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

(53)

masyarakat Internasional menuntut pembentukan Mahkamah Ad hoc untuk kasus Timor- timur dan lainnya. Pernyataan ini sejalan dengan prinsip komplementaritas yang secara eksplisit dicantumkan dalam alinea kesepuluh dari Piagam Statuta Roma (1998) dan artikel 17 dan artikel 20 Statuta tersebut. Yang sangat penting dalam implementasi Undang- undang nomor 26 Tahun 2000 dan memerlukan kesungguhan seluruh komponen bangsa Indonesia ialah artikel 17 ayat 1 Huruf (b) yang menegaskan dua kata kunci yaitu : unwilling or inability. Sebagaimana telah diuraikan dimuka, kedua kata kunci tersebut sangat menentukan dapat atau tidaknya Statuta Roma berlaku terhadap suatu Negara dan menggantikan yurisdiksi pengadilan Nasional.

Berdasarkan Statuta Roma (1998) dan acuan Undang- undang Nomor 26 tahun 2000 keberhasilan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia sangat tergantung dari bukan saja peranan dan pemahaman KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung terhadap kedua perangkat hukum tersebut melainkan juga tergantung dari saling pengertian dan kerja sama kedua lembaga tersebut. Suatu proses peradilan terhadap pelanggaran HAM tidak akan dapat berjalan secara Imparsial dan terbuka jika proses penyelidikan dan penyidikan tidak dilaksanakan secara professional dan memihak pula. Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia melalui jalur pengadilan ( in –court system ) harus dilandaskan kepada prinsip- prinsip : non-impunity, transparansi, imparsial dan due-process of law.31

31

http//www.Konvensi PBB.go.id

(54)

a. Apakah Pengadilan HAM Ad Hoc Melanggar Prinsip Asas

Legalitas?

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945) bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib; dimana untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan.

Salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah suatu proses pengadilan yang bersih, mandiri, dan benar-benar mempunyai kewenangan untuk menyidangkan suatu perkara yang ditangani.

(55)

dan segala macam hal-hal yang tidak sesuai dengan kodrat dasar manusia untuk hidup aman dan tenteram seringkali dilanggar.

Menegakkan HAM di negeri ini sama seperti upaya menegakkan benang basah. Penegakan HAM secara politis mulai dijalankan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dengan dibentuknya Kementrian HAM. Secara yuridis,upaya penegakan HAM sudah mendapat pengakuan melalui Undang-undang yakni UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000. Tapi kenyataannya, hingga saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM berat penegakannya masih sangat simpang siur dalam pengungkapannya walaupun dalam proses pengungkapannya sendiri telah melibatkan Komnas HAM.

Komnas HAM sendiri awalnya dibentuk oleh Presiden Suharto pada tahun 1994 yang saat itu diketuai oleh Ali Said, mantan Jaksa Agung (1971-1981), mantan Menteri Kehakiman (1981-1984) dan mantan Ketua Mahkamah Agung (1984-1981). Pembentukan Komnas HAM sendiri tidak lepas dari tuntutan internasional terhadap pemerintah Indonesia akibat peristiwa 12 November 1991 di Dili, Timtim, saat itu. Walaupun Komnas HAM adalah “produk” yang dilahirkan orde baru, akan tetapi Komnas HAM memposisikan diri sebagai pihak independen yang tidak segan-segan mengungkap fakta peristiwa yang terjadi disebabkan oleh rezim orde baru, yang oleh karena itu Komnas HAM akhirnya mendapat julukan “Si Malin Kundang” yang diibaratkan adalah anak yang durhaka terhadap orang tua yang melahirkannya.32

32

(56)

Pelanggaran HAM menimbulkan dampak luas di bidang sosial, ekonomi, politik dan hubungan internasional. Maka, peristiwa itu telah dapat digolongan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) sehingga diperlukan adanya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.33

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa juga memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pelanggaran HAM berat tersebut termasuk adalah Kejahatan genosida yang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; atau pun kejahatan kemanusiaan lainnya.

Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan suatu pengadilan yang dibentuk secara khusus dalam lingkup pengadilan umum untuk menangani satu permasalahan HAM saja. Misalkan untuk kasus pelanggaran HAM Timtim maka dibentuk Pengadilan Ham Ad Hoc kasus Timtim.

34

Walaupun Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk berdasarkan UU

33

Ibid.

34

(57)

No. 26 Tahun 2000 sebagai upaya untuk menegakkan HAM dan menjerat para pelaku pelanggaran HAM berat, akan tetapi dalam prakteknya harus tetap memperhatikan asas hukum yang berlaku karena asas hukum sendiri merupakan “jantungnya” suatu peraturan perundangan.

Sebagai contoh adanya penerapan peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan asas hukum yakni asas legalitas adalah dengan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc atas Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan Pengadilan HAM Ad Hoc pasca jajak pendapat tahun 1999 di Timtim berdasarkan Pasal 43 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 dan Kepres No. 53 Tahun 2001.

Tujuan sebenarnya dari asas legalitas sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan bagi terdakwa, tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Asas ini mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang. Ini menegaskan agar acara pidana dijalankan menurut acara yang telah diatur undang-undang. Francis Bacon ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat diberlakukan dalam menjatuhkan sanksi pidana, yaitu: lex scripta, lex certa, analogi dan retro aktif. Mengenai keempat aspek ini akan dijelaskan sebagai berikut35

1. Lex Scripta atau penghukuman yang harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang dan penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

:

35

(58)

2. lex certa atau adanya perumusan delik jelas dengan kata lain undang-undang harus dirumuskan setajam dan sejelas mungkin serta harus dipercaya.

3. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi 4. Tidak ada kekuatan surut (non retro aktif atau lex temporis delicti).

Berdasarkan paparan tentang prinsip hukum pidana di atas, dapat diketahui bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dalam penerapannya terhadap kasus pelanggaran HAM berat kasus jajak pendapat Timtim dan Kasus Tanjung Priok menyimpang terhadap asas legalitas dengan diterapkannya asas retro aktif untuk menjerat para pelakunya.

(59)

retro aktif atau berlaku surut.

b. Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Melanggar Prinsip Asas

Legalitas?

Masalah utama yang saat ini masih menjadi persoalan besar adalah menyangkut pengaturan tentang fungsi dan tugas TNI dalam bidang pertahanan maupun dalam pemberian kewenangan dan atau tugas-tugas lain di luar bidang pertahanan,baik pada masa damai maupun pada masa perang. Dalam masa damai misalnya, peran TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang akan bergantung pada bagaimana dan apa yang dianggap sebagai ancaman. Ketidakjelasan peran tersebutlah yang sering menimbulkan konflik sipil-militer dimana perlakuan militer saat gencatan senjata atau saat damai terkadang dianggap sebagai keadaan darurat yang penuh dengan ancaman sehingga mereka bereperan seolah-olah musuh dimana-mana.36

Pengadilan koneksitas menurut pasal 89 KUHAP pada dasarnya adalah pengadilan untuk menyidangkan suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan pengadilan umum dan lingkungan pengadilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum kecuali jika menurut Konflik yang terjadi yang melibatkan perkara yang termasuk dalam lingkup sipil-militer atau koneksitas sangat rentan terjadi di dalam suatu tempat dimana di tempat itu merupakan daerah rawan konflik yang menjadi target operasi militer pemerintah.

36

(60)

keputusan Menteri Pertahanan dan keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Militer. Selama kerugian yang ditimbulkan suatu tindak pidana tidak merugikan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak dari TNI, berlakulah prinsip umum yakni perkara koneksitas yang diperiksa dan diadili oleh lingkungan pengadilan umum.

Saat terjadi konflik sipil-militer terutama mengenai perlakuan yang berlebihan dari pihak militer atau TNI terhadap sipil menyangkut masalah-masalah hak asasi manusia, ketika dihadapkan pada suatu pemeriksaan kasus seringkali terjadi pertentangan tentang kompetensi absolut pengadilan apa yang berhak mengadili perkara tersebut, dimana di satu pihak menginginkan perkara tersebut diadili di pengadilan koneksitas, akan tetapi pihak lainnya menginginkan perkara tersebut diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.

Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan suatu pengadilan yang dibentuk secara khusus dalam lingkup pengadilan umum untuk menangani satu permasalahan HAM saja. Misalkan untuk kasus pelanggaran HAM Timor-timur maka dibentuk Pengadilan Ham Ad Hoc kasus Timor-timur.

(61)

HAM berat tersebut termasuk adalah Kejahatan genosida yang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; atau pun kejahatan kemanusiaan lainnya.

Pengadilan HAM Ad Hoc yang sudah dibentuk adalah Pengadilan HAM Ad Hoc atas peristiwa pasca jajak pendapat tahun 1999 di Timor Timur dan Pengadilan HAM Adhoc atas Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Lingkup kejadian-kejadian tersebut termasuk dalam lingkup kejadian perkara sipil-militer berupa pembunuhan, penyiksaan dan lain-lain yang dilakukan oleh militer. Selain-lain kasus tersebut masih ada lagi kasus yang akan disidangkan melalui sistem Pengadilan HAM Ad Hoc yakni kasus Semanggi-Trisakti pada tahun 1997 yang telah membawa korban jiwa dari pihak sipil.

Kasus-kasus diatas kalau dicermati adalah termasuk ke dalam kasus koneksitas dimana unsur konflik sipil-militer ada didalamnya dan yang seharusnya pula menjadi kewenangan pengadilan koneksitas untuk menyelesaikannya. Salah satu yang mendasari adalah tempus delicty dari delik yang dilakukan dimana semua kejadian tersebut terjadi sebelum tahun 2000 yakni sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000.

(62)

berat pasca jajak pendapat di Timor Timur adalah dikarenakan UU No.26 Tahun 2000 memberlakukan asas retro aktif atau asas berlaku surut seperti tercantum pada dalam Pasal 43 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 yang berbunyi : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. ” Artinya dengan adanya undang-undang ini maka asas legalitas dikesampingkan.”

Referensi

Dokumen terkait

Keterampilan berpikir sejarah adalah keterampilan yang harus dimiliki oleh mahasiswa sejarah keterampilan berpikir sejarah ini sangat dibutuhkan dalam menggali

 Siswa diminta menuliskan kesimpulan tentang hasil kegiatannya dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual menggunakan ide model-model matematika sistem persamaan

Tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk mengetahui pengaruh perkuatan tanah pasir dengan membandingkan daya dukung tanah pasir tanpa perkuatan terhadap daya

Warna, tekstur dan rasa bulir jagung ditentukan oleh sifat bulir jagung dan lapisan terluarnya yang membentuk variasi warna bulir mulai dari putih, kuning, jingga, merah cerah,

LAPORAN POSKO PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TANGGAL 14 APRIL 2016 (UNTUK LAPORAN JAM 06:00 WIB) 1.. Ringkasan

maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga

Baiklah anak-anakku sekalian, kita lanjutkan kembali pembahasan kita tentang sistem demokrasi dan dinamika demokrasi di Indonesia. Mengapa persoalan ini begitu penting kita pelajari

Berdasarkan penjelasan pada poin 1 dan 2 diatas maka alasan Pokja menggugurkan penawaran kami tidak sesuai standar dan pedoman yang telah ditetapkan didalam