• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konvensi PBB Tentang Pengadilan HAM Ad Hoc

BAB III KEDUDUKAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA AD

1. Konvensi PBB Tentang Pengadilan HAM Ad Hoc

Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya,tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Didalam Statute Roma (1998) sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain,yaitu ”the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida,kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional (PPI). Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Banyak orang bertanya mengapa undang-undang tersebut tidak memuat seluruh jenis pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma (1998). Atas pertanyaan ini maka perlu disampaikan beberapa pertimbangan yaitu :

1. Dua jenis pelanggaran HAM lainnya (kejahatan perang dan agresi) sampai saat ini masih dalam perdebatan Negara anggota PBB dan

Indonesia belum menentukan sikapnya secara tegas terhadap keduanya.

2. Statuta Roma (1998) sudah diadopsi dalam Konprensi Diplomatik di Roma namun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma (1998) sehingga tidak ada kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat.

3. Kepentingan pemerintah untuk mengundangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 didorong oleh kehendak untuk memenuhi prinsip Komplementaritas (complementarity principles) yang dianut oleh Statuta Roma (1998) tersebut sehingga dengan cara demikian Undang-undang Nasional Indonesia (UU Nomor 26 tahun 2000)mengenai peradilan atas perkara Pelanggaran HAM berat sudah memenuhi standar minimum hukum internasional tersebut. 4. Karena Statuta Roma (1998) merupakan perjanjian internasional

yang tidak boleh direservasi sama sekali maka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut berdampak mengikat secara penuh Negara peratifikasi sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hati untuk meratifikasinya. Untuk kepentingan Indonesia kebijakan pemerintah yang telah mengadopsi beberapa prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebut merupakan kebijakan yang dianggap

tepat untuk saat ini dan dianggap tidak akan membahayakan kedaulatan Negara RI.

Ada perbedaan mendasar dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip yang dianut dalam Statuta Roma (1998) dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu :

1. Bahwa Statuta Roma (1998) menganut prinsip legalitas secara penuh yaitu yang melarang pemberlakuan surut atau retroaktif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Statuta Roma (1998).Sedangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 membolehkan berlaku surut dengan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui mekanisme DPR RI.

2. Bahwa Statuta Roma (1998) tidak menganut prinsip Ne Bis in Idem secara mutlak karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) putusan pengadilan nasional yang telah memperoleh kekutan hukum tetap dapat dikesampingkan dengan pertimbangan :

(a) Proses peradilan dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari pertanggungan jawab pidana atas kejahatan yang telah dilakukannya;

(b) Proses peradilan tidak dilaksanakan secara independen dan terbuka sesuai dengan norma-norma hukum internasional yang berlaku.

3. Bahwa Statuta Roma (1998) menerapkan ketentuan yang disebut “ issue of admissibility “yaitu bahwa Pengadilan Pidana Internasional

dapat menetapkan bahwa kasus pelanggaran HAM tidak dapat diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional atas pertimbangan sebagai berikut :

(a) Kasus tersebut sedang dalam penyidikan ataun penuntutan oleh negara yang berwenang untuk melakukannya,kecuali jika negara yang bersangkutan tidak berkeinginan atau tidak mampu untuk melakukan tugasnya tersebut;

(b) Kasus tersebut sudah disidik oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasusnya dan Negara tersebut sudah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan kecuali putusan tersebut berasal dari ketidakinginan atau ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menuntut;

(c) orang yang bersangkutan telah diadili untuk pelanggaran HAM yang telah dilakukannya,dan peradilannya oleh Pengadilan Pidana Internasional tidak diperbolehkan berdasarkan Pasal 20 ayat (3)

(d) kasus tersebut tidak cukup serius untuk digolongkan kedalam pelanggaran HAM.

4. Statuta Roma (1998) meliputi empat jenis pelanggaran HAM yaitu : genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi, dengan catatan bahwa untuk kejahatan agresi masih dipandang perlu dirumuskan kembali dengan jelas tentang lingkup pengertian dan defenisinya selama 7 (tujuh) tahun sejak berlaku

efektif Statuta Roma (1998). Dengan demikian maka kejahatan agresi atas keberatan pihak Amerika Serikat telah ditangguhkan pemberlakuannya sampai ada kesepakatan peserta atau peratifikasi Statuta tersebut tentang defenisi agresi. Sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui dua jenis pelanggaran HAM yaitu genosida dan kejahatan atas kemanusiaan.

5. Bahwa Statuta Roma (1998) hanya mengakui instansi penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh pihak Kejaksaan, sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui KOMNAS HAM sebagai lembaga independen satu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan dan pihak Kejaksaan yang berwenang melakukan penyidikan dan penunututan.

6. Bahwa Statuta Roma (1998) mengakui hukum internasional dan putusan-putusan Pengadilan Pidana Internasional menjadi acuan dalam mengadili kasus pelanggaran HAM berdasarkan ketentuan dalam Statuta Roma (1998) . Sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui seluruh ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum acara pidana nasional.

7. Bahwa Statuta Roma (1998) mengangkat dan menempatkan Hakim tetap yang berasal dari beberapa negara,sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 memerintahkan pengangkatan Hakim non-karir dan Jaksa Penuntut Umum non-karir yang berasal dari unsure masyarakat.

Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 dan pembentukannya untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini. Didalam Undang-undang ini disyaratkan bahwa pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini sangat tergantung dari permintaan DPR RI kepada Pemerintah. Hal ini disebabkan pemberlakuan surut kebelakang terhadap pelanggaran HAM berat dimasa lalu merupakan penyimpangan atas asas legalitas yang berlaku universal dan juga dilarang dalam Statuta Roma (1998),sehingga prosedur pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini perlu dilakukan secara khusus. Alasan kedua ialah bahwa pelanggaran HAM berat dimasa lampau merupakan perkosaan terhadap hak-hak asasi rakyat yang telah menimbulkan luka dalam dan dendam berkepanjangan dan akan berakhir dengan disintegrasi bangsa. Jika terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak diadili maka akan ada nilai keadilan yang tidak dipenuhi,yaitu nilai keadilan restoratif sementara nilai keadilan retributive sudah terwakili dengan dipidananya pelaku pelanggaran HAM berat masa akan datang. Mengingat pelanggaran HAM berat ini sarat dengan muatan politis maka akan terjadi maka akan terjadi ketidakseimbangan antara nilai keadilan retributive disatu sisi dan nilai keadilan restorative disisi lain. Harapan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah untuk menciptakan nilai-nilai rekonsiliasi nasional dalam mengatasi kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 harus didahului oleh penyelidikan proaktif oleh KOMNAS HAM sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Kedudukan KOMNAS HAM dalam Undang- undang Nomor.26 Tahun 2000 sangat kuat karena hasil penyelidikannya bersifat pro-justitia. Kedudukan ini sangat jauh berbeda dengan kedudukannya didalam Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedudukan KOMNAS HAM dalam Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 memiliki implikasi bahwa KOMNAS HAM tidak boleh bersifat pasif dan menunggu permintaan masyarakat atau menunggu pihak kepolisian untuk bertindak. Bahkan kedudukannya sebagai lembaga pemantau berdasarkan Undang- undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, merupakan modal dasar untuk meningkatkan kedudukan dan perannya sebagai lembaga satu- satunya yang dapat melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran HAM berat. Setelah fungsi penyelidikan selesai dilaksanakan maka KOMNAS HAM bekerja sama dengan pihak Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Setelah fungsi penyidikan selesai dilaksanakan maka Kejaksaan Agung melalui Presiden dapat memberitahukan DPR RI untuk segera meminta pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Dengan berlakunya Undang- undang nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kedudukan KOMNAS HAM yang diperkuat didalam Undang- undang tersebut maka tidak ada alasan

masyarakat Internasional menuntut pembentukan Mahkamah Ad hoc untuk kasus Timor- timur dan lainnya. Pernyataan ini sejalan dengan prinsip komplementaritas yang secara eksplisit dicantumkan dalam alinea kesepuluh dari Piagam Statuta Roma (1998) dan artikel 17 dan artikel 20 Statuta tersebut. Yang sangat penting dalam implementasi Undang- undang nomor 26 Tahun 2000 dan memerlukan kesungguhan seluruh komponen bangsa Indonesia ialah artikel 17 ayat 1 Huruf (b) yang menegaskan dua kata kunci yaitu : unwilling or inability. Sebagaimana telah diuraikan dimuka, kedua kata kunci tersebut sangat menentukan dapat atau tidaknya Statuta Roma berlaku terhadap suatu Negara dan menggantikan yurisdiksi pengadilan Nasional.

Berdasarkan Statuta Roma (1998) dan acuan Undang- undang Nomor 26 tahun 2000 keberhasilan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia sangat tergantung dari bukan saja peranan dan pemahaman KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung terhadap kedua perangkat hukum tersebut melainkan juga tergantung dari saling pengertian dan kerja sama kedua lembaga tersebut. Suatu proses peradilan terhadap pelanggaran HAM tidak akan dapat berjalan secara Imparsial dan terbuka jika proses penyelidikan dan penyidikan tidak dilaksanakan secara professional dan memihak pula. Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia melalui jalur pengadilan ( in –court system ) harus dilandaskan kepada prinsip- prinsip : non-impunity, transparansi, imparsial dan due-process of law.31

31

http//www.Konvensi PBB.go.id

a. Apakah Pengadilan HAM Ad Hoc Melanggar Prinsip Asas

Dokumen terkait