• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Arkeologis

Dalam dokumen Bab 1 Pendahuluan (Halaman 47-50)

PENDEKATAN PERENCANAAN

2. Aspek Arkeologis

Sebuah pertanyaan mengapa Keraton-keraton di Cirebon perlu dilestarikan. Dalam pelestarian ada beberapa kriteria penentuan obyek pelestarian cagar budaya. Kriteria itu meliputi estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, memperkuat kawasan, dan keistimewaannya.

Dari sisi estetika, keraton-keraton di Cirebon merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional, pengaruh Cina dan arsitektur pengaruh Eropa atau Indis yang mewakili prestasi khusus dalam suatu gaya arsitektur. Tolok ukur estetika ini dapat dikaitkan dengan nilai estetis dan arsitektonis yang tinggi dalam hal bentuk, struktur, tata ruang, dan ornamennya.

Tolok ukur kejamakan ditekankan pada karya arsitektur yang mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik. Hal ini terlihat dari ciri khusus beberapa bangunan Keraton-keraton di Cirebon seperti terlihat dari hiasan batu karang yang kemudian dikembangkan dalam bentuk karya seni lain seperti motif batik. Hiasan lain sebagai ornamen adalah penempatan keramik pada beberapa bangunan yang juga diadobsi pada gapura gang masuk perkampungan. Pemasangan keramik cukup mendominasi pada bangunan merupakan ciri khas yang jarang ditemukan di Indonesia.

Sisi lain adalah tolok ukur kelangkaan, yaitu bangunan yang hanya satu dari jenisnya, bahkan dapat dikatakan sebagai contoh yang masih ada sampai saat ini. Beberapa bangunan dapat dikatakan bukan merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional yang istimewa,

namun ternyata merupakan bangunan yang menyimpan fakta-fakta yang menarik untuk dikaji lebih mendalam baik dari sisi arsitektur maupun sisi konstruksi bangunan. Dalam hal ini dapat dilihat dari arsitektur dan konstruksi bangunan utama Lawang Sanga, serta arsitektur Taman Air Gua Sunyaragi dengan hiasan khas batu karang.

1.6.3. Pembangunan Yang Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah menjadi agenda global dalam setiap proses pembangunan. Oleh karenanya, seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah dalam berbagai sektor pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan baik dalam setiap kebijakan maupun rencana pembangunan yang akan dilaksanakan.

Definisi tersebut diadopsi oleh banyak negara di seluruh belahan dunia dalam berbagai macam variasi, misalnya definisi dari Organization of East

Carribean States (OECS) adalah sebagai berikut:

“The optimal use of natural and cultural resources for national development on an equitabel and self-sustaining basis to provide a unique visitor experience and an improved quality of life through partnership among government, the private sector and communities.”

Pada tahun 1989, British Columbia, Canada (Rees, 1989 dalam Gunn, 1994) mencoba memformulasikan definisi Sustainable Development yang cukup relevan dengan perencanaan yaitu,

“Sustainable development is positive socioeconomic change that does not undermine the ecological and social systems upon which communities

and society are dependent. Its successful implementation requires

integrated policy, planning, and social learning processes; its political viability depends on the full support of the people it affects through their governments, their social institutions, and their private activities.”

Definisi tersebut mengungkapkan kunci-kunci implementasi pembangunan harus memenuhi paling tidak tiga kisi – kisi sebagai berikut :

a. “positive socioeconomic change” yang artinya perubahan harus membawa keadaan sosial dan ekonomi menjadi lebih baik.

b. “does not undermine the ecological and social systems” yang artinya menghindari penggunaan sumber daya alam dan buatan secara gegabah dan tanpa perhitungan.

c. “integrated policy, planning, and social learning processes” yang artinya implementasi pembangunan berkelanjutan bergantung pada integrasi antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini juga merupakan jantung dari perencanaan, prinsip, dan praktek kepariwisataan.

Kunci-kunci tersebut juga telah diadopsi di Indonesia seperti yang disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika, dan berkeadilan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokratisasi, hak asasi manusia, dan isu lain yang lebih luas cakupannya.

Hal ini juga berarti pengembangan yang mempertimbangkan potensi masa yang akan datang dalam segala sektor, termasuk di dalamnya adalah faktor ekonomi, sosial, dan budaya yang akan dipenuhi, yang didukung oleh sistem integrasi kebudayaan, proses ekologi yang esensial, keragaman biologi, dan life support.

Dengan demikian secara ringkas, konsep pengembangan pariwisata secara berkelanjutan tersebut pada intinya menekankan pada 4 (empat) prinsip, sebagai berikut :

a. Berwawasan lingkungan (enviromentaly sustainable)

b. Diterima secara sosial & budaya(socially and culturally acceptable) c. Layak secara ekonomi (economically viable)

d. Memanfaatkan teknologi yang pantas diterapkan (technologically appropriate)

Secara skematis konsep tersebut dapat digambarkan dalam gambar berikut:

Pendekatan Sustainable Development

Prinsipenvironmentally sustainable yang menekankan bahwa proses pembangunan harus tanggap dan memperhatikan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan (baik alam maupun budaya), dan mampu mencegah dampak negatif yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekologi.

Prinsip socially and culturally acceptable yang menekankan bahwa proses pembangunan dapat diterima secara sosial dan budaya oleh masyarakat setempat. Oleh karenanya, upaya-upaya pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan nilai-nilai sosial-budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dan bahwa dampak pembangunan tidak boleh merusak tatanan dan nilai-nilai sosial-budaya sebagai jati diri masyarakat.

Prinsip economically viable yang menekankan bahwa proses pembangunan harus layak secaraekonomi dan menguntungkan. Oleh karenanya, pembangunan harus dilaksanakan secara efisien agar dapat

SUSTAINABLE

Dalam dokumen Bab 1 Pendahuluan (Halaman 47-50)

Dokumen terkait