• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSTAINABLE DEVELOPMENT

Dalam dokumen Bab 1 Pendahuluan (Halaman 50-66)

memberikan manfaat ekonomi yang signifikan baik bagi pembangunan wilayah maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Prinsip technologically appropriate yang menekankan bahwa proses pembangunan secara teknis dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, dengan memanfaatkan sebesar-besar sumber daya lokal, dan dapat diadopsi masyarakat setempat secara mudah untuk proses pengelolaan yang berorientasi jangka panjang.

Tujuan pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas prinsip-prinsip tersebut, akan bermuara pada 5 (lima) sasaran sebagai berikut (Fennel, 1999):

a. Terbangunnya pemahaman dan kesadaran yang semakin tinggi dapat berkontribusi secara signifikan bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi

b. Meningkatnya keseimbangan dalam pembangunan c. Meningkatnya kualitas hidup bagi masyarakat setempat

d. Meningkatnya kualitas pengalaman bagi pengunjung dan wisatawan

e. Meningkatnya dan menjaga kelestarian dan kualitas lingkungan bagi generasi yang akan datang.

1.6.4. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Disamping tuntutan kebutuhan perubahan dari dalam berupa reformasi di dalam tata pemerintahan yang telah dilakukan sejak lima tahun terakhir, secara eksternal - terutama dalam rangka menghadapi arus

globalisasi dalam segala aspek kehidupan di abad 21 ini - senang atau

tidak senang telah mengharuskan semua organisasi, baik yang ada pada jajaran pemerintahan, badan usaha swasta maupun organisasi sosial kemasyarakatan di Indonesia juga harus melakukan perubahan paradigma (shifting paradigm) dalam manajemen penyelenggaraan

pemerintahan.

Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang paling dibutuhkan dari sektor publik adalah perubahan dalam cara berfikir maupun bertindak, terutama dengan meninggalkan paradigma lama yang berupa sebuah bangunan penyelenggaraan pemerintahan yang

sentralistik, berwawasan lokus tunggal yang hanya berupa birokrasi

pemerintahan (government bureaucracy) untuk menuju kepada

paradigma baru yang berupa model penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good governance).

Salah satu dimensi reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang sudah dimulai pada tingkat nasional adalah dengan telah digantinya UU No.5 / 1974 dengan Undang Undang No.22 / 1999: Tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah N0,25/Th.2000 sebagai aturan pelaksanaanya serta telah diterbitkanya UndangUndang No.25 Tahun 1999: Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Secara empiris maupun akademis kehadiran kedua undang-undang tadi telah membawa nuansa baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Paradigma pemerintahan yang desentralistik dan berlokus jamak telah menggeser dan menggantikan paradigma lama yang cenderung sentralistik dan berlokus tunggal.

Dalam pergeseran paradigma tadi, lokus dari administrasi publik termasuk didalamnya manajemen penyelenggaraan kepariwisataan nasional bukan lagi terbatas pada Lembaga Pemerintah saja, akan tetapi telah meliputi semua lembaga yang misi utamanya adalah untuk mewujudkan publicness. Organisasi yang termasuk kategori ini tidak lain adalah keseluruhan kelembagaan yang peduli kepada shared problems dalam penyelenggaraan pengelolaan public affairs dan public interest

Untuk memperjelas arus pergeseran dari model government ke model governance di atas, dapat dikemukakan bahwa lokus tunggal administrasi public yang berupa Lembaga Lembaga Pemerintah (government) sering mempunyai perbedaan dalam nilai nilai serta praktek yang dikembangkan dalam model lokus jamak (pasar dan organisasi sukarela) dalam administrasi public model governance.Dalam model pasar, profit dan revenue menjadi driving forces bagi para stake

holders nya. Oleh karena itu semangat untuk memperkecil cost dan

memperbesar revenue menjadi bagian nilai yang penting yang harus disosialisasikan dan dikembangkan dalam pembinaan SDM. Sedangkan dalam model birokrasi pemerintahan, sumber motivasi utamanya adalah anggaran. Besaran anggaran yang diterima oleh birokrasi sering tidak berhubungan dengan kinerja efisiensinya akan tetapi justru lebih banyak tunduk pada proses politik yang susah diukur.

Secara akademis, pemahaman mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) seperti yang dimaksudkan di atas harus mengacu pada pemahaman bahwa: bukan hanya apa yang dilakukan oleh lembaga Pemerintah saja yang harus baik, akan tetapi keseluruhan stake holders atau petaruhnya (fihak yang mempertaruhkan apa yang

dimiliki) dalam penyelenggaraan urusan yang terkait dengan masalah dan

kepentingan public harus juga mempunyai kapasitas yang memadai. Seperti pernah dikemukakan oleh Mahathir dan Ishihara (1995) yang mengatakan bahwa; Pengalaman telah menunjukan bahwa dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), ternyata sangat memerlukan terciptanya kondisi ideal dari ketiga petaruh (stake holders) sebagai berikut:

a. Pihak Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk mewadahi proses politik atau pengambilan keputusan mengenai norma dan kebijakan yang selanjutnya bisa diimplementasikan dalam bentuk regulasi dalam proses birokrasi pemerintahan.

b. Pihak Badan Usaha Swasta harus mempunyai kemampuan untuk selalu meningkatkan persediaan modal, membuka kegiatan baru dan menawarkan kesempatan berusaha baru untuk masyarakat luas.

c. Sedangkan fihak masyarakat madani (civil society) harus mempunyai kemampuan mandiri untuk membangun norma positif, merumuskan permasalahan, mengartikulasikan

permasalahan dan kepentingan masyarakat luas serta mampu melakukan pengawasan terhadap kedua mitranya.

Lebih lanjut dikedepankan bahwa dalam konsepsi penyelenggaraan pemerintahan yang baik tadi, masing-masing pihak yang mempertaruhkan kemampuannya untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik tersebut (stake holders) juga harus memiliki paling tidak sembilan butir sifat maupun wawasan (visi) sebagai berikut:

a. Partisipatif ; Dalam arti semua anggota/ warga masyarakat mampu memberikan suaranya dalam pengambilan keputusan, langsung ataupun melalui lembaga perantara yang diakui mewakili kepentingannya. Partisipasi yang luas dibangun atas kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapatnya secara konstruktif.

b. Penegakan dan kepatuhan pada peraturan perundangan; Dalam arti hukum harus ditegakkan atas dasar keadilan tanpa memandang golongan dan perbedaan yang ada.

c. Transparansi;Dalam arti adanya aliran informasi yang bebas, serta adanya kelembagaan dan informasi yang langsung dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Disamping itu, informasi juga harus cukup tersedia untuk dimengerti dan dipantau oleh semua fihak yang berkepentingan.

d. Daya tanggap (responsiveness); Dalam arti adanya kemampuan kelembagaan dari pemerintah untuk memproses dan melayani keluhan dan pendapat semua anggota masyarakat.

e. Orientasi pada konsesus; Di sini kepemerintahan yang baik dituntut harus dapat menjembatani perbedaan kepentingan antar warga masyarakat untuk mencapai konsesus yang luas dan mampu mengakomodasi kepentingan kelompok serta mencari kemungkinan dalam penentuan kibijakan dan prosedur yang dapat diterima.

f. Bersikap adil; Dalam arti harus diupayakan bahwa semua warga masyarakat mempunyai kesempatan untuk meperbaiki dan memelihara kesejahteraannya.

memadahi untuk memenuhi kebutuhan dengan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana (best use).

h. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban; Harus selalu diupayakan bahwa pengambilan keputusan pada institusi pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik dan segenap stakeholders. Kadar dan takaran akuntabilitas ini memang berbeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain serta tergantung juga pada apakah kebijakan itu diambil untuk keperluan internal atau eksternal.

i. Visi strategik : Disini berarti bahwa pemimpin dan publik harus sama sama memiliki perspektif yang luas dan jauh kedepan tentang pemerintahan yang baik, pengembangan manusia dan kebersamaan serta mempunyai kepekaan atas apa yang diperlukan untuk pembangunan dan perkembangan bersama.

1.6.5. Pendekatan Klaster

Keberadaan Kawasan Keraton di Cirebon yang tersaebar di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon tersusun dalam kerangka wilayah yang membentuk klaster-klaster yang khas.Klastertersebut mencerminkan dimensi tematik (fokus pada pengembangan segmen strategis sesuai kekuatan dan potensi sumber daya yang dimiliki).Tiga konsep utama pengembangan wilayah yang mengacu pada penataan ruang, yaitu pusat pertumbuhan (growth pole), integrasi fungsional (functional integration), dan pendekatan desentralisasi (decentralization approach)

Konsep Klastermemiliki ciri atau karakter sebagai berikut (Malmberg, A. 2001; Nordin, S, 2005):

1. Klaster menekankan keterkaitan (linkages), ketergantungan (interdependencies) dan kemitraan diantara komponen, sektor dan para pelaku yang menjadi bagian dari proses produksi, pelayanan dan inovasi/ pengembangan.

2. Klaster mencerminkan dimensi fungsional (fokus pada fungsi tertentu yang didukung jaringan kerja dan produksi dari berbagai unsur pelaku terkait).

3. Klaster mencerminkan dimensi keruangan/ spatial phenomenon (fokus pada wilayah geografis tertentu yang terbentuk oleh jejaring usaha dan komponen sumber daya).

4. Klaster mencerminkan orientasi strategi pembangunan (fokus pada arah dan strategi pembangunan ke depan untuk membangun daya saing/ competitiveness).

Klaster mencerminkan dimensi tematik (fokus pada pengembangan segmen strategis sesuai kekuatan dan potensi sumber daya yang dimiliki).Tiga konsep utama pengembangan wilayah yang mengacu pada penataan ruang, yaitu pusat pertumbuhan (growth pole), integrasi fungsional (functional integration), dan pendekatan desentralisasi

(decentralization approach) merupakan teori yang relevan untuk

diterapkan dalam program pengembangan kawasan.Sebagai sebuah komoditi, pariwisata dimaksudkan menjadi penggerak kegiatan perekonomian wilayah dalam pengertian yang luas, sehingga perlu disediakan secara lengkap fasilitas-fasilitas pelayanan regional untuk memfasilitasinya. Berikut pembagian wilayah di dalam pengembangan klaster:

1. Pusat Pertumbuhan

Konsep Pusat Pertumbuhan; mengembangkan wilayah sebagai pusat pertumbuhan berdasarkan potensi yang dimilikinya (area strategis, ekonomi, produk, image, dan sebagainya) serta mengintegrasikan pusat tersebut dalam pengembangan sistem infrastruktur pendukung yang efisien.

2. Integrasi Fungsional

Konsep Integrasi Fungsional; alternatif pendekatan yang mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi-fungsi yang komplementer.

3. Desentralisasi

Konsep Desentralisasi; mencegah terjadinya aliran ke luar (outflow) dari sumber dana dan sumber daya manusia (braindrain). Melalui konsep ini diharapkan pengelola wilayah (dengan daerah yang lebih kecil) memiliki kewenangan lebih

dalam memutuskan jenis strategi dan kebijakan untuk daerahnya.

1.6.6. Pemberdayaan Masyarakat yang Berkelanjutan

Terminologi pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Dalam prakteknya seringkali terminolog tersebut saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya.

Bartle (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community development dan

community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto

(2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,

memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.

 Dalam hal mekanisme produksi, masyarakat memiliki asset/sumberdaya produksi yang antara lain mencakup lahan, ternak, modal, peralatan usaha tani serta tenaga kerja. Upaya pemberdayaan semestinya memfasiltasi dan mendorong masyarakat pedesaan yang sebagian besar berprofesi sebagai petani untuk mampu memanfaatkan sumberdaya produksi yang dimilikinya sehingga mampu berproduksi secara efisien dan menjamin pemenuhan pangan serta memperoleh surplus yang dapat dipasarkan.

 Terkait dengan mekanisme pasar/ekonomi, sebenarnya telah banyak upaya untuk menciptakan institusi ekonomi/pasar dengan maksud meningkatkan akses petani atau masyarakat terhadap pasar. Namun nampaknya kelembagaan ekonomi yang ada belum dapat sepenuhnya memberikan manfaat kepada petani secara ekonomi. Pembentukan koperasi pedesaan yang diarahkan pada penyediaan sarana produksi dan penjualan produk pertanian di beberapa tempat menunjukkan keberhasilan, namun pada banyak kasus justru mengalami kegagalan karena tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Manfaat dan keuntungan baru dinikmati secara signifikan oleh pihak tertentu. Idealnya koperasi petani berperan dalam penyediaan sarana produksi, permodalan maupun pemasaran produk lainnya.

 Mekanisme ekologi mencakup aspek lingkungan sekitar yang sangat luas bagi masyarakat. Termasuk di dalamnya bagaimana masyarakat diberi kesempatan dan didorong untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ekologi-nya secara berkesinambungan, termasuk di dalamnya fasilitas infrastuktur (saluran irigasi, jembatan, jalan, fasilitas publik lainya), hutan masyarakat, penggembalaan umum, gunung, sungai dan lain sebagainya. Beberapa ahli banyak memberikan kritik bahwa selama ini masyarakat cenderung hanya dilibatkan sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya ekologi, mereka jarang sekali dilibatkan dalam perencanaan, pengambilan keputusan serta pengelolaan sumberdaya ekologi tersebut.

 Terkait dengan mekanisme sosial, sebagian besar masyarakat di Indonesia dikenal sebagai salah satu masyarakat di dunia yang mempunyai tradisi komunitarian paling kuat (Scott, 1976). Tradisi komunitarian tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk social relationship yang kuat, masyarakat kita telah banyak berinovasi dalam menciptakan social relationship yang memberikan manfaat kepada warganya. Para ahli telah mangacu social relationship sebagai suatu networking yang secara spesifik sering disebut dengan terminologi social capital. Saat ini sudah ada kesepahaman bahwa social capital memiliki peran penting dan positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Transaksi-transaksi ekonomi akan berjalan dengan lebih efisien jika didukung dengan social relationship yang mantap dan kuat.

Pemberdayaan Masyarakat yang Berkelanjutan

Secara teori, suatu barang (good) atau jasa (service) akan memiliki value dan eksis dimasyarakat apabila masyarakat memiliki kepentingan atas barang atau jasa tersebut. Oleh karena itu, untuk menjaga eksistensi suatu benda maka harus diupayakan agar masyarakat memiliki kepentingan atas benda tersebut.Konsep ini dilandasi bahwa, secara teori perilaku agen ekonomi selalu dilandasi dengan people

rospons interest. Hal demikian juga berlaku untuk benda-benda cagar

budaya. Namun sayangnya, masyarakat sering merasa tidak memiliki kepentingan atas benda tersebut hanya karena tidak tahu dan tidak mampu bagaimana memanfaatkaannya.Oleh karena itu, untuk menjaga

agar benda cagar budaya bisa lestari dan eksis dimasyarakat, masyarakat harus diberdayakan atau dimampukan untuk memanfaatkannya, terutama pemanfaatan secara ekonomi dan sosial. Dengan konsep tersebut, maka salah satu metode pelestarian cagar budaya adalah dengan pemberdayaan (empowerment) masyarakat, baik pemerintah, pemilik cagar budaya, maupun masyarakat umum.Apa bila mereka sudah berdaya sehingga merasa tahu dan mampu memanfaatkan cagar budaya sehingga mereka memiliki kepentingan ekonomi maupun sosial atas cagar budaya tersebut, maka dengan sendirinya mereka akan menjaga kelestarian cagar budaya. Kata “empowerment” dan “empower” diterjemahkan dalam bahasa indonesia menjadi pemberdayaan dan memberdayakan, menurut merriam webster dan oxfort english dictionary (dalam prijono dan pranarka, 1996 : 3) mengandung dua pengertian yaitu : pengertian pertama adalah to give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. sedang dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan.

Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain.memberdayakan masyarakat menurut kartasasmita (1996 : 144) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat dinikmati bersama. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang

nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh seluruh rakyat sehingga proses transformasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.

Menurut sumodiningrat (1999 : 134), kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu : pertama, kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran.Ketiga, kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus.

Dari konsep pemberdayaan tersebut, maka selanjutnya, bagaimana memberdayakan masyarakat adalah menjadi aspek penting. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut kartasasmita (1996:159-160), harus dilakukan melalui beberapa kegiatan : pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. di sinilah letak titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap manusia, setiap anggota masyarkat, memiliki suatu potensi yang selalu dapat terus dikembangkan. artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak berdaya, karena kalau demikian akan mudah punah.

Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat.dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.

Kaitanya dalam hal pelestarian kawasan cagar budaya Keraton Cirebon berbasis pemberdayaan masyarakat, hal utama yang akan disasar adalah bagaimana mengembalikan perhatian masyarakat sekitar kawasan Keraton Cirebon terhadap cagar budaya itu sendiri. Sebab partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya merupakan salah satu prioritas yang harus tercapai dalam setiap kegiatan pemanfaatan dan pelindungan benda cagar budaya yang

berwawasan pelestarian. Upaya pelestarian yang dilakukan haruslah berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan bangunan-benda cagar budaya sehingga masyarakatlah nanti yang akan lebih berperan serta, pemerintah akan mengayomi dan mengawasi sehingga tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku tentang pelestarian. Selain itu, pelestarian dengan konsep memberdayakan masyarakat agar mereka memilki kepentingan ekonomi dan sosial kemungkinan akan lebih efektif dibanding dengan anjuran, dogma, ataupun hal-hal lain yang sifatnya tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Dalam hal pelestarian cagar budaya, salah satu kepentingan ekonomi masyarakat yang bisa diciptakan untuk tujuan pelestarian adalah apabila cagar budaya tersebut dijadikan aset wisata, dan masyarakat memiliki penghasilan dari wisata.Pemerintah bisa meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), masayarakat umum bisa berpenghasilan secara kontinyu, dan pemiliki cagar budaya juga bisa menadapat pemasukan atas cagar budaya yang dimilikinya. Dengan demikian, dalam kasus cagar budaya Cirebon, pemberdayaan masyarakat akan lebih optimal bila difokuskan dalam usaha wisata.

1.6.7.

Pendekatan Keunggulan Banding (Competitive and

Comperative Advantage)

Konsep keunggulan kompetitif adalah suatu cara yang dilakukan untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan dengan lainnya (Porter, 1993). Porter melihat bahwa salah satu faktor yang paling penting untuk menghadapi persaingan global adalah kemampuan kompetitif yang dimiliki suatu negara. Jika suatu negara mempunyai keunggulan dalam hal faktor biaya atau mutu faktor yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk, maka negara itu akan menjadi tempat produksi dan ekspor akan mengalir ke negara lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mencapai keunggulan kompetitif diperlukan 3 (tiga) strategi: (1) strategi keunggulan biaya; (2) strategi diferensiasi, dan (3) strategi fokus.

Peningkatan daya saing wilayah. Dalam hal ini, peningkatan daya saing wilayah menjadi salah satu faktor dalam pengembangan (ekonomi) wilayah. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai wewenang penuh dalam mengembangkan kelembagaan pengelolaan pengembangan ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik modal dan investasi, mendorong peran aktif swasta dan masyarakat melakukan koordinasi terus-menerus dengan seluruh stakeholders pembangunan baik di daerah dan pusat, atas dasar perannya sebagai fasilitator dan katalisator bagi tumbuhnya minat investasi di wilayahnya. Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Diskusi mengenai “daya saing wilayah” sendiri menghasilkan berbagai definisi, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya. Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal.

Daya saing daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan para anggota konstituen dari suatu daerah untuk melakukan tindakan dalam memastikan bahwa bisnis yang berbasis di daerah tersebut menjual tingkat nilai tambah yang lebih tinggi dalam persaingan internasional, dapat dipertahankan oleh aset dan institusi di daerah tersebut, dan karenanya menyumbang pada peningkatan PDB dan distribusi kesejahteraan lebih luas dalam masyarakat, menghasilkan standar hidup

Dalam dokumen Bab 1 Pendahuluan (Halaman 50-66)

Dokumen terkait