PCR-RFLP
S. enteritidis SECARA ALAM
5 PEMBAHASAN UMUM
Sebagai kearifan lokal, telur ayam Kampung dipercaya oleh masyarakat Indonesia dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan menyembuhkan berbagai macam penyakit. Oleh sebab itu sebagian besar telur ayam Kampung, selama ini dimanfaatkan masyarakat sebagai jamu atau bagian dari ramuan jamu yang dikonsumsi secara langsung tanpa melalui pemasakan. Kepercayaan tersebut dipelihara oleh masyarakat dan menurun dari geneasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut terjadi karena selama ini tidak ditemukan kejadian salmonellosis yang diakibatkan karena mengkonsumsi telur ayam Kampung mentah.
Ayam Kampung tidak memiliki ciri yang khas, sangat beragam sifatnya, dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Masyarakat menganggap bahwa ayam Kampung merupakan ayam yang tahan terhadap penyakit. Ayam Kampung dipelihara oleh masyarakat secara tradisional dalam kondisi lingkungan marginal. Dengan pakan berkualitas rendah, dalam lingkungan pemeliharaan yang tidak higiene, tetapi keberadaan ayam Kampung tetap exist, dan tetap mengalami peningkatan populasi, meskipun peningkatan tersebut tidak terlalu tinggi (dari tahun 2000-2012, populasi meningkat sekitar 5.90%).
Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, ide penelitian ini berawal. Penelitian ini mengkaji ketahanan tubuh ayam Kampung terhadap infeksi S. enteritidis.
Bakteri S. enteritidis di dalam manajemen pemeliharaan ternak unggas tidak merupakan agen penyakit yang diperhitungkan, karena sifatnya tidak mematikan. Dari segi keamanan pangan, S. enteritidis merupakan salah satu bakteri yang sangat penting, karena dua alasan. Yang pertama, S. enteritidis selain patogen, juga bersifat zoonosis, dan sebagai inangnya adalah manusia dan hewan (terutama adalah ayam). Alasan kedua adalah, sebagaimana bakteri Salmonella yang lain, yaitu mudah menyebar. Oleh sebab itu kasus salmonellosis yang dilaporkan, sebagian besar adalah karena infeksi S. enteritidis yang disebabkan karena mengkonsumsi telur mentah atau telur yang tidak matang secara sempurna.
Ketahanan tubuh merupakan sifat yang selain dipengaruhi oleh lingkungan, juga dikontrol oleh gen. Salah satu gen yang telah dibuktikan berasosiasi kuat dengan ketahanan tubuh terhadap S. enteritidis adalah gen TLR4. Gen ini menstrankripsi protein yang berperan sebagai reseptor permukaan sel fagosit, baik makrofag maupun heterofil. Reseptor TLR4 mampu mengenali lipopolisakarida (LPS), yang merupakan salah satu komponen bakteri S. enteritidis. Semakin aktif gen TLR4 berarti semakin banyak reseptor TLR4 yang ditranskripsi. Semakin banyak reseptor TLR4 pada permukaan sel fagosit maka kemampuan fagositosis sel tersebut terhadap S. enteritidis akan meningkat. Respons tubuh yang diperantarai oleh sel fagosit disebut respons imun non spesifik. Dengan demikian keaktifan gen TLR4 ini berpengaruh secara langsung terhadap respons imun non spesifik yang ditimbulkan.
Oleh sebab itu tujuan penelitian ini adalah membuktikan ketahanan ayam Kampung terhadap S. enteritidis menggunakan gen TLR4 sebagai penciri genetik. Pembuktian dilakukan dengan mengasosiasikan genotipe gen TLR4 pada ayam Kampung dengan ketahanannya yang diekspresikan oleh gen tersebut terhadap S. enteritidis. Pembuktian ini dilakukan melalui serangkaian pengujian secara molekuler dan secara biologis.
Dari genotyping gen TLR4 yang dilakukan pada ayam Kampung menggunakan teknik PCR-RFLP pada exon 2 (basa ke 3898-4117), dengan enzim restriksi MscI, teridentifikasi tiga macam genotipe gen TLR4, yaitu AA, AG dan GG. Genotipe GG mendominasi frekuensi genotipe gen TLR4. Ketiga genotipe ini selanjutnya diasosiasikan dengan aspek ketahanan ayam.
Pada kondisi lingkungan pemeliharaan ayam Kampung yang normal, di dalam darah maupun telurnya tidak ditemukan keberadaan S. enteritidis, baik pada AA, AG, maupun GG. Kenyataan ini tidak berarti bahwa dalam keadaan sehari-hari ayam Kampung tidak pernah terpapar oleh bakteri tersebut. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian IgY spesifik S. enteritidis secara kualitatif dalam serum darahnya. Ketiga macam genotipe gen TLR4 di dalam serum darahnya positif ditemukan antibodi (IgY) spesifik S. enteritidis. Keberadaan IgY spesifik ini membukt ikan bahwa dalam keadaan normal ayam dapat terinfeksi bakteri ini secara alami dari lingkungan.
Antibodi spesifik yang terdapat dalam serum darah ayam Kampung ini selanjutnya dalam proses pembentukan telur, ditransfer ke kuning telur, sehingga kekebalan yang terdapat dalam kuning telur ini diperoleh secara pasif dari induknya (maternal immunity). Yang mengejutkan adalah kenyataan bahwa konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis dalam kuning telur ini sangat tinggi. Pada ketiga genotipe gen TLR4 ayam Kampung, konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis
dalam kuning telur berkisar antara 2.47-3.58 mg ml-1.
Konsentrasi IgY spesifik yang terkandung dalam kuning telur ayam ras adalah 0.07-0.67 mg ml-1 (Schade dan Hlinak 1996) atau berkisar antara 0.2-2.0 mg ml-1 (Rose et al. 1974). Meskipun keberadaan IgY spesifik S. enteritidis dalam serum tidak diuji secara kuantitatif, tetapi berdasarkan tingginya konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis yang ditransfer ke kuning telur, menunjukkan bahwa konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis dalam serum darah ayam Kampung tentunya juga sangat tinggi. Kenyataan diatas adalah kunci jawaban mengapa tidak pernah ditemukan kasus salmonellosis karena mengkonsumsi telur ayam Kampung mentah. Telur ayam Kampung mempunyai konsentrasi IgY spesifik S. enteritidis yang sangat tinggi, sehingga mampu melindungi dari terjadinya kontaminasi bakteri tersebut yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Pada ayam Kampung meskipun terinfeksi S. enteritidis secara alami, tetapi di dalam darah tidak ditemukan bakteri tersebut. Hal ini berarti bahwa makrofag dan heterofil, sebagai sel fagosit berfungsi dengan sangat baik dan clearence
terhadap bakteri tersebut. Ketidakberadaan S. enteritidis dalam darah ayam Kampung pada ketiga genotipe gen TLR4 ini menyebabkan pada telur yang dihasilkan ayam tersebut juga tidak ditemukan S. enteritidis.
Makrofag dan heterofil mampu memfagositosis S. enteritidis yang menginfeksi secara alami, disebabkan karena dipermukaan sel fagosit tersebut banyak terdapat reseptor TLR4. Tingginya reseptor TLR4 ini memudahkan makrofag dalam menangkap S. enteritidis. Reseptor TLR4 ini merupakan protein yang ditranskripsi oleh gen TLR4. Apabila gen TLR4 ini aktif maka reseptor TLR4 yang hasilkan adalah banyak, dan ayam yang demikian termasuk dalam kategori tahan terhadap S. enteritidis.
Hal tersebut dibuktikan pada pengujian tingkat ekspresi gen TLR4 saat ditantang dengan S. enteritidis dengan dosis infeksi. Setelah dipapar dengan S. enteritidis, ekspresi gen TLR4 pada ketiga genotipe, dianalisis secara molekuler
dengan teknik RT-PCR. Tingkat ekspresi gen TLR4, yang dicerminkan oleh jumlah kopi mRNA, merupakan indikator keaktifan dari gen TLR4. Ekspresi gen TLR4 dianalisis dari jaringan usus (gabungan dari duodenum, yeyenum, ileum, seka dan colon), serta dari jaringan ginjal. Baik yang berasal dari jaringan usus maupun ginjal, jumlah kopi mRNA yang dihasilkan oleh ketiga genotipe gen TLR4 (AA, AG, dan GG) termasuk kategori tinggi yaitu berkisar antara 1.12 - 3.92 x 107.
Tingginya jumlah kopi mRNA ini menandakan ketiga genotipe gen TLR4 dalam kondisi aktif. Dengan demikian jumlah protein TLR4 yang ditranskripsi sebagai reseptor permukaan sel fagosit adalah tinggi. Jumlah reseptor TLR4 yang banyak pada permukaan sel fagosit ini berkorelasi positif dengan aktifitas fagositosis, dan berkorelasi negatif dengan konsentrasi S. enteritidis dalam darah dan telur ayam.
Pengujian secara biologis terhadap aktifitas fagositosis ayam Kampung setelah dipapar dengan S. enteritidis diperoleh nilai yang sangat tinggi. Makrofag yang aktif dari ketiga genotipe gen TLR4 ayam Kampung berkisar antara 71.86- 74.40%, dengan kapasitas makrofag sebesar 40.33-42.13 bakteri makrofag-1. Nilai aktivitas makrofag dan kapasitas makrofag yang tinggi tersebut, terbukti mampu mengeliminasi atau clearence terhadap S. enteritidis yang dipaparkan, sehingga dalam pengujian keberadaan bakteri tersebut di dalam darah maupun dalam telur hasilnya negatif.
Paparan S. enteritidis yang diberikan pada ayam Kampung meningkatkan aktivitas gen TLR4 pada semua genotipe (AA, AG dan GG). Peningkatan ini berdampak pada peningkatan aktivitas fagositosis. Dengan demikian paparan S. enteritidis ini secara langsung meningkatkan respons imun non spesifik yang diperantarai oleh sel fagosit, khususnya makrofag. Secara tidak langsung paparan ini juga akan meningkatkan respons imun spesifik, melalui peran makrofag sebagai Antigen Presenting Cell (APC).
Pembentukan respons imun spesifik diperantarai oleh sel T helper dan sel B. Produk dari respons imun spesifik ini adalah antibodi spesifik. Pembentukan IgY spesifik akibat paparan S. enteritidis pada ayam Kampung dalam penelitian ini akan lebih cepat dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Asumsi ini berdasarkan kenyataan bahwa sebelum ditantang dengan S. enteritidis, ayam Kampung yang digunakan dalam penelitian ini sudah pernah terpapar secara alami oleh bakteri tersebut dari lingkungan pemeliharaan. Dengan demikian di dalam tubuh ayam Kampung tersebut sudah terbentuk sel B memori spesifik S. enteritidis.
Bahasan umum yang diuraikan diatas menjawab seluruh hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Ayam Kampung pada semua genotipe gen TLR4 saat dipapar dengan S. enteritidis pada dosis infeksi (ID50 : 105 cfu ml-1), menghasilkan ekspresi gen tinggi, menghasilkan aktivitas fagositosis yang juga tinggi, tidak ditemukan S. enteritidis dalam darah dan telur, serta positif ditemukan IgY spesifik S. enteritidis dalam serum darahnya dan konsentrasinya dalam kuning telur sangat tinggi. Selain itu ayam Kampung saat dipapar dengan S. enteritidis dengan dosis tersebut, tidak mengalami gangguan secara fisiologis. Hal ini dibuktikan bahwa pada ketiga genotipe gen TLR4 (AA, AG, dan GG), dari hasil pengujian konsentrasi leukosit dan diferensiasinya tetap berada pada kisaran normal. Dengan demikian ayam Kampung dengan ketiga genotipe gen TLR4 ini termasuk tahan terhadap S. enteritidis.
Bila dilihat dari respons fisiologis (pada persentase limfosit dan konsentrasi riilnya serta IgY spesifik), antara sebelum dan setelah ditantang dengan S. enteritidis, genotipe GG memperlihatkan respons yang lebih tinggi daripada AG. Berdasarkan aspek produksinya (persentase produksi telur hen day), sepertinya genotipe GG lebih rendah daripada AG.
Genotipe GG pada ayam Kampung ini menarik untuk dicermati. Genotipe tersebut frekuensinya tinggi, memperlihatkan respon fisiologis yang tinggi pada aspek ketahanan, tetapi pada pengamatan aspek produksi yang singkat diperoleh rataan produksi telur rendah. Perlu waktu pengamatan yang panjang untuk memastikan apakah genotipe GG ini berkorelasi positif atau sebaliknya dengan produksi telur hen day yang dihasilkan.
Setidaknya dengan dibuktikannya bahwa ayam Kampung pada semua genotipe tahan terhadap S. enteritidis, maka kedepan pengembangan ayam Kampung benar-benar bisa diarahkan pada peningkatan produkstivitasnya, terutama peningkatan produksi telur hen day. Selama ini upaya peningkatan produksi ayam Kampung lebih banyak pada peningkatan managemen pemeliharaan dan perbaikan mutu pakan. Hasil yang diperoleh akan lebih baik bila upaya tersebut disinergikan dengan pendekatan genetik, melalui program seleksi yang dilakukan secara terus menerus.