• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT

B. ASAS, TUJUAN DAN PRINSIP HUKUM PERLINDUNGAN

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen 1. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

31

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hal.6.

Secara etimologi kata, bahwa asas dapat diterangkan sebagai berikut:32 a. Dasar, alas, pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah.

b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana.

c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya membicarakan asas dan tujuannya.

Selanjutnya kata asas ini di dalam bahasa Inggris disebut “principle” yang hubungannya erat dengan istilah “principium” (bahasa Latin). Principium menurut asal katanya adalah permulaan; awal mula; sumber; asal pengakal; pokok, dasar.33

Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.34

Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.

Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh peraturan pelaksanaannya.

35

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S mengatakan bahwa cita-cita hukum suatu undang-undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan

32

Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, (Medan : UNIBA PRESS, 1992), hal.114.

33 Ibid. 34

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2006), hal.3.

35

masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tersebut.36 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.37

Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat asas-asas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 194538

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

yang terkandung dalam ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999.

39

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

36

Tan Kamello & Syarifah Lisa, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, (Medan : USU, 2010), hal.77.

37

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal.87.

38

N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.82.

39

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Jika diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yakni:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.40

40

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Pada kasus tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.41

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan: “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”. Akan tetapi, Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut. Beliau menyatakan bahwa “sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Ia sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang dimaksudkan yakni, ketiga tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan,

41

mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

Kepentingan pemerintah dalam hubungan tersebut tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.

Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun pivat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu.42

Prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui

42

prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum perdata dan hukum ekonomi.

Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan pihak pelaku usaha dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana harusnya, maka asas-asas perlindungan konsumen tersebut harus dipadankan dengan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan dari perlindungan konsumen, yakni:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang

ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindugan konsumen.

Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan pasal 2 tersebut.43

Rumusan tujuan perlindungan konsumen pada huruf c dan huruf e merupakan tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan tersebut tidak berlaku mutlak karena rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

Kesulitan dalam memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) tersebut sekaligus keseluruhannya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 UUPK hanya dapat tercapai secara maksimal, apabilan didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana yang dikemukakan sangat berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang selanjutnya menentukan keefektifan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya.

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam

43

undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh pertanggung jawaban yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.44

Beberapa sumber hukum formil, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Dalam area hukum tertentu, antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsip-prinsipnya pun juga berbeda.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:45

(a) Kesalahan (Liability based of Fault);

(b) Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability);

(c) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of Non Liability); (d) Tanggung jawab mutlak (Strict Liability); dan

(e) Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability). (f) Tanggung jawab produk (Product Liability).

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based on Fault).

44

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo), 2006, hal.72.

45

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) atau

liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh46

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu

.

47

a) Adanya perbuatan, :

b) Adanya unsur kesalahan,

c) Adanya kerugian yang diderita, dan

d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

Di dalam pembagian beban pembuktiannya, prinsip ini mengikuti ketentuan pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement) atau pasal 283 Rbg

(Rechtsreglement Buitengewesten) dan pasal 1865 KUHPerdata. Dalam

pasal-pasal ini dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (actorie incumbit probatio).48

Sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et

alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang

46

Sidharta, Op.cit., hal.73.

47

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.93.

48 Ibid.

berperkara.49 Hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (pasal 1367 KUHPerdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas

vicarious liability dan corporate liability.50

Vicarious liability (atau disebut juga respondeat superior, let the master

answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak

lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of the ship doctrine). Jika karyawan tersebut dipinjamkan ke pihak lain (borrowed servant), maka pertanggung jawabannya beralih kepada si pemakain karyawan tersebut (fellow servant doctrine).

Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama

dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (karyawan yang digaji oleh korporasi), tetapi juga diterapkan untuk karyawan non organik (tenaga kerja yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil).

Latar belakang penerapan prinsip tersebut adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Konsumen tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan yang tidak berhubungan organik. Doktrin terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat (konsumen), orang yang bekerja di korporasi tersebut adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut maka

49

Bahan ajar “Hukum Acara Perdata Indonesia” oleh Muhammad Husni, SH.,MH, Pembantu Dekan III FH USU sekaligus dosen pengajar mata kuliah Hukum Acara Perdata.

50

sudah cukup syarat bagi korporasi tersebut untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennya.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability). Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktiannya ada pada si tergugat.

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi51

(a) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

:

(b) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.

(c) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

(d) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.

Beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterapkan dalam prinsip ini. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada pasal 17 dan pasal 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan Republik Indonesia sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana

51

ditegaskan dalam pasal 19, 22, dan 23 (ketentuan pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999).52

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas ini cukup relevan. Jika teori ini digunakan, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Konsumen tidak selalu sekehendak hatinya mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of Nonliability).

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presumption of liability. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability

principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas53

Contoh penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Sekalipun demikian, dalam pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi

52

Sidharta, Op.cit., hal.76.

53

(setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability).

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Akan tetapi, ada pendapat ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut.

Ada pendapat yang mengemukakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute

liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengkaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai

Dokumen terkait