• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELABELAN PRODUK PANGAN DAN PENGATURAN LABEL

D. PENGATURAN PELABELAN PRODUK PANGAN

Sehingga hak-hak dari konsumen dapat terlindungi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan hukum mengenai produk pangan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undagan dibidang makanan

90

tersebut merupakan sarana pokok pengawasan dibidang makanan. Manfaat peraturan perundang-undangan tersebut yakni91

1. Sebagai landasan hukum aparat pemerintah. :

2. Keseragaman tindakan dalam pengawasan makanan untuk melindungi masyarakat terhadap makanan yang merugikan kesehatan.

3. Sebagai pedoman yang wajib ditaati masyarakat.

4. Pedoman yang diikuti produsen dan distributor makanan.

Peraturan perundang-undangan tentang makanan tersebut haruslah memuat pokok-pokok aturan yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak. Pokok-pokok yang dimuat dalam peraturan tersebut terdiri atas92

a. Hal-hal yang dilarang dan sanksi terhadap pelanggaran. :

b. Hal-hal yang bersifat membina produsen agar memproduksi makanan yang memenuhi persyaratan

Meskipun pengaturan mengenai produk pangan begitu banyak, akan tetapi, yang mengatur secara spesifik dan lengkap mengenai pelabelan produk pangan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Sesuai dengan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, produsen dan importir pangan wajib untuk memberikan keterangan dan/atau pernyataan yang benar dan tidak menyesatkan mengenai produk pangan dalam label tersebut.

Pasal 1 dan Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 menginstruksikan agar label dalam produk pangan harus wajib dicantumkan baik di dalam dan/atau di kemasan pangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan pencantuman label tersebut harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasan, tidak luntur atau rusak, dan diletakkan pada bagian kemasan produk pangan yang mudah

91

Soedjajadi Keman, Sistem Pengawasan Makanan di Indonesia, (Surabaya : Universitas Airlangga), diakses tanggal 21 Maret 2013 melalui situs

92 Ibid.

untuk dilihat dan dibaca oleh konsumen. Hal ini dilakukan agar terpenuhinya asas manfaat, asas keamanan, dan keselamatan konsumen sehingga meminimalisir terjadinya kecurangan-kecurangan yang telah dikaji oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang mana banyak ditemukan penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan dan informasi yang menyesatkan konsumen.

Dalam Pasal 3 ayat (2) point a, c, dan d merupakan bagian utama dari label. Bagian utama yang dimaksud yaitu bagian yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen. Nama produk pangan sangat penting karena nama produk tersebut menunjukkan identitas mengenai produk tersebut. Bagian utama produk pangan ini juga harus memberi penjelasan mengenai produk tersebut, dan menunjukkan sifat dan/atau keadaaan yang sebenarnya produk. Begitupun gambar yang terdapat pada label produk tersebut juga menunjukkan keadaan sebenarnya.

Penggunaan suatu nama produk pangan tertentu yang terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), diberlakukan wajib melalui Keputusan Menteri Teknis. Nama produk berbeda dengan nama dagang. Nama dagang merupakan merek. Merek merupakan suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur yang merupakan tanda pembeda produk yang satu dengan produk lainnya. Contoh, nama produk : Mentega, nama dagang/merek : Blue Band.

Daftar bahan yang digunakan (ingredient list) merupakan daftar yang memuat setiap jenis bahan yang diformulasi dalam produk pangan, kecuali vitamin, mineral, dan zat penambah gizi lainnya. Pencantuman bahan-bahan yang digunakan harus secara berurutan dimulai dari bahan yang dominan digunakan berdasarkan berat bahan. Dalam hal menyebutkan nama bahan baku harus dalam nama umum atau yang lazin digunakan atau nama yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan pencantuman bahan-bahan yang digunakan

pada label, konsumen dapat mengetahui apakah produk tersebut aman untuk dikonsumsi dan sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam standar internasional, khususnya dengan dipelopori oleh munculnya Nutritional Labeling and Education Act (NLEA) di AS, label pangan hendaknya mencantumkan informasi gizi. Di Indonesia, penggunaan informasi gizi pada label ini belum memasyarakat. Beberapa produk terlihat sudah mulai mengacu pada peraturan internasional ini. Pada label produk pangan di Indonesia kebanyakan hanya mencantumkan daftar ingridien (atau bahan baku). Sayangnya, daftar bahan baku ini secara salah dinyatakan sebagai komposisi.

Secara umum, informasi gizi perlu diberikan kepada konsumen sehingga konsumen bisa berhitung seberapa besar kontribusi produk pangan tersebut pada dietnya secara keseluruhan. Karena itulah maka informasi gizi ini perlu diperbandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yaitu angka atau dosis keperluan akan zat gizi, terutama untuk lemak, lemak jenuh, kolesterol, karbohidrat, protein, serat, sodium, dan potassium, vitamin dan mineral esensial.

Di Indonesia, angka kecukupan gizi ini biasanya dievaluasi, dibahas dan ditetapkan melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Namun sayangnya, standarisasi pencantuman informasi gizi ini belum dilakukan. Hal ini menyebabkan informasi gizi yang dicantumkan pada label sangat beragam.

Berat bersih atau isi bersih merupakan pernyataan yang memberikan keterangan mengenai kuantitas atau jumlah produk pangan yang terdapat di dalam kemasan atau wadah. Penggunaan ukuran isi (liter, milliliter (ml), dan sejenisnya) untuk makanan dan minuman cair, ukuran berat (kg, gram, dan sejenisnya) untuk makanan padat dan makanan semi padat atau kental. Khusus pangan yang menggunakan medium cair maka berat bersih harus diukur dengan medium cair setelah ditiriskan (drained weight), yang disebut berat tiris.

Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia juga merupakan bagian utama dari label. Pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia berbeda dengan pihak yang

mengedarkan produk pangan. Nama dan alamat pihak yang mengedarkan (distributor) produk pangan yang berisi informasi nama jalan, nama kota, kode pos, dan nama negara juga harus dicantumkan dalam label produk pangan tersebut. Hal tersebut sangatlah penting untuk mempermudah konsumen jika suatu waktu produk pangan yang dihasilkan tersebut menimbulkan suatu kerugian terhadap konsumen.

Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah diubah dengan

Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/1991 mendefinisikan bahwa tanggal

kadaluarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanan produk mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen, sedangkan Pasal 1 huruf c Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah diubah dengan

Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/1991 mendefinisikan bahwa makanan

kadaluarsa adalah makanan yang telah lewat tanggal kadaluarsanya. Makanan yang rusak kemasan dan segelnya baik sebelum maupun sesudah tanggal kadaluarsa dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Dari pencantuman tanggal kadaluarsa tersebut pada label, maka konsumen dapat mengetahui batas tanggal suatu produk makanan masih layak dikonsumsi atau tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah diubah dengan

Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/1991.

Pencantuman tanggal kadaluarsa ini berdasarkan aspek keamanan yang parameter utamanya adalah pencemaran mikrobiologi, seperti jamur dan bakteri pembusuk makanan serta kelayakan konsumsi yang parameter utamanya adalah organil eptik yakni penampakan, rasa, tekstur, bau dan kandungan kimiawi. Konsumen yang mengkonsumsi produk pangan yang telah melewati masa kadaluarsanya akan menimbulkan gejala keracunan dan/atau jika bakteri Clostridium Botulinum berkembang dapat menyebabkan kematian pada

konsumen. Oleh sebab itu, konsumen baik dewasa dan anak-anak harus proaktif dan kritis dalam hal ini.

Semua produk pangan yang akan di perjual-belikan dalam wilayah Indonesia, baik produk lokal maupun produk import, harus didaftarkan dan memiliki nomor pendaftaran dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebelum diedarkan ke pasar hingga sampai ke tangan konsumen. Selain nomor pendaftaran, kode produksi pangan juga wajib dicantumkan pada label kemasan pangan. Kode produksi dicantumkan pada bagian yang mudah dibaca dan dilihat. Bagi Badan POM, nomor pendaftaran produk pangan ini berguna untuk mengawasi produk-produk yang beredar di pasar, sehingga apabila terjadi suatu kasus maka akan mudah ditelusuri siapa produsen produk pangan dan mempermudah dalam melakukan penarikannya, hal ini diatur dalam Pasal 30 PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Produk-produk makanan dan minuman yang beredar di warung, toko, pasar, dan supermarket, makan nomor pendaftaran yang terdapat dibagian depan label produk pangan terdiri atas kode SP, MD atau ML yang diikuti dengan sederetan angka. Adapun pembagian penomoran kode pendaftaran tersebut, yaitu:

1. Penomoran dengan kode SP adalah Sertifikat Penyuluhan merupakan nomor pendaftaran yang diberikan kepada pengusaha kecil (mikro) dengan modal terbatas dan pengawasan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Madya hanya sebatas penyuluhan.

2. Penomoran dengan kode MD diberikan kepada produsen makanan dan minuman bermodal besar yang mampu untuk mengikuti persyaratan keamanan produk pangan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

3. Penomoran dengan kode ML diberikan untuk produk makanan dan minuman olahan yang berasal dari produk import, baik berupa kemasan langsung maupun kemasan isi ulang.

Produsen yang memiliki beberapa lokasi pabrik produksi yang berlainan tempat, tetapi memproduksi produk yang sama, diberikan penomoran dengan

kode MD berdasarkan kode lokasi produk. Maka sering dijumpai suatu produk pangan yang sama, tetapi memiliki nomor kode MD yang berbeda karena lokasi produksi berbeda. Hal ini dapat meringankan produsen jika terjadi kasus terhadap suatu produk pangan dari merek tertentu, yang mengakibatkan produksi dari produk tersebut harus dihentikan. Penghentian produksi hanya didasarkan pada lokasi yang memproduksi produk dengan kode MD yang bermasalah.

Nomor pendaftaran ini tetap berlaku sepanjang tidak adanya perubahan yang menyangkut komposisi produk pangan, perubahan proses produksi dan lokasi pabrik produksi dan lain-lain. Jika terjadi perubahan, maka produsen produk pangan tersebut harus melaporkan perubahan tersebut kepada Badan POM. Apabila perubahan tersebut dinilai terlalu besar, maka produk tersebut harus diregistrasi ulang ke Badan POM dan mendapatkan kembali nomor dan kode produksi yang baru sesuai dengan perubahannya.

Pendaftaran produk pangan untuk seluruh wilayah Indonesia ditangani langsung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Untuk produk pangan lokal diperlukan fotokopi surat izin industri dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Formulir Pendaftaran tersebut dapat diperoleh di Bagian Tata Usaha Direktorat Penilaian Keamanan Pangan (Badan POM), yang beralamat di Jalan Percetakan Negara No. 23 Gedung D, Lantai III, Jakarta Pusat, Telp. (021)-4245267. Setelah formulir tersebut diisi dengan lengkap dan benar, diserahkan kembali bersama contoh produk pangan dan rancangan label yang sesuai dengan yang akan diedarkan.

Penilaian dalam mendapatkan nomor pendaftaran produk pangan disebut penilaian keamanan pangan. Klasifikasi penilaian pangan ada 2 (dua) macam, yaitu:

1. Penilaian Umum adalah untuk semua produk yang beresiko tinggi dan produk baru yang belum pernah mendapatkan nomor pendaftaran.

2. Penilaian ODS (One Day Service) adalah untuk semua produk yang beresiko rendah dan produk sejenis yang pernah mendapatkan nomor pendaftaran.

Pada bagian keempat belas PP No. 69 Tahun 1999 menentukan mengenai keterangan lain yang wajib dicantumkan pada label produk pangan olahan tertentu, yakni:

− Pasal 38 yang menyebutkan “Keterangan pada Label tentang Pangan Olahan yang diperuntukan bagi bayi, anak berumur dibawah lima tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui, orang yang menjalani diet khusus, orang lanjut usia, dan orang berpenyakit tertentu, wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan,dan/atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampak pangan tersebut terhadap kesehatan manusia. − Pasal 39 menyebutkan:

1) Pada Label untuk Pangan Olahan yang memerlukan penyiapan dan/atau penggunaannya dengan cara tertentu, wajib dicantumkan keterangan tentang cara penyiapan dan/atau penggunaannya dimaksud.

2) Apabila tercantum keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mungkin dilakukan pada label, maka pencantuman keterangan dimaksud sekurang-kurangnya dilakukan pada wadah atau kemasan pangan.

− Pasal 40 menyebutkan “Dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan atau memerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang cara penyimpanan harus dicantumkan pada Label”.

Pada Pasal 15 dan Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 mengatur keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan Bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Penggunaan bahasa dalam label juga harus jelas dan mudah dibaca. Penggunaan bahasa dalam label bukan hanya bahasa Indonesia, Arab dan Latin, tetapi juga disesuaikan dengan bahasa asal produk bila produk tersebut merupakan produk import. Hal ini dilakukan sejak adanya implementasi liberalisasi perdagangan dalam kerangka perdangan bebas Asean China (Asean China Free Trade Agreement/ACFTA).

Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan juga dapat menimbulkan ketidakpahaman konsumen yang bukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan berperan penting dalam perlindungan konsumen. Dengan adanya label yang berbahasa Indonesia, konsumen dapat mengetahui informasi dari produk yang dibelinya sehingga dapat meminimalisir resiko yang akan merugikan konsumen.

Pelabelan produk pangan terdiri atas 2 (dua) bagian, label utama produk dan label tambahan produk pangan. Pelabelan tambahan produk pangan disebut pelabelan perisa. Sesuai dengan SNI 01-7152-2006 tentang Bahan Tambahan Pangan: Persyaratan Perisa (tambahan produk pangan) dan Penggunaan dalam Produk Pangan, pelabelan perisa yang digunakan dalam suatu produk pangan adalah sekurang-kurangnya mencantumkan nama kelompok perisa dalam komposisinya. Dalam SNI tersebut, jenis perisa dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu perisa alami, perisa identik alami, perisa artifisial dan perisa hasil proses panas. Jadi, jika suatu produk pangan menggunakan perisa alami jeruk, maka dalam komposisinya dapat dinyatakan sebagai berikut:

Komposisi: ...., perisa alami; atau Komposisi: ...., perisa alami jeruk.

Adapun pelabelan bagi sediaan perisa yang dijual secara ritel, maka pelabelannya sama dengan bahan tambahan pangan secara umum yaitu harus sesuai dengan Permenkes No. 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan ketentuan lain seperti Keputusan Kepala Badan POM RI No. 00.05.52.4321 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.93

Tulisan ”Bahan Tambahan Pangan”

Pada kemasan sediaan perisa tersebut harus dicantumkan keterangan sebagai berikut:

93

Sofhiani Dewi, Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Badan POM RI, “Pelabelan Perisa Produk Pangan”, diakses tanggal 21 April 2013, dari situs :

Nama golongan bahan tambahan pangan, dalam hal ini: ”Perisa”

Nama kelompok perisa. Untuk perisa campuran, nama tiap senyawa perisa tidak perlu disebutkan, cukup digunakan istilah yang menggambarkan ekspresi dari perisa tersebut. Misalnya “perisa alami jeruk”.

Nomor kode internasional (jika ada) Isi bersih atau berat bersih

Nama dan alamat produsen

Tanggal kedaluwarsa untuk sediaan perisa dengan masa simpan tidak lebih dari 18 bulan.

Kode produksi

Nomor pendaftaran produsen Nomor pendaftaran sediaan perisa

Petunjuk/takaran penggunaan, tidak boleh menggunakan takaran yang setara.

Dengan keterangan yang lengkap mengenai identitas dan cara penggunaan sediaan perisa yang dijual secara ritel, dapat memudahkan konsumen dalam menggunakannya dengan benar, baik untuk keperluan Industri Rumah Tangga Pangan maupun untuk keperluan rumah tangga. Sehingga diharapkan tidak terjadi penggunaan bahan tambahan pangan yang salah, termasuk perisa oleh konsumen yang dapat mengakibatkan makanan atau minuman yang diproduksinya menjadi tidak aman.

Dengan demikian, pelabelan produk pangan, baik label utama produk pangan dan label perisa tambahan produk pangan memberikan suatu informasi yang berdampak signifikan dalam meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk dan meningkatkan kesetiaan konsumen terhadap penggunaan suatu produk pangan yang juga memberikan keuntungan bagi para produsen/pelaku usaha pangan. Juga meningkatkan kinerja pengawasan Pemerintah melalui Badan POM dan YLKI dalam mewujudkan produk pangan yang ama dan bergizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) generasi muda Indonesia.

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELANGGARAN PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN UU No. 8 TAHUN 1999

A. Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Label Produk Pangan Harus disadari bahwa persaingan usaha justru dibutuhkan dalam struktur ekonomi yang baik. Karena dengan adanya kompetisi antar pelaku usaha, para konsumen memiliki kebebasan dan alternatif secara luas mendapatkan barang-barang konsumsi. Manfaat dari hal itu terlihat kepada upaya-upaya yang bersifat kompetitif antar pelaku usaha dalam menciptakan produk barang yang berkualitas, berstandar bagus dan memuaskan para konsumen juga menekan harga barang tersebut.

Globalisasi dan perdagangan bebas yang ditunjang oleh pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika) semakin membuat pesat dan luasnya ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan ke tengah pasar. Barang dan/atau jasa yang ditawarkan tersebut bukan saja pada tingkat produk dalam negeri tetapi justru lebih pesat dari luar negeri. Dampaknya terhadap konsumen dari kondisi tersebut adalah barang dan/atau jasa yang dibutuhkan dapat terpenuhi dan bebas untuk menjatuhkan pilihan terhadap berbagai aneka jenis dan mutu barang dan/atau jasa yang sesuai dengan selera dan kemampuan konsumen.94

Di lain fenomena dan kondisi demikian dapat menjadikan posisi konsumen lemah dan tidak berimbang. Bahkan konsumen menjadi objek aktivitas pelaku usaha yang mengeksploitasinya demi mencapai profit yang sebesar-besarnya melalui promosi, cara penjualan, informasi yang menyesatkan mengenai

94

Titien Puji Rahayu, Bahan Skripsi Perlindungan Konsumen Pengawasan Makanan, Jakarta,

Univ. Islam Indonesia tahun 2008, Bab I, hal.35, didownload dari situs:

tanggal 29 April

barang, penerapan janji standar yang merugikan, janji-janji kosong dan sebagainya.

Marshal B Clinard dan Peter C Yeager dalam bukunya Corporate Crime dalam hubungan ini menggambarkan bahwa begitu ragam intensitas perbuatan curang dan illegal yang berakibat buruk karena secara sengaja dilakukan oleh perusahaan terhadap konsumen, pekerja dan saingannya, tidak peduli pula kepada mitra niaga bangsa-bangsa asing yang melibatkan ribuan atau miliaran dolar per tahun.95

Lebih luas lagi Kuntjoro Jakti mengatakan bahwa terdapat penafsiran yang keliru tentang kebebasan dan praktik bisnis yang tanpa pembatasan bahwa siapa tidak mampu bermain dalam gelanggang usaha, biarlah gugur atau mundur dari usahanya. Penafsiran keliru seperti ini menimbulkan citra buruk masyarakat terhadap pelaku usaha menghalalkan penggunaan segala cara dalam memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.96

Kenyataan menunjukkan, beraneka ragam faktor penting sebagai penyebab lemahnya konsumen. Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah:97

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya.

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang dan/atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya.

4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan. 5. Posisi konsumen yang lemah.

95

N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.57.

96 Ibid. 97

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN): Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Konsumen Atas Kelalaian Produsen, (Departemen Kehakiman RI, 1992), hal.77.

Jika diamati dalam pola sosial yang terjadi, faktor-faktor tersebut diatas dapat ditambahkan dalam wujud berikut ini:

1. Politik pembangunan di Indonesia lebih meleluasakan pelaku usaha, berupa melonggarkan norma-norma hukum dalam penerapan dan penataatan hukum konsumen.

2. Tidak konsistennya badan peradilan atas putusan-putusannya, dimana kerap terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus yang serupa.98

3. Sistem hukum Indonesia masih belum banyak menjamah dan merumuskan kebijakan untuk melindungi konsumen.

4. Tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang bukan konsumen, pihak mana memiliki akses kuat dalam pelbagai lini, tidak terkecuali kepada pengambil keputusan. Figur ini secara sosiologis berada di luar jangkauan hukum.99

Senada dengan faktor-faktor tersebut, hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) maupun PBB, termasuk The International

Organization of Consumer’s Union (IOCU) disimpulkan, bahwa para konsumen

agak enggan menggunakan sarana penegakan hukum dan institusi peradilan dalam mempertahankan kepentingannya karena tidak mudahnya menggunakan sarana hukum serta tingginya biaya berperkara di pengadilan.100

Dari hasil ini dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya konsumen belum mengerti tentang apa yang menjadi haknya dan bagaimana haknya dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga di kalangan pelaku usaha belum memahami adanya larangan terhadap perbuatan dan kebiasaan para pelaku usaha, khususnya terhadap pencantuman label dalam produk pangan yang diproduksinya.

98

Jusuf Sophie, Perlindungan Konsumen, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2000), hal.9.

99 Ibid. 100

Berbicara mengenai hak, umumnya konsumen menyangsikan bagaimana cara mendapatkan hak yang efektif, karena terlalu merepotkan kalau hanya menuntut tetapi tidak direspon dengan baik. Mengenai kerugian yang timbul akibat informasi yang menyesatkan dalam label produk pangan, konsumen mengatakan akan menuntut juga. Akan tetapi, kemana mengadukannya, semuanya tidak mengetahui kecuali hanya ke aparat kepolisian. Sosialisasi terhadap ketentuan-ketentuan penting di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus efektif dan tepat guna. Sanski-sanksi yang telah diatur sedemikian rupa dalam Pasal 62 Bab XIII UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini baik sanksi perdata, sanksi pidana, dan sanksi administrasi harus di berlakukan sesuai dengan penjatuhan sanksi oleh Majelis

Dokumen terkait