• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASOSIASI GENOTIPE GEN TLR DENGAN KETAHANAN AYAM KAMPUNG SAAT DITANTANG S enteritidis

PCR-RFLP

S. enteritidis SECARA ALAM

4 ASOSIASI GENOTIPE GEN TLR DENGAN KETAHANAN AYAM KAMPUNG SAAT DITANTANG S enteritidis

Pendahuluan

Penelitian tahap kedua membuktikan bahwa pada kondisi normal, ketiga genotipe gen TLR4 menghasilkan fenotipik dalam aspek ketahanan yang hampir sama. Dengan demikian ayam Kampung meskipun secara alami dipelihara dalam kondisi lingkungan yang tidak higiene, tetapi justru karena itu menjadikan ketiga genotipe gen TLR4 (AA, AG, dan GG) tahan atau resisten terhadap infeksi S. enteritidis. Kata kunci kategori tahan dalam penelitian tahap kedua adalah hasil negatif pada pengujian S. enteritidis dalam darah dan telur. Hasil positif mengenai keberadaan IgY spesifik S. enteritidis dalam serum darahnya dan ditemukannya IgY spesifik S. enteritidis dalam konsentrasi yang tinggi pada kuning telur yang dihasilkan ayam Kampung.

Ayam Kampung memperlihatkan hasil seperti pada penelitian tahap kedua ini, bisa disebabkan karena ayam memang benar-benar tahan atau bisa juga disebabkan karena jumlah pemapar yang diperoleh secara alami konsentrasinya rendah. Untuk mempertegas ketahanan ayam Kampung ini, maka penelitian tahap ke tiga diperlukan. Pada penelitian tahap ketiga, seluruh ayam Kampung diinfeksi (ditantang) dengan S. enteritidis.

Setelah ditantang dengan bakteri tersebut, dilakukan pengujian secara molekuler untuk mengetahui ekspresi gen dari ketiga genotipe gen TLR4. Selain itu, dilakukan pengujian secara biologis mengenai beberapa parameter yang merupakan indikator ketahanan tubuh terhadap infeksi S. enteritidis.

Pengujian ekspresi gen TLR4 setelah dipapar dengan S. enteritidis bertujuan untuk mengetahui keaktifan gen tersebut. Semakin tinggi ekspresi gen TLR4, berarti semakin aktif gen tersebut dalam menstranskripsi mRNA. Semakin tinggi ekspresi gen, maka semakin rendah konsentrasi S. enteritidis dalam darah, dan ayam tersebut dikategorikan tahan (resisten). Sebaliknya, semakin rendah ekspresinya, individu tersebut termasuk kategori peka (Zhongyong et al. 2012).

Jumlah kopi mRNA yang diekspresikan oleh gen TLR4 dapat dianalisis dari berbagai jaringan, seperti usus (duodenum, yeyenum, ileum, sekum dan colon), thymus, bursa fabrisius, limpa, paru-paru, hati, ginjal, otak, jantung, dan sumsum tulang. Pengujian ekspresi gen TLR4 juga dapat dilakukan pada sel imun (Iqbal et al. 2004). Pengujian ekspresi gen dilakukan dengan menggunakan metode Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

Penelitian tahap ketiga ini bertujuan untuk membuktikan ketahanan ayam Kampung saat ditantang dengan S. enteritidis. Pembuktian dilakukan dengan menganalisis asosiasi genotipe gen TLR4 dengan fenotipik yang merupakan ekspresi gen tersebut. Pengujian fenotipik ayam Kampung akibat ditantang dengan S. enteritidis dilakukan secara molekuler dan biologis.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai September, tahun 2013. Pemeliharaan ayam Kampung dilakukan di Laboratorium Lapang Divisi Unggas,

Pengujian ekspresi gen TLR4 dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak Molekuler, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian secara biologis mengenai parameter aspek ketahanan dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Laboratorium Bakteriologi, dan Laboratorium Imunologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Hewan Percobaan dan Pemeliharaan

Dalam penelitian ini digunakan ayam Kampung betina berumur delapan bulan sebanyak 50 ekor. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan komersial untuk ayam petelur periode produksi dengan kandungan protein kasar 14-17% dan energi metabolis sekitar 2850 kkal kg-1 pakan.

Ayam secara acak ditempatkan dalam sangkar individu yang sudah diberi nomor sesuai dengan nomor ayam. Sangkar tersebut berukuran 35 x 45 x 50 cm3. Bagian luar dari setiap sangkar diberi tempat pakan dan tempat air minum plastik. Seluruh sangkar berada dalam kandang yang berukuran 7 x 10 m2. Kandang juga dilengkapi dengan dua lampu neon berdaya 18 Watt sebagai penerangan.

Sebelum penelitian dimulai, ayam dipelihara satu minggu untuk beradaptasi. Selanjutnya, ayam dipelihara selama empat minggu (2-29 April 2013). Pakan dan air minum yang diberikan tidak dibatasi (ad libitum). Selama pemeliharaan dilakukan penimbangan pakan dan telur, serta pencatatan produksi telurnya. Pelaksanaan Uji Tantang

Uji tantang dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh (pada minggu keempat) pemeliharaan ayam Kampung. Selama lima hari tersebut, setiap harinya (pada pukul 07.00), setiap ayam diinfeksi dengan S. enteritidis melalui pencekokan, dengan dosis 105 cfu ml-1 (ID50) (Harvey et al. 2007). Pada hari terakhir pelaksanaan infeksi, secara sampling untuk genotipe AG dan GG (sebanyak enam ekor untuk masing-masing genotipe tersebut) dan satu ekor bergenotipe AA dilakukan pengujian terhadap fenotipik ayam tersebut akibat pelaksanaan uji tantang.

Pengujian diawali dengan mengkoleksi telur dan pengambilan sampel darah. Telur tersebut merupakan sampel untuk pengujian keberadaan S. enteritidis dan pengujian konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis dalam kuning telur. Sampel darah digunakan untuk pengujian S enteritidis dan konsentrasi leukosit serta diferensiasinya. Selanjutnya ayam dipotong, untuk pengujian ekspresi gen TLR4 yang dicerminkan dari jumlah kopi mRNA dari jaringan usus dan ginjal serta pengujian aktivitas fagositosisnya. Selain itu selama pelaksanaan uji tantang juga dilakukan pengamatan aspek produksinya.

Pengujian Ekspresi gen TLR4.

Ekspresi gen TLR4 merupakan fenotipik yang pengujiannya dilakukan secara molekuler. Pengujian ekspresi gen TLR4 ini dilakukan pada jaringan usus dan jaringan ginjal. Pemilihan jaringan usus dalam pengujian ini berdasarkan pada kenyataan bahwa infeksi S. enteritidis diawali dengan menembus dinding usus

dan mukosa usus. Semestinya ekspresi gen TLR4 pada jaringan usus ini lebih tinggi dibandingkan dengan ekspresinya pada jaringan lain, yang dalam penelitian ini pengujiannya diwakili oleh jaringan ginjal. Pengujian ini terdiri dari 3 tahap yaitu 1) ekstraksi RNA, 2) reaksi reverse transkriptase (mensistesis cDNA utas tunggal), dan 3) RT-PCR.

Ekstraksi RNA dilakukan pada sampel yang berasal dari jaringan usus dan dari jaringan ginjal. Sampel yang berasal dari jaringan usus merupakan campuran dari seluruh bagian dari usus yang meliputi duodenum, yeyenum, ileum, seka dan colon (usus besar). Ekstraksi ini untuk mendapatkan total RNA, menggunakan

GeneJET Purification Kit (Thermo Scientific), dengan prosedur sebagai berikut : Sebanyak 30 mg sampel dimasukkan dalam tabung 1.5 ml, dihancurkan dengan mikropestle, kemudian ditambah dengan 300 µ l lysis buffer. Campuran ini selanjutnya divorteks sampai homogen. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Campuran ini lalu disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Bagian supernatan dipindahkan ke tabung baru, kemudian ditambah 450 µ l etanol absolut, dan dimasukkan ke dalam RB column. Lalu disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm, selama 1 menit. Kedalam supernatan ini ditambahkan 700 µ l wash buffer 1, dan disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm, selama 1 menit. Selanjutnya ditambahkan 600 µ l wash buffer 2, dan disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm, selama 1 menit. Kedalam campuran ini ditambah 250 µ l wash buffer 2, lalu disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm, selama 2 menit. Jika masih ada cairan, disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm, selama 1 menit. Selanjutnya dipindahkan column ke tabung 1.5 ml baru. Selanjutnya ditambahkan 100 µ l RNase free water, lalu disentrifugase dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. RNA siap digunakan, dan sebelumnya dilakukan perhitungan konsentrasi dan kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer.

Reverse transcriptase adalah reaksi mensintesis cDNA utas tunggal dari

total RNA yang dihasilkan. Reaksi ini juga menggunakan GeneJET Purification Kit (Thermo Scientific), dengan prosedur sebagai berikut : Membuat larutan yang terdiri dari 1 µg total RNA, 1 µl oligo(dt) dan nuclease free water sampai mencapai volume 12 µ l. Selanjutnya larutan diinkubasi dalam suhu 65 oC selama 5 menit, kemudian segera dimasukkan ke ice bath. Larutan kemudian ditambahkan 5 x reaction buffer 4 µ l, 1 µ l RNase inhibitor, 2 µl dNTP mix dan 1 µ l reverse transcriptase, sampai mencapi total volume 20 µ l. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 42 oC selama 60 menit. Sebagai tahap akhir dipanaskan pada suhu 70 oC selama 5 menit. Kemudian diperoleh cDNA yang siap digunakan.

Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), menggunakan cDNA

dari hasil reaksi reverse transcriptase untuk memperoleh mRNA. Pada reaksi ini menggunakan primer (F) : 5’-GTC CCT GCT GGC AGG AT-3’, dan primer (R) :

5’-TGT CCT GTG CAT CTG AAA GCT-3’ (MacKinnon et al. 2006). Pada reaksi ini juga digunakan SYBR Green Super Mix. Untuk menentukan standar kurva gen TLR4 digunakan kontrol gen GAPDH (Anne et al. 2011). Alat yang digunakan adalah qTower.

Pengujian Konsentrasi Leukosit, S. enteritidis dan IgY Spesifik

Pengujian konsentrasi leukosit dan diferensiasinya (heterofil, monosit, dan limfosit) dilakukan dengan menggunakan metode Giemsa (Sastradipradja et al. 1989). Adapun pengujian S. enteritidis dalam sampel darah dan telur mengacu pada BAM (2007). Pengujian konsentrasi IgY spesifik terhadap S. enteritidis dari kuning telur dilakukan dengan menggunakan teknik Indirect ELISA.

Pengujian Aktivitas Fagositosis

Pengujian aktivitas fagositosis dilakukan dengan pengujian terhadap aktivitas dan kapasitas makrofag yang meliputi preparasi sel makrofag, preparasi bakteri (S.enteritidis) dan assay fagositosis (Utama et al. 2000), seperti diuraikan berikut :

Tahap preparasi makrofag, menggunakan makrofag yang berasal dari cairan intra peritonium ayam. Sebelumnya ayam dipotong, selanjutnya ayam di nekropsi dan bagian peritonial diberi NaCl fisiologis sebanyak 5 ml melalui penyemprotan menggunakan alat suntik. Beberapa saat kemudian dilakukan pemanenan cairan intraperitenium dengan menggunakan mikropipet. Cairan intra peritenium yang berisi makrofag dibuat preparat ulas, selanjutnya dilakukan pewarnaan Giemsa. Jumlah makrofag dihitung (menggunakan hemositometer). Jumlah makrofag yang digunakan untuk assay fagositosis ini setara 105 sel ml-1.

Tahap preparasi S. enteritidis, menggunakan isolat bakteri S. enteritidis

dibiakan ke dalam medium Braint Heart Infusion Broth sebanyak 50 ml. Selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 oC. Medium tersebut disentrifugase dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit, kemudian bagian supernatan dibuang. Bagian pelet dicuci dengan PBS, lalu divorteks, kemudian disentrifugase lagi dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit, hal ini dilakukan 3 kali, dengan tujuan untuk menghilangkan sisa medium. Pelet selanjutnya dibuat suspensi dengan ditambahkan larutan NaCl fisiologis, kemudian distandarkan dengan larutan Mac. Farland I setara dengan 300 x 106 cfu ml-1 atau 3.0 x 108 cfu ml-1, suspensi yang dibuat diperkirakan mengandung bakteri 3.0 x 108 cfu ml-1, dan suspensi ini siap untuk digunakan.

Tahap assay fagositosis, dilakukan dengan cara : suspensi makrofag 0.5 x 105 sel ml-1 dan 0.5 x 108 sel ml-1 bakteri S. enteritidis ditempatkan ke dalam tabung mikro, kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 oC. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, lalu pada bagian pelet ditambahkan dengan 0.5 ml PBS. Selanjutnya dibuat preparat ulas yang difiksasi dengan metanol selama 15 menit, dan diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 60 menit. Kemudian dilihat dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000 kali. Nilai aktivitas fagositosis dihitung dengan rumus berikut :

Nilai kapasitas makrofag merupakan rata-rata jumlah bakteri yang ditelan oleh 50 makrofag yang aktif (Atlas 1984).

Pengamatan Aspek Produksi

Selama pelaksanaan uji tantang dilakukan pengamatan terhadap aspek produksi yang meliputi : konsumsi pakan, produksi telur, bobot telur. Dari data konsumsi pakan dan bobot total telur dapat dihitung besarnya nilai konversi pakan.

Analisis Data

Data dianalisis ragam (ANOVA) dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Genotipe gen TLR4 sebagai perlakuan dan data hasil pengujian selama pelaksanaan uji tantang sebagai respon. Model statistik yang digunakan Yij = μ + Pi + εij (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

Yij = nilai pengamatan µ = nilai tengah umum

Pi = pengaruh perlakuan pada taraf ke i

ɛij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke i pada ulangan ke j Hasil dan Pembahasan

Hasil pengujian fenotipik, baik secara molekuler maupun secara biologis pada ayam Kampung setelah diinfeksi (ditantang) dengan S. enteritidis selama lima hari berturut-turut dengan dosis infeksi (ID50 : 105 cfu ml-1) kemudian diasosiasikan dengan genotipe gen TLR4.

Ekspresi gen TLR4

Tingkat ekspresi gen TLR4 adalah salah satu fenotipik, yang dicerminkan oleh jumlah kopi mRNA. Pada penelitian ini dianalisis dari jaringan usus dan dari jaringan ginjal. Ekspresi gen tersebut setelah diasosiasikan dengan genotipe gen TLR4, disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Asosiasi genotipe gen TLR4 ayam Kampung dengan ekspresinya saat ditantang dengan S. enteritidis

Fenotipik yang diuji Genotipe gen TLR4

AA*(1) AG (6) GG (6) mRNA usus (x 107) mRNA ginjal (x 107) 3.92 2.58 1.61 ± 0.87 1.12 ± 0.88 2.36 ± 1.62 1.43 ± 0.91

Keterangan : * Genotipe AA tidak disertakan dalam pengujian secara statistik (..) : jumlah sampel

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa rataan jumlah kopi mRNA dari jaringan ginjal (baik pada genotipe AA, AG maupun GG) lebih rendah dari pada jumlah kopi mRNA dari jaringan usus. Hasil ini sesuai dengan Iqbal et al. (2005), yang menyatakan bahwa secara umum, ekspresi gen TLR4 pada jaringan usus adalah tertinggi, selanjutnya diikuti oleh jaringan hati dan limpa. Jumlah kopi mRNA yang terendah adalah dari jaringan ginjal, otak, jantung dan otot.

Bila dilihat dari besarnya nilai rataan jumlah kopi mRNA dari jaringan usus maupun ginjal pada semua genotipe (1.12-3.92 x 107), maka paparan S. enteritidis

yang sengaja diberikan mampu menghasilkan ekspresi gen yang tinggi. Hal ini berarti bahwa semua genotipe gen TLR4 setelah dipapar mampu berekspresi secara kuat. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Jia et al. (2012) yang menyatakan bahwa gen TLR4 pada itik terekspresi secara kuat baik pada jaringan hati, ginjal, limpa maupun usus.

Jumlah kopi mRNA gen TLR4 dari jaringan usus pada ayam Kampung yang bergenotipe AG dan GG secara statistik tidak berbeda. Demikian juga jumlah kopi mRNA yang berasal dari jaringan ginjal. Hasil ini memberi makna bahwa genotipe gen TLR4 pada ayam Kampung yang berbeda (AG dan GG), mempunyai potensi yang sama dalam mentranskripsi protein reseptor permukaan sel fagosit. Protein reseptor ini berfungsi mengenali LPS dari S. enteritidis.

Tingkat ekspresi gen TLR4 yang tidak berbeda, disebabkan karena pada umumnya kondisi pemeliharaan ayam Kampung oleh masyarakat dilakukan secara tradisional dan dalam keadaan kurang higiene. Kondisi ini memungkinkan terjadinya paparan S.enteritidis terus menerus secara alami. Paparan tersebut akan menginduksi peningkatan aktivitas gen TLR4 pada seluruh genotipe, sehingga ekspresi yang ditampilkan oleh gen TLR4 juga dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan secara terus menerus.

Gen TLR4 yang bergenotipe AA dalam penelitian ini hanya ditemukan dari satu ekor ayam. Hasil pengujian jumlah kopi mRNA dari genotipe tersebut adalah sebesar 3.92 x 107 (dari jaringan usus) dan 2.58 x 107 (dari jaringan ginjal). Setidaknya hasil pengujian jumlah kopi mRNA pada genotipe AA ini tidak lebih rendah dari rataan jumlah mRNA dari genotipe AG dan GG.

Konsentrasi Leukosit dan Diferensiasi Leukosit

Asosiasi genotipe gen TLR4 ayam Kampung saat ditantang S. enteritidis

(dosis ID50 : 105 cfu ml-1) dengan konsentrasi leukosit dan diferensiasinya disajikan pada Tabel 4.2. Konsentrasi leukosit dan persentase heterofil, monosit, dan limfosit, antara genotipe AG dan genotipe GG secara statistik tidak berbeda.

Dari tabel ini dapat dilihat bahwa konsentrasi leukosit maupun persentase diferensiasinya pada ketiga genotipe gen TLR4 ayam Kampung (AA, AG, dan GG) berada pada kisaran normal secara fisiologis. Konsentrasi leukosit pada kondisi ini hampir sama dengan hasil penelitian pada tahap kedua. Dengan demikian perlakuan uji tantang dengan S.enteritidis pada dosis infeksi (ID50), tidak menyebabkan gangguan secara fisiologis pada ayam Kampung. Hal ini berarti bahwa meskipun ayam Kampung diinfeksi dengan S. enteritidis, namun secara klinis tidak memperlihatkan gangguan.

Tabel 4.2 Asosiasi genotipe gen TLR4 dengan konsentrasi leukosit dan diferensiasinya pada ayam Kampung saat ditantang dengan S. enteritidis

Fenotipik yang diuji Genotipe gen TLR4

AA*(1) AG (6) GG (6) Leukosit (103 sel mm-3) 22.16 19.50 ± 3.83 22.69 ± 9.11

Heterofil (%) 37.00 39.00 ± 3.94 41.43 ± 9.05 Monosit (%) 5.00 5.20 ± 1.79 4.71 ± 1.11 Limfosit (%) 57.00 54.00 ± 4.06 52.43 ± 9.25

Keterangan : * Genotipe AA tidak disertakan dalam pengujian secara statistik (..) : jumlah sampel

Perlakuan uji tantang, selain dapat meningkatkan respons imun non spesifik, juga diharapkan dapat meningkatkan respons imun spesifik. Limfosit adalah bagian dari leuko sit yang terdiri dari limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B), yang berperan dalam pembentukan respons imun spesifik. Dari penelitian tahap kedua, persentase limfosit ayam Kampung pada kondisi normal berkisar antara 44.47- 54%. Konsentrasi riil dari limfosit tersebut adalah 9.33-11.98 x 103 sel mm-3. Setelah pelaksanaan uji tantang pada penelitian tahap ketiga ini, persentase limfosit dalam darah sirkulasi meningkat menjadi 52.43-57.00% dengan konsentrasi riilnya sebesar 10.53-12.63 x 103 sel mm-3. Hal ini berarti bahwa perlakuan uji tantang menyebabkan terjadinya proliferasi limfosit, sehingga konsentrasi riil dan persentasenya meningkat.

Untuk mengetahui genotipe yang menghasilkan respons tertinggi dalam pembentukan limfosit, antara sebelum dipapar S. enteritidis dengan setelah pelaksanaan uji tantang, disajikan pada Tabel 4.3. Dari tabel ini terlihat bahwa genotipe GG memperlihatkan respons yang lebih tinggi dalam pembentukan limfosit setelah dipapar dengan S. enteritidis, baik dalam persentase maupun konsentrasi riilnya daripada genotipe AG dan AA.

Tabel 4.3 Respons pembentukan limfosit antara sebelum dan sesudah pelaksanaan uji tantang

Genotipe Sebelum uji tantang Setelah uji tantang Respons % 103 sel mm-3 % 103 sel mm-3 % 103 sel mm-3 AA 54.00 11.98 57.00 12.63 3.00 0.65 AG 50.00 9.43 54.00 10.53 4.00 1.10 GG 44.47 9.36 52.43 11.89 7.96 2.53

Rasio antara persentase heterofil dan limfosit (H/L) ayam Kampung saat ditantang dengan S. enteritidis adalah 0.79 ± 0.28. Setelah diasosiasikan dengan genotipe gen TLR4, maka diperoleh hasil : rasio H/L untuk genotipe AA adalah 0.65, untuk genotipe AG dan GG masing-masing mempunyai rasio H/L sebesar 0.73 ± 0.12 dan 0.85 ± 0.38. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayam dalam kondisi tercekam. Terjadinya cekaman ini disebabkan karena ayam sedang diinfeksi dengan S. enteritidis. Selain itu, suhu lingkungan pemeliharaan yang

jauh dari kondisi nyaman bagi ayam memperparah tingkat stres yang terjadi. Aktivitas Fagositosis

Aktivitas fagositosis dalam penelitian ini diperoleh dari pengujian aktivitas dan kapasitas makrofag sebagai sel fagosit. Secara keseluruhan ayam Kampung yang sedang ditantang dengan S. enteritidis memperlihatkan rataan nilai aktivitas makrofag sebesar 72.92 ± 4.03%. Enny et al. (2013) dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa sel makrofag pada ayam broiler berumur 5 minggu (dalam kondisi normal, tanpa perlakuan tertentu), memperlihatkan jumlah makrofag yang aktif sebesar 10.96%. Dengan demikian ayam Kampung yang ditantang dengan S. enteritidis dalam penelitian ini menghasilkan aktivitas makrofag yang sangat tinggi.

Tingginya aktivitas makrofag pada ayam Kampung akibat paparan S. enteritidis ini juga diikuti dengan peningkatan kapasitasnya. Rataan kapasitas makrofag dari seluruh sampel ayam Kampung yang diuji dalam penelitian ini adalah sebesar 41.38 ± 2.71 bakteri makrofag-1. Nilai kapasitas makrofag hasil penelitian ini sangat tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Okti et al.

(2008), yang menyatakan bahwa kapasitas makrofag ayam petelur komersial (Single Comb Brown Leghorn) berumur 24 minggu adalah sebesar 1.60 bakteri makrofag-1.

Nilai aktivitas dan kapasitas makrofag dalam penelitian ini setelah diasosiasikan dengan genotipe gen TLR4 ayam Kampung, diperoleh hasil seperti disajikan pada Tabel 4.4. Secara statistik nilai aktivitas dan kapasitas makrofag dari ayam Kampung yang gen TLR4 nya bergenotipe AG dan GG tidak berbeda. Tabel 4.4 Asosiasi genotipe gen TLR4 dengan aktivitas dan kapasitas makrofag

ayam Kampung saat ditantang dengan S. enteritidis

Fenotipik yang diuji Genotipe gen TLR4 AA*(1) AG (6) GG (6) Aktivitas makrofag (%) 74.00 74.40 ± 4.39 71.86 ± 3.72 Kapasitas makrofag (bakteri makrofag-1) 40.96 40.33 ± 1.26 42.13 ± 3.29

Keterangan : * Genotipe AA tidak disertakan dalam pengujian secara statistik (..) : jumlah sampel

Ayam Kampung dengan gen TLR4 bergenotipe AA memperlihatkan nilai aktivitas dan kapasitas makrofag yang hampir sama dengan AG maupun GG. Hal ini memperlihatkan bahwa ketiga genotipe gen TLR4 pada ayam Kampung saat ditantang dengan S. enteritidis menghasilkan aktifitas fagositosis yang tinggi dan hampir sama antara ketiganya. Tingginya aktivitas fagositosis ini sejalan dengan tingginya hasil pengujian ekspresi gen TLR4 pada ketiga genotipe (AA, AG, dan GG). Dengan tingkat ekspresi gen TLR4 yang tinggi, maka protein TLR4 yang ditranskripsi juga tinggi. Protein ini merupakan reseptor permukaan sel fagosit yang berperan dalam mengenali LPS dari bakteri S. enteritidis yang dipaparkan. Makrofag, yang pada permukaan selnya terdapat reseptor TLR4 dalam jumlah banyak akan mampu meningkatkan aktivitas fagositosisnya terhadap S. enteritidis. Tingginya nilai aktifitas dan kapasitas makrofag ini juga disebabkan karena

di dalam tubuh ayam Kampung sudah terdapat zat kebal (antibodi) yang spesifik terhadap S. enteritidis, seperti yang telah dibuktikan pada penelitian tahap kedua. Keberadaan antibodi spesifik dalam serum darah dapat meningkatkan aktivitas fagositosis dari sel fagosit, karena salah satu fungsi dari antibodi adalah sebagai opsonin. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Okti et al. (2008), yang menyatakan bahwa kapasitas makrofag ayam petelur periode produksi setelah dipreinkubasi dengan IgY kuning telur, meningkat dari 1.60-5.18 bakteri makrofag-1.

Keberadaan S. enteritidis dalam Darah dan Telur

Hasil pengujian S. enteritidis dalam darah dan telur ayam Kampung yang dipapar dengan bakteri tersebut disajikan dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Asosiasi genotipe gen TLR4 ayam Kampung dengan keberadaan S. enteritidis dalam darah dan telur saat pelaksanaan uji tantang

Fenotipik yang diuji Genotipe gen TLR4 AA*(1) AG (6) GG (6)

S. enteritidis dalam darah negatif negatif negatif

S. enteritidis dalam telur negatif negatif negatif

Keterangan : (..) : jumlah sampel

Meskipun ayam dalam penelitian ini diinfeksi dengan S. enteritidis, tetapi dalam pengujian keberadaan bakteri tersebut di dalam darah ayam Kampung dari ketiga genotipe gen TLR4 (AA, AG, dan GG), hasilnya negatif. Ketidakberadaan bakteri tersebut dalam darah menyebabkan pengujian keberadaan S. enteritidis

dalam telur yang dihasilkan ayam tersebut juga negatif. Hal ini disebabkan karena ayam tersebut memiliki nilai aktivitas dan kapasitas makrofag yang tinggi. Tingginya nilai aktivitas fagositosis ini berarti bahwa makrofag mampu berfungsi dengan sangat baik dan clearence terhadap bakteri S. enteritidis yang dipaparkan. Konsentrasi IgY Spesifik S. enteritidis dalam Kuning Telur

Sebelum ditantang dengan S. enteritidis, kuning telur ayam Kampung mengandung IgY spesifik S. enteritidis dalam konsentrasi yang tinggi. Setelah dipapar dengan bakteri tersebut konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis disajikan dalam Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis dalam kuning telur setelah ayam Kampung ditantang dengan S. enteritidis

Genotipe gen TLR4 IgY spesifik S. enteritidis (mg ml-1)

AA*(1) 2.94

AG (6) 3.69 ± 0.68

GG (6) 3.89 ± 0.83

Keterangan : * Genotipe AA tidak disertakan dalam pengujian secara statistik (..) : jumlah sampel

Pelaksanaan uji tantang ini seharusnya meningkatkan konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis dalam serum darahnya, sehingga konsentrasinya yang ditransfer ke kuning telur semestinya juga signifikan lebih tinggi. Hasil pengujian konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis pada tahap ini berkisar antara 2.94-3.89 mg ml-1. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan saat sebelum dilakukan uji tantang yaitu sebesar 2.47-3.58 mg ml-1.

Pembentukan antibodi bila di dalam tubuh sudah terdapat sel B memori bisa berlangsung lebih cepat dengan konsentrasi lebih tinggi. Meskipun demikian, karena pengujian terhadap IgY spesifik S. enteritidis pada penelitian tahap ini

Dokumen terkait