• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1 Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1 Pendahuluan"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1.1.

LATAR BELAKANG

1.1.1. SEJARAH SOSIAL BUDAYA

A. SEJARAH KESULTANAN CIREBON

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang

(3)

Jalur Perdagangan Dunia pada sejak abad 7 masehi

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

(4)

B. PERKEMBANGAN AWAL Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu

(5)

C. MASA KESULTANAN CIREBON (PAKUNGWATI) Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran.Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung

(6)

Jati.Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon.Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati.Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan.Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.[1] Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

(7)

Mataram.Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya).Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

D. TERPECAHNYA KESULTANAN CIREBON

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa.Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten.Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram.Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon. Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)

(8)

Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)

Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten.Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan.Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

(9)

Timeline perkembangan Situs dan Keraton Cirebon

(10)

Silsilah Raja-Raja Keraton Kasepuhan

(11)

Silsilah Raja-Raja Keraton Kacirebonan

(12)

E. PERKIRAAN WILAYAH KEKUASAAN KASULTANAN CIREBONMENURUT PETA LAMA (PETA KADASTER)

Dari peta kadaster yang masih tersimpan, dapat diketahui bahwa wilayah kekuasaan Kasultanan Cirebon diperkirakan meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka sampai dengan Kuningan dan sekitarnya. Berikut ilustrasi perkiraan wilayah kekuasaan Kasultanan Cirebon mendasarkan peta kadaster dan situs yang terdapat di berbagai wilayah di sekitar Cirebon:

(13)

Peta sebaran situsdi Kota Cirebon

(14)
(15)
(16)
(17)

F. MASA KOLONIAL DAN KEMERDEKAAN

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Perkembangan terakhir

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam.Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

(18)

Timeline bangsa-bangsa asing yangmasuk ke Cirebon

1.1.2. POSISI STRATEGIS KERATON DI CIREBON DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

Kesultanan Cirebon yang merupakan kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, juga sebagai pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

(19)

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam.Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

1.1.3. PENTINGNYA PENYUSUNAN MASTER PLAN KAWASAN KERATON DI CIREBON

1.1.4. PENTINGNYA PENYUSUNAN MASTER PLAN KAWASAN KERATON DI CIREBON Penyusunan Masterplan Pengembangan Keraton Di Cirebon ini merupakan dokumen teknis untuk pengembangan dan pembangunan dalam rangka pelestarian Keraton-keraton di Cirebon (Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton kaprabonan) yang mencakup perencanaan tata ruang, rencana arsitektural, dan fasilitas lingkungan pendukung kawasan.

Kawasan Keraton di Cirebon sebagai warisan budaya harus dilestarikan, sesuai dengan UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.Hal ini sesuai dengan mandat undang-Undang bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka

(20)

memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut, dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, maka diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Untuk itu dibutuhkan payung perencanaan yang diharapkan dapat memberikan arah kebijakan dan rambu-rambu (guidelines) untuk melindungi situs / kawasan Kraton di Cirebon dari berbagai ancaman (aktifitas pembangunan, aktifitas manusia, dsbnya) agar tetap lestari dan dapat menjadi inspirasi dalam penyemaian nilai-nilai luhur bangsa dan mutiara kebhinekatunggalikaan.

(21)

1.2.

TUJUAN DAN SASARAN

1.2.1. Tujuan

1. Meningkatkan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya Keraton Cirebon dalam memperkuat fungsi dan perannya sebagai pusat pengembangan kebudayaan Cirebon dan pengembangan kebudayaan dalam arti luas (Cultural Center). 2. Meningkatkan peran dan kontribusi kawasan Keraton dalam

pemberdayaanmasyarakat melalui pengembangan kepari-wisataan berbasis nilai sejarah dan budaya keraton Cirebon

(22)

1.2.2. Sasaran

1. Meningkatnya posisi dan peran Keraton Cirebon sebagai pusat pengembangan kebudayaan Cirebon dan pengembangan kebudayaan dalam arti luas (Cultural Center).

2. Meningkatnya pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan dan pemanfaatan Keraton Cirebon sebagai destinasi pariwisata berbasis nilai sejarah dan budaya keraton Cirebon.

(23)

1.3.

LANDASAN PERATURAN PERUNDANGAN

1.3.1. UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

Mandat Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu pasal 96 ayat a yang menyatakan bahwa Pemerintah berwenang menyusun dan memantapkan Rencana Induk Pelstarian Cagar Budaya.

Dalam Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui.Dalam rangka menjaga yang berada di lingkungan air, diperlukan peraturan untuk menjamin eksistesinya.Oleh karena itu, upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis, ideologis dan ekonomis.

(24)

Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Lebih lanjut, pelestarian cagar budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beberapa hal penting lainnya di dalam Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diantaranya adalah

a. bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

b. bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya; c. bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu

dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;

d. bahwa dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;

(25)

1.3.2. RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) JAWA BARAT

2009-2029

Garis besar Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jawa Barat 2009-2029 yang berkaitan dengan Penyusunan Masterplan Kawasan Keraton di Cirebon adalah sebagai berikut:

AMANAT UNDANG UNDANG DASAR PIJAK YANG DIPAKAI DALAM MENYUSUN MASTER PLAN

1 Kawasan Strategis Nasional (KSN)

• mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional (kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, ekonomi, sosial budaya, dan/atau lingkungan)

• termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.

• rencana arah perkembangan ekonomi ke arah Cirebon,

• rencana pembangunan Pelabuhan Laut Internasional dan bandara Internasioanal Kertajati

• rencana pengusulan Keraton Cirebon sebagai warisan dunia Kota Cirebon bisa ditetapkan sebagai KSN

2 Kawasan Strategis Provinsi (KSP)

mempunyai pengaruh sangat penting secara regional

• Merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Jabar bagian Timur (perbatasan)

• Infrastruktur yang lengkap (bandara, pelabuhan, jalur kereta api, jalan primer dan tol)

• Pusat kebudayaan Pesisir Cirebon

3 Pusat Kegiatan Nasional (PKN)

Adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala

internasional, nasional, atau beberapa provinsi.

Kota Cirebon, diarahkan sebagai kota inti dari PKN

• sarana dan prasarana yang terintegrasi dengan wilayah pengaruhnya

(26)

• menjadi simpul utama pelayanan jasa dan perdagangan, dan industri di Daerah bagian timur, serta untuk kegiatan wisata budaya dan religi;

4 Pengembangan Wilayah (WP): Ciayumajakuning

Meliputi: Kabupaten Cirebon, Kota

Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, dan sebagian wilayah di Kabupaten Sumedang;

Kota Cirebon direncanakan menjadi pusat ekonomi, budaya, pariwisata, IPTEK, serta magnet ertumbuhan kawasan di sekitarnya

5 Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, meliputi : Gua Sunyaragi,

Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan, Makam Sunan Gunung Jati

Cakupan Master Plan adalah Gua Sunyaragi, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, Makam Sunan Gunung Jati, Masjid Sang Cipta Rasa dan Lawang Sanga, yang meliputi aspek fisik dan non fisik

(27)

Kota Cirebon dskt ditetapkan sebagaiPusat Kegiatan Nasional (PKN) Sistem Nasional, bersama Bandung dan provinsi DKI Pangandaran dan Pelabuhan Ratu ditetapkan sebagai PKN Sistem Provinsi CIREBON DSKT PROVINSI DKI BANDUNG DSKT PELABUAN RATU DSKT PANGANDARAN

(28)

KSP Bandung-Cirebon ditetapkan dalam Kawasan Strategis Provinsi (KSP), dengan Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi Sedangkan KSP Pendidikan Jatinangor dan Pusat Pemerintahan Gedug Sate masuk ke dalam kepentingan Sosial Budaya CIREBON Seharusnya juga dimasukkan dalam kepentingan Sosial Budaya dengan keberadaan Keratonnya

(29)

Infastruktur di Kota Cirebon:  Terminal Type A (eksisting)  Bandar Udara (eksisting)  Jalan Arteri Primer  Jalan Tol  Rel kereta  Rencana Terminal  TPA Regional  RS Type A  Waduk/Situ  Rencana PLT Panas Bumi

(30)

1.3.3. RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA CIREBON

2011-2031

Garis besar Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Cirebon Jawa Barat 2011-2031 yang berkaitan dengan Penyusunan Masterplan Kawasan Keraton di Cirebon adalah sebagai berikut:

AMANAT UNDANG UNDANG RENCANA PROGRAM MASTERPLAN

1 Kawasan suaka alam dan cagar budaya Kota Cirebon

ditetapkan meliputi:

1. Kawasan Keraton Kasepuhan 2. Kawasan Keraton Kanoman 3. Kawasan Keraton Kacerbonan 4. Kawasan Gua Sunyaragi

Lingkup wilayah studi meliputi 1. Kawasan Keraton Kasepuhan 2. Kawasan Keraton Kanoman 3. Kawasan Keraton Kacerbonan 4. Kawasan Gua Sunyaragi 5. Keraton Kaprabonan 6. Masjid Sang Cipta Rasa 7. Lawang Sanga

8. Astana Sunan Gunung Jati (Kabupaten Cirebon)

Penyusnan Masterplan Kawasan Keraton Cirebon merupakan salah satu upaya untuk Pelestarian 2 PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KOTA (KSK)

KSK dengan sudut kepentingan sosial budaya meliputi

Keraton Cirebon, Gua Sunyaragi, Majasem dan

Argasunya-Kalijaga

3 • KSK Keraton Cirebon dengan arahan penanganan pelestarian dan perlindungan kawasan cagar budaya, bangunan bernilai sejarah dan/atau bernilai arsitektur tinggi, serta potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki nilai sejarah; • KSK Gua Sunyaragi, dengan arah penanganan

pelestarian dan perlindungan kawasan cagar budaya, bangunan bernilai sejarah dan/atau

(31)

obyek wisata; Kawasan Keraton Cirebon Pelestarian KawasanKeraton Cirebon meliputi: • Pelindungan • Pengembangan • Pemanfaatan 4 KSK sosial budaya wajib dilestarikan dan dipertahankan

keberadaannya dengan tidak mengubah bentuk bangunan

serta mengalihfungsikannya.

5 Peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam dan cagar

budaya meliputi :

• pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata, agama, sosial, dan kebudayaan; • ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian

bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan; • pemanfaatan tidak dapat dilakukan apabila

bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya dan semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan; dan • mengupayakan konservasi, dan melakukan

(32)

Peta Rencana Pola Ruang SWK I

Posisi Keraton/situsdi Kota Cirebon

(33)

1.4.

LINGKUP WILAYAH STUDI

Lingkupwilayah studi Masterplan Keraton di Cirebon ini meliputi kawasan Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, Keraton Kaprabonan, Astana Sunan Gunung Jati, Masjid Sang Cipta Rasa, dan Lawang Sanga

(34)

afqPeta Lokasi Keraton

Peta Posisi Keraton di Cirebon A. Keraton Kasepuhan B. Keraton Kanoman C. Keraton Kacirebonan D. Keraton Kaprabonan E. Situs Lawang Sanga F. Situs Masjid

(35)

1.5.

LINGKUP KELUARAN

Lingkup keluaran Masterplan Keraton di Cirebon ini meliputi identifikasi Kondisi Eksisting, analisis kawasan, dan rumusan Arah Kebijakan, Strategi dan Program serta Rencana Kerja (Action Plan). Berikut adalah rincian dari lingkup keluaran tersebut:

Tabel Lingkup Keluaran

NO CAKUPAN SUBSTANSI 1 Identifikasi Kondisi Eksisting Kawasan Keraton di Cirebon

Mencakup aspek fisik dan non fisik, dalam rangka pelestarian Cagar Budaya;

(36)

3

Analisis Analisis aspek Fisik dan Non Fisik yang meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan:

a. ASPEK FISIK, terdiri atas: Penetapan Batas Kawasan, Zonasi dan Tata Guna Lahan, Tata Lingkungan dan Bangunan;

b. ASPEK NON FISIK:

• ASPEK EKONOMI, terdiri atas: Peran Kawasan dalam Ekonomi Regional, Pengembangan Ekonomi Lokal, Pentahapan Pengembangan dan Investasi; • ASPEK SOSIAL BUDAYA, terdiri atas: Identifikasi dan

Pengembangan Budaya Lokal, Pemberdayaan Masyarakat;

• ASPEK HUKUM, terdiri atas: Kerangka Hukum Pelestarian

• Aspek Kelembagaan dan SDM, , Kerangka Kelembagaan dan Pengelolaan, Pengembangan SDM

• Aspek Pemberdayaan Masyarakat, terdiri atas Kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat • ASPEK PARIWISATA BUDAYA

4 Arahan Pelestarian

Arah Kebijakan,Strategi, dan Program Pelestarian Keraton di Cirebon

5 Rencana Kerja

(Action Plan)

Rencana Kerja (action Plan) yang didalamnya meliputi Pentahapan, Pendanaan Pembangunan, Koordinasi Program Pelestarian, Penetapan Regulasi (Peraturan Perundanagn), dan Penetapan Organisasi dan Kelembagaan

(37)

1.6.

PENDEKATAN PERENCANAAN

1.6.1. Pelestarian Cagar Budaya

Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

(38)

Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:

Gambar skema lingkup pelestarian

A. PELINDUNGAN

Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi-kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan dilakukan melalui :

1) Penyelamatan

Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, pemintakatan, dan pemasangan papan larangan 2) Pengamanan

Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan

PELESTARIAN

(39)

nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyuluhan Undang-Undang RI Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

3) Zonasi

Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. 4) Pemeliharaan

Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. 5) Pemugaran

Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak.

B. PENGEMBANGAN

Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh:

a. izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan

b. izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.

Pengembangan Cagar Budaya dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk

(40)

Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal yang tak kalah penting adalah Setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan pendokumentasian.

Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan yaitu: 1) Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah

dan metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.

2) Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.

Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya harus memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian. Revitalisasi dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya.Revitalisasi Cagar Budaya harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan ciri budaya lokal.

3) Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:

a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.

(41)

a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;

b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau

d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

C. PEMANFAATAN

Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya

Menurut Undang Undang RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata.Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang.Fasilitasi tersebut berupa izin pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan.Promosi tersebut dilakukan untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.

Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Pemanfaatan harus dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya. Sedangkan pemanfaatan lokasi temuan yang telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya wajib memperhatikan fungsi ruang dan pelindungannya.

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menghentikan pemanfaatan atau membatalkan izin pemanfaatan Cagar Budaya apabila pemilik dan/atau yang menguasai terbukti melakukan perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar Budaya. Kemudian

(42)

Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan harus dikembalikan seperti keadaan semula sebelum dimanfaatkan.Biaya pengembalian seperti keadaan semula dibebankan kepada yang memanfaatkan Cagar Budaya.

Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang tercatat sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi, peringkat kabupaten/kota hanya dapat dilakukan atas izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.Pemanfaatan dengan cara perbanyakan tersebut Benda Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang atau dikuasai negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya yang berada di museum dilakukan untuk sebesar-besarnya bagi pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata.

Lebih jauh, di dalam aturan perundang-undangan tersebut setiap orang dilarang mendokumentasikan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya. Setiap orang juga dilarang memanfaatkan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dengan cara perbanyakan, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.

Prinsip pelestarian CB

Benda cagar budaya biasanya berumur lebih dari 50 tahun, maka sudah selayaknya bila mengalami kerusakan. Oleh karena itulah perlunya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya. Perlindungan dan pemeliharaan atau pengelolaan benda cagar budaya dan situs pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, meskipun demikian masyarakat, kelompok, atau perorangan dapat berperan serta. Bahkan masyarakat yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya dibebani pula kewajiban untuk melindungi dan melestarikannya lengkap dengan sanksi hukumnya.

Ada beberapa kriteria suatu bangunan perlu untuk dilestarikan, yaitu; a. Nilai Obyeknya sendiri

(43)

 Obyek tersebut merupakan contoh yang baik dari gaya arsitektur tertentu atau hasil karya arsitek terkenal.

 Obyek mempunyai nilai estetik, didasarkan pada koalitas exterior maupun interior dalam bentuk maupun detil

 Obyek merupakan contoh yang unik dan terpandang untuk periode atau gaya tertentu.

b. Fungsi Obyek dalam Lingkungan

 Kaitan antara. Obyek dengan bangunan lain atau ruang kota, misalnya jalan, taman, penghijauan kota,dll yang berkaitan dengan koalitas arsitektur/urban secara menyeluruh.

 Obyek merupakan bagian dari kompleks bersejarah dan jelas berharga untuk dilestarikan dalam tatanan itu.

 Obyek mempunyai landmark yang mempunyai karakteristik dan dikenal dalam kota atau mempunyai nilai emosional bagi penduduk kota.

c. Fungsi Obyek dalam lingkungan social dan budaya  Obyek dikaitkan dengan kenangan historis

 Obyek menunjukkan fase tertentu dalam sejarah dan perkembangan kota.

 Obyek yang mempunyai fungsi penting dikaitkan dengan aspek-aspek fisik, emosional, atau keagamaan, seperti masjid atau gereja.

Berdasarkan Petujuk Pelaksanaan (Juklak) yang dikeluarkan oleh Dirjen Kebudayaan, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemugaran BCB, dalam mempertahankan keasliannya.

a. Keaslian bentuk adalah gambaran tentang bentuk bangunan pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada, mencakup komponen, unsur, langgam, gaya, ragam hias dan warna.

b. Keaslian bahan adalah gambaran tentang bahan bangunan yang dipakai pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali

(44)

ditemukan sesuai dengan data yang ada,yang mencakup jenis, kualitas dan asal bahan.

c. Keaslian pengerjaan adalah gambaran tentang pengerjaan bangunan pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada,yang mencakup teknologi dan cara pembangunan

Keaslian tata letak adalah gambaran tentang tata letak bangunan pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada,yang mencakup kedudukan, arah hadap dan orientasi bangunan terhadap lingkungannya.

1.6.2. Konservasi Arkeologi

Cirebon sebagai kota kuno memiliki kekayaan tinggalan arkeologis dengan ciri-ciri khas hasil kebudayaan yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Budha, Islam, Cina, dan Eropa. Beberapa tinggalan masa lampau di Cirebon, antara lain:

1. Keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dan Lawang Sanga;

2. Keraton Kanoman; 3. Keraton Kacirebonan; 4. Keraton Kaprabonan 5. Makam Sunan Gunung Jati 6. Taman Air Goa Sunyaragi; 7. Masjid Merah Panjunan; 8. Makam Pangeran Sapujagat; 9. Masjid Penjlagarahan; 10. Sumur Ketandan;

(45)

12. Petilasan Pangeran Drajat; 13. Wanacala;

14. P. Kejawahan;

15. P. Makdum dan P. Antrawulan Pegambiran; 16. Masjid Jagabayan;

17. Tumenggung Arya Wiracula Sam Tjai Kong Kel. Kejaksan; dan 18. P. Cibelok/Muara Tua Pegambiran.

Bangunan pengaruh Eropa atau sering disebut Bangunan Indis, banyak ditemukan di Cirebon, seperti Gedung Bank Indonesia, Gedung Negara, Rumah Dinas Bupati Cirebon dan Stasiun Cirebon, selain itu ada puluhan bangunan tinggalan Belanda yang relatif masih terawat dengan baik. Tinggalan masa lampau ini merupakan kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata Cirebon guna mendukung kawasan Cagar Budaya Keraton-keraton di Cirebon. Dari sisi pelestarian banyak bangunan Indis dimanfatkan dan dipelihara dengan baik, sementara bangunan-bangunan Keraton kurang mendapat perhatian sehingga terkesan kurang terawat.Oleh karena itulah diperlukan perencanaan yang komprehensif dan realisasi pelestarian yang berkesinambungan, serta memanfatkan berbagai peluang untuk pengembangan kawasan Cagar Budaya Keraton-keraton di Cirebon.

1. Aspek Konservasi

Konservasi dalam arti luas menurut piagam Burra (Burra Charter), adalah proses pemeliharaan sebuah tempat untuk mempertahankan signifikansi atau nilai penting budayanya. Di sisi lain konservasi merupakan bagian integral dari sebuah pengelolaan di tempat-tempat yang mengandung nilai kebudayaan. Dengan demikian, pada prinsipnya konservasi adalah upaya melestarikan tempat-tempat yang mempunyai nilai budaya, dengan tujuan untuk mempertahankan nilai-nilai signifikansi budayanya.

(46)

Di dalam implementasinya konservasi membutuhkan pendekatan yang cermat, terutama dalam melakukan penanganan, yaitu didasarkan data-data yang otentik dan valid serta berusaha membatasi seminimal mungkin terjadinya perubahan. Dalam arti bahwa perubahan di suatu tempat tidak boleh menimbulkan distorsi arkelogis dengan terjadinya perubahan warna, bentuk, letak yang otentik atau bahkan kerusakan fisik. Konservasi/perlindungan dalam rangka revitalisasi kawasan keraton Cirebon harus memperhatikan prinsip arkeologis dan teknis. Prinsip arkeologis meliputi berbagai keaslian, yaitu: keaslian bentuk, bahan, tata letak, gaya, dan teknologi pengerjaan. Keaslian dalam prinsip arkeologi adalah:

 Bentuk, yaitu bentuk pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada, mencakup ciri muka dan lanskap budaya.

 Bahan, yaitu bahan yang dipakai mencakup jenis, kwalitas dan asal bahan untuk komponen dan unsur bangunan.

 Tata letak, yaitu mencakup kedudukan, arah hadap dan orientasi bangunan terhadap lingkungan(tata ruang dan laskap budaya), serta tata letak komponen bangunan.

 Gaya, yaitu corak yang meliputi langgam, ragam hias, dan warna.  Teknologi Pengerjaan, yaitu mencakup carapengerjaan dan

pembangunannya.

Prinsip teknis dalam konservasi/ perlindungan, adalah efektif, efisien, aman, dan bersifat ilmiah. Prinsip teknis tersebut adalah:

 Efektif: tindakan yang dilakukan dapat mengatasi akar permasalahan.

 Efisien: penggunaan jenis bahan pada dasarnya dipilih yang paling murah, mudah didapat, tahan lama, dan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi.

 Aman: harus aman baik bagi cagar budaya maupun lingkungannya.

 Bersifat Ilmiah: metode yang digunakan mengikuti kaidah ilmiah dan dapat memberikan penjelasan dan argumentasi secara

(47)

arkeologis dan teknis dalam penanggulangan permasalahan yang dihadapi.

Kedua prinsip tersebut (teknis dan arkeologis) harus sesuai dengan tata urut penanganan secara prosedural agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanannya. Dengan demikian pelaksanaan konservasi harus secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan dan perlu wawasan penelitian sehingga aspek kesejarahan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan yang terkandung dalam Cagar Budaya dapat diungkap, sebagai bukti kemajuan peradaban yang dimiliki nenek moyang.

2. Aspek Arkeologis.

Sebuah pertanyaan mengapa Keraton-keraton di Cirebon perlu dilestarikan. Dalam pelestarian ada beberapa kriteria penentuan obyek pelestarian cagar budaya. Kriteria itu meliputi estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, memperkuat kawasan, dan keistimewaannya.

Dari sisi estetika, keraton-keraton di Cirebon merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional, pengaruh Cina dan arsitektur pengaruh Eropa atau Indis yang mewakili prestasi khusus dalam suatu gaya arsitektur. Tolok ukur estetika ini dapat dikaitkan dengan nilai estetis dan arsitektonis yang tinggi dalam hal bentuk, struktur, tata ruang, dan ornamennya.

Tolok ukur kejamakan ditekankan pada karya arsitektur yang mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik. Hal ini terlihat dari ciri khusus beberapa bangunan Keraton-keraton di Cirebon seperti terlihat dari hiasan batu karang yang kemudian dikembangkan dalam bentuk karya seni lain seperti motif batik. Hiasan lain sebagai ornamen adalah penempatan keramik pada beberapa bangunan yang juga diadobsi pada gapura gang masuk perkampungan. Pemasangan keramik cukup mendominasi pada bangunan merupakan ciri khas yang jarang ditemukan di Indonesia.

Sisi lain adalah tolok ukur kelangkaan, yaitu bangunan yang hanya satu dari jenisnya, bahkan dapat dikatakan sebagai contoh yang masih ada sampai saat ini. Beberapa bangunan dapat dikatakan bukan merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional yang istimewa,

(48)

namun ternyata merupakan bangunan yang menyimpan fakta-fakta yang menarik untuk dikaji lebih mendalam baik dari sisi arsitektur maupun sisi konstruksi bangunan. Dalam hal ini dapat dilihat dari arsitektur dan konstruksi bangunan utama Lawang Sanga, serta arsitektur Taman Air Gua Sunyaragi dengan hiasan khas batu karang.

1.6.3. Pembangunan Yang Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah menjadi agenda global dalam setiap proses pembangunan. Oleh karenanya, seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah dalam berbagai sektor pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan baik dalam setiap kebijakan maupun rencana pembangunan yang akan dilaksanakan.

Definisi tersebut diadopsi oleh banyak negara di seluruh belahan dunia dalam berbagai macam variasi, misalnya definisi dari Organization of East

Carribean States (OECS) adalah sebagai berikut:

“The optimal use of natural and cultural resources for national development on an equitabel and self-sustaining basis to provide a unique visitor experience and an improved quality of life through partnership among government, the private sector and communities.”

Pada tahun 1989, British Columbia, Canada (Rees, 1989 dalam Gunn, 1994) mencoba memformulasikan definisi Sustainable Development yang cukup relevan dengan perencanaan yaitu,

“Sustainable development is positive socioeconomic change that does not undermine the ecological and social systems upon which communities

and society are dependent. Its successful implementation requires

integrated policy, planning, and social learning processes; its political viability depends on the full support of the people it affects through their governments, their social institutions, and their private activities.”

Definisi tersebut mengungkapkan kunci-kunci implementasi pembangunan harus memenuhi paling tidak tiga kisi – kisi sebagai berikut :

(49)

a. “positive socioeconomic change” yang artinya perubahan harus membawa keadaan sosial dan ekonomi menjadi lebih baik.

b. “does not undermine the ecological and social systems” yang artinya menghindari penggunaan sumber daya alam dan buatan secara gegabah dan tanpa perhitungan.

c. “integrated policy, planning, and social learning processes” yang artinya implementasi pembangunan berkelanjutan bergantung pada integrasi antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini juga merupakan jantung dari perencanaan, prinsip, dan praktek kepariwisataan.

Kunci-kunci tersebut juga telah diadopsi di Indonesia seperti yang disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika, dan berkeadilan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokratisasi, hak asasi manusia, dan isu lain yang lebih luas cakupannya.

Hal ini juga berarti pengembangan yang mempertimbangkan potensi masa yang akan datang dalam segala sektor, termasuk di dalamnya adalah faktor ekonomi, sosial, dan budaya yang akan dipenuhi, yang didukung oleh sistem integrasi kebudayaan, proses ekologi yang esensial, keragaman biologi, dan life support.

Dengan demikian secara ringkas, konsep pengembangan pariwisata secara berkelanjutan tersebut pada intinya menekankan pada 4 (empat) prinsip, sebagai berikut :

a. Berwawasan lingkungan (enviromentaly sustainable)

b. Diterima secara sosial & budaya(socially and culturally acceptable) c. Layak secara ekonomi (economically viable)

(50)

d. Memanfaatkan teknologi yang pantas diterapkan (technologically appropriate)

Secara skematis konsep tersebut dapat digambarkan dalam gambar berikut:

Pendekatan Sustainable Development

Prinsipenvironmentally sustainable yang menekankan bahwa proses pembangunan harus tanggap dan memperhatikan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan (baik alam maupun budaya), dan mampu mencegah dampak negatif yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekologi.

Prinsip socially and culturally acceptable yang menekankan bahwa proses pembangunan dapat diterima secara sosial dan budaya oleh masyarakat setempat. Oleh karenanya, upaya-upaya pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan nilai-nilai sosial-budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dan bahwa dampak pembangunan tidak boleh merusak tatanan dan nilai-nilai sosial-budaya sebagai jati diri masyarakat.

Prinsip economically viable yang menekankan bahwa proses pembangunan harus layak secaraekonomi dan menguntungkan. Oleh karenanya, pembangunan harus dilaksanakan secara efisien agar dapat

SUSTAINABLE

DEVELOPMENT

(51)

memberikan manfaat ekonomi yang signifikan baik bagi pembangunan wilayah maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Prinsip technologically appropriate yang menekankan bahwa proses pembangunan secara teknis dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, dengan memanfaatkan sebesar-besar sumber daya lokal, dan dapat diadopsi masyarakat setempat secara mudah untuk proses pengelolaan yang berorientasi jangka panjang.

Tujuan pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas prinsip-prinsip tersebut, akan bermuara pada 5 (lima) sasaran sebagai berikut (Fennel, 1999):

a. Terbangunnya pemahaman dan kesadaran yang semakin tinggi dapat berkontribusi secara signifikan bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi

b. Meningkatnya keseimbangan dalam pembangunan c. Meningkatnya kualitas hidup bagi masyarakat setempat

d. Meningkatnya kualitas pengalaman bagi pengunjung dan wisatawan

e. Meningkatnya dan menjaga kelestarian dan kualitas lingkungan bagi generasi yang akan datang.

(52)

1.6.4. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Disamping tuntutan kebutuhan perubahan dari dalam berupa reformasi di dalam tata pemerintahan yang telah dilakukan sejak lima tahun terakhir, secara eksternal - terutama dalam rangka menghadapi arus

globalisasi dalam segala aspek kehidupan di abad 21 ini - senang atau

tidak senang telah mengharuskan semua organisasi, baik yang ada pada jajaran pemerintahan, badan usaha swasta maupun organisasi sosial kemasyarakatan di Indonesia juga harus melakukan perubahan paradigma (shifting paradigm) dalam manajemen penyelenggaraan

pemerintahan.

Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang paling dibutuhkan dari sektor publik adalah perubahan dalam cara berfikir maupun bertindak, terutama dengan meninggalkan paradigma lama yang berupa sebuah bangunan penyelenggaraan pemerintahan yang

sentralistik, berwawasan lokus tunggal yang hanya berupa birokrasi

pemerintahan (government bureaucracy) untuk menuju kepada

paradigma baru yang berupa model penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good governance).

Salah satu dimensi reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang sudah dimulai pada tingkat nasional adalah dengan telah digantinya UU No.5 / 1974 dengan Undang Undang No.22 / 1999: Tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah N0,25/Th.2000 sebagai aturan pelaksanaanya serta telah diterbitkanya UndangUndang No.25 Tahun 1999: Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Secara empiris maupun akademis kehadiran kedua undang-undang tadi telah membawa nuansa baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Paradigma pemerintahan yang desentralistik dan berlokus jamak telah menggeser dan menggantikan paradigma lama yang cenderung sentralistik dan berlokus tunggal.

Dalam pergeseran paradigma tadi, lokus dari administrasi publik termasuk didalamnya manajemen penyelenggaraan kepariwisataan nasional bukan lagi terbatas pada Lembaga Pemerintah saja, akan tetapi telah meliputi semua lembaga yang misi utamanya adalah untuk mewujudkan publicness. Organisasi yang termasuk kategori ini tidak lain adalah keseluruhan kelembagaan yang peduli kepada shared problems dalam penyelenggaraan pengelolaan public affairs dan public interest

(53)

Untuk memperjelas arus pergeseran dari model government ke model governance di atas, dapat dikemukakan bahwa lokus tunggal administrasi public yang berupa Lembaga Lembaga Pemerintah (government) sering mempunyai perbedaan dalam nilai nilai serta praktek yang dikembangkan dalam model lokus jamak (pasar dan organisasi sukarela) dalam administrasi public model governance.Dalam model pasar, profit dan revenue menjadi driving forces bagi para stake

holders nya. Oleh karena itu semangat untuk memperkecil cost dan

memperbesar revenue menjadi bagian nilai yang penting yang harus disosialisasikan dan dikembangkan dalam pembinaan SDM. Sedangkan dalam model birokrasi pemerintahan, sumber motivasi utamanya adalah anggaran. Besaran anggaran yang diterima oleh birokrasi sering tidak berhubungan dengan kinerja efisiensinya akan tetapi justru lebih banyak tunduk pada proses politik yang susah diukur.

Secara akademis, pemahaman mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) seperti yang dimaksudkan di atas harus mengacu pada pemahaman bahwa: bukan hanya apa yang dilakukan oleh lembaga Pemerintah saja yang harus baik, akan tetapi keseluruhan stake holders atau petaruhnya (fihak yang mempertaruhkan apa yang

dimiliki) dalam penyelenggaraan urusan yang terkait dengan masalah dan

kepentingan public harus juga mempunyai kapasitas yang memadai. Seperti pernah dikemukakan oleh Mahathir dan Ishihara (1995) yang mengatakan bahwa; Pengalaman telah menunjukan bahwa dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), ternyata sangat memerlukan terciptanya kondisi ideal dari ketiga petaruh (stake holders) sebagai berikut:

a. Pihak Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk mewadahi proses politik atau pengambilan keputusan mengenai norma dan kebijakan yang selanjutnya bisa diimplementasikan dalam bentuk regulasi dalam proses birokrasi pemerintahan.

b. Pihak Badan Usaha Swasta harus mempunyai kemampuan untuk selalu meningkatkan persediaan modal, membuka kegiatan baru dan menawarkan kesempatan berusaha baru untuk masyarakat luas.

c. Sedangkan fihak masyarakat madani (civil society) harus mempunyai kemampuan mandiri untuk membangun norma positif, merumuskan permasalahan, mengartikulasikan

(54)

permasalahan dan kepentingan masyarakat luas serta mampu melakukan pengawasan terhadap kedua mitranya.

Lebih lanjut dikedepankan bahwa dalam konsepsi penyelenggaraan pemerintahan yang baik tadi, masing-masing pihak yang mempertaruhkan kemampuannya untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik tersebut (stake holders) juga harus memiliki paling tidak sembilan butir sifat maupun wawasan (visi) sebagai berikut:

a. Partisipatif ; Dalam arti semua anggota/ warga masyarakat mampu memberikan suaranya dalam pengambilan keputusan, langsung ataupun melalui lembaga perantara yang diakui mewakili kepentingannya. Partisipasi yang luas dibangun atas kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapatnya secara konstruktif.

b. Penegakan dan kepatuhan pada peraturan perundangan; Dalam arti hukum harus ditegakkan atas dasar keadilan tanpa memandang golongan dan perbedaan yang ada.

c. Transparansi;Dalam arti adanya aliran informasi yang bebas, serta adanya kelembagaan dan informasi yang langsung dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Disamping itu, informasi juga harus cukup tersedia untuk dimengerti dan dipantau oleh semua fihak yang berkepentingan.

d. Daya tanggap (responsiveness); Dalam arti adanya kemampuan kelembagaan dari pemerintah untuk memproses dan melayani keluhan dan pendapat semua anggota masyarakat.

e. Orientasi pada konsesus; Di sini kepemerintahan yang baik dituntut harus dapat menjembatani perbedaan kepentingan antar warga masyarakat untuk mencapai konsesus yang luas dan mampu mengakomodasi kepentingan kelompok serta mencari kemungkinan dalam penentuan kibijakan dan prosedur yang dapat diterima.

f. Bersikap adil; Dalam arti harus diupayakan bahwa semua warga masyarakat mempunyai kesempatan untuk meperbaiki dan memelihara kesejahteraannya.

(55)

memadahi untuk memenuhi kebutuhan dengan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana (best use).

h. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban; Harus selalu diupayakan bahwa pengambilan keputusan pada institusi pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik dan segenap stakeholders. Kadar dan takaran akuntabilitas ini memang berbeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain serta tergantung juga pada apakah kebijakan itu diambil untuk keperluan internal atau eksternal.

i. Visi strategik : Disini berarti bahwa pemimpin dan publik harus sama sama memiliki perspektif yang luas dan jauh kedepan tentang pemerintahan yang baik, pengembangan manusia dan kebersamaan serta mempunyai kepekaan atas apa yang diperlukan untuk pembangunan dan perkembangan bersama.

1.6.5. Pendekatan Klaster

Keberadaan Kawasan Keraton di Cirebon yang tersaebar di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon tersusun dalam kerangka wilayah yang membentuk klaster-klaster yang khas.Klastertersebut mencerminkan dimensi tematik (fokus pada pengembangan segmen strategis sesuai kekuatan dan potensi sumber daya yang dimiliki).Tiga konsep utama pengembangan wilayah yang mengacu pada penataan ruang, yaitu pusat pertumbuhan (growth pole), integrasi fungsional (functional integration), dan pendekatan desentralisasi (decentralization approach)

Konsep Klastermemiliki ciri atau karakter sebagai berikut (Malmberg, A. 2001; Nordin, S, 2005):

1. Klaster menekankan keterkaitan (linkages), ketergantungan (interdependencies) dan kemitraan diantara komponen, sektor dan para pelaku yang menjadi bagian dari proses produksi, pelayanan dan inovasi/ pengembangan.

2. Klaster mencerminkan dimensi fungsional (fokus pada fungsi tertentu yang didukung jaringan kerja dan produksi dari berbagai unsur pelaku terkait).

(56)

3. Klaster mencerminkan dimensi keruangan/ spatial phenomenon (fokus pada wilayah geografis tertentu yang terbentuk oleh jejaring usaha dan komponen sumber daya).

4. Klaster mencerminkan orientasi strategi pembangunan (fokus pada arah dan strategi pembangunan ke depan untuk membangun daya saing/ competitiveness).

Klaster mencerminkan dimensi tematik (fokus pada pengembangan segmen strategis sesuai kekuatan dan potensi sumber daya yang dimiliki).Tiga konsep utama pengembangan wilayah yang mengacu pada penataan ruang, yaitu pusat pertumbuhan (growth pole), integrasi fungsional (functional integration), dan pendekatan desentralisasi

(decentralization approach) merupakan teori yang relevan untuk

diterapkan dalam program pengembangan kawasan.Sebagai sebuah komoditi, pariwisata dimaksudkan menjadi penggerak kegiatan perekonomian wilayah dalam pengertian yang luas, sehingga perlu disediakan secara lengkap fasilitas-fasilitas pelayanan regional untuk memfasilitasinya. Berikut pembagian wilayah di dalam pengembangan klaster:

1. Pusat Pertumbuhan

Konsep Pusat Pertumbuhan; mengembangkan wilayah sebagai pusat pertumbuhan berdasarkan potensi yang dimilikinya (area strategis, ekonomi, produk, image, dan sebagainya) serta mengintegrasikan pusat tersebut dalam pengembangan sistem infrastruktur pendukung yang efisien.

2. Integrasi Fungsional

Konsep Integrasi Fungsional; alternatif pendekatan yang mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi-fungsi yang komplementer.

3. Desentralisasi

Konsep Desentralisasi; mencegah terjadinya aliran ke luar (outflow) dari sumber dana dan sumber daya manusia (braindrain). Melalui konsep ini diharapkan pengelola wilayah (dengan daerah yang lebih kecil) memiliki kewenangan lebih

(57)

dalam memutuskan jenis strategi dan kebijakan untuk daerahnya.

1.6.6. Pemberdayaan Masyarakat yang Berkelanjutan

Terminologi pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Dalam prakteknya seringkali terminolog tersebut saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya.

Bartle (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community development dan

community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto

(2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,

Gambar

Gambar Lingkup Wilayah Perencanaan
Tabel Lingkup Keluaran
Gambar skema lingkup pelestarian

Referensi

Dokumen terkait

Terima kasih juga kepada Papa, Mama, Cece, Keke, Koko atas semua pengertian kalian selama saya menyelesaikan skripsi ini dan juga atas semua doa-doa yang kalian

Setahu saya merupakan sebuah masalah besar jika suami boleh menikah lagi hanya karena suami sudah menjamin tidak akan berlaku pilih kasih terhadap semua isteri dan anaknya.

Pengaruh Good Corporate Governance (GCG) Dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang

Hasil penelitian hubungan pengetahuan dengan minat bidan terhadap penerapan lotus birth menunjukkan bahwa dari 35 responden sebagian besar responden mempunyai

Analisis terhadap faktor risiko (jenis kelamin, usia, hipertensi, diabetes, dislipidemia dan merokok) terkait peningkatan CIMT dengan kejadian penyakit kardiovaskular

tujuan pelaksanaan praktik kerja industri dapat tercapai. Keterampilan kerja merupakan salah satu aspek yang mendukung keberhasilan pelaksanaan prakerin. Aspek

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengungkapan Intellectual capital pada perguruan tinggi di Indonesia dan Singapura menurut survei webometrics, serta

Kondisi lingkungan mangrove yang terdapat di lokasi penelitian ini yaitu TSDR (Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp.), TSDA (Tambak silvofishery dominan